23. Ending
Langit cerah berhasil mengiringi pemakaman dengan khidmat. Tak ada isak tangis yang keluar, walaupun renungan mendalam berhasil membuat siapapun mengingat segala tindakan yang pernah dilakukan.
Orang-orang yang mengiringi kepergian itu tak begitu banyak. Bahkan, bisa dibilang sangat sedikit. Bahkan, bisa disebutkan satu persatu: Komisaris Yudha, Riska, Yulda dan Ganira, dan tentu saja Wijaya serta istrinya. Mereka tak saling bertegur sapa, tetapi mereka semua tahu alasan satu sama lain berada di tempat ini.
Sebuah penanda makam dengan nama Roy menjadi pengingat bagi mereka semua bahwa orang itu pernah ada dan hidup di dunia ini.
===
Satu bulan semenjak kematian itu, Wijaya masih menjalani hari seperti biasanya. Bukan seorang polisi super hebat biarpun orang-orang menilai dirinya sebagai seorang yang cemerlang, bukan pula seorang polisi brengsek yang tegabung dalam kelompok kejahatan hanya untuk memuaskan dirinya. Penyelidikan kasus demi kasus ia ketuai, termasuk dengan kasus yang dibuka kembali semenjak tujuh tahun lalu ditutup. Kasus hilangnya Yusup.
Kasus itu telah ditutup kembali dengan kesimpulan yang sedikit berbeda: Yusup bukannya kabur dari rumah, melainkan diculik dan dibunuh. Mayatnya tak pernah ditemukan, persis dengan jasad Roy yang tak pernah ditemukan. Bahkan, pemakaman yang dilakukan sebulan lalu harus dilakukan tanpa jasad.
Wijaya mengamati seisi kota, dan dia bisa tersenyum senang karena tampaknya kota Bandung tak perlu mengikuti kesedihan dirinya. Ia melihat aktivitas orang-orang seperti biasanya, tak tahu bahwa di luar sana ada seseorang yang berjuang mati-matian hanya untuk mengungkapkan kasus kejahatan. Ah, bahkan mungkin tidak hanya mati-matian, tetapi benar-benar mengorbankan nyawanya. Namun, setidaknya Wijaya bisa melihat banyak orang di luar sana yang masih bisa tertawa dengan bahagia.
Wijaya pulang, hampir tengah malam karena laporan kasus yang dibuatnya ternyata memiliki beberapa kesalahan pengetikan dan terpaksa membuatnya kembali memindai dari awal sampai akhir. Sebenarnya, hari ini merupakan hari-hari seperti biasa baginya, tak ada yang istimewa. Namun, ketika ia membuka pintu, sesosok manusia segera ia lihat. Manusia itu bertindak dengan cepat, bahkan sebelum Wijaya sempat berteriak.
"Tidak perlu berteriak dan membangunkan orang-orang, aku ada di sini bukan untuk menghajarmu, membunuhmu, atau meminta uang darimu."
"Anda siapa?"
Manusia itu berdiri, kemudian mengenakan topi yang ditentengnya. Tanpa memperkenalkan diri, manusia itu malah bertanya, "Kau mengenalku. Kita pernah bertemu."
Wijaya memerlukan beberapa waktu sampai akhirnya ia mampu menyadarinya.
"Anda adalah orang yang menembak Pak Roy pada waktu itu."
"Yang pertama, benar. Di bagian kakinya. Yang kedua, bukan aku."
"Apa yang Anda lakukan di rumah saya?"
"Aku yakin kau sudah mendengar rekaman yang kukirimkan."
Wijaya terbelalak. "Jadi Anda yang mengirimkan rekaman itu?"
Rekaman yang manusia itu maksudkan adalah rekaman percakapan antara Roy dan Pak Jajang, bentuk pengakuan Pak Jajang yang menyusun rencana pembunuhan anaknya sendiri, juga teriakan-teriakan Roy yang menyatakan bahwa Yusup telah mati dan itu semua adalah salahnya—salah satu alasan mengapa kasus Yusup ditutup dengan simpulan kematian Yusup. Namun, rekaman itu dikirimkan oleh orang tak dikenal, begitu saja diberikan pada Wijaya. Sebenarnya, Wijaya bisa saja menghiraukan rekaman itu, mengingat segala bentuk barang digital dapat dimanipulasi oleh siapapun. Namun, ia sudah kenal lama dengan Roy, apalagi sebagai rekan kerja, dan dia bisa memastikan bahwa suara di rekaman itu—biarpun terdistorsi dan terdengar berbeda dari suara sebenarnya—adalah suara Roy. Ditambah dengan menghilangnya Roy di saat yang bersamaan, Wijaya tak memiliki pilihan lain selain menganggap bahwa rekaman itu bukanlah rekayasa.
Namun, tetap saja, selama ini dia tak pernah tahu siapa pengirimnya, setidaknya sampai manusia di hadapannya ini mengaku.
"Kau bisa memanggilku Luis."
"Tapi itu tetap tak menjawab pertanyaan kenapa Anda harus datang ke rumahku dan masuk secara sembarangan. Apa istriku tak ada di rumah? Lalu, bagaimana kau bisa mendapatkan rekamannya?"
"Dia sedang tidur, tenang saja," balasnya. "Dan anggap saja rekaman itu aku dapatkan karena bekerja sama dengan Roy untuk mengungkapkan kasus Yusup dan juga memberikan pelajaran pada ayahnya untuk tidak bertindak semena-mena."
"Memberikan pelajaran?"
"Sebenarnya, ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke sini."
Wijaya menelan ludah, tetapi tak sampai berbunyi keras.
"Kau tahu alasan Roy menghindar darimu di akhir-akhir penyelidikan kasus?"
"Bagaimana Anda tahu itu?"
"Roy sendiri yang menceritakannya," Luis menjawab. "Dia melakukannya karena tak ingin kau terlibat. Dia tahu kapasitas orang-orang PK, dan dia tahu Yusup sudah tidak ada. Pada akhirnya, aku dan Roy bekerja sama untuk memberikan pelajaran pada Pak Jajang, bahwa semua ini terjadi karena ulahnya."
"Tapi rencana pembunuhan Yusup tidak seperti itu ... seharusnya kan ...."
"Tabrak lari, aku tahu. Tapi memangnya kau tidak pernah berpikir bahwa mereka memiliki rencana lain?"
Wijaya tak bereaksi. Ia tahu Luis benar, bisa saja mereka memiliki rencana cadangan tetapi Roy dan Wijaya tak menemukannya.
"Orang-orang PK hanya mempermainkanmu, berpura-pura bahwa mereka tak tahu menahu dengan kasus itu. Dan aku rasa mereka sukses melakukannya, membuatmu berkelahi dengan Roy di saat-saat terakhir."
Wijaya menghela napas. Kalimat-kalimat Luis membuatnya kembali mengingat saat-saat terakhir ia bertemu dengan Roy—saat yang tidak baik.
"Aku dan Roy sengaja menjebak Pak Jajang. Roy menawarkan diri untuk menjadi umpan. Rencana kami hanya berhenti sampai mendapatkan pengakuan Pak Jajang, tapi kami tak pernah menyangka bahwa Roy benar-benar akan ditembak, dan lebih parahnya lagi dibuang ke sungai. Aku mengikuti mobil mereka dari belakang. Aku melihat semuanya. Aku melihat tubuh Roy yang terpelanting dari dalam mobil. Aku berusaha menyelamatkannya, tetapi aku tak dapat menemukannya. Itu semua di luar dugaan, percayalah."
"Jadi, kenapa Anda ke sini, Pak Luis?"
"Sebelum melakukan itu semua, Roy menitipkan satu pesan padaku. Jika ada hal buruk yang terjadi padanya saat itu—dan ternyata benar-benar terjadi—dia hanya ingin kau tahu bahwa dia tak suka bagaimana kau bisa dengan mudah memercayai orang-orang PK dan menganggap semua kalimat yang keluar dari mulutnya masih memiliki peluang untuk dipercayai." Luis menelan ludah, sekadar melumas kembali tenggorokannya yang kering. "Tapi, bagaimanapun juga, kau adalah rekan kerja terbaik untuknya. Satu kesalahan kecil tak membuatnya lupa akan seluruh kerja sama yang pernah dia lakukan bersamamu. Maaf aku baru datang setelah satu bulan berlalu, tetapi aku hanya ingin memastikan bahwa kau sudah hampir melupakan kasus Yusup sebelum aku menemuimu."
Luis menarik napas.
"Yang ingin dia katakan adalah, 'kau dan Roy akan selalu menjadi yang terbaik'. Itu pesannya."
Wijaya mematung, tak memberikan komentar apa-apa. Dia hanya bisa melongo layaknya orang bodoh ketika Luis pergi berjalan, melaluinya, dan segera keluar dari rumahnya sambil memberikan pesan lain untuk Wijaya, mengatakan bahwa Wijaya tak perlu khawatir karena ia tak akan pernah bertemu lagi dengannya.
===
Apakah kenyataannya seperti itu?
Ketika pertanyaan itu mencuat, mungkin ada dua opsi yang bisa kau pilih: Itu tidak benar atau itu seratus persen benar. Namun, bagaimana jika sebagian dari pernyataan itu benar dan sebagiannya lagi tidak benar?
Yusup masih hidup, kalian tahu itu. Jadi, itu adalah salah satu kebohongan yang Luis ungkapkan secara terang-terangan. Tapi, tentu saja kalian tahu dia berbohong karena kalian mengetahui kenyataannya, kan? Wijaya tidak, jadi dia tak akan pernah tahu apakah itu adalah kebohongan atau tidak. Wijaya hanya membuat sebuah aksioma: Yusup telah mati.
Lalu, bagaimana dengan cerita yang lainnya? Memangnya kalian tahu kenyataannya? Memangnya kalian melihat sudut pandang yang lain?
Luis—atau yang kalian kenal dengan si sialan Luthfi—tak pernah menyusun rencana dengan Roy. Maksudnya, gila, memangnya bagaimana caranya ia membuat rencana yang melibatkan emosional kompleks manusia? Pak Jajang mendatangi rumah Roy seorang diri, menodongkan pistol padanya seorang diri, dan itu semua tidak terencana. Jadi, sekarang kalian tahu Luthfi memberikan satu kebohongan yang lain lagi.
Atau mungkin sebaiknya seluruh kejadian diceritakan saja, ya?
Luthfi mendengar ancaman yang Pak Jajang berikan pada Roy, dan dia berusaha secepat kilat menuju rumah Roy, mengendarai mobil di tengah malam sambil meminta bantuan Yusup memonitor percakapan mereka. Sayangnya terlambat. Ia bisa mendengar dari alat penyadap—atau malware penyadap—yang ia tanamkan pada ponsel Roy jika mereka telah mengendarai mobil.
Tentu, bukan berarti semuanya berakhir. Luthfi mencari tahu ke mana sekiranya Roy akan pergi. Ada banyak kemungkinan tempat ia menuju, tetapi ada satu hal yang mengganjal pikirannya: Kenapa Roy malah mempersilakan Pak Jajang untuk duduk? Tentu, karena Roy menunggu kedatangan Luthfi, dan itu disadarinya. Namun, merasa tak akan dikunjungi, akhirnya Luthfi tahu bahwa Roy lah yang akan menuju ke sana, membuat Luthfi sengaja memutar arah, kembali menuju rumah bobrok yang dibangun di atas bunker.
Menit demi menit berlalu, sampai Luthfi yakin benar bahwa Roy malah melewati bunker dan bukannya menepi. Jalanan yang sepi, tak pernah ada mobil yang melintas di malam hari, membuatnya yakin bahwa itu adalah mobil—walaupun bukan mobil Roy—yang ia kendarai. Luthfi tak ambil pusing. Ia mencoba menyusulnya, dan kabut tebal berhasil menutupi jejak penguntitannya walaupun dengan begitu, ia harus bersusah payah pula mengejar mereka dalam kegelapan yang tak dapat dengan mudah ditembus oleh sinar.
Lihat, kan? Bagaimana mungkin cerita semacam itu bisa direncanakan dengan mudah? Orang sepintar apapun tak bisa memprediksi banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi dalam waktu yang cepat.
Namun, bukan berarti Luthfi tak melihat bongkahan tubuh yang keluar dari mobil. Ia melihat Roy yang jatuh, tercebur, dan tidak berdaya. Semua itu terlihat dengan jelas—walaupun kabut tebal menutupi jalanan—di depan matanya. Ia terus berkendara, perlahan, sedangkan di saat yang bersamaan Luthfi kehilangan mobil yang ada di depannya.
Namun, apakah itu berarti Luthfi menyaksikan pembuangan mayat di depan wajahnya? Kata siapa?
Sepulang dari rumah Wijaya, Luthfi kembali memasuki wilayah kekuasannya. Jika sebelumnya ia selalu melihat sesosok manusia di dalam bunker, duduk di depan komputer dengan jemari yang terus menari di atas keyboard, kini ia melihat dua sosok manusia, dan tentu saja keduanya tidak asing.
Luthfi melihat sebagian kecil tubuh itu yang tersangkut di tepi sungai. Dengan bantuan senter ponselnya, ia bisa tahu bahwa Roy ada di sana, terbujur dengan lemah dan ditempa oleh derasnya air sungai. Ia berhasil menarik tubuh Roy keluar dari lubang kematiannya.
Itu adalah cerita lengkapnya. Bagaimana? Tidak sepenuhnya jujur tetapi tidak sepenuhnya bohong juga, kan?
Aku tertawa menyeringai melihatnya masuk ke dalam bunker.
"Luis? Nama samaran macam apa lagi itu Lin?"
Ah iya, aku juga lupa memberitahu. Selama ini kalian juga dibohongi, karena dia bukan Luthfi.
Laki-laki bertopi itu membalas seringaianku.
"Selamat datang di kelompok orang-orang mati, Roy."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top