19. Through it All

Ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku, bahkan mungkin jumlahnya ribuan, tetapi mulutku tetap terkunci selama tiga menit pertama.

Kesan anak sekolah yang melekat pada Yusup tampaknya telah menghilang. Wajahnya lebih tirus dibandingkan dengan foto terakhirnya yang diambil dari tujuh tahun lalu atau lebih. Kumis dan janggut tipis kini menghiasi wajahnya dengan frame dan gagang kacamata yang tipis melekat di wajahnya. Rambutnya sedikit acak-acakan, tetapi kurasa ia menyisir setiap hari sehingga tetap nyaman dipandang. Dia adalah seorang laki-laki yang bisa ada di mana saja, tidak menarik perhatian, dan kurasa itulah sebabnya orang-orang bisa luput menyadari bahwa dia adalah seorang anak yang pernah hilang.

Luthfi membawakanku sebuah kursi. Namun, mungkin karena mereka hanya tinggal berdua di tempat ini, tak pernah ada orang ketiga yang menyusup dan tiba-tiba berteman dengan mereka, yang juga kurasa tak mungkin hal itu terjadi, Luthfi sengaja berdiri karena fasilitas yang tak mencukupi. Ia memilih untuk berpangku dada, mungkin bersiap-siap seandainya secara tiba-tiba kuhajar Yusup karena sudah merepotkan banyak orang.

Kami memang belum berkenalan, tetapi instingku benar-benar kuat, mengatakan bahwa orang di hadapanku ini memang Yusup—dilihat dari bentuk wajahnya yang tak berubah tentu saja, dan laki-laki itu tidak bertanya sama sekali akan informasi pribadiku, membuatku menduga-duga bahwa dia memang sudah tahu siapa aku, yang jelas saja itulah yang terjadi seandainya dia memang Yusup. Seperti kata Luthfi, bukan? Dia yang ingin bertemu denganku.

Aku tidak dijamu sama sekali, segelas air mineral pun tidak, tapi aku tak merasa keberatan.

"Tempat apa ini?" Dari sekian banyak pertanyaan yang kupindai dalam benakku, akhirnya salah satu di antaranya keluar. Entah karena spontanitasku, yang benar-benar penasaran akan eksistensi tempat ini, atau karena memang aku terlalu takut untuk mencari tahu informasi tentang Yusup, apalagi di hadapan orang yang kumaksud.

Namun, Luthfi menjawab pertanyaanku lebih dulu. Yusup masih belum berbicara.

"Bunker, dibuat pada saat perang dunia."

"Tidak mungkin orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini tidak tahu keberadaan bunker ini, kan? Lalu bagaimana kau ...," aku menunjuk Yusup, "Bisa menghilang selama bertahun-tahun tanpa adanya orang yang curiga?"

"Mereka tahu keberadaan bunker ini. Mereka tidak tahu Yusup ada di tempat ini. Lagipula, kurasa mereka tidak tahu beritanya. Mereka orang-orang tua yang masih bersikeras untuk tinggal di perkebunan. Orang-orang kebanyakan memilih untuk pindah, tinggal di pinggir jalan raya. Orang-orang tua itu tak pernah berjalan lebih jauh dari lingkungan rumahnya."

Walaupun aku tak memberikan tanggapan, tetapi kurasa apa yang Luthfi ucapkan itu ada benarnya. Seperti apa yang kulihat sebelumnya, jarak antara satu rumah dengan yang lainnya terpaut beberapa meter, mungkin lebih dari sepuluh meter—khas rumah-rumah pemilik perkebunan jaman dulu.

Sekarang, aku kembali memindai berbagai pertanyaan yang masih melayang-layang dalam pikiranku, mencarinya satu-satu sehingga otakku memuatnya dengan lama.

"Bagaimana mungkin listrik di tempat ini tidak dimatikan?"

"Saya tahu Anda mencari saya ke mana-mana, Pak Roy. Kenapa kau membuang-buang waktumu untuk menanyakan hal itu dan bukannya bertanya mengenai diriku?"

Selaan Yusup berhasil membuatku terperangah. Kata-katanya menusuk, masuk ke dalam telingaku. Aku seperti melihat Luthfi kedua, tetapi tentu saja dengan wajah yang berbeda dan terlihat lebih muda. Cara bicaranya agak sama, entah karena Luthfi yang memengaruhinya atau memang dia memiliki aksen semacam itu. Yang jelas, dia tidak menyukaiku yang terlihat membuang-buang waktu. Jadi, aku tak memiliki pilihan.

"Kau benar-benar belum mati?"

"Apa saya terlihat sudah mati?"

Baiklah, itu pertanyaan yang benar-benar tolol, lebih tolol daripada pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya. Aku mengangkat kedua lengan, mengarahkan kedua telapak tanganku ke arahnya, sekadar meminta maaf karena tak berhasil membuat pertanyaan yang lebih baik.

"Maksudku, orang-orang PK ...." Aku baru sadar bahwa aku menggunakan istilah yang umum digunakan di kantorku, tetapi seharusnya bukan menjadi singkatan yang biasa didengarkan banyak orang.

"Ah, PK itu ...."

"Saya tahu PK yang maksud." Sekali lagi, selaannya berhasil membuatku terperangah. Rasanya, baru pertama kali kusebutkan istilah itu di hadapannya. Apa dia benar-benar tahu?

"Kau tahu apa itu PK?"

"Jika yang Anda maksudkan dengan PK itu adalah kelompok polisi korup, salah satu istilah yang Anda serta rekan-rekan Anda gunakan di kepolisian. Ya, saya tahu."

Itu bukan lagi sebuah tebakan, tetapi Yusup mampu menjelaskannya secara lantang, tak terbata-bata, benar-benar seperti telah mengetahuinya bahkan sebelum aku menyangkutkan kata-kata PK di rangkaian kalimatku. Artinya? Dia benar-benar tahu.

Sekarang, aku mulai keringat dingin.

"Tujuh tahun lalu orang-orang PK membuat rencana pembunuhanmu. Kau tahu itu?"

"Saya tahu."

"Kau tahu alasannya?"

Akhirnya—sepertinya—aku berhasil membuat pertanyaan yang tepat. Yusup menyukainya, kurasa, dilihat dari gelagatnya menyiapkan napas sebelum mengeluarkan satu dua paragraf yang berisi cerita panjang.

"Sederhana, karena saya mengetahui eksistensi mereka."

"Apa kau tahu ayahmu juga terlibat dengan polisi-polisi korup itu?"

"Saya tahu."

Singkat, padat, jelas, tak ada keraguan dari dalam mulutnya. Tatapan matanya masih melekat, melihat ke arahku dan membuatku benar-benar gugup. Perasaanku seolah menunjukkan kebalikan dari profesiku, menjadi seorang penjahat yang ditangkap karena sebuah kejahatan. Jadi, begini rasanya, ya?

Tapi, sialan, kenapa malah jadi aku yang merasa gugup?

Menyangkut pertanyaan sebelumnya, ada banyak pertanyaan-pertanyaan turunan yang bisa kuberikan pada Yusup. Bagaimana perasaannya setelah mengetahui ayahnya terlibat dengan PK, bagaimana cara dia tahu bahwa dia memang menjadi salah satu target—bahkan mungkin satu-satunya—pembunuhan yang direncanakan oleh orang-orang PK, serta beragam pertanyaan yang bisa menyangkutkannya kepada eksistensi PK. Namun, sejauh apapun aku berusaha, pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah keluar dari mulutku. Aku takut dia tersinggung, marah, dan parahnya lagi malah tidak mau berkomunikasi denganku selamanya, setelah ini.

Luthfi yang melihat kecanggungan kami akhirnya tak tahan. Dia merobohkan tubuh, duduk di atas meja karena tak tahan berdiri sedari tadi. Kakinya menggantung dan berayun berirama.

"Kalian berdua kelihatan canggung, kalian tahu?" katanya. Nadanya sedikit mengejek, tetapi hal itu mungkin bisa membuatku dan Yusup berkomunikasi satu sama lain lebih baik. Kadang kala dua orang yang memiliki tujuan yang sama akan bekerja sama untuk meraih tujuan mereka, kan?

Aku dan Yusup melempar pandangan. Luthfi memberikan cengiran merendahkan.

"Kau ingat pertanyaanmu tentang aku yang terlibat dengan hilangnya Yusup dan aku jawab iya?"

Aku tak memberikan tanggapan, tetapi tampaknya Luthfi mengerti jika aku ingat.

"Aku membantunya keluar dari masalah itu."

"Seorang pegawai minimarket melihat seseorang yang membawa dia," sekali lagi aku menunjuk Yusup dengan telunjukku, "Aku tahu itu. Lalu, kenapa anak ini tak pernah kembali dan malah bersembunyi di sini? Mau sampai kapan dia tinggal di tempat ini?"

"Lihat, tidak sulit untuk berbicara, kan? Kenapa kau jadi tak banyak omong, Roy?" Luthfi kembali menyeringai. Ia melepaskan pangkuan dadanya. Kini, kedua tangannya bertumpu di atas meja.

Jebakan yang sangat bagus. Aku memujinya, sungguh. Aku benar-benar tak menyangka jika dia berusaha untuk membuat katalis yang bisa membantuku mengungkapkan—tanpa membuat Yusup tersinggung—pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi hinggap di dalam otakku.

Yusup sendiri kini tak perlu mencari tahu lebih lanjut. Ia menjawab.

"Saya memiliki pekerjaan di sini."

"Yang benar saja." Semakin lama aku mendengarnya, rasanya aku benar-benar tak bisa membedakan Yusup dan Luthfi. Sama-sama brengsek, tidak menyenangkan, lebih senang membuat teka-teki daripada memberikan jawaban atas pertanyaan yang kusampaikan.

Kemudian, sadar akan ketaksabaranku, Luthfi menambahkan detail yang kuperlukan.

"Kau ingat kali pertama kita bertemu? Itu yang kami lakukan."

"Tentu, bagaimana mungkin aku lupa ketika kau menembak kakiku hingga aku harus berjalan terpincang-pincang selama beberapa minggu." Kulemparkan pandanganku beberapa kali ke arah Yusup dan Luthfi. Sekarang ke Yusup.

"Kau beruntung karena kali pertama dia bertemu denganmu, dia malah menyelamatkanmu, bukannya menembak kakimu hingga harus jalan terpincang-pincang selama beberapa minggu." Aku membuat jeda beberapa saat.

"Sambil membunuh seseorang."

Luthfi bertukas dengan cepat. "Yang jelas-jelas bersalah tetapi kalian malah membiarkannya berkeliaran dan menangkap orang yang salah."

"Serta baru menyadari kesalahan itu dan akan membawanya ke pengadilan sebelum kau tiba-tiba muncul."

"Aku minta maaf, oke?" Luthfi menunduk, kemudian mengangkat kedua tangannya beriringan dengan kepalanya. "Aku bukan peramal yang bisa tahu bahwa kau akan sampai ke kesimpulan itu. Aku kira kasus itu telah kalian tutup dan tak akan pernah dibuka lagi selamanya."

"Kau tidak seperti orang yang tidak tahu apapun. Faktanya, kau selalu mengetahui segala hal yang tak kuketahui."

"Aku akan ke atas, meninggalkan kalian berdua di sini. Tampaknya kau dan aku hanya akan mengobrol seperti biasa, pura-pura tak melihat Yusup. Kau mencarinya, dan Yusup sudah memenuhi keinginanmu. Kalian berdua saling membutuhkan, bukannya aku. Oke?" Luthfi beranjak dari tempat duduknya—yang sebenarnya sebuah meja, dan segera membawa kedua kakinya pergi menjauh dariku juga Yusup. Raganya menghilang, laki-laki itu pergi ke atas, benar-benar serius meninggalkanku berdua dengan anak ini, yang seharusnya tentu saja sudah menjadi pemuda berumur dua puluhan, bukan seorang anak SMA yang harus memikirkan cara untuk lulus ujian nasional. Sekarang, aku benar-benar berharap Wijaya ada di sini. Mungkin dengan anak seumurannya, obrolan mereka bisa lebih nyambung, kan?

Keringat dingin kembali membanjiri diriku. Sekarang lebih deras. Namun, aku berusaha menyembunyikannya dengan berdeham sedikit keras.

"Kau tidak rindu dengan rumahmu?" Satu lagi pertanyaan basa-basi, tetapi itu lebih baik daripada tak ada obrolan sama sekali, yang mungkin tak akan pernah bisa kudapatkan lagi.

"Tentu saja rindu."

Entah dia benar-benar mengucapkan kejujuran atau hanya berpura-pura. Aku tidak bisa mendeteksi apakah anak itu sedang jujur atau tidak, terlalu datar, dan aku tak pernah menyukai tipe manusia semacam ini.

"Termasuk ayahmu?"

"Kecuali dia."

Sekarang, entah kenapa aku merasa dia benar-benar jujur.

"Kenapa kau tidak kembali ke rumahmu? Apa karena ayahmu?"

"Salah satunya."

"Salah satunya?"

"Sudah saya katakan saya ada pekerjaan, Pak Roy."

Dan aku benar-benar lupa akan hal itu.

"Kalau begitu, apa yang kaulakukan?"

"Saya—maaf—kami membantu kalian."

"Aku serius."

"Saya serius."

Sekali lagi, aku tak benar-benar bisa tahu apakah dia tengah berbohong atau tidak, bercanda atau tidak. Semuanya terdengar sama, kurasa selama hidupnya dia hanya memiliki satu not suara yang tertanam di pita suaranya. Aku tidak suka terdengar seperti orang brengsek yang senang merendahkan orang lain, tetapi sekarang aku rasa aku mengerti mengapa di sekolahnya—dulu—Yusup pendiam dan hampir tak pernah bergaul dengan orang lain. Mungkin orang-orang yang menghindarinya karena tak tahan dengan reaksi singkat, padat, dan jelas yang Yusup berikan.

"Apakah pekerjaan yang kausebutkan berkaitan dengan apa yang Luthfi sebutkan tadi?"

"Luthfi?"

"Temanmu itu, yang tadi meninggalkan kita ...." Otakku kembali mengolah semua informasi yang didapat. "Namanya bukan Luthfi?"

Anak itu menggeleng, tetapi untuk kali ini aku tidak benar-benar terkejut. Namun, aku tetap berusaha memastikan bahwa Yusup tidak keliru.

"Nama asli maupun nama alias?"

"Bukan."

Jadi, selama ini aku ditipu olehnya? Aku ingin menggeram, tetapi entah mengapa informasi yang otakku berikan memberikan akhir yang berbeda untuk digerakkan oleh otot-ototku. Aku malah tertawa, menyeringai, menyadari bahwa selama ini aku dibohongi olehnya.

"Kita fokus saja dulu pada pembicaraan." Aku memutuskan. "Jadi, pekerjaan yang kausebutkan tadi berkaitan dengan apa yang si laki-laki bertopi itu sebutkan?"

"Ya."

"Dan demi apapun, Yusup, bisakah kau menjawab lebih panjang dari itu? Misalnya, 'ya, yang kami lakukan adalah bla-bla-bla' atau semacamnya? Aku mohon buatlah hidupku menjadi lebih mudah."

"Coba saja."

"Apa pekerjaan yang kausebutkan tadi berkaitan dengan apa yang si laki-laki bertopi itu sebutkan?"

"Ya, itu benar."

Aku menyerah. Anak ini tidak bisa berubah, mungkin karena sudah terlalu tua dan terlalu lama bergaul dengan Luthfi ... atau siapapun si brengsek itu yang mengaku bernama Luthfi.

Aku merogoh saku, mencoba mengambil ponsel.

"Aku akan memberitahu rekanku bahwa kau masih hidup."

"Saya tak ingin Anda melakukannya."

Dan di detik itu juga, gerakanku terhenti. Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar Yusup menaikkan nada bicaranya. Setidaknya, sekarang aku tahu dia memiliki dua not suara dalam pita suaranya. Namun, hal itu tentu menunjukkan bahwa dia benar-benar tak main-main.

Persembunyiannya selama tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, aku tahu itu. Namun, ketika aku berpikir dia ingin merasakan udara bebas di luar sana, berkumpul kembali bersama keluarga—tanpa ayahnya mungkin—dan merasakan kehangatan yang telah hilang sejak lama, ternyata aku salah. Yusup bahkan mengulurkan tangannya, hampir meraih lenganku yang belum berhasil meraih ponsel sebelum terhenti karena interupsinya.

Kunaikkan sebelah alisku.

"Kenapa?"

"Orang-orang PK akan mencari saya ... lagi."

"Memangnya apa yang kaulakukan pada mereka sampai-sampai mereka ingin membunuhmu, sih?"

"Anda pikir dari mana Anda mendapatkan daftar nama orang-orang PK itu?"

Kini, aku sedikit terkejut.

"Yang laki-laki bertopi itu berikan?"

Dan Yusup mengangguk. Sekarang aku bisa menarik benang merah di antara semua kasus brengsek yang berkeliaran sekian lama. Yusup tahu eksistensi PK, dan mereka semua ingin membunuhnya. Anak itu menghilang sebelum mereka berhasil melakukan eksekusinya, bersembunyi di tempat ini, bekerja sama dengan Luthfi ... oh sialan, aku masih terbiasa memanggilnya dengan nama itu, dan si brengsek itu secara terang-terangan menarikku ke dalam lingkaran setannya. Semuanya masuk logika, dan akhirnya aku berada dalam lingkaran brengsek yang mereka buat.

"Baiklah, sekarang serius. Apa yang kau kerjakan di tempat ini?"

"Sudah saya bilang, kami membantu kalian."

"Oh, aku mohon jangan lagi. Maksudnya secara spesifiknya. Membantu bagaimana?"

"Mengadili orang-orang yang seharusnya diadili. Memangnya dia tak pernah memberitahu Anda, Pak Roy?"

"Mengadili? Luthfi membunuh para tersangka. Itu bukan mengadili."

"Anda tahu ada berapa orang yang dibebaskan dari hukuman, baik karena suap maupun karena bukti yang 'dianggap' kurang selama tujuh tahun terakhir ini?" Yusup seolah menghindari jawabanku. Tetapi, aku terlalu terpaku mendengar pertanyaanya.

"283, itu lebih dari tiga kasus perbulannya. Jika kami menggunakan prosedur yang sama dengan kalian, para polisi, akan memerlukan waktu yang cukup lama, belum dengan menghitung orang-orang yang kembali dilepaskan baik karena suap maupun karena dianggap tak ada bukti yang mumpuni, padahal orang-orang tahu dia bersalah."

"Kau tetap tak memiliki hak untuk membunuh seseorang.

"Katakan itu pada ayah saya, Pak Roy."

Aku kelepasan. Ketakutanku untuk menyinggungnya kini benar-benar keluar. Tapi, sama seperti ucapan-ucapan yang lainnya, aku tak dapat melihatnya dengan jelas walaupun kali ini aku benar-benar yakin.

Dan aku tak bisa memperbaikinya. Aku sering mendapati kasus seseorang yang dibunuh oleh saudara, relatif, maupun orang-orang terdekatnya sendiri. Namun, aku tak pernah menemui seseorang yang 'hanya' menjadi calon korban dan masih hidup di hadapanku. Paling parah, hanya Riska yang melihat pembunuhan orang tuanya di depan mata kepalanya sendiri—walaupun sang ayah yang merupakan pelaku pembunuhan itu bukan ayahnya yang sebenarnya.

Dan dengan Yusup yang mengucapkannya secara lantang, aku tak bisa berbuat banyak.

"Jadi, Anda suadh menemui saya. Itu yang Anda inginkan, kan? Anda sudah tahu saya masih hidup. Itu menjawab pertanyaan Anda, Pak Roy?"

"Tidak semudah ...."

"Dan jangan pernah memberitahukan hal itu kepada siapapun." Dia menyela pembicaraanku. Dan sekarang, aku malah lebih suka dia yang canggung dan tak bisa berkomunikasi dengan baik.

Sialan. Aku tidak memiliki pilihan lain, ya? Dan kenapa harus aku yang terlibat di kasus brengsek ini, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top