22. Acid Rain II
Kejutan yang diberikan Pak Jajang seharusnya bisa membuat manusia mana pun merasa gugup, mengeluarkan keringat dingin tetapi tetap tak mendapatkan kesemaptan untuk menyekanya karena otak berhasil memanipulasi pikiran untuk tubuh tetap terdiam. Namun, reaksi yang pantas dilakukan manusia itu tak kunjung meresapi tubuhku. Aku kaget, kebingungan, tetapi hanya itu, tidak sampai merasa terancam hingga harus berteriak untuk mengekspresikan perasaanku. Aku menduga semua itu terjadi karena Luthfi—siapapun nama sebenarnya—yang terus memberikan tekanan untukku, mengambil jiwaku sebagai manusia dan membuangnya sejauh mungkin.
Aku bersikap tenang, bahkan lebih dari seharusnya. Padahal, sebelumnya aku sedang marah-marah. Sepertinya aku tahu bahwa marah dalam situasi seperti ini tak akan membantuku.
Pak Jajang tidak meminta izin untuk masuk ke dalam rumahku, pun aku tak menawarinya untuk masuk, tetapi secara perlahan ia mengangkat kedua kakinya secara bergantian. Langkahnya berhasil memaksaku untuk mundur lebih jauh karena tak ingin moncong pistol—peredam lebih tepatnya—terus menusuk perutku, dan aku tak merasa memiliki kecepatan yang cukup hingga dapat merebut pistol itu begitu saja darinya. Pak Jajang sudah tua, gerakannya mungkin lamban, tetapi jari telunjuknya sudah siap siaga menarik pelatuk, bukannya diletakkan pada gagang pistol untuk menghindari marabahaya. Bahkan, satu kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan saja kurasa bisa membunuhku karena secara tak sengaja juga pelatuk itu akan tertarik. Terpeleset, misalnya.
Aku semakin mundur, dan kini Pak Jajang benar-benar berhasil masuk menghindari barikade tubuhku. Pintu rumahku segera ditutupnya, dan di saat yang bersamaan aku menggerutu dalam hati karena sama sekali tak ada di antara tetangga-tetanggaku yang melihat kejadian ini. Aku semakin membenci kehidupan individualisme, padahal aku sendiri termasuk salah satu penganutnya.
"Di mana kau menyembunyikan Yusup?"
Aku sudah menduga pertanyaan yang akan keluar dari mulutnya, tetapi aku memang tidak memiliki niat untuk menjawab pertanyaannya. Setidaknya, jika dia memang yakin Yusup masih hidup, seharusnya dia juga yakin bahwa aku adalah satu-satunya orang yang tahu di mana Yusup berada. Sehingga, setidaknya aku bisa tenang sedikit karena ia tak akan menembakku begitu saja. Peluangnya menjadi lebih kecil.
Aku mengangkat kedua tangan, memberikan tanda padanya bahwa aku tak berbahaya, dan sekali lagi aku mundur. Kini, Pak Jajang tidak mengikuti gerakanku. Moncong pistol dan perutku terpaut cukup jauh sekarang ini.
"Kenapa Anda yakin saya menyembunyikan Yusup, Pak?"
Itu bukan pertanyaan yang cerdas, sangat mudah disiasati dengan balasan 'itu tidak penting' atau semacamnya, tetapi tak ada salahnya mencoba, kan?
Pak Jajang dengan tak ragu menjawab, "Itu tidak penting."
Dan sekarang aku merasa mencoba menanyakan pertanyaan itu adalah sebuah kesalahan, karena Pak Jajang, sekali lagi, memperpendek jarak antara kami.
"Kalau begitu, bisakah kita membicarakan ini baik-baik?" Aku bertanya, berusaha menahan nada bicaraku agar tak terlalu tinggi, membuat emosinya memuncak, dan aku menunggu jawaban darinya dengan penuh harap dan cemas.
Pak Jajang melekatkan tatapannya tajam-tajam ke arahku, alisnya menukik tajam dan menunjukkan rasa ketaksukannya padaku, entah karena apa. Namun, hal itu tak membuatnya mempercepat pengambilan keputusan. Aku sudah mengangkat kedua lenganku beberapa lama, bahkan sampai kedua punggungku pegal. Aku ingin menurunkannya, tetapi aku tahu situasinya sedang tidak baik.
"Membicarakan baik-baik bagaimana?"
Aku bersyukur.
"Kita berdua bisa duduk, kemudian saya akan menceritakan seluruh hal yang saya ketahui mengenai Yusup. Bagaimana?"
Pak Jajang tak serta merta menerima tawaranku. Tatapannya itu masih belum dilepaskan, tetapi kini ditemani oleh otaknya yang berpikir—aku bisa melihat itu dari bola matanya. Dan sekali lagi, aku kembali menaruh harap dengan penuh kecemasan.
Pak Jajang mengangguk perlahan seraya berkata, "Oke." Dia segera berjalan menghampiri sofa, kemudian duduk, tetapi tak kunjung menurunkan todongan pistol itu padaku. Aku yang tetap tenang mengikuti rencanaku, yang sekali lagi kuakhiri dengan rasa syukur karena ia menerima tawaranku.
Sekarang adalah bagian tersulitnya: bagaimana caraku mengulur waktu sampai dua jam atau lebih—jika seandainya mereka sedang ada di dalam bunker sialan yang jauh itu—hingga Luthfi datang ke rumahku? Itu pun jika dia memperhatikan situasi yang sedang terjadi padaku melalui alat penyadap yang dipasangnya.
Jika tidak? Mungkin aku memang sudah dalam keadaan mampus seperti kucing Schrodinger.
===
"Semuanya omong kosong! Yusup pasti masih hidup, kan!?" Pak Jajang berdiri dengan cepat, dan sekarang tak ragu menodongkan pistol itu ke arah kepalaku.
Sekali lagi, sebagai seorang manusia, seharusnya aku terkejut, terperangah, atau mungkin akan lebih wajar lagi jika aku menarik diri, menjauh dari pistol itu. Tapi semuanya tak kulakukan. Aku rasa seharusnya aku takut, cemas, mencoba berteriak minta tolong karena ada orang gila yang masuk seenaknya ke dalam rumahku dan mengintimidasiku—untuk kesekian kali, tetapi saraf motorikku tak bekerja dengan baik, bagaikan mati rasa.
Aku hanya membalas lemparan pandangan Pak Jajang, mengadahkan kepala tanpa memberikan ekspresi yang semestinya. Sekarang, aku mulai berpikir: Apa aku tidak takut mati? Tapi kenapa? Apa karena aku sudah tidak bergairah untuk hidup? Maksudku ... apa tujuanku untuk mempertahankan diri? Aku tidak memiliki keluarga, seorangpun. Jika mereka bisa pergi meninggalkanku, kenapa aku tak boleh menyusul mereka?
Karierku sebagai seorang polisi tidak begitu buruk, pun tidak begitu baik, cenderung monoton. Aku pikir, ketika pertama kali masuk ke dalam akademi kepolisian, aku bisa memberantas kejahatan, dipandang sebagai seorang lelaki hebat yang mencoba mengamankan kota ini dari kejahatan. Tapi? Tak jarang aku harus menelan ludah dari mereka karena ... ya, karena itu memang tugasku—memberantas kejahatan. Tak ada rasa terima kasih yang keluar dari mulut mereka. Sebaliknya, ketika aku mengungkapkan keberadaan orang-orang PK, mereka menghujat para penegak hukum habis-habisan, melihat kami sebagai orang rendahan yang mengkhianati negara ini. Bodoh, mereka tidak tahu ya bahwa aku, yang mengungkapkan keberadaan orang-orang PK itu, juga seorang polisi?
Jadi, kenapa aku harus mempertahankannya?
Semua pemikiran itu bergumul menjadi satu. Apakah ini akhirnya? Apalagi dengan sialannya, tadi siang, aku malah berkelahi dengan Wijaya.
Pak Jajang berteriak, "Aku ingin kau memberitahu di mana anakku berada!"
"Oke, oke, tapi tenang, oke?" Kembali kuacungkan kedua lenganku. "Saya akan membawa Bapak ke suatu tempat, tapi saya tak bilang Yusup masih hidup, jadi jangan berharap terlalu lebih, oke?"
Kenapa aku masih bisa membohongi diriku sendiri, mengatakan bahwa Yusup 'mungkin' sudah meninggalkan dunia ini, padahal aku tahu dengan jelas raganya masih bisa bergerak ke sana dan ke mari? Aku tidak tahu, semuanya keluar begitu saja tanpa kupikirkan.
Apakah karena aku ingin melindungi Yusup dari ayahnya? Tapi kenapa?
Aku tak sempat berpikir lebih jauh, Pak Jajang terlanjur merenggut kerah bajuku, menariknya dan sengaja menempatkanku, berdiri di hadapannya. Aku bisa merasakan moncong peredam menyentuh pinggulku. Selain itu, walaupun aku tak berbalik, melihat raut wajahnya, aku bisa tahu dengan jelas bahwa dia tak akan menurunkan tingkat pengawasannya terhadapku. Sialan, aku tak menemukan celah untuk melawannya.
Pak Jajang mendorongku, dan aku terpaksa menginterupsinya karena kunci mobilku memang telah kuletakkan di atas meja kamarku. Namun, laki-laki itu terus memaksaku berjalan sambil melemparkan kunci mobilnya. Tentu saja, aku yang tidak melihat gelagatnya malah membuat kunci itu terjatuh di hadapanku. Aku berjongkok, meraihnya, dan Pak Jajang benar-benar tak melepaskanku dari pengawasannya barang sedetikpun.
Sialan. Di saat tak kubutuhkan, Luthfi selalu muncul. Sekarang, dia di mana!?
===
Dua jam telah kutempuh. Mungkin tiga jam, aku tidak tahu, dan aku tak memiliki kesempatan untuk melihat jam.
Pak Jajang masih menodongkan pistol ke arahku, walaupun sekarang tidak sampai menyentuh bagian-bagian tubuhku. Namun, lelaki itu benar-benar tak pernah melepaskan pandangannya dariku. Sesekali aku menengok ke arahnya, mencari celah dalam berkendara, tetapi tak sekalipun kulihat dia ikut terpana melihat jalanan yang gelap gulita—kami sudah berada di luar kawasan kota. Walaupun begitu, aku mencoba untuk berkonsentrasi, melihat jalanan yang panjang tanpa adanya satu pun kendaraan yang berpapasan.
Padahal, aku bisa menabrakkan mobil ini ke arah pohon—mungkin juga tiang listrik atau lampu jika memang ada, tetapi aku tak memiliki jaminan Pak Jajang akan selamat. Atau tak selamat?
Kemampuan navigasiku memang tidak terlalu bagus, tetapi jalan satu-satunya yang bisa dilalui, menuju ke arah bunker tempat di mana Yusup bersembunyi, tak memerlukan kemampuan khusus dalam bernavigasi. Aku yakin beberapa menit lagi akan sampai, dan aku tidak tahu bagaimana reaksi anak itu—jika memang ada di sana—melihat ayahnya yang paling tak ingin dilihatnya. Apakah dia akan terkejut dan menghindar? Atau dia akan meraihnya, berlari ke arahnya dan memeluknya karena ternyata Yusup sudah memaafkan ayahnya semudah sang anak yang memaafkan ayah dan ibu tirinya dalam adegan-adegan sinetron? Aku tidak tahu. Jelas, aku tidak tahu, karena aku bukan cenayang.
"Pak Jajang," kataku, memecah keheningan yang terjadi semenjak ... kami berkendara. Ya, dua jam tanpa sepatah katapun keluar dari mulut kami masing-masing jelas membuatku bosan. Tapi entah kenapa, aku tetap tak menemukan hasrat untuk memulai pembicaraan, setidaknya hingga sekarang ini.
Pak Jajang yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dariku tak perlu mengeluarkan tenaga yang banyak untuk menengok ke arahku. Dia hanya berdeham pelan, dan nadanya benar-benar tidak bersahabat.
"Apa Bapak sudah gila dengan membuat rencana pembunuhan anak bapak sendiri?"
"Apa maksudmu?"
"Anda terlibat dalam pembuatan rencana pembunuhan anak Bapak sendiri, kan?"
Aku menengok sesaat. Guratan wajah yang tampak serius, dengan alis menukik tajam, yang biasanya menghiasi wajah Pak Jajang sekarang ini berubah menjadi rasa penasaran. Aku bisa melihatnya yang tak main-main.
"Tunggu dulu ... jadi Anda tidak tahu?" Aku memastikan, dan Pak Jajang masih belum melepaskan wajah penasarannya itu.
"Tidak tahu apa?"
"Apa Anda terlibat dalam rencana pembunuhan untuk seseorang sekitar tujuh tahun lalu?"
"Apa hubungannya?"
"Anda ingin bertemu dengan Yusup atau tidak?"
"Seharusnya kau tahu jika saat ini, posisimu sedang tidak aman."
"Lalu? Anda membunuhku pun tak akan ada yang menangisiku, Pak. Anda membutuhkan saya, bukan saya yang memohon-mohon pada Anda untuk tak membunuh saya."
"Kalau begitu kenapa kau membantuku?"
"Memangnya dengan saya menyetir, berarti saya membantu Anda? Memangnya Anda tahu sekarang saya ingin membawa Anda ke mana?"
"Sialan!" Pak Jajang menyodorkan lengannya, dan sekarang sentuhan moncong peredam itu kembali terasa pada pinggulku.
"Silakan saja."
Pak Jajang komat-kamit. Aku yakin, dia memberikan berbagai sumpah serapah yang sengaja ditujukannya untukku. Tapi, bukan berarti hal itu berhasil membuatnya menarik pelatuk, melukaiku, dan kemudian pergi meninggalkanku. Sebaliknya, dia hanya bisa mengekspresikan emosinya dalam kata-kata tanpa tindakan.
"Jadi, apa Anda masih ingin bertemu dengan Yusup?"
Pak Jajang tidak menjawab.
"Apa Anda terlibat dalam rencana pembunuhan untuk seseorang sekitar tujuh tahun lalu?" Aku mengulangi pertanyaannya, sama persis, dan Pak Jajang memerlukan beberapa waktu untuk berpikir.
"Iya, aku terlibat," katanya, sedikit terbata, berusaha untuk menahan diri. Namun, semua terlanjur keluar. Dia mengakuinya.
"Anda tahu siapa targetnya?"
"Seorang peretas yang ingin mengungkapkan organisasi kami. Si brengsek, memangnya apa hubungannya dengan anakku?"
"Anda tahu siapa peretas itu?" Aku memberikan penekanan pada kata 'peretas', sekadar memberikan petunjuk untuknya, dan itu berhasil.
Pak Jajang berpikir dengan keras, aku bisa melihatnya dengan jelas walaupun hanya seketika, ketika aku mencuri pandang sebelum netraku kembali fokus pada jalanan.
Mulutnya terbata-bata, matanya mengerjap dengan cepat.
Pak Jajang sudah tahu jawabannya.
"Tidak mungkin," kilahnya. Aku rasa dia ingin menghalau pemikirannya yang paling buruk, berpikir bahwa Yusup adalah peretas yang dimaksud. Sayangnya, memang benar begitu.
"Mungkin."
"Kau berbohong, sialan!"
"Anda tahu saya tidak berbohong, Pak. Jika Anda berpikir saya berbohong, Anda pasti tak akan membiarkan saya menyetir karena Anda tak tahu ke mana saya membawa Anda. Anda memercayai saya, dan Anda tak dapat menerima kenyataan itu."
Rumah itu sudah kulewati, rumah dengan bunker tempat Yusup bersembunyi, tetapi aku tak menghentikan mobil ini. Pedal gas terus kuinjak, melewati malam yang dipenuhi oleh kabut tebal. Jarak pandangku—kurasa—tak lebih dari lima belas meter, padahal lampu jauh telah kunyalakan. Air sungai di samping kanan mengalir dengan deras, dan aku mulai khawatir karena tak pernah menempuh perjalanan lebih jauh dari tempat ini. Bagaimana jika di depan sana ternyata hanya ada jembatan rusak yang membuat buntu jalanan dan Pak Jajang mulai mengambil alih kemudi dan memintaku untuk kembali ke kota Bandung?
Aku terus mencoba untuk bersikap tenang.
"Jadi, Anda benar-benar tak tahu jika peretas itu anak Anda, ya Pak?"
"Brengsek!"
"Anda tahu saya pernah punya seorang anak, kan? Walaupun anak angkat, bukan anak kandung," kataku, dan Pak Jajang tak merespon walaupun todongan pistolnya mulai mengendor. Ia menarik lengannya secara perlahan. "Ketika saya tahu seseorang mengambil nyawanya, tak akan saya pungkiri jika saya benar-benar marah. Beberapa kali saya sempat berpikir untuk mengambil nyawanya dengan tangan saya sendiri, tetapi pada akhirnya saya mengurungkan hal itu."
Aku bisa mendengar suara napas Pak jajang yang mendengarkan ceritaku.
"Perasaan itu masih menyelimuti diri saya, tetapi saya yakin, bahwa saya tidak dilahirkan untuk menjadi seperti. Saya selalu marah ketika mendengar namanya, ketika seseorang masih bisa menaruh rasa percaya pada dirinya, dan saya tak akan menutup-nutupi hal itu."
Jalanan semakin gelap gulita. Kabut semakin tebal, dan aku bisa mendengar air sungai yang mengalir semakin deras.
"Saya menemui keluarga si pembunuh. Bayangkan betapa seharusnya saya membenci mereka, kan? Tapi hal itu tidak terlintas dalam benak saya. Saya tak membenci mereka, berpikir bahwa mereka adalah keluarga dari seorang pembunuh. Karena apa? Karena saya tahu saya bukanlah orang seperti itu."
Aku menengok sekilas, Pak Jajang masih mendengarkan ceritaku.
"Ketika saya berpikir bahwa dunia ini tidak adil, bagaimana seseorang merebut harta berharga dari diriku, ternyata saya menemukan sebuah keadilan di dunia ini. Seseorang yang mendapatkan balasan karena dia adalah seorang munafik brengsek yang bersembunyi dalam topeng kebaikan."
Aku menarik napas, dan untuk pertama kalinya, semenjak aku memulai paragraf-paragraf panjang, Pak jajang berbicara.
"Hentikan, sialan!" pintanya. Namun, aku tak berhenti.
"Saya pikir Anda adalah seorang ayah yang tak punya hati dengan membuat rencana pembunuhan pada anaknya sendiri."
"Aku bilang hentikan."
"Ternyata saya salah. Bahkan, lebih buruk. Anda tidak tahu bahwa Anda membuat rencana pembunuhan untuk anak Anda sendiri."
"Sialan!"
"Anak Anda mati gara-gara Anda sendiri."
"Hentikan, brengsek!"
"Bagaimana perasaannya, Pak? Apa Anda merasa bersalah? Dari cara Anda berusaha sekeras mungkin mencari anak Anda, Anda pasti benar-benar mencintainya, Ya? Berbeda dengan Januar brengsek yang tidak peduli dengan keluarganya. Setidaknya Anda lebih baik."
"Roy, aku benar-benar akan menarik pelatuknya."
"Anda bisa mendapatkan sertifikat sebagai ayah terburuk."
"Roy ...."
"Seorang ayah yang ...." Itu kalimat terakhir yang tak sempat kuselesaikan. Secara tiba-tiba perutku terasa panas, bagaikan tersengat listrik pada satu titik dan berhasil membuatku meringis kesakitan.
Aku pernah ditembak sebelumnya, dan aku tahu jelas bagaimana rasanya. Sekarang, hal yang sama kembali terulang. Aku bisa merasakannya, dan sama persis. Secara spontan, aku meraba bagian perutku, dan darah merah merembes keluar.
Pak Jajang melepaskan tembakan.
Keringat dingin menjalar dengan cepat, keluar dari pori-pori tubuhku. Aku mencoba kembali berkonsentrasi pada jalanan, tetapi mataku kabur dengan cepat. Kedua kakiku tak dapat membedakan pedal gas dan rem, membuatku tak bisa menghentikan laju kendaraan ini. Pikiranku masih terlalu fokus pada derasnya darah yang merembes keluar dari pakaianku.
Pak Jajang berteriak-teriak, tetapi tidak seperti sebelumnya. Dia terdengar panik, mengucapkan kata 'tidak' yang banyak sekali hingga tak dapat kuhitung dengan jari.
Pikiranku kabur, beriringan dengan pandanganku yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Dan dalam setengah sadar, aku tahu Pak Jajang membuka kunci pintu pengemudi dan dia mendorongku keluar dari mobil.
Aku melawan, tetapi rasa nyeri pada perutku berhasil merobohkan pertahanan. Aku berteriak, keras, sesaat sebelum tergelincir dari mobil yang melaju. Aku berguling, sampai akhirnya mencicipi permukaan air sungai dan membuat tubuhku basah kuyup.
Seharusnya aku bisa melawan, tetapi tidak bisa. Rasa sakit ini tidak main-main. Walaupun aku rasa Pak Jajang tidak menembakku pada bagian vital, tetapi tubuhku semakin melemas.
Aku meringis, di dalam air, membiarkan derasnya air sungai membawaku.
Aku berpikir dalam kaburnya pemikiran.
Apakah ini akhirnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top