5. Lumina

Aku menarik kursi, kemudian menyimpannya tepat di tengah ruangan ketika sang anak dari Januar—Ganira—keluar dari kamar brengsek yang menyimpan sebuah rahasia besar. Anak itu tidak keluar atas inisiatifnya sendiri, melainkan pergi menarik raganya atas dasar perintahku. Ketika aku membuka pintu, ia layangkan tatapannya untuk melihatku, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Luhtfi—setidaknya mungkin—bukanlah manusia munafik brengsek yang menyimpan rahasia atas kekejiannya, seperti ayahnya—tentu tak kuucapkan hal itu secara gamblang.

Aku sendiri tidak tahu apakah pada akhirnya anak itu akan benar-benar menemui Luthfi atau kabur keluar rumah dan memanggil tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Namun, aku punya alasan yang tepat untuk melakukan hal-hal ini, seandainya orang-orang yang tak mengenalku—para tetangganya—berusaha meludahi wajahku karena berpikir aku bertindak semena-mena.

Kini, kursi kedua kutarik sebagai kursi tambahan untuk Januar duduki—kursi terakhir di ruangan ini. Seretan kaki-kakinya terdengar nyaring di telingaku, terutama di tengah kesunyian malam dan tidak memberontaknya sang istri Januar—pada akhirnya. Kuayunkan salah satu lenganku, mempersilakan Januar, masih dengan senyum menyebalkannya, untuk duduk. Dia tak banyak bicara, hampir seperti seekor hewan peliharaan yang mengikuti seluruh perintah majikannya. Bedanya, jika hewan peliharaan akan menampilkan senyuman lucu dengan mulut lebar yang patut untuk difoto, Januar menampilkan wajah termengerikan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku duduk di seberangnya, memangku sebelah kaki sambil bersandar pada sandaran kayu yang keras. Kemudian, kutarik napas sedalam mungkin setelah memainkan ponselku dalam beberapa saat.

Satu jam telah berlalu.

Detak jantungku semakin terpacu, aku tak akan menyangkal bahwa di dalam pikiranku, Januar telah babak belur akibat layangan tinju yang berkali-kali kudaratkan pada wajahnya, darah segar keluar dari mulut maupun luka akibat kulitnya yang sobek. Rasanya aku benar-benar ingin merealisasikan hal itu, mewujudkan mimpiku menjadi nyata, tetapi pada akhirnya kutekankan pada diriku bahwa masih banyak hal yang ingin kudapatkan dirinya, membuatku terpaksa menahan emosi dan berita-berita yang akan disampaikan saraf motorik pada anggota tubuhku. Menahan hal itu tidaklah mudah.

Januar tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun. Bukannya menghindari kontak mata denganku, Januar malah memicingkan matanya. Alisnya mengerut, mempertajam pandangannya, tetapi tubuhnya tak bergerak sama sekali, seperti seorang predator yang sedang mengintai mangsa dari kejauhan. Walaupun begitu, aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mendapatkan banyak pengalaman, di mana orang-orang menjadi korban kejahatan sanak saudaranya, bagaimana si saudara tak merasa bersalah karena beranggapan sang korban patut mendapatkan pelajaran. Hanya saja, aku tak pernah berpikir hal yang sama akan menimpaku. Selama aku bekerja, kupikir pekerjaan terberat adalah berinteraksi dengan para pelaku yang selalu menyangkal perbuatannya. Namun, kini aku mendapatkan pekerjaan yang lebih berat: berinteraksi dengan pelaku yang menyangkal perbuatannya, tetapi hal itu menyangkut kehidupan pribadimu.

Kuberikan nada terendah dari pita suaraku, tetapi tetap kuusahakan agar dapat Januar dengar.

"Pada akhirnya kau mengakui perbuatanmu," kataku. "Kenapa?"

"Sudah kukatakan jika aku lelah berpura-pura, kan?"

Kuteguk ludahku, merasakan sensasi cairan mengalir melalui kerongkongan.

"Maksudku, kenapa kau melakukannya, Brengsek!"

"Hei, hei, Roy, jangan berubah menjadi kasar begitu."

Kepalan tanganku melayang, kemudian mendarat tepat di dagu Januar, membuatnya meringis kesakitan. Untungnya, aku bukan seorang petinju profesional yang dapat membuat lawan jatuh pingsan dalam satu pukulan.

Walaupun kepalanya sempat terpental, Januar masih bisa mempertahankan posisinya. Kedua kaki depan kursinya terangkat sejenak, tetapi akhirnya kembali ke posisi semula karena beban tubuh lelaki itu, membuat dentuman keras yang tak menyenangkan. Januar mengeluh, mulutnya bergumam, ia terlihat berusaha mengusap-usap dagu dengan tangannya, tetapi tentu saja tak berhasil karena anggota tubuhnya itu masih terikat dengan kuat di belakang tubuhnya.

Di saat yang bersamaan, seluruh ruas jariku terasa remuk. Jika biasanya aku melihat berbagai aksi heroik yang melibatkan perkelahian, bagaimana sang tokoh utama menghajar lawannya dengan tangan kosong dan terlihat keren, maka aku berada dalam keadaan yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Ruas-ruas jariku berdenyut, secara tak sadar kuusap permukaan kulit yang semakin terlihat memerah. Kemudian, kugoyangkan beberapa kali untuk menghilangkan rasa sakitnya. Tidak, tidak keren sama sekali, juga tidak terlihat efektif seperti yang digambarkan dalam kebanyakan film. Namun, aku tak dapat menghentikan reaksi spontanku itu. Brengsek memang, dia, bisa-bisanya menyuruhku untuk tak berubah menjadi kasar ketika ia tahu jelas apa penyebabnya.

Merasa cukup dengan kibasan tanganku, akhirnya aku berhenti. Namun, di saat yang bersamaan, Januar masih menggoyang-goyangkan gusi bagian bawahnya, merelokasi kerangka seandainya benda itu keluar dari tempat seharusnya.

Darah keluar dari bibirnya, mungkin karena tinjuku yang terlalu keras, membuat gigi-gigi bagian atasnya merobek permukaan bibir bawah lelaki itu. Namun, apapun yang terjadi, aku berusaha untuk tidak peduli. Dia sendiri yang memintanya, kan?

"Aku sedang tak ingin bercanda, Jan."

Januar masih memainkan gusi bawahnya, membuat dagu tak berambutnya itu bergerak ke kiri dan ke kanan. Namun, ia tampak tak mendengarkanku. Bahkan, kedua bola matanya sibuk menatap langit-langit kamar yang tak memberikan pemandangan apa-apa.

Begitu beberapa menit berlalu—tanpa suara—akhirnya Januar menyerah juga. Ia menarik napasnya, mengeluarkan karbondioksida secara perlahan melalui kedua lubang hidungnya, kemudian berkata, "Temanmu bilang kau ingin membunuhku."

Benar, batinku, tetapi mulutku tak terbuka sedikitpun. Sebagai gantinya, kupasang tatapan tajam karena aku yakin Januar masih akan melanjutkan pembicaraannya.

"Tapi aku tidak yakin kau berani melakukannya." Januar tersenyum, kemudian tertawa, meledak bagaikan kembang api tahun baru, meledekku dengan sepenuh hati. Sekali lagi, kepalan tanganku mendarat di dagunya, seolah-olah rasa sakit sebelumnya telah pudar—padahal belum.

Si brengsek ini benar-benar mempermainkanku.

Air mataku hampir keluar, tapi kukendalikan seutuhnya hingga tak terlihat bendungan air memenuhi penglihatan.

Aku benar-benar tak mengerti bagaimana di kehidupan ini ada setan yang mengubah wujudnya ke dalam bentuk manusia dan berjalan-jalan di kehidupanku. Sangat dekat, bahkan hingga merebut jiwa yang tak bersalah. Kurasa hatiku benar-benar hancur ketika proyeksi tak nyata dalam otakku menampilkan sosok Januar, bagaimana ia, dengan mudahnya, memelintir leher Loka dan menenggelamkannya ke dalam bak mandi. Aku berteriak—tentu dalam hati.

Sekali lagi kuhajar Januar, dan ia kembali meringis kesakitan. Bedanya, kali ini disertai dengan tawa.

"Kau bukan aku, Roy, kau tak akan berani melakukannya seperti apa yang kulakukan pada anakmu itu."

Pukulan keempat kulayangkan, Januar mengganti air liurnya dengan darah kental, menetes keluar dari mulutnya. Sedangkan tanganku—entah karena sudah terbiasa atau benar-benar remuk—tak merasakan sakit, bahkan sedikitpun.

"Benar, kan?"

Si sialan itu menggodaku, dan aku benar-benar tak tahan.

Aku menerjangnya, menindih tubuhnya yang tak dapat berkutik. Ponselku terperosok keluar dari saku baju, tapi aku tidak peduli. Kini, kedua lenganku menggenggam kepala Januar, sedangkan kakinya meronta-ronta, berusaha keluar dari kunci yang mengekang dirinya.

Aku berteriak, "Bedebah!"

Ruangan ini bergemuruh. Bahkan, mungkin sanggup untuk membangunkan tetangga-tetangga yang sedang tidur. Namun, aku benar-benar tak tahan. Sama seperti Januar, aku tak dapat berpura-pura lagi. Aku sudah berusaha menahan emosi begitu tahu bahwa Januar benar-benar mengambil nyawa anakku, bagaimana aku dengan kepala dingin meminta sang anak dari Januar keluar ruangan karena aku yakin—pasti—sesuatu yang tak menyenangkan akan terjadi—dan memang benar terjadi, kan?

Emosiku yang membludak membuat kedua lenganku menjerat leher Januar, memaksa kerongkongan dan tenggorokannya berhenti berfungsi setelah beberapa kali menghajar wajahnya. Seluruh tenaga kualihkan pada kedua lenganku, membuat wajah lelaki itu memutih dan pucat. Pembuluh-pembuluh darah di matanya mulai bermunculan, lengannya berusaha melepaskan cengkeraman tanganku, tapi jelas percuma karena dia tak dapat menggerakannya. Kedua kakinya menendangku, berusaha menyingkirkan tubuhku darinya, tapi lelaki ini sudah semakin kehilangan tenaga.

Bau amis tercium begitu tekanan yang kuberikan semakin hebat. Napas Januar terdengar sesenggukan, berusaha mencari oksigen, tetapi cengkeraman tanganku semakin kukuatkan.

Lelaki ini bisa pingsan kapan saja. Namun, kata-kata terakhirnya membuat hatiku bergejolak. Alih-alih menahan leher Januar agar saluran pernapasannya tak berfungsi dengan baik, kutarik lehernya kuat-kuat, kemudian membenamkan kepalanya ke dasar lantai, membuat dentuman keras yang memekakkan telinga. Seketika, Januar tak bergerak lagi, tubuhnya lemas lunglai, matanya tertutup begitu kulepaskan cengkeramanku.

Aku berdiri, melihat lelaki dengan darah yang menempel di area mulutnya terkulai lemas. Aku pikir dengan berakhirnya perkelahianku dengan Januar akan mengakhiri segalanya. Namun, tidak semudah itu.

Beberapa menit berlalu, aku masih gelap mata, berdiri mematung tanpa melakukan apapun. Namun, semakin lama kulihat keadaan, kepanikan mulai muncul dalam benakku. Beragam pertanyaan terlintas di dalam otakku.

Apa Januar sudah mati? Apa aku benar-benar membunuhnya dengan tanganku sendiri? Apa yang harus kulakukan sekarang? Gila!

Aku segera berlutut, mencari-cari pergelangan tangan yang tertimbun oleh tubuh Januar sendiri. Segera setelah mendapati pergelangan tangan Januar yang masih diikat dengan cable tie, kucoba untuk memeriksa denyut nadinya, menempelkan beberapa ruas jariku pada pergelangan tangan dan berharap untuk merasakan apa yang seharusnya dapat kurasakan seandainya lelaki ini masih hidup.

Denyutan-denyutan kecil dapat kurasakan, tetapi belum cukup untuk meyakinkanku.

Akhirnya, pilihanku jatuh untuk memeriksa leher Januar, mencari-cari denyut nadi yang kuharap masih bisa kurasakan. Wajahnya yang lemas pucat dengan mata tertutup seolah-olah berusaha menghantuiku seumur hidup. Namun, dengan napas yang tersengal-sengal, kucoba untuk kembali membuat pikiranku fokus pada tujuan utama.

Kurasakan beberapa kali denyut kecil, sensasinya tak jauh beda dengan denyut yang dapat kurasakan pada orang hidup. Artinya, ya, Januar masih hidup, tetapi jelas kelakuanku yang kasar itu benar-benar membuat keadaan fisiknya terganggu. Bahkan, mungkin dia gegar otak.

Kulemparkan tubuhku, berbaring sambil mengatur napas secara perlahan. Rasa lelah benar-benar menghantui ragaku, rasa panik yang tadi sempat muncul kini terangkat dari tubuhku setelah kuketahui bahwa Januar masih hidup, tidak mati seperti rencana awal yang kuharapkan. Walaupun begitu, entah kenapa perasaan lega memenuhi pemikiranku.

Si brengsek Januar sendiri yang bilang seperti itu. Tapi ... mungkin aku memang tak dapat melakukannya? Aku tak berbohong bahwa aku benar-benar ingin lelaki itu mati, tapi bukan dengan cara yang seperti ini. Maksudku ... aku tidak memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang, kan? Sebrengsek apapun orang itu.

Mungkin orang-orang akan menyebutku sebagai seorang pecundang.

Kutarik ponsel yang sebelumnya berseluncur keluar dari sakuku, tetapi tetap dalam keadaan telentang. Ketika kuacungkang ponsel itu, membuat sudut empat puluh lima derajat dari arah mataku, baru kusadari bahwa beberapa bagian dari kedua lenganku ini bersimbah darah, utamanya pada punggung-punggung tanganku. Selain itu, kurasakan tremor menjalar hingga kedua siku. Rasa sakit itu kembali memenuhi kedua lenganku, tulang-tulangku benar-benar terasa remuk. Namun, keadaan yang tak menyenangkan itu berusaha kuhalau dengan memperhatikan detik-detik waktu yang terus berjalan di layar ponsel.

Entah karena insting atau kebiasaan, aku tak pernah lupa memasang rekaman sebelum memulai suatu interogasi, walaupun untuk yang satu ini tampaknya tak berakhir dengan cukup baik. Namun, jika kuingat kembali, kurasa aku berhasil membuat Januar secara tak sadar mengakui perbuatannya—mengambil nyawa Loka. Dan aku cukup bersyukur akan hal itu. Maksudku, tak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Januar membunuh Loka. Semua data yang ada di komputernya tak pernah menyinggung hal itu, dan aku yakin Luthfi pun menyimpulkan bahwa Januar membunuh anakku karena Januar terbukti bergabung dengan polisi-polisi korup itu—satu-satunya kelompok yang mungkin melakukan pembunuhan terhadap anakku.

Kuakhiri rekaman, masih dengan kedua tangan yang terasa nyeri, bahkan sempat membuatku beberapa kali melenguh pelan. Kemudian, aku bertumpu pada kedua siku untuk membantu menegakkan tubuhku, berdiri dengan tegap tanpa goyah.

Aku bisa saja memanggil kepolisian daerah sini untuk meminta bantuan, mengangkut Januar yang sedang tak sadarkan diri serta menyerahkan bukti rekaman sehingga kasus pembunuhan yang terjadi pada anakku bisa ditutup dengan mudah. Namun, aku masih belum bisa memercayai siapapun terlebih dahulu, membuatku berjalan keluar kamar, mendapati lorong sempit nan pendek yang tampak sepi.

Luthfi sedang tiduran sofa empuk di ruang tamu—aku dapat melihat kakinya menggantung di lengan sofa, sedangkan sang anak dari Januar duduk di kursi lainnya, berseberangan dengan sofa Luthfi.

Gila, bagaimana mungkin lelaki bertopi itu bisa setenang ini?

Kurasa, langkah kakiku terlalu berat hingga Luthfi menyadari kehadiranku yang tengah menyusuri tangga untuk turun. Bahunya diangkat tinggi-tinggi, membuat kepala lelaki itu menyembul dari balik sandaran.

"Kau sudah melakukannya?" tanyanya dengan segera, bahkan tanpa basa-basi maupun menungguku hingga selesai turun.

"Ya," balasku, sambil terus berjalan. "Kau punya flashdrive atau kabel data?"

Luthfi, tanpa mengernyitkan wajahnya, bertanya, "Untuk apa?"

"Aku membutuhkan data di komputer itu sebagai barang bukti."

"Roy, kurasa kau harus menggunakan hard disk untuk mengambil datanya," tukas Luthfi.

"Apapun itu."

Begitu aku sampai di bawah, akhirnya Luthfi mengangkat pinggulnya, ia menarik kakinya untuk bersila, menghilangkan pemandangan kaki yang menggantung pada ujung sofa.

"Aku tidak punya."

Aku menarik napas, mengungkapkan kekecewaan, dan Luthfi kembali bertanya.

"Kau bisa memanggil bantuan, kan? Maksudku, kau polisi, kenapa mereka tak menerima panggilanmu?"

"Ide bagus, terutama jika para polisi yang datang ke sini bukanlah para polisi korup," sahutku. "Aku memercayai Januar, dan kau tahu apa yang terjadi, kan?"

Luthfi memutarkan kedua bola matanya secara beriringan. Ia tampak ragu, tapi akhirnya menyetujui keinginanku.

"Dengan syarat, Roy. Kau harus diam di sini, aku akan pergi ke kamar atas. Jangan mengintip, jangan mencoba mencari tahu apa yang kulakukan. Kalau tidak, aku tak yakin bisa membantumu."

"Apapun itu selama bisa kudapatkan datanya," balasku, membuat Luthfi akhirnya mengerakkan raganya menjauhi ruangan ini, menuju ke kamar atas, tempat di mana perkelahian antara aku dan Januar terjadi. Namun, sebelum Luthfi benar-benar sampai, aku berteriak, "Ah, berkaitan dengan sebelumnya, sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Januar hanya ... pingsan. Jangan apa-apakan dia."

Namun, Luthfi tak menjawab. Dia hanya berhenti sesaat untuk mendengarkan omonganku. Segera setelahnya, dia kembali melesat menghilang dari penglihatan, membuka pintu kamar di mana seorang lelaki—tepatnya sang tuan rumah—hampir menjadi korban pembunuhan.

Ya, aku tidak dapat melakukannya. Tapi bukan berarti tidak mungkin keinginanku agar Januar mati tak terwujud, kan?

Ah, kurasa aku harus lebih memperhalus bahasa yang kugunakan. Mungkin sebaiknya tak kusebut aku ingin Januar mati, melainkan aku ingin Januar diadili.

Lelaki itu masih bisa dijatuhi hukuman, kan? Mungkin tidak instan dan tak semudah melakukannya langsung di tempat ini—bahkan itu tidak lebih mudah. Namun, setidaknya melalui prosedur yang benar, aku dapat membuktikan kepada para polisi korup itu bahwa di dunia ini, masih terdapat orang-orang baik yang membiarkan sang pelaku diadili dengan adil, bukan main hakim sendiri. Aku yakin, Loka pun tak menginginkan aku berubah menjadi orang gila yang mengambil nyawa orang lain, apalagi untuk membalaskan dendamnya.

Benar, kan?

Di saat yang bersamaan, aku lupa bahwa sang anak dari Januar masih ada di ruangan ini. Ia melihatku. Namun, di balik matanya, aku yakin pikirannya sedang kosong.

Apa Luthfi membicarakan sesuatu dengan anak itu sebelum aku turun?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top