2. Pathfinder

Namanya memang jalan bebas hambatan. Namun, begitu kami memasuki kawasan industri, kendaraan-kendaraan yang menyemarakkan jalanan ini malah membuat kami terhambat, sangat kontras dengan namanya, seolah-olah jalanan ini tak memiliki lajur cepat maupun lambat—semuanya sama.

Di bagian belakang kami, sebuah Nissan Elgrand hitam hendak menyusul, membuat barisan baru di antara Agya yang tengah Luthfi kendarai dengan truk besar pengangkut pasir. Kurasa, pengemudinya terlalu tolol sampai tak sadar bahwa bodi mobil itu besarnya tidak sembarangan, sehingga malah makin menimbulkan kekacauan di lalu lintas yang padat.

Bukan hanya itu, ia membunyikan klaksonnya berkali-kali, mencoba kembali masuk ke dalam barisan yang sedari tadi tak Luthfi beri. Lelaki itu selalu menginjak pedal gas di saat yang tepat ketika sang pengemudi Nissan baru memutar setirnya ke arah kiri yang kembali dibantingnya ke kanan karena tak ada ruang yang cukup baginya. Jadi, lajur di jalan tol ini malah bertambah satu karena kebodohan si pengemudi Nissan.

Aku tak akan berbohong, aku menyukai tindakan Luthfi. Setidaknya, dia tahu bagaimana harus memperlakukan orang yang berkendara seenaknya.

Kalau aku tidak memikirkan kelakuannya yang aneh dan tak jelas, Luthfi sebenarnya mirip orang pada umumnya. Dia tidak pernah terlihat nyentrik selain topi yang selalu dikenakannya. Bahkan, ketika mengemudi pun dia sengaja mencari radio yang menyetel lagu rock klasik yang mendominasi dunia permusikan di tahun 80-an. Ah, ya, sebenarnya ini mobilku, sih, tapi aku tidak keberatan. Selain karena dia tak memberitahu rencana yang telah ia buat untuk menangkap AKP Januar sehingga aku tak dapat memaksanya duduk di belakang dan memberi navigasi, aku masih belum bisa percaya sepenuhnya atas pernyataan yang ia berikan.

Seperti yang telah kubilang berkali-kali: aku tak memiliki alasan untuk tidak memercayainya, tetapi aku juga tak memiliki bukti untuk memercayainya. Namun, jika apa yang ia katakan itu benar, aku tak berbohong jika ... aku benar-benar ingin AKP Januar kehilangan nyawanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin akibat pengatur suhu yang dinyalakan, fasilitas paling penting untuk seluruh pemilik mobil.

Tiga jam dalam perjalanan, tetapi sepatah katapun belum keluar dari mulut kami berdua. Sialnya, aku mulai tak tahan. Kemacetan ini bukan wahana yang menyenangkan, ditambah si pengemudi Nissan menyebalkan itu masih membunyikan klaksonnya—bahkan lebih keras. Beberapa pertanyaan terkait Luthfi terlintas dalam benakku, beberapa di antaranya merupakan pertanyaan konyol, jadi aku tak dapat membendungnya lebih lama lagi.

"Jadi, apa pekerjaanmu sebenarnya?"

Fokus Luthfi pada jalanan sedikit goyah. Matanya menilik tajam, melihat ke arahku. Kurasa ia berpikir jika aku telah mengganggunya, melakukan tindakan yang seharusnya tak kulakukan. Nah, dari sinilah kau akan melihat bagian yang berbeda antara Luthfi dengan orang-orang pada umumnya. Ia kelihatan seperti setan yang bersemayam dalam tubuh manusia.

Namun, biarpun begitu, aku tak ingin terintimidasi olehnya. Jadi, kulemparkan pandanganku ke arah jendela luar. Sungguh, ban besar truk bukanlah pemandangan yang menarik, tapi itu lebih baik daripada tatapan Luthfi yang mengerikan sekaligus menyebalkan.

"Kau sudah tahu," katanya, sambil terus melajukan kendaraan dengan kecepatan tak lebih dari sepuluh kilometer perjam.

Tentu, aku tidak setuju dengan Luthfi.

"Maksudku pekerjaanmu yang sebenarnya, benar-benar sebenarnya, sebelum ... anggap saja kau menjadi seorang penuntut keadilan."

Luthfi kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan, atau mungkin lebih tepatnya ke arah mobil yang berada di depan kami, karena untuk melihat jalanan dalam kemacetan seperti ini tidaklah mudah.

"Anggap saja aku terlahir seperti ini."

Sudah kuduga, Luthfi tak akan membocorkan hal-hal apapun terkait kehidupannya. Aku pikir, dengan terisolasinya kami dari dunia luar, menghindari sengatan sinar matahari, setidaknya aku bisa mengetahui asal-usul laki-laki brengsek itu—sama seperti Wijaya ketika pertama kali kita bekerja sama. Tapi, semuanya nihil, membuatku berpikir ulang dan kembali menyaring pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dijawabnya dengan serius.

"Kalau begitu, bagaimana perasaanmu ketika pertama kali ... kau tahu maksudku, kan?" Aku menimbang-nimbang, agak ragu untuk menyelesaikan kalimatku, membuat jeda beberapa detik hingga akhirnya kuputuskan untuk melanjutkannya. "Membunuh seseorang."

Namun, kicauanku tak dihiraukannya. Aku yakin, dia pasti mendengar pertanyaanku, tak mungkin lagu Deep Purple yang bahkan hampir tak terdengar oleh telingaku itu menyumbat pendengarannya. Luthfi terus bergeming, mulutnya tak bergerak sedikitpun, tetapi sebagai gantinya ia sandarkan bahu ke bantalan kursi, kemudian memutar-mutar lehernya agar tidak pegal.

Aku pikir dia akan menjawab pertanyaanku, tetapi pemikiranku itu tak sesuai dengan realita yang ada. Sebaliknya, Luthfi malah bertanya, "Memangnya kenapa?"

Aku yang dilanda rasa penasaran, juga rasa bosan akibat kemacetan ini menjawab, "Pengalaman pertama pasti lebih berkesan, bukan? Aku ingat ketika pertama kali menyelidiki kasus pembunuhan, melihat mayat dalam keadaan mengerikan membuatku sedikit mual, walaupun kini aku mulai terbiasa. Aku tak akan menanyakan hal yang sama pada orang-orang yang membunuh manusia hanya atas dasar egonya, tapi jelas kau tidak digerakkan dengan emosimu, kan? Aku tidak akan menanyakan motifmu dalam melakukannya. Aku tahu, kau orang aneh, dan lagipula kau tak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Jadi, aku hanya ingin mencari tahu hal yang lain. Bagaimana perasaanmu kali pertama melakukannya?"

Aku tak pernah membayangkan situasi ini, duduk berdua dengan seorang pembunuh berantai dengan pemikiran idealisnya tanpa baku hantam. Aku sudah sering menonton film, di mana seorang aparat kepolisian berteman baik dengan pelaku kejahatan, membuat ikatan persaudaraan hingga mendapati akhir yang tragis, di mana seorang penjahat tetaplah seorang penjahat. Namun, duduk berdua dengan Luthfi menimbulkan kesan yang berbeda dibandingkan hanya sekadar menonton film. Rasa tegang mencuat lebih tajam, lebih mengerikan, dan yang pasti lebih nyata.

Akhirnya, Luthfi menjawab, "Aku tidak menyukainya."

Pernyataan itu sungguh membuatku terkejut, berbeda dengan konsep gila yang sudah ditanamkan dalam kepala banyak orang bahwa seorang pembunuh berantai sangat menikmati aksi-aksinya, bahkan menantang pihak kepolisian untuk menangkapnya karena tak ada hal lain yang dapat menahan dirinya untuk melakukan tindakan brengsek itu—paksaan dari luar harus dilakukan.

Tentu, aku kembali bertanya dengan nada yang sedikit melonjak.

"Kalau kau tidak menyukainya kenapa kau teruskan?"

"Kau menyukai penemuan mayat pertamamu?"

"Hah?"

Aku dan Luthfi beradu tatapan, membuatku sedikit canggung.

"Tentu saja tidak. Mana mungkin aku menyukainya?" tukasku dengan cepat, membuat Luthfi mendenguskan napasnya.

"Kalau begitu kenapa kau teruskan?"

"Karena itu pekerjaanku."

Ya, tentu saja, brengsek. Aku dituntut untuk kembali melihat mayat dan mayat lagi, tanpa henti. Mungkin aku bisa pindah divisi, meninggalkan bagian pembunuhan untuk selama-lamanya, mengisi kekosongan di berbagai tempat lain yang jelas bukan bagian pembunuhan. Namun, dedikasi yang kubangun selama ini—terikat dengan bagian pembunuhan untuk kepolisian wilayah Bandung—membuatku enggan melakukannya. Aku tidak bilang aku suka melihat mayat dalam tiap kasus, tetapi aku tetap merasa nyaman untuk berada di bagian ini, utamanya karena rekan-rekan kerjaku. Bayangkan saja jika aku bergabung dengan bagian perampokan, mungkin aku sudah ikut ke dalam kelompok polisi-polisi korup itu, kan?

Namun, seolah tak puas mempermainkanku, Luthfi membalas, "Sama."

Tak ada ekspresi apapun, tak ada tambahan yang dapat melengkapi argumennya, laki-laki itu hanya kembali fokus menatap jalanan ... oh, sialan, maksudku mobil yang melaju lambat di depan kami. Selain itu, lontaran kata yang ia keluarkan merupakan tanda berhentinya percakapan kami.

Aku menghela napas, menyertai kesunyian yang menemani perjalanan kami selama beberapa jam ke depan.

===

Ketika Luthfi masuk ke dalam pekarangan rumah AKP Januar, menginjak-injak rumputnya, kemudian mengetuk pintu hingga sang istri dari AKP Januar membukakan pintu, waktu baru menunjukkan pukul delapan malam. Sekarang, dua jam telah berlalu dan Luthfi belum kembali keluar, membuatku menunggu di tengah kegerahan ini.

Keringatku bercucuran dan aku benar-benar tak menikmatinya. Biasanya, selama aku tinggal di Bandung, pasti malam akan terasa dingin.

Rumah AKP Januar terletak di dalam kompleks yang tidak begitu mewah, tanpa penjagaan ketat dengan orang-orang yang hampir tak pernah berinteraksi antar tetangga. Hampir sama seperti perumahan tempatku tinggal, hanya saja interaksi sosial di tempat ini jauh lebih sedikit dibanding tempat tinggalku—atau mungkin karena sudah malam?

Mobilku sengaja diparkirkan di tempat yang agak jauh, mungkin terpaut dua ratus atau tiga ratus meter. Yang pasti, aku masih bisa mengawasi pergerakan-pergerakan di sekitar tempat ini tanpa harus keluar dan berjinjit. Beberapa pedagang kaki lima sempat melewatiku. Penjual nasi goreng keliling, sate keliling, hingga tukang bajigur dengan lantunan-lantunan melodi identik seperti para penjual yang juga berkeliling di sekitar perumahanku. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa melakukannya, apa mungkin ada sekolah khusus bagi para pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya?

Luthfi menyuruhku untuk tak bergerak, keluar dari mobil dan berpura-pura menjadi pahlawan sampai ia menghubungiku. Jadi, aku mengikuti rencananya, tak ingin menghancurkan apapun. Selain itu, ia memberitahuku bahwa AKP Januar belum pulang, meninggalkan anak dan istrinya di rumah, persis seperti apa yang terjadi padaku dan Loka dulu, di mana Luthfi menjadikan Loka sebagai sandera—hanya sandera. Namun, tentu Luthfi tak akan memberitahukan rahasianya, bagaimana ia bisa mendapatkan informasi itu.

Sekarang, aku mengerti kenapa dia bisa masuk ke dalam rumah orang secara sembarangan. Walaupun aku tak tahu akan apa yang ia katakan—aku hanya menatapnya dari kejauhan—yang jelas istri dari AKP Januar mempersilakan Luthfi masuk tanpa rasa ragu sedikitpun. Tak ada kekerasan, tak ada kegaduhan, semuanya dilakukan dengan sangat mulus tanpa menimbulkan rasa penasaran orang lain. Jadi, apa itu maksudnya mengatakan Loka tak mungkin menerimanya sebagai tamu? Maksudku ... Loka tak mungkin jatuh ke dalam perangkap yang sama dua kali, kan?

Kuhirup oksigen yang tengah berputar-putar di sekitarku. Tarikan panjang membuat suara kecil aneh keluar dari hidungku. Batinku bertanya-tanya tanpa suara. Benar, kan, Loka?

Hampir lima belas menit berlalu, akhirnya kudapati seseorang, walaupun hanya kudapati sosok gelap kecil, berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah AKP Januar. Asumsiku mengatakan bahwa memang dia lah Januar. Jika bukan sang pemilik rumah, siapa lagi orang yang memarkirkan mobilnya di halaman rumah?

Kedua kakiku secara refleks ingin bergerak, tetapi peringatan yang diberikan oleh Luthfi membuatku sadar jika aku dapat merusak rencananya yang entah apa itu.

Aku bergumam kecil, mendesah, merasa kesal karena tahu tak dapat ikut campur dalam pesta yang sedang dilakukan oleh Luthfi. Ah, iya, walaupun aku bilang bahwa aku ingin nyawa manusia yang mengambil nyawa anakku itu menghilang, tetapi aku meminta Luthfi untuk tak melakukannya terlebih dahulu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan, dan aku berharap Luthfi dapat mengingatnya dengan baik.

Jadi ... bagaimana rasanya, ya, untuk mengambil nyawa seseorang untuk pertama kalinya? Apakah benar seperti yang dikatakan si lelaki bertopi itu? Apakah benar tidak menyenangkan?

Ketika otakku berkelut dalam banjirnya pertanyaan, notifikasi muncul pada ponsel keduaku—pesan dari Luthfi. Ia memberitahu bahwa aku sudah bisa memasuki rumah itu, membuatku sigap, keluar dari mobil dan merasakan udara panas malam Jakarta. Aku tak berbohong dengan kata panas, karena memang kenyataannya seperti itu.

Dengan berlari kecil, aku sampai hanya dalam beberapa detik, membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu dan mendapati seorang lelaki, wanita, serta anak kecil yang mungkin baru berumur sepuluh tahun dengan masing-masing tangan mereka terikat oleh cable tie dengan mulut yang disumpal oleh kain.

Sang istri terlihat ketakutan. Ketika ia melihatku datang, matanya menaruh banyak harapan. Mungkin, ia berpikir aku datang untuk menyelamatkannya, sayangnya tidak. Rambut hitamnya terurai panjang, tetapi tidak acak-acakan. Di samping itu, sang anak yang tengah membelakangiku berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Pasti, dia mendengar suara pintu yang terbuka. Ketika kepalanya diputar, dengan susah payah ia melihatku, juga tampak menaruh harapan yang sama.

Berbeda dengan yang lain, Januar lebih seperti terkejut karena tak menduga aku akan datang dibandingkan terkejut karena berpikir seorang pahlawan datang. Alisnya mengerucut, gigitan kainnya dikencangkan. Apa mungkin ia sedang mengutukku?

Aku menutup pintu, berjaga-jaga seandainya seorang pedagang mengintip melalui pintu yang terbuka, kemudian berteriak histeris sambil memanggil-manggil tetangga sekitar untuk keluar. Untungnya, sebelum kejadian itu terjadi, aku sukses melakukannya—menutup pintu rapat-rapat.

Ketika aku berjalan mendekati mereka bertiga dan Luthfi yang tengah berdiri mematung memperhatikanku, sang istri telihat sangat kecewa. Akhirnya ia tahu bahwa aku tidak datang sebagai pahlawan. Lebih buruk, aku membantu Luthfi.

Aku memperhatikan sekeliling. Rumah ini tidak terlalu besar, tetapi berlantai dua. Bagian dapur tersambung langsung setelah melewati ruang tamu dan ruang keluarga.

"Aku akan membawa mereka berdua ke lantai atas," kataku, sembari menunjuk sang istri dan sang anak yang tentu saja kecewa.

Ketika aku berusaha membawa mereka, tentu mereka memberontak. Bahkan, sang istri lebih parah. Berkali-kali ia mainkan bahunya, berusaha menghindari cengkeramanku. Tak hanya itu, ia sengaja membenturkan kepalanya ke lenganku, berharap agar aku menjauhkan tangan-tanganku kotor dari bajunya.

Melihat hal itu, Luthfi tidak main-main. Ia mengeluarkan pistol yang disembunyikan di pinggulnya, menodongkan senjata api itu ke arah kepala Januar. Dan bodohnya, perempuan itu malah semakin meronta. Aku dapat mendengar teriakannya yang tertahan karena balutan kain memenuhi mulutnya. Sedangkan sang anak terkejut melihat pemandangan yang pasti baru pertama kali dilihatnya. Namun, berbeda dengan ibunya, dia tak melakukan gerakan apapun.

Aku mengejek dalam hati. Bodoh, dia tak sadar itu hanya gertakan, ya? Mana mungkin Luthfi menembakkan peluru tanpa peredam dan menarik perhatian orang-orang?

Akhirnya, aku yang tak sabar terpaksa harus mengangkut perempuan ini, membuat rencanaku menuntun masing-masing istri dan anaknya berantakan. Kini aku harus berjalan dua kali bolak-balik untuk menuntun mereka berdua diam di lantai atas, lebih tepatnya ruangan yang ada di lantai atas, dengan harapan tak dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan yang akan kuajukan pada Januar.

Ketika aku berjalan menyusuri tangga, perempuan ini masih memiliki stamina yang luar biasa. Walaupun kugantungkan perutnya pada bahuku, kedua tangannya—yang menyatu karena diikat—terus menepuk-nepuk bagian belakang tubuhku. Untungnya tubuh perempuan ini kecil, jadi aku masih dapat menahan keseimbangan ketika melewati lima belas anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam.

Aku membuka salah satu dari dua ruangan yang ada. Sebuah kamar, dan kuterka kamar ini adalah milik sang anak. Sebuah kasur dengan seprai polos terlihat sedikit berantakan dengan lampu yang menyala—Si anak pasti sebelumnya telah tidur. Di bagian kiri, aku dapat melihat meja belajar dengan lemari yang dipenuhi dengan buku pelajaran anak kelas lima SD. Sebuah jendela yang ditutup tirai terpampang pada bagian kanan kamar. Ruangan yang biasa saja sebenarnya, tetapi cukup nyaman untuk membuat mata terpejam.

Begitu masuk ke dalam, tubuh wanita itu kuturunkan secara perlahan. Ia duduk, masih setengah menangis. Namun, begitu aku akan keluar, mengambil anaknya untuk kuarahkan dia ke tempat yang sama, perempuan itu tiba-tiba berdiri dan hendak menerjangku. Sontak, aku kaget. Aku menghindar, mengayunkan tubuhku ke samping seraya menangkap tubuh wanita itu.

Sumpah, ini tidak semudah yang kupikirkan. Selama ini aku selalu berpikir orang-orang yang berada di pihak korban hanya akan bertahan dalam posisinya, tak menyerang pelaku. Perempuan ini membuat pemikiranku berantakan. Ia berusaha menyerangku berkali-kali, bahkan dengan tangan yang terikat, membuatku mendorong tubuhnya, kemudian segera menarik kunci yang menggantung di atas pintu, lalu mengunci perempuan itu yang bahkan belum mengakhiri keinginannya untuk menghajarku.

Aku dapat mendengar pintu didobrak berkali-kali.

Ketika aku turun, aku berteriak pada Luthfi, "Sepertinya kita butuh tali!"

Mendengar hal itu, Luthfi mengeluarkan untaian rapia dari dalam saku jaketnya. Cukup panjang, tetapi agak kusut karena untaiannya melingkar tak beraturan, persis seperti sebuah earphone yang terikat dengan sendirinya. Ia sodorkan benda itu padaku yang masih berjalan pelan mendekatinya, tentu tanpa melepaskan mata elangnya dari Januar.

"Kau membawanya?"

"Kau pikir benda ini muncul begitu saja?"

Sarkastik, itu kebiasaannya. Aku sudah terbiasa, sehingga tak perlu menangis seperti seorang penggemar fanatik yang menangis dan berteriak sangat keras mengetahui idolanya dihina oleh orang lain.

Aku menerima penawaran Luthfi sembari menuntun si anak untuk berjalan ke lantai atas.

Anak ini lebih kooperatif dibanding ibunya. Aku tak harus menggendongnya, ia berjalan sendiri atas kemauannya ... maksudku, tetap atas perintahku tapi ia menurut dengan senang hati. Di saat yang bersamaan, perempuan itu tampaknya sudah menyerah. Gedoran pintu yang sebelumnya terdengar keras telah berhenti. Namun, aku tak ingin mengambil resiko, melihatnya berlari keluar dan malah jatuh saat menuruni anak tangga, sehingga kupilih kamar lain untuk menyembunyikan anak ini—di kamar orang tuanya.

Ketika sampai, anak itu hanya berdiri melihatku, tanpa perlawanan sedikitpun. Namun, aku dapat melihat dengan jelas dari balik matanya bahwa ia tak menginginkan hal ini. Tentu saja, kan?

Jadi, kubuka sumpalan kain dari mulut anak itu, kemudian bertanya, "Kau anak baik, kan?"

Anak kecil itu bergeming. Tidak, dia tak menjawab, entah karena tak tahu jawabannya apa atau tak dapat menjawab karena ketakutan.

"Kami berdua tak akan menyakitimu selama kau jadi anak baik, oke?"

Anak itu masih diam.

Aku mengerti, pasti terdengar percuma. Lagipula, anak kecil macam apa yang bisa dengan tenang mendengarkan seseorang—dalam hal ini orang jahat—yang baru saja menyerang keluarganya?

Kembali kumasukkan kain itu ke dalam mulutnya. Namun, pilihanku untuk menggunakan tali rapia kuurungkan. Bagaimanapun, anak ini tak melakukan apa-apa. Aku tak bisa mengikatnya seperti orang brengsek yang baru saja menghabiskan tujuh potong martabak dari sepuluh potong untuk sepuluh orang. Jadi, aku kembali dengan mengunci pintu kamar orang tuanya, kemudian mengantonginya sambil membawa tali rapia yang utuh.

Begitu aku kembali, kuungkapkan kekesalanku pada Luthfi.

"Jangan pernah menodongkan pistol di depan anak kecil, brengsek."

Namun, sesuai dengan kebiasaannya, Luthfi tak menggubris hardikanku. Padahal, aku benar-benar serius.

Kini, Januar berada di hadapanku, berlutut dengan tangan yang terikat dan mulut yang terkunci.

Padahal, sebelumnya aku sudah menguatkan tekadku. Namun, hanya dalam beberapa detik semuanya terasa goyah. Keraguan muncul dalam pikiranku.

Inikah saatnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top