4. Désolé
Januar melumat kedua bibirnya, kemudian menarik dirinya menjauh dari todongan pistol yang Luthfi berikan. Kaki Januar melesat, menendang-nendang ke arah yang tak tentu, sedangkan pundaknya sudah sampai di ujung dinding putih yang tak mungkin dilewatinya. Selain itu, sekarang Luthfi tidak main-main. Berbeda dengan sebelumnya, lelaki bertopi itu telah memasang peredam di pucuk pistol, kedua kakinya bergerak mendekati Januar yang sedang ketakutan. Kurasa, dia ingin menembak Januar dari jarak yang sangat dekat. Bahkan, mungkin hingga tepat mengenai pelipisnya sekadar untuk menyembunyikan lebih banyak suara yang masih bisa terdengar biarpun peredam itu telah dipasang.
Aku bisa membiarkan Luthfi melakukannya. Namun, di tengah tipisnya waktu untuk berpikir—mungkin kurang dari dua detik, sebelah tanganku segera menggapai pergelangan tangan Luthfi. Awalnya, aku hanya ingin membuat bidikan Luthfi meleset seandainya ia merasa jarak di antaranya dengan Januar sudah cukup dekat. Namun, tindakanku itu malah membuat langkahnya terhenti, kemudian melemparkan pandangannya ke arahku.
"Aku memang bilang ingin dia mati, tapi hanya jika dia benar-benar membunuh Loka."
Ketika aku berselisih dengan Luthfi, Januar meringkuk ketakutan. Alisnya mengangkat, membuatnya terlihat naik tergantung dengan napas yang kembali terengah-engah. Dia berteriak, "Kalian berdua gila!"
Namun, Luthfi tak menghiraukannya sedikitpun.
"Dia memang membunuh anakmu," katanya. Namun, sekarang aku sudah mulai bisa mengendalikan pikiranku. Emosiku mulai pudar, aku berusaha berpikir dengan jernih.
"Buktinya?" Aku bertanya, tepat seperti guru yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang ada dalam buku.
Genggaman yang kuberikan pada pergelangan tangan Luthfi belum kulepaskan, tetapi tampaknya lelaki itu tak peduli. Wajah datarnya melihat ke arahku dan Januar yang tengah ketakutan secara bergantian.
"Kau ingin memberitahu laki-laki ini sendirian atau membiarkanku untuk berbicara?" Luthfi bertanya, lebih ke dalam bentuk ancaman. Namun, tentu saja pertanyaannya itu tidak ditujukan padaku, melainkan Januar dengan mimik wajah yang belum berubah.
Sontak, Januar malah balik bertanya. "Apa? Bicara apa?"
"Komputer di kamarmu menyimpan semua rahasiamu."
Januar, masih dengan tatapan tak percayanya, mencegah Luthfi untuk berbicara lebih jauh. Nadanya meninggi, tetapi tetap penuh dengan rasa penasaran.
"Roy, orang itu berbohong. Komputerku dikunci, mana mungkin dia membukanya."
"Sayang sekali, tapi anakmu mengetahui password-nya."
Januar meneguk ludahnya. Argumennya terhenti tanpa ada perlawanan apapun, membuatku menggantikan posisinya dan bertanya, "Rahasia apa?"
"Kau bisa mendapatkan tambahan daftar orang-orang polisi korup itu, Roy. Pembagian uang hingga cara pencucian uang yang mereka lakukan semuanya disimpan. Aku tidak mengerti sih, kenapa dia menyimpannya. Kalau aku menjadi dirinya," Januar melayangkan lengannya, menunjuk Januar dengan tangannya yang satu lagi—tidak terkunci oleh genggamanku, "Sudah pasti aku akan menghapusnya. Mungkin dia terlalu percaya diri untuk menyimpan rahasia itu."
"Kau yakin?"
"Roy, kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri agar bisa yakin dengan omonganku, ya?"
Sialannya, masalahnya bukan itu. Semua prasangka ini berkaitan dengan hidup yang mati.
Brengsek! Kenapa sebelumnya emosiku menelungkup dan bergumul menyelimuti ragaku, sih? Kenapa aku tak berpikir kritis terlebih dahulu, kenapa aku tak pernah memikirkan kemungkinan bahwa Luthfi, si lelaki bertopi itu, bisa saja memanfaatkanku dan membantunya untuk menyingkap orang-orang yang tergabung ke dalam kelompok polisi-polisi korup itu untuk alasan pribadi?
Ketika aku bimbang, kulepaskan genggaman tanganku, membiarkan pistol Luthfi bergerak secara leluasa, mengikuti gerakan motorik tubuhnya. Namun, tak begitu lama.
"Aku akan melihatnya," kataku, seraya berjalan. Namun, tidak segera keluar dari dapur, melainkan mengangkat tubuh Januar yang cukup berat. Kakinya bergetar hebat, hampir tak dapat berdiri jika tak kubantu. Tetapi, melihat kelakuanku itu, Luthfi menjadi gusar. Napasnya menderu hebat dengan suara geraman bagaikan anjing liar yang terdistraksi oleh manusia.
Luthfi tak mencegahku pergi meninggalkan ruangan. Mulutnya bagaikan terkunci, tak memberikan komentar apapun ketika aku dan Januar berjalan melewatinya. Selain itu, dia pun tak mengikuti kami berdia yang berjalan menjauhinya. Lelaki itu tetap diam, mematung, menjaga rasa gusarnya agar tak kelewatan dan malah membunuh dua orang laki-laki di malam ini.
Di tengah perjalanan yang singkat, aku baru sadar bahwa seharusnya kunci-kunci kamar itu—kamar sang anak dan kamar Januar—berada dalam kantong celana. Refleks, kedua tanganku mencari-cari benda kecil tanpa ornamen tambahan itu. Sialannya, aku tak dapat menemukannya. Aku baru ingat betapa lihai Luthfi untuk mengambil barang yang bukan merupakan kepemilikannya. Namun, kejadian itu membuatku sedikit berpikir: kenapa Luthfi repot-repot mencari tahu bahwa Januar termasuk ke dalam anggota polisi-polisi korup itu?
Sesuai dugaanku, Kamar Januar tidak terkunci. Bahkan, kuncinya masih menggantung pada pintu bagian luar yang menghadap ke arah lorong.
Pintu itu kubuka secara perlahan, memastikan bahwa di ujung sana tak ada monster yang akan melahapku. Namun, sebaliknya, dapat kulihat bocah berumur sepuluh tahun itu—dengan tangan yang tak terikat dan sumpalan mulut yang telah menghilang—meringkuk di ujung ruangan. Kepalanya segera mendongak begitu tahu seseorang memasuki ruangan ini. Namun, wajahnya tak menunjukkan sama sekali rasa takut, kesal, ataupun semacamnya. Mata bulatnya yang jernih dilemparkan ke arahku.
Apakah Luthfi melepaskan ikatannya?
Komputer yang tampaknya Luthfi maksud tersimpan di ujung kiri ruangan, berseberangan dengan tempat anak itu memojokkan dirinya. Komputer itu menyala dalam keadaan stand by. Warna hitam memenuhi layar, tanpa cahaya, membuatku menggerakan mouse dan membuatnya menampilkan jendela utama dengan jendela-jendela aplikasi yang memenuhi layar.
Sesekali kutengok arah belakang, memastikan Januar tak kabur. Dan, ya, dia masih ada di sana. Di saat yang bersamaan, kembali kugeledah saku-sakuku. Kedua kunci itu hilang, hanya tersisa dua ponsel.
"De, kamu tahu password komputer ini?" Aku bertanya, sekadar memastikan, dan anak kecil itu mengangguk tanpa rasa berdosa.
Sekarang, kembali kuperhatikan layar komputer yang ada di hadapanku, membuatku sadar bahwa komputer ini tengah menampilkan dua buah sistem operasi yang berbeda. Januar memanfaatkan mesin virtual, mungkin agar aplikasi yang sebelumnya disebutkan Luthfi tidak dapat dibuka dengan sistem operasi yang sebenarnya terpasang di komputer ini, membuat orang-orang yang sekiranya menggunakan komputer ini tak akan curiga karena tak dapat membuka aplikasinya.
Loka pernah memberitahuku, mesin virtual sebenarnya tak jauh dari komputer biasa. Hanya saja, jika komputer biasa memiliki wujud dalam bentuk fisik, maka mesin virtual hanya tampil ke dalam bentuk maya dengan memanfaatkan perangkat-perangkat keras komputer lain di mana ia disimpan. Jika Januar memiliki aplikasi dengan ekstensi sendiri yang hanya bisa dieksekusi pada sistem operasi pertama, sedangkan komputernya memiliki sistem operasi kedua, maka hal tersebut akan menjadi kamuflase yang unik dan cukup sulit untuk dibongkar. Siapa yang mengira jika aplikasi itu hanya dapat dijalankan pada sistem operasi pertama?
Pikiranku terus meracau ke mana-mana ketika kursor bergerak-gerak pada layar karena mouse yang kugeserkan. Persis seperti apa yang Luthi katakan, aplikasi ini memuat data orang-orang yang juga tergabung dalam kelompok polisi-polisi korup itu. Sialannya, khusus tertutup di daerah Jakarta Selatan. Selain itu, beberapa animasi menampilkan beragam rencana yang pernah mereka buat. Sistem pertemuan, cara mereka merekrut orang baru, hingga satu buah rencana yang berbeda dari yang lainnya—mungkin satu-satunya. Kulihat tanggal yang tertera, mungkin sekitar tujuh tahun lalu.
Mereka pernah merencanakan sebuah pembunuhan seorang anak sekolah. Animasinya memberikan gambaran bagaimana si anak menjadi korban kecelakaan tabrak lari di sebuah persimpangan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Namun, aku tak begitu ingat adanya kecelakaan sekitar tujuh tahun lalu yang menyebabkan seorang anak sekolah tewas. Atau mungkin aku hanya lupa?
Anak itu bernama Yusup. Ya, benar-benar Yusup, menggunakan huruf p di akhir namanya, bukannya huruf f, secara tak langsung diriku mengonfirmasi bahwa orang tuanya merupakan orang Sunda dengan budaya yang kental. Bukannya menghina, sih, tapi memang benar adanya, kan?
Sang calon pelaku tabrak lari tak disebutkan namanya, tetapi jelas rencana mereka menunjukkan bahwa si pelaku akan dibebaskan. Bukan tanpa sebab, tetapi mereka memang sudah mengaturnya sedemikian sehingga si anak terlihat lalai saat menyebrang jalan, sehingga si pelaku tak dapat dijatuhi hukuman karena kecelakaan itu tak dapat dihindari, bukan atas dasar kesalahan si pengemudi. Tidak mabuk, tidak mengantuk, benar-benar murni kesalahan si anak—cerdas juga mereka.
Aku kembali menengok ke belakang. Januar masih ada di sana, mematung tanpa mengatakan apapun, sedangkan sang anak maish duduk di pojok ruangan.
Kumpulan data ini dimulai sekitar sepuluh tahun lalu. Gila, sudah lama sekali mereka beroperasi. Namun, sialannya, satu-satunya bukti yang kucari-cari malah tak dapat kutemukan. Berulang kali kupindai daftar rencana-rencana yang mereka buat, tetapi memang tak ada rencana pembunuhan lain selain kasus tujuh tahun lalu itu. Loka tak ada dalam daftar.
Aku menarik napas panjang, memejamkan mataku secara perlahan, membiarkan keringat membanjiri tubuhku akibat suasana Jakarta yang panas.
"Seperti yang kubilang Jan, aku hanya akan mencurigai orang-orang yang tergabung ke dalam kelompok polisi korup itu. Kau termasuk ke dalam salah satunya."
Januar berdalih. "Roy, sungguh, bukan aku. Mungkin temanmu itu menjebakku dan membuatmu berpikir bahwa aku ikut ke dalam kelompok mereka."
"Kenapa aplikasi ini ada dalam komputermu?"
"Temanmu itu pasti menyimpannya di dalam komputerku."
"Kenapa kaupikir temanku itu akan melakukannya? Kenapa dia ingin aku menuduhmu?"
"Aku tidak tahu. Kenapa tak kau tanya saja?"
"Di sini disebutkan kau seharusnya membuat Loka terlihat sebagai korban kecelakaan, bukan pembunuhan."
Januar tampak bingung. Alisnya naik setinggi-tingginya. Napasnya terhenti disertai otaknya yang tampak terus berpikir. Walaupun begitu, ia tak memberikan pendapatnya. Sedangkan sang anak, yang masih diam di pojok ruangan berusaha menutupi kepala dengan kedua tangannya, reaksi spontan ketika ia tak ingin mendengarkan pembicaraan yang ada di sekitarnya.
Namun, kebingungan Januar membuatku sampai pada satu kesimpulan.
"Kau tahu isi dari aplikasi ini, ya?"
Reaksi spontan Januar itu bukanlah reaksi yang dibuat-buat. Dia kebingungan, bukan terkejut, karena dia tahu seharusnya pernyataanku itu tak muncul di dalam aplikasi itu.
"Kalau kau tak tahu menahu tentang aplikasi ini, seharusnya kau juga tak tahu isi dari aplikasi ini, kan?" tanyaku, segera setelah pertanyaan sebelumnya kulontarkan.
"Aku memang tidak tahu, Roy."
"Kau tahu."
"Kenapa kau menuduh jika aku tahu, Roy?"
"Namamu jelas ditulis di sana, kau membunuh Loka."
"Mustahil! Temanmu itu hanya ingin kau menuduhku, Roy!"
"Kau ingin membuat kematian anakku terlihat seperti kematian Guntur dan teman-temannya, kan?"
"Aku tak mungkin mematahkan leher anakmu, Roy. Maksudku, mana mungkin aku berani melakukan hal semacam itu?"
"Jan, aku tahu berita kematian anakku, bagaimana lehernya patah dan mayatnya sengaja ditenggelamkan di dalam bak mandi meluas dengan cepat," tukasku, kemudian membuat jeda sejenak dengan mengambil napas. "Tapi kenapa kau bisa tahu leher Guntur patah? Padahal berita itu tak pernah disebutkan. Kau tahu kasus Guntur ditutup sebagai kasus pembunuhan dan bunuh diri, kan? Dia membunuh dua temannya kemudian menenggelamkan dirinya, tak pernah ada yang tahu lehernya patah. Tentu saja selain ... aku, yang kebetulan berada di lokasi, temanku itu, serta orang-orang yang menyelidiki kasusnya. Ah, aku lupa jika Pak Dadang—pemimpin penyelidikan kasus itu—juga tersangkut ke dalam kasus polisi korup, ya?"
Tebakanku sebenarnya hanya tebakan murahan yang bisa dituduhkan pada siapa saja. Aku tak akan berbohong bahwa beberapa kali aku salah mengira akan reaksi seseorang, membuat seseorang yang tak bersalah masuk ke dalam tahanan sementara ketika aku berusaha mencari bukti lain untuk menguatkan dugaanku. Namun, bukan berarti tebakanku selalu salah.
Akan lebih masuk akal jika Januar membicarakan hal-hal mengenai tenggelamnya Guntur, serta bagaimana mayat Loka mengapung di atas air daripada membicarakan patahnya leher Loka. Ia sendiri pasti tahu akan apa yang kumaksudkan.
Kemudian, suasana ruangan ini berubah menjadi kacau. Transisi jiwa Januar yang sebelumnya tampak polos tak bersalah berubah menjadi jiwa yang kesetanan.
Januar mengerjapkan matanya beberapa kali, napasnya yang tersendat-sendat kini terlepas bebas, seolah-olah seluruh beban hidupnya keluar begitu saja tanpa adanya proses yang mematikan. Dia menunduk, kemudian kembali mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arahku. Wajahnya berubah total. Yang sebelumnya ketakutan, kini laki-laki itu berubah menjadi orang brengsek yang tak tahu malu.
Dia tersenyum, tertawa kecil, matanya menilik tajam merasuki tubuhku. Percayalah, ketika aku melihat Januar yang ada sekarang ini, rasanya aku benar-benar seperti melihat dua orang yang berbeda.
"Kau menang. Aku lelah berpura-pura." Januar mengucapkan hal itu seolah-olah arwah lain merasuki tubuhnya.
Di samping itu, bukan hanya aku saja yang merasakan aura lain keluar dari tubuh Januar. Si anak kini tak hanya menutupi wajahnya, melainkan meringkuk, melipat lututnya seraya membenamkan kepala di antara kedua kakinya. Sambil berusaha menutupi kedua telinganya.
Aku sendiri sebenarnya sudah curiga, anak itu terlalu tenang untuk melihat segala perlakuan keji yang aku dan Luthfi lakukan. Dia tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, dan jelas dia tahu bahwa hal semacam ini—cepat atau lambat—akan segera mendatanginya. Umurnya yang masih kecil bertindak sedikit aneh, setidaknya bagiku, membuatku kembali mengingat kenangan ketika kulihat pembunuhan ibu kandungku dengan mata kepalaku sendiri. Masa-masa yang tak pernah ingin kukenang, tapi tak dapat kulepaskan dari memori otakku.
Aku sendiri tak mengerti bagaimana otakku bekerja. Di satu sisi, aku merasa bimbang untuk menentukan pelaku kasus pembunuhan anakku itu. Apakah Januar? Apakah Luthfi? Atau orang lain? Kurasa instingku terlalu kuat sehingga aku berusaha terus menerus memojokkan Januar, padahal aku bisa memaksa Luthfi untuk mengaku. Tapi, kenapa?
Untungnya, tidak berakhir terlalu buruk. Setidaknya, Januar kini mengaku atas keinginannya sendiri, membuatku yakin bahwa memang dia lah sang pelaku yang kucari selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top