20. Through it All II
Aku naik ke atas, keluar dari bunker remang-remang, membuat rasa takutku akan kegelapan—yang padahal sebelumnya tak pernah kumiliki—muncul secara tiba-tiba—agak berlebihan, sih.
Gontaian kakiku membawa tubuh kembali ke rumah tak layak huni. Dan sesuai janjinya, penampakan Luthfi segera muncul di hadapanku begitu kepala yang sebelumnya kutundukkan karena atap rendah mencuat ke permukaan lantai. Lelaki itu duduk di sofa yang telah sobek di mana-mana, tapi tak dapat kulihat benda-benda asing yang bisa menghibur dirinya di kala menunggu kedatanganku. Apa yang Luthfi lakukan selagi menungguku?
Aku berlalu melewati dirinya, menjadi manusia tak sopan yang tak ingin bertegur sapa padahal saling mengenal. Tapi Luthfi menahan punggungku, walaupun tidak sampai menariknya. Sontak, tarikan lengannya berhasil membuat langkahku terhenti. Aku hampir terjatuh, tetapi besarnya gaya yang menahan tubuhku itu masih bisa kuantisipasi.
Dia bilang dia akan mengantarkanku, yang jelas membuatku bingung karena toh mobil yang sebelumnya dibawanya juga adalah mobilku. Jika aku tersesat, aku bisa menggunakan google maps, tidak harus benar-benar sampai diantarnya. Namun, ketika dia bilang dia memarkirkan mobilnya di suatu tempat di Bandung, walaupun tidak begitu dekat dengan alamat rumahku, akhirnya aku menyetujui permintaannya. Jadi, sekali lagi kami berkendara melalui jalanan yang sama, hanya saja dengan arah yang berbeda. Yang pasti, aku akan dimarahi atasan karena mangkir dari jam kerja walaupun hanya awal-awal.
"Jadi ...." Aku bergumam di sela-sela perjalanan. Kalimat pertamaku di petualangan kedua kami berhasil membuat Luthfi memalingkan kepalanya. "Kau memiliki niat untuk memberitahuku namamu yang sebenarnya?"
Laki-laki itu tertawa keras, suara beratnya menggema dan menggetarkan dinding-dinding mobil.
"Yusup yang memberitahumu?"
Aku tak memberikan tanggapan.
"Sampai saat ini panggil saja Luthfi."
"Ada alasan mengapa kau memilih nama orang dari berkas kasus yang kau inginkan?"
"Aku adalah tipe orang yang ingin menjaga privasiku, Roy," katanya, sembari memutar setir ke arah kanan, menyelinap di antara kedua mobil yang memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. "Tapi untuk menjawab penasaranmu, anggap saja aku dan dia pernah bekerja sama."
"Apa pekerjaanmu?"
"Apa kau benar-benar harus tahu?"
"Tentu." Kuucapkan dengan tegas, tak peduli dengan seluruh rasa baik yang selalu menghargai privasi orang lain dalam diriku. Luthfi—atau siapapun dia—sedikit terperanjat. Raut wajahnya benar-benar terlihat seperti bertanya-tanya. Kemudian, dengna cepat dia meraih ponselnya, mengutak-atik tetapi tak kuketahui apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan. Dia kembali menyakukannya sambil berkata, "Berikan ponselmu."
"Untuk apa?"
"Berikan saja."
Aku tak memiliki pilihan lain. Aku segera memberikan ponselku padanya, dan lelaki itu segera mengembalikannya padaku dalam keadaan airplane.
Aku belum sempat berkomentar, lelaki bertopi itu segera bertanya, "Kau ingin tahu kenapa aku bisa datang menemuimu, seolah-olah tahu apa yang terjadi padahal tak ada di tempat dan selalu seperti itu seterusnya?"
Aku ingin tahu? Tentu saja, aku selalu ingin tahu akan hal itu! Dan si sialan ini malah baru menawarkan. Aku yang terlalu tertarik malah tak dapat memberikan tanggapan, mengungkapkan betapa besarnya rasa ingin tahuku akan kemampuan-kemampuan cenayang yang selalu Luthfi berikan. Untungnya, Luthfi tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Dia bercerita.
"Kami menyadap ponselmu."
"Sialan," gerutuku. Aku segera membongkar ponsel, berusaha mencari alat detektor seperti yang Luthfi lemparkan, tetapi lelaki itu malah menertawaiku.
"Tak akan kau temukan di mana-mana. Bahkan, kau hanya bisa menghilangkan alat penyadap itu dengan mengganti ponsel ... yang otomatis akan tersadap kembali."
"Hah?" Aku terkejut. "Apa maksudmu jika aku membeli ponsel, penyadap itu akan kembali?"
Laki-laki itu menyeringai.
"Kau tahu nomor telepon diregistrasi dengan nama dan nomor KTP pemilik, kan?"
"Maksudmu kau menyadap orang-orang berdasarkan identitas pemiliknya, dan bukannya berdasarkan perangkat?"
"Semacam itu."
Napasku tertahan, tetapi bukan karena aku yang mengendalikan, melainkan reaksi spontan yang kuberikan atas kegilaan yang Luthfi tawarkan.
"Itu benar-benar melanggar peraturan, kau menganggu privasi orang lain."
"Lalu, apa yang akan kaulakukan? Menangkapku?" Sekali lagi, lelaki itu tertawa. "Aku merasa lebih pantas ditangkap dengan tuduhan kasus pembunuhan daripada penyadapan."
Untuk hal itu, aku setuju. Tapi pembunuhan yang dilakukannya berdasar. Dan sialannya, aku—secara tak profesional—turut terbantu dengan pekerjaannya.
"Sudah berapa lama kalian melakukannya?"
"Melakukan apa?"
"Menyadap ponselku."
"Kalau hanya aku, mungkin sudah agak lama, kalau Yusup, hitung saja dari semenjak dia menghilang."
"Kau sudah melakukan ini lebih dari tujuh tahun lalu?"
"Tentu." Yusup membanting setir, motor sialan yang hampir menyerempet mobil melaju kencang bagai tak tahu permintaan maaf. Dan para brengsek itu tidak tahu bahwa mobil yang dikendarai Luthfi—atau orang yang ingin dipanggil Luthfi ini—adalah mobilku, dan yang harus membayar kerugian atas goresan—jika seandainya memang terbentuk—adalah aku.
Namun, perhatianku tak memusat ke arah sana.
"Kenapa kau mengubah mode ponselku ke dalam mode airplane?"
Luthfi masih terlalu fokus dengan jalanan. Ia tak segera menjawab pertanyaanku, tetapi ia memastikannya untuk tetap terjawab setelah beberapa saat.
"Supaya Yusup tak dapat mendengar percakapan kita."
"Memangnya kalian bisa mendengar semua percakapan orang-orang dari ponsel?"
"Aku tidak tahu teknisnya, itu bukan keahlianku." Akhirnya, Luthfi mengaku punya kelemahan, yang benar-benar tak pernah kudengar sebelumnya. "Yang jelas, kita bisa mendengar seluruh percakapan orang-orang. Sebelum Yusup datang, kami hanya bisa menyadap orang-orang ketika panggilannya aktif atau ada pesan yang dikirimkan. Yusup mengubah semua ponsel orang-orang menjadi mikrofon."
"Tunggu dulu. Jadi, sebelum Yusup, kau bekerja sama dengan orang lain?"
Luthfi mengangguk.
"Siapa?"
"Seorang teman yang mati dibunuh karena mengembangkan proyek rahasia berupa penyadapan ponsel orang-orang."
"Kau seorang ilmuwan?"
"Apa aku terlihat seperti seorang ilmuwan?"
Dari penampilan? Jelas tidak. Tapi aku tidak bisa mengetahui secara pasti isi otak manusia, yang jika kuasumsikan berdasarkan banyaknya keputusan yang pernah ia buat, cerdiknya mengambil tindakan, memanfaatkan keadaan untuk mencapai kejayaan, maka seharusnya iya.
Namun, aku menggelengkan kepala seraya berkata, "Mana ada ilmuwan seperti dirimu."
Luthfi tertawa keras. "Tentu saja."
Namun, atmosfer yang diberikan laki-laki itu benar-benar berbanding terbalik. Aku telah bekerja puluhan tahun sebagai seorang penyidik, dan walaupun mengidentifikasi emosi pelaku bukanlah keahlianku, tetapi aku bisa melihat gambaran perasaan yang Luthfi berikan. Tatapannya kosong walaupun ia sedang memperhatikan jalan. Senyumnya dipaksakan, dan seharusnya semua orang pun tahu bahwa tawa yang ia berikan sebelumnya tidaklah tulus, tetapi dipaksakan.
Si teman yang ia maksud sudah pasti memiliki pengaruh besar dalam kehidupannya. Dan si sialan itu masih belum bisa memaafkan sesuatu, apapun yang terjadi padanya. Sebuah konklusi yang sangat singkat dan tak memerlukan penelitian mendalam.
Akhirnya, aku meminta Luthfi untuk memarkirkan mobil, tidak berhenti di depan rumahku maupun di depan kantorku. Aku meminta lokasi yang sepi, setidaknya agar dia bisa keluar dengan tenang, menghindari banyaknya pasang mata yang mungkin tertuju ke arahnya—dan pastinya tidak ia sukai.
Aku membuka pintu, begitu pula dengan Luthfi. Ketika aku berjalan melewati bagian depan mobil, Luthfi hanya menunggu pada sisi pengemudi. Tak ada salam sapa, salam perpisahan, atau apapun itu yang biasa orang-orang gunakan sebagai bentuk rasa hormat dalam interaksi. Bahkan, ketika aku mulai duduk, memasang bangku pengaman, lelaki itu tak menyiagakan diri, bersiap melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Jendela mobil terbuka, padahal seingatku Luthfi tak membukanya selama mengemudi. Mungkin, dia baru membukanya. Yang pasti, Luthfi memanfaatkan hal itu untuk kembali berbincang singkat denganku—bukan salam perpisahan.
"Manusia seperti aku dan Yusup adalah manusia yang kebanyakan orang pikir sudah mati. Dan aku harap kau bisa membuatnya terus seperti itu."
Benar-benar bukan salam perpisahan, kan?
===
Aku sampai di kantor, telat hingga berjam-jam. Namun, alasan 'penyelidikan kasus Yusup' tetap tak bisa kugunakan sebagai tameng pelindungku, tentu saja karena kasus itu memang sebenarnya bukan penangananku.
Ketika aku duduk, Wijaya mengetuk pintu kantorku, dan aku mempersilakannya masuk. Anak itu membawa sebuah map cokelat, dan tampak cukup tebal jika aku lihat secara sekilas. Wijaya duduk berseberangan dengan tempatku duduk. Senyum sapanya yang ramah menghantui awal pertemuan ini, tetapi dia masih belum mengucapkan sepatah kata pun.
Wijaya mengeluarkan seluruh dokumen yang disimpannya di dalam map, tetapi tetap memilah tumpukan kertas itu, yang kuduga akan ia sodorkan padaku. Dan, tentu saja tebakanku tepat. Memangnya, apalagi? Masa hanya untuk mencari selembar dokumen saja dia harus sampai menumpang di kantorku?
Uluran tangannya menyeberangkan beberapa lembar kertas berukuran A4 itu padaku. Aku menggapainya tanpa perlu bersusah payah. Anehnya, belum ada percakapan di antara kami, tapi aku merasa tahu akan apa yang seharusnya aku perbuat—menunggunya menyerahkan sebuah dokumen.
"Apa ini?" Aku bertanya ketika kedua bola mataku memindai kertas itu dari atas hingga bawah. Walaupun begitu, aku masih belum memproses teks-teks yang ada di dalamnya.
"Saya menginvestiagi seluruh orang yang mungkin terlibat dalam rencana pembunuhan Yusup, Pak Roy," katanya, menjelaskan.
Kini, aku mulai membaca setiap halaman, hingga benar-benar akhir. Otakku menyoroti beberapa kata yang menyimpulkan bahwa masih ada kemungkinan Yusup belum mati, utamanya karena orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhannya tak berhasil melancarkan serangan itu dengan baik. Umumnya mereka berkata bahwa Yusup tak pernah muncul, yang tentu saja kumengerti dengan jelas karena sebelum waktu pembunuhan yang telah ditentukan, Luthfi sudah lebih dulu menculik anak itu.
Tapi, bagaimana caraku menjelaskannya pada Wijaya?
"Saya rasa rencana yang mereka lakukan gagal. Yang jelas, itu di luar rencana mereka."
"Apa kau yakin orang-orang yang kau tanyai ini tidak berbohong?"
"Saya menggunakan alat pendeteksi kebohongan, Pak."
"Wijaya, mereka semua polisi." Kurapikan lembaran-lembaran dokumen yang Wijaya serahkan padaku, mengetuknya sebanyak dua kali agar bagian bawah kertas-kertas ini bisa tersusun dengan sempurna. Kemudian, kembali kuletakkan tumpukan kertas itu ke atas meja. "Mereka mungkin tahu cara alat itu bekerja. Mereka bisa memanipulasinya."
Wijaya menghela napas. Ia kecewa, aku yakin akan hal itu, tapi tetap berusaha untuk menutupinya.
"Saya mengerti, Pak," katanya, kemudian kembali meraih dokumen-dokumen yang sebelumnya diserahkannya padaku. Kembali merapikannya—membuat pekerjaanku seolah sia-sia, dan memasukannya ke dalam map. Persis sebelumnya.
Wijaya kembali berdiri, juga tanpa salam perpisahan seperti yang biasanya ia lakukan. Merasa sedikit janggal, akhirnya aku bertanya padanya.
"Ada apa, Wijaya?"
Sekali lagi, ia menghela napas, walaupun masih sama seperti sebelumnya—sengaja ditahan agar tak terlalu terdengar olehku.
"Tidak, Pak. Hanya saja ... Anda adalah satu-satunya orang yang percaya Yusup masih hidup. Saya pikir saya akan mendapatkan reaksi yang sedikit berbeda."
"Aku hanya ingin kau berhati-hati dengan orang-orang PK. Mereka manipulatif, Wijaya."
"Saya mengerti, Pak."
Wijaya meninggalkan ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top