3. Orion
Luthfi melemparkan tubuh Januar secara kasar, membuat bahu kiri Januar menabrak keramik putih dingin. Refleks, lelaki itu meringis kesakitan, hanya saja suaranya tetap tertahan kain yang menyumpal mulutnya. Selain itu, dia berusaha meraih bagian tubuhnya yang terbentur. Namun, tentu tidak semudah itu karena kedua tanganya tengah teringat.
Mungkin, kini dapur rumah Januar akan lebih terlihat seperti ruang penyiksaan daripada dapur.
Ketika Januar bangkit, duduk dengan bersandar pada lemari besar yang terbuat dari kayu, aku memberi pesan pada Luthfi untuk tak ikut campur terlebih dahulu. Biarpun mungkin memang benar Januar pelakunya, aku ingin memastikannya terlebih dahulu, memberikan beberapa pertanyaan yang tentu saja tak boleh dipotong oleh Luthfi.
Lelaki bertopi itu, masih dengan pembawaannya yang tenang, tak mengatakan apapun. Namun, dari gelagatnya, aku yakin dia tak merasakan adanya masalah dengan keputusanku.
Kugeledah tubuh Januar, mendapati ponsel dalam keadaan terkunci dari saku celananya. Untungnya, ponsel canggih itu dapat dibuka dengan sidik jari Januar. Lelaki itu meronta, ia berusaha mengepalkan kedua tangannya ketika tahu maksud dari tujuanku. Sayangnya, gerakanku yang lebih bebas darinya memberikan keuntungan. Dalam sekian detik, aku berhasil membuka kunci ponsel Januar tanpa perlu bersusah payah.
Begitu wallpaper hitam dengan gambar titik di tengahnya muncul, jempolku langsung kunavigasikan untuk mencari daftar kontak.
"Katakan berapa orang lagi dari kalian yang belum ditangkap," kataku. Kemudian, baru kusadari kebodohanku yang luar biasa.
Januar tak mungkin bisa menjawab, mulutnya masih dipenuhi dengan kain yang basah akibat air liurnya. Jadi, kukeluarkan benda itu dari mulutnya. Untuk sesaat, Januar terengah-engah. Matanya mengerjap beberapa kali sambil merapikan ritme napasnya.
Sambil menunggunya berbicara, kembali kutarik jempolku, menggeserkan layar untuk menampilkan nama demi nama. Ada 106 kontak, tapi aku tak mendapati nama-nama aneh yang membuatku curiga. Jadi, aku melihat-lihat riwayat obrolannya. Namun, sekali lagi, nihil.
Aku kembali menggeledah Januar, mencoba mencari ponsel kedua dan membiarkan lelaki itu mengatur napasnya di dekatku, tetapi aku tak mendapati benda yang kuinginkan. Ia tak memiliki ponsel kedua.
"Gila! Apa yang kaulakukan, Roy!?" Januar berteriak begitu ia siap, hampir membuatku tulis.
Segera kutarik diriku, berdiri di samping Luthfi yang tak melakukan apa-apa, tepat seperti yang kuminta.
"Kau ikut bergabung dengan polisi-polisi korup itu?"
"Hah?" Januar membelalakkan matanya. Ia melihatku dan Luthfi secara bergantian.
"Kau yang membunuh Loka, kan?"
Januar tidak segera membalas. Ia masih terlihat terkejut. Alisnya mengerucut hingga lebih tajam dari pensil yang baru saja diraut. Mulutnya bergumam kecil, tapi tak keluar suara.
"Kau bercanda, Roy? Mana mungkin!"
Namun, tepat di saat percakapan dua arah kami, Luthfi memotong, "Sudah kukatakan tak akan semudah itu, kan?"
Tentu, Januar tak setuju.
"Siapa dia? Kau menuduhku karenanya? Kau gila, Roy? Memangnya untuk apa aku menghilangkan nyawa anakmu itu?" bentak Januar, lebih keras dari seharusnya, seolah-olah sengaja ia lakukan karena sebelumnya seluruh kalimat yang ada di dasar mulutnya tertahan oleh sumpalan kain
Luthfi berdecih, ia hampir meludah, hanya saja tertahan karena ia tahu sedang berada di dalam tempat tertutup yang seharusnya tak dikotori. Sebagai gantinya, ia berlalu, meninggalkan aku dan Januar dalam kondisi yang tak baik, seolah-olah sengaja membiarkan dua ekor kucing untuk saling berkelahi.
Kembali kutatap Januar. Matanya masih memicing dengan alis yang tajam, seolah-olah tak percaya akan gelagatku yang tak pernah dipikirkannya. Kini, Januar sudah dapat mengatur napasnya dengan baik, tidak terdengar aneh lagi, mulutnya yang gelagapan pun telah berhenti, ia mulai berbicara sebagaimana layaknya manusia berbicara.
"Roy, apa yang sebenarnya kaulakukan?" Januar bertanya, kembali melepaskan kalimat lain yang sedari tadi tertahan di dalam mulutnya. Namun, sialnya aku tak memiliki jawaban yang tepat. Masa aku harus bilang Luthfi menuduhnya membunuh Loka tanpa memberikan bukti yang valid? Maksudku, siapapun tahu kau tak dapat menuduh orang tanpa bukti. Aku pun—sebagai orang yang berwenang dalam memimpin jalannya penyelidikan—harusnya paham benar akan hal itu, tetapi aku terlanjur gelap mata.
"Beritahu aku nomor yang mana—di antara 106 kontak ini—yang merupakan nomor saudaramu."
"Untuk apa?"
"Memastikan sesuatu," kujawab secepat mungkin, bagai kilat yang menyambar tanpa aba-aba. Sedangkan Januar, dengan tubuhnya yang masih menggeliat karena tak nyaman, hanya dapat memastikan bahwa aku benar-benar tak bercanda. Mungkin, dalam pikirannya—jika dia tak bersalah—aku terlihat seperti orang tolol yang tak tahu arah, menjadikannya sebagai korban salah tangkap.
"Kau benar-benar menuduhku membunuh anakmu itu?" Sekali lagi, Januar membuatku berpikir dua kali. Dalam satu sisi, aku tak dapat menolak deduksi yang diberikan Luthfi. Dia tak pernah salah, setidaknya selama kukenal saat ini. Beberapa kali aku beradu pendapat dengannya, memilih jalanku sendiri dan mengacuhkan pikirannya, tetapi di saat yang bersamaan—entah kenapa—dengan brengseknya sesuatu yang buruk terjadi padaku. Di sisi yang lain, Luthfi tak memberikan bukti padaku yang menguatkan deduksinya, membuatku menimbang, apa yang sebenarnya terjadi?
"Beritahu aku nomor saudaramu." Kutekankan sekali lagi, membuat Januar tak dapat berkata banyak. Ia hanya mendesah, mengembuskan napasnya dengan pelan, kemudian memberitahu nomor saudara, yang menurut pengakuannya ia kunjungi tepat di malam aku, Wijaya, dan dirinya berkumpul bersama sekadar bersenang-senang, di malam yang sama saat nyawa Loka diambil seseorang.
Aku memindai sekali lagi, menyaksikan bagaimana nama yang Januar sebutkan hampir terlewat dan luput dari penglihatanku. Kemudian, kubuka sejarah percakapan whatsapp yang Januar lakukan dengannya yang terakhir dilakukan sekitar tiga minggu lalu. Terlalu lama, tidak menunjukkan tanda-tanda Januar mengunjungi rumah saudaranya. Sebaliknya, aku hanya melihat emoticon jempol yang mengangkat ke atas.
"Malam itu kau tidak mengunjungi saudaramu, kan?" Aku mencoba memastikan setelah kuperiksa seluruh percakapan itu secara teliti. Mataku tidak salah, tanggalnya benar-benar berakhir tiga minggu yang lalu. Padahal, Loka meninggal kemarin, bukan tiga minggu lalu.
"Aku mengunjunginya. Aku berani bersumpah, Roy."
"Buktinya?"
"Kau bisa bertanya pada saudaraku itu," sarannya.
Harus kuakui, cara Januar berinteraksi denganku membuatku sedikit ragu. Ia benar-benar memperlihatkan seolah-olah dirinya tak bersalah. Atau mungkin karena benar dia tak bersalah? Tapi, aku sendiri tahu Januar bukan orang tolol yang akan dengan mudahnya mengakui kesalahan—seperti yang Luthfi bilang. Setidaknya, dia pasti sudah berinteraksi dengan banyak orang, bagaimana di antara mereka terdapat orang-orang yang mengakui perbuatannya begitu merasa terpojokkan, atau berkilah ke sana ke mari dengan alasan-alasan yang tak masuk akal. Januar mungkin termasuk salah seorang dari sedikit jenis manusia yang bisa ditemui, licik dan cerdas, menutupi kebohongannya dengan sangat baik. Tapi, jika dia sendiri bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah, apakah artinya Luthfi melakukan kesalahan untuk pertama kalinya?
Pada akhirnya, aku menyetujui rekomendasi Januar. Aku berusaha menelepon saudaranya melalui ponsel Januar. Sialannya, kutunggu beberapa lama pun panggilan tak diangkat. Tersambung, memang, tapi selalu berakhir dengan kekosongan. Mungkin dia sudah tidur?
Aku menarik napas panjang. Brengsek, memang.
"Roy, tadi kau bilang aku bergabung dengan kelompok polisi korup itu. Kenapa?"
Tatapan tajamku tampaknya tak membuat Januar melihatku sebagai monster. Sebaliknya, dia malah mempertanyakan hal itu.
"Polisi-polisi korup itu pasti ingin membalaskan dendamnya. Hanya mereka yang akan melakukannya."
Aku ingat ketika pertama kali berhadapan langsung dengan mereka, di mana nyawaku dan Loka diancam—di tempat terpisah. Luthfi membantuku keluar dari jeratan brengsek itu. Ketika pada akhirnya aku berhasil mengungkapkan tindakan-tindakan sialan mereka, membuka tabir gelap dan membuat masyarakat mengetahui bahwa di balik seragam dan sumpah kami, di antara mereka ada orang-orang sialan yang memanfaatkan situasi. Jelas, para polisi korup itu tak menyukai tindakanku, sehingga mereka mengambil nyawa Loka dengan cara yang sama, bagaimana beberapa di antara teman mereka—tiga, tepatnya—mati dengan leher yang patah dan sengaja ditenggelamkan, tepat sama seperti apa yang terjadi pada Loka.
Perlahan, bayangan bagaimana Loka mengapung di dalam bak mandi kembali menyeruak, keluar dari pikiranku. Di saat yang bersamaan, aku ingat bagaimana tak adanya pilihan yang dapat kuambil saat Fandi, Bagas, dan Guntur sengaja menjemput ajalnya, mempermainkan Luthfi ketika mereka tahu bahwa dia bukanlah orang yang sembarangan.
Kejadian-kejadian itu tak mungkin dihindari. Waktu terus berjalan. Namun, kini timbul pertanyaan: bagaimana dengan Januar? Apa memang benar dia yang membunuh Loka? Apa benar dia tergabung ke dalam kelompok polisi korup itu? Jika tidak, bagaimana?
Aku kembali merasa tolol. Ini kesekian kalinya aku bertindak tanpa berpikir matang-matang lantaran terbawa emosi. Jika penyelidikan ini kulakukan secara resmi, sudah pasti gajiku akan dipotong. Bahkan, mungkin lebih buruk, mungkin aku tak akan pernah dipercaya lagi untuk menyelidiki suatu kasus, membuatku dideportasi keluar dari bagian tim penyelidik kasus pembunuhan.
Sudah bertindak sejauh ini, mana mungkin aku hanya meminta maaf pada Januar dan kembali lagi menemuinya setelah mendapatkan bukti apakah dia bersalah atau tidak?
Jadi, kuusahakan untuk menjaga citra diri.
"Bukan. Maksudku, kenapa kau menuduhku bergabung dengan mereka?"
Aku gelagapan. Pertanyaan itu mana mungkin bisa kujawab? Jadi, aku balik bertanya.
"Kenapa aku tak bisa menuduhmu bergabung dengan mereka?"
"Roy, kau sudah gila, ya? Kau menuduhku tanpa bukti? Kau polisi penyidik, kan?"
"Ya, dan tak pernah salah untuk membuat dugaan terlebih dahulu sebelum mendapatkan bukti, kan?"
Tepat di saat kalimatku berhenti, ponsel Januar berbunyi. Sebuah panggilan masuk, menampilkan gambar seorang lelaki bertubuh tegap dengan jaket hitam berdiri membelakangi kawah tangkuban perahu. Senyumnya lebar, kacamata hitamnya dikenakan hanya untuk bergaya tanpa ada funsi lainnya. Aku ingat foto ini dimiliki oleh saudara Januar. Tentu, mana mungkin aku lupa, kan? Baru beberapa menit yang lalu kulihat, juga. Jadi, langsung kuangkat, namun, tidak kujawab dengan segera.
Begitu suara seorang lelaki menyapa dari seberang sana, kuaktifkan mode speaker, kemudian mendekatkan ponsel itu ke mulut Januar. Tentu tak begitu dekat hingga ludah-ludah yang keluar dari mulutnya nanti akan muncrat memenuhi layar ponsel.
Januar yang bingung memerlukan waktu beberapa detik sebelum menjawab panggilan itu. Namun, tetap saja pada akhirnya dia berbicara—walaupun kurasa karena sedikit terpaksa. Kutarik lengangku, mengatupkan jari telunjuk, tengah, dan manis kemudian menempelkannya di telinga, secara tak langsung memerintahkan Januar untuk berbicara.
"Gus." Januar membalas.
"Ngapain telepon malem-malem, Jan?"
Sekali lagi, Januar bingung. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia meminta panduan padaku—melalui tatapannya—bagaimana cara bertanya pada saudaranya mengenai eksistensi dirinya pada malam yang sama dengan kematian Loka datang. Namun, gelagatnya malah membuatku ragu. Benarkah dia bingung? Atau karena dia tak ingin kebohongannya—jika benar bohong—diketahui?
"Ini, istriku marah-marah Gus, katanya kenapa semalem aku nggak pulang. Ngomong-ngomong, aku dari rumahmu emang langsung ke kantor, jadi nggak sempet pulang. Tolong bantulah, Gus, jelasin ke istriku."
Orang di seberang sana malah tertawa, terdengar tanpa dosa dan rasa bersalah.
"Kirain apa!" katanya, "Mbak Wanda ada di sana?"
"Ada."
Lelaki itu membalas, "Tenang lah Mbak, wong Janu emang sama saya kok semalem. Dia nggak keluyuran ke mana-mana, kok. Kita cuma main PS."
Kuketuk pergelangan tanganku, memberikan pertanyaan tambahan yang bahkan tak perlu kuucapkan. Lantas, Januar meneruskan pertanyaanku.
"Inget jamnya nggak, Gus? Jam berapa?"
"Lah, mana inget, situ datengnya tiba-tiba sih," balasnya, dilanjut dengan suara tawa yang mencengangkan. "Tapi jam setengah sebelasan kayaknya. Kemarin lagi event game, selesai jam sepuluhan. Baru habis itu, selesai event, makan malem, terus pas mau tidur tiba-tiba situ dateng. Ya udah deh lanjut main PS. Tapi emang beneran cuma main kok, mbak. Tenang aja."
Kuberikan pesan selanjutnya, menganggukkan kepalaku sebanyak dua kali sambil sedikit menarik ponsel yang kusodorkan sebelumnya.
"Cuma itu aja kok, Gus. Udah ya."
"Siap, Pak polisi."
Sebenarnya, aku kembali mendengar lanjutan tawa lelaki di seberang sana. Namun, segera kuputuskan panggilan itu, kemudian menyakukan ponselnya. Kini, aku memiliki tiga ponsel. Ponsel utama di saku baju polo, dua ponsel lainnya ada di saku kiri dan kanan celana. Seandainya semua milikku dan beberapa di antaranya dapat kujual, mungkin sudah kulakukan.
"Dengar sendiri, kan?" Januar mendongakkan kepalanya, dagunya menendang ke depan, menekankan kalimat-kalimat yang baru saja saudaranya lakukan.
"Kau pergi sekitar pukul delapan kemarin malam. Kalaupun saudaramu itu mengatakan hal yang jujur, dua setengah jam adalah waktu yang cukup lama."
"Rumahnya di Cihampelas, Roy. Kau tahu betapa macetnya tempat itu, kan?"
"Aku tahu. Dan wilayahku dapat ditempuh kurang dari setengah jam dengan menggunakan mobil di malam hari. Kau punya waktu yang cukup untuk pergi ke rumahku, melancarkan aksimu, kemudian pergi ke rumah saudaramu. Itu tak membuktikan apa-apa."
"Ya ampun, Roy! Apa yang harus kulakukan agar kau percaya padaku?"
Jemariku menopang dagu, menutupi sebagian besar mulut yang tak berucap.
Kalau aku bisa percaya Luthfi, kenapa aku tak bisa percaya Januar? Maksudku ... memang logis, sih, jika Januar pergi ke rumahku, membunuh Loka, kemudian mengunjungi rumah saudaranya. Tapi kenapa jika aku bisa percaya pada Luthfi tanpa perlu meminta bukti yang konkret, aku tak dapat melakukan hal itu pada Januar?
Apa hanya karena Luthfi telah membantuku berkali-kali? Tapi, sialan, dia itu cerdik. Bagaimana jika selama ini dia membantuku karena dia menginginkan sesuatu? Sesuatu yang ... benar-benar sesuatu?
Bagaimana jika Luthfi mempermainkanku selama ini, membangun kepercayaan dalam diriku dan kemudian melancarkan aksinya tanpa membuatku curiga sama sekali? Semua itu bisa terjadi, tanpa terkecuali.
Saat otakku berkelut, dipenuhi asap tebal akibat berpikir terlalu keras. Luthfi tiba-tiba datang, membanting pintu dan membuat kegaduhan.
Aku tersentak, hampir melompat karena kaget. Namun, imajinasiku terlalu mengambil alih pikiran sehat. Ketika aku berpikir Luthfi akan menarik pistol yang sengaja ia selipkan di antara bagian tubuh dan pinggang celananya, ia malah menekanku.
"Brengsek kau, Roy. Kaubilang kau ingin membunuh laki-laki itu, kan? Kenapa lama sekali? Aku sudah sengaja membawanya ke dapur agar kau bisa mengambil pisau dengan mudah tanpa perlu pindah-pindah ruangan."
Aku bimbang. Sisi mana yang harus kupilih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top