18. Schrodinger
Aku telah mengontak Wijaya semalam, memberitahukannya bahwa hari ini aku akan menemuinya, membahas beberapa informasi penting yang mungkin harus kusampaikan. Tak begitu detail, hanya menyebutkan bahwa pertemuan kami akan berkutat dengan kasus Yusup dan daftar orang yang menurutku patut untuk dibicarakan. Aku menyebut nama Lima dalam pesan yang kukirimkan, tetapi tampaknya Wijaya belum bisa menerka siapa orang yang kumaksud. Dia membalas pesan dengan antusias, berharap bisa menemuiku dengan segera.
Aku membuat sarapan yang sedikit mewah—jika kau sebut telur dadar dengan irisan daun bawang adalah mewah, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupku. Menyantapnya bersamaan dengan program televisi yang tengah berjalan tidak membuat rasanya menjadi semakin nikmat, apalagi dengan rasanya yang sedikit hambar karena kekurangan garam, tetapi setidaknya suara-suara dari saluran televisi mampu meramaikan suasana.
Seselesainya kusantap sarapanku, mencuci piring, kemudian segera mematikan televisi, aku kembali memastikan bahwa pesan yang kurasa kukirimkan semalam memang benar-benar kukirimkan, bukan hanya terjadi di dalam mimpi.
Kurasa, pada akhirnya aku memang terpaksa menjerat Wijaya ke dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan si lelaki bertopi—dengan anggapan bahwa Lima yang dimaksud memang dia, walaupun bagaiaman juga aku benar-benar tak ingin melibatkannya.
Aku mengambil jaket kulit hitam yang tergantung di atas sofa—sebelumnya memang telah kusiapkan. Kemudian, merogoh sakunya untuk meraih kunci mobil yang jika kuingat-ingat memang terakhir kusimpan di sana. Kutepuk-tepuk beberapa bagian pakaianku, membuatnya semakin bersih dan rapi, hingga akhirnya aku keluar rumah, bersiap membalikkan tubuh untuk mengunci pintu, yang sialannya seluruh anggota badanku ini terlanjur kaku begitu melihat Luthfi, yang tak diundang, duduk dengan santai di kursi halaman depan rumahku dan segera menengok begitu melihat pintu terbuka.
Aku terkejut bukan main. Dari seluruh kemungkinan kehadiran Luthfi yang tiba-tiba di pandanganku, tak pernah terbesit jika dia akan berdiam diri di depan rumahku, menungguku keluar dari rumah, biarpun aku tahu dia memang selalu memberikan kejutan yang tidak benar-benar harus diberikan.
Laki-laki itu menatapku dingin ketika mulutku ternganga, terkuncu bagaikan sebuah patung yang memang didesain seperti itu. Aku memerlukan beberapa menit hingga seluruh syaraf dalam tubuhku kembali merespon lingkungan yang ada di sekitarku.
Otakku secara cemerlang segera memberikan lusinan pertanyaan, mulai dari 'kenapa kau di sini', 'mau apa kau ke tempat ini', sampai 'kau ingin membunuhku, ya' atau semacamnya. Namun, aku tahu dengan pasti pertanyaan-pertanyaan itu akan disangkalnya begitu kulemparkan padanya. Luthfi tak akan menjawab. Sialan, dia pasti kemari hanya untuk memenuhi rencananya yang entah apa. Mulutku akhirnya tak mengucapkan apa-apa, bergumam pun tidak.
Laki-laki itu segera berdiri setelah meratapi kekakuanku.
"Kau benar-benar menyelidiki kasus Yusup, ya?"
Tentu saja lelaki itu mengucapkannya dengan datar, tanpa memperlihatkan emosi seperti biasanya. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban. Jawaban 'ya' saja tentu sudah menjawab pertanyaannya, tetapi aku mencoba untuk mencari rangkaian kalimat terbaik, merancangnya, setidaknya agar aku sendiri puas dengan jawabanku.
Selain itu, bukankah aku memang ingin mencari Luthfi? Aku bisa menghubung-hubungkannya, bukan?
"Benar. Dan menduga dari pertanyaan yang baru kau sebutkan itu, sepertinya kau benar-benar terlibat di dalamnya, ya?"
Aku tak tahu dasarnya, dari mana keberanianku itu datang. Tampaknya aku benar-benar sudah masa bodoh, lelah, tak peduli segala reaksi Luthfi yang berada dalam interval bisa biasa saja atau ekstrem luar biasa tak terduganya.
Sialannya, si lelaki bertopi itu mengangguk.
"Iya," katanya, dan benar-benar hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang. Aku harus mengapresiasi reaksinya. Aku tidak marah, percuma saja, tetapi aku benar-benar menginginkan penjelasannya, apa yang membuatnya terlibat, terutama peran apa yang dia ambil dalam kasus Yusup mengingat selama ini yang kutahu dia selalu mengambil nyawa targetnya.
Namun, ingatan-ingatanku itu malah memberikan hipotesis yang baru.
"Kau adalah orang yang mereka sewa untuk membunuh Yusup?"
Aku tak akan berkilah, menyadari bahwa ketegangan dalam diriku mulai mencuat, menunggu jawaban dari Luthfi yang sebenarnya tak ingin kudengar, sekaligus terpaksa kucaritahu untuk mencari nasib dari kasus yang dibuka kembali setelah tujuh tahun berlalu.
Jawaban tidak dari Luthfi mungkin akan lebih mudah bagiku untuk melanjutkan ... maksudku, membantu Wijaya mengusut kasus yang kusarankan untuk dibuka. Namun, bagaimana jika iya? Aku harus memborgolnya dan menyerahkannya pada Wijaya begitu saja? Tidak mungkin semudah itu, kan? Maksudku ... orang tolol macam apa yang mau ditangkap dengan senang hati? Melihat kelakuan Luthfi, tampaknya tak mungkin hal itu terjadi.
Namun, seolah berusaha memancing rasa penasaranku lebih jauh, Luthfi malah menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang putih, yang sebenarnya tak harus kuperhatikan. Deru napasnya membara, keluar ke mana-mana.
Aku yang tak sabar segera memotong gelagat sialannya. Tiga menitku telah terbuang sia-sia.
"Kenapa kau tersenyum?"
Luthfi menutup mulut, menyekanya dengan sebelah telapak tangan, menghilangkan seluruh bekas seringaian yang sebelumnya menempel di wajahnya.
"Menurutmu?"
Aku lupa salah satu sisi Luthfi yang ini, berusaha sok misterius bagaikan tokoh penting dalam tulisan-tulisan fiksi yang tak ingin diungkapkan terlebih dahulu oleh para penulis. Namun, jika pertanyaan itu diajukannya, artinya mau seberapa besar pun usaha yang kukerahkan, Luthfi tak akan pernah memberikan jawabannya, setidaknya secara eksplisit. Dan balasannya itu tentu berada di luar perkiraanku, tidak masuk ke dalam salah satu bagian 'iya' maupun 'tidak'.
Sekali lagi, aku terdiam dan termangu. Luthfi kembali menyeringai karenanya, tetapi ia melemparkan pertanyaan yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya, yang membuatku bingung sudah berapa juta kali ia selalu berhasil mengagetkanku. Jika aku memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin aku sudah benar-benar mati.
Bibir basah bagian atasnya terangkat, dan gerakan mulutnya selaras dengan kata-kata yang dikeluarkan.
"Yusup ingin bertemu denganmu."
===
Kesepakatan yang aku buat bersama Luthfi tidak dapat diputuskan dengan mudah. Aku memerlukan waktu dua jam, mungkin lebih, hingga pada akhirnya bisa mempersilakan Luthfi mengambil alih kemudi mobilku. Keinginan-keinginannya yang berlebihan—menurutku, membuatku terpaksa memintanya mengatur ulang seluruh keinginan yang diharapkannya: mataku harus ditutup, atau lebih parah lagi ia akan membuatku tak sadarkan diri, membawaku ke suatu tempat yang tak kuketahui, dan jelas saja kutolak.
Pertemuanku dengan Luthfi secara tiba-tiba ... tidak, lebih tepatnya kunjungan Luthfi ke rumahku, terpaksa membatalkan janji yang telah kubuat dengan Wijaya. Setidaknya, kali ini aku tidak harus pusing-pusing untuk menjeratkan permasalahan Luthfi—yang kubuat atas dasar pemikiranku sendiri—padanya. Aku berpura-pura bodoh, memberitahunya bahwa ada beberapa hal yang ingin kupastikan kembali, yang pada akhirnya membuatku benar-benar merasa bodoh karena seharusnya kasus ini Wijaya yang pegang, seperti apa yang selalu kutekankan pada tim IT maupun Wijaya. Kalau tahu jadinya begini, mungkin memang sudah seharusnya kasus ini kutangani sendirian.
Luthfi adalah salah satu pengemudi, mungkin hanya untuk saat ini—aku tidak tahu, yang paling santai yang pernah kutemui. Dia tak pernah membunyikan klakson bagaimanapun pengendara yang lain melaju di jalanan bak ahli balap. Ia selalu mengalah, termasuk untuk para penyeberang jalan yang umumnya tak pernah diindahkan oleh para pengendara. Bahkan, sampai membuat beberapa mobil dan motor di belakang membunyikan klakson karena merasa 'aneh' melihat kebiasaannya yang mempersilakan orang-orang untuk menyeberang jalan terlebih dahulu ketimbang menancap gas begitu melihat penampakan di tepi jalan. Selain itu, aku tidak tahu apakah karena ia takut menorehkan goresan pada mobilku atau tidak, tetapi yang pasti dia selalu mengambil jarak yang cukup jauh sehingga mobilku bisa dipastikan tak akan rusak.
Namun, di saat yang bersamaan, pikiranku tak dapat lepas dari lontaran kalimatnya, menyebutkan bahwa Yusup ingin bertemu denganku. Maksudnya ... apakah Yusup yang dimaksudkan itu Yusup yang sama? Aku ingin bilang bukan, tapi aku tak dapat memberikan bukti penyangkal. Selain itu, Luthfi hampir tak pernah salah ... atau mungkin benar-benar tak pernah salah?
Selanjutnya, jika memang Luthfi tak berbohong, apakah itu artinya Yusup masih hidup?
Aku bisa membayangkan wajah-wajah yang berseri, kerabat maupun guru dan teman-teman Yusup, akibat ditemukannya dia—si anak SMA yang hilang tujuh tahun lalu—yang sampai saat ini belum pernah ditemukan batang hidungnya. Namun, bukan berarti seluruh penyelidikan terhenti sampai sana. Aku, atau secara formalnya adalah Wijaya, harus mencari tahu mengapa selama ini dia menghilang, dan hubungan apa yang ada di antaranya dengan Luthfi. Jelas, hal itu akan kembali menyangkutkan masalah Wijaya pada Luthfi. Namun, aku berusaha untuk tak memikirkannya terlalu jauh. Mengetahui—jika memang benar—Yusup masih hidup saja menurutku sudah lumayan cukup.
Mobil telah keluar dari area Bandung Timur, menuju kawasan pemukiman yang tak padat. Satu dua rumah bisa kupindai dengan jelas, masing-masing berjarak dua puluh atau tiga puluh meter. Namun, berbeda dengan kawasan kota yang hampir setiap hari ramai, tempat ini begitu sepi, hampir tak terlihat adanya kehidupan selain berbagai jemuran yang menggantung di depan maupun atap rumah.
Sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh hamparan rumput luas disertai pepohonan yang menjulang tinggi, menutupi sebagian besar ujung pemandangan oleh batang-batang pohon. Aku menduga orang-orang di sekitar tempat ini menjadikan kebun sebagai lahan utama mata pencaharian.
Jalanan mulai menanjak, kabut tipis mulai menyelimuti jalanan, padahal hujan tidak turun. Kemudian, baru saja hendak bertanya pada Luthfi berapa lama lagi kita sampai—mengingat kami telah melakukan perjalanan selama tiga jam, ia segera menginjak pedal rem di depan sebuah rumah yang terlihat sedikit tak terurus akibat beberapa retakan dan noda pada dinding-dindingnya.
Aku mencoba meyakinkan Luthfi, mencari tahu apakah dia benar-benar tak salah alamat, tetapi lelaki bertopi itu segera keluar dari mobil yang terpaksa membuatku mengikutinya. Dan sekali lagi, aku yakin benar jika rumah di hadapan mobilku ini persis seperti rumah kosong yang tak terurus, hanya saja kaca-kacanya tidak pecah.
Luthfi melemparkan kunci mobil padaku, yang membuatku spontan meraihnya. Ia segera masuk ke dalam rumah, dan aku tidak terlalu terkejut karena toh memang banyak rumah kosong yang ditinggalkan begitu saja, tak terkunci dan bisa disusupi siapapun.
Setelah mengunci mobil karena Luthfi tak melakukannya untukku, aku segera mengikutinya, masuk dan menemukan interior rumah yang tak kalah buruknya dari bagian luar. Beberapa sofa telah robek, bahkan bagian dalamnya terlihat sengaja dikeluarkan. Jam dinding yang tergantung, terpaku pada dinding, tak berjalan sama sekali. Lantainya kotor, beberapa sarang laba-laba memenuhi bagian-bagian dinding. Benar-benar rumah yang tak layak huni. Lalu, kenapa Luthfi membawaku ke sini? Apakah Yusup benar-benar ada di sini?
Luthfi berjongkok, dia meraih sebuah tarikan baja di antara lantai kayu dan berhasil membuka segmen kecil yang memperlihatkan tangga menuju bawah tanah. Aku terkejut, tentu saja. Ruang bawah tanah bukanlah ruangan yang lazim di Indonesia, apalagi untuk rumah yang berada di kawasan desa—aku menduga—dengan kabut tipis yang menyelimutinya. Angin topan bukan bencana alam utama yang terjadi di Indonesia, tak ada alasan untuk membuat ruang bawah tanah selain sebagai gudang penyimpanan. Tapi, di tempat seperti ini, mereka menyimpan apa? Aku bisa mengerti jika hal yang sama terjadi pada rumah dengan gaya eropa yang sengaja diperuntukkan bagi orang-orang kaya. Tapi, rumah ini?
Luthfi meluncur ke bawah, dan aku mengikutinya. Jarak antara dinding atas dengan kepala yang rendah terpaksa membuatku—Luthfi juga sebenarnya—menunduk. Aku tak ingin beberapa bagian kepalaku menjadi botak hanya karena terseret langit-langit yang tidak dibuat untuk manusia dengan tinggi lebih dari seratus tujuh puluh sentimeter.
Akhirnya, aku benar-benar sampai di lantai bawah, mendapati kejutan—sekali lagi—yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Aku ditipu oleh tampilan luar rumah yang tampak berantakan, tak terurus, bahkan tampak tak layak huni. Di bagian ruang bawah tanah ini, aku melihat sebuah ruangan bagai markas militer kosong yang luas—tidak benar-benar persis.
Ruangan ini bisa diisi ratusan orang, apalagi dengan hampir tak adanya barang-barang yang memenuhi ruangan. Sejauh mata memandang, aku hanya dapat melihat beberapa lampu yang digantung, sengaja dibuat sebagai penerangan, beberapa papan tulis hitam yang sebagian telah dicoreti oleh kapur di tengah ruangan, serta satu paket kursi dan meja yang sengaja disimpan di sebelah papan tulis.
Seorang laki-laki duduk di sana. Aku tak dapat melihatnya langsung dengan jelas karena mataku belum terbiasa dengan intensitas cahaya yang rendah, tetapi aku tahu lelaki yang tengah membelakangiku itu memang benar manusia, bukan hantu—kecuali hantu yang menyamar menjadi manusia. Dia tengah mengotak-atik laptop yang terbuka di hadapannya, dan tampaknya dia tak terganggu sama sekali dengan langkah kaki kami yang menggema—atau mungkin karena suara ketikannya cukup keras hingga ia tak menyadari keberadaan kami? Suara itu juga menggema.
Namun, yang jelas, Luthfi tak membuang-buang waktu. Ia meninggalkanku yang masih terkesima dengan ruangan luas ini, berjalan menuju si lelaki yang tak menyadari keberadaan kami sambil berseru.
"Tamumu sudah datang."
Seketika itu juga, si lelaki dengan jemari yang lincah di atas keyboard segera berbalik. Walaupun sebelumnya kusebutkan kedua mataku belum terbiasa dengan penerangan yang minim di ruangan ini, tetapi aku dapat mengenali lelaki itu, setidaknya karena pernah melihat fotonya.
Dan, ya, benar, itu Yusup. Dia masih hidup. Eh, tentu saja kecuali dia adalah hantu Yusup yang berpura-pura masih hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top