16. Juntos

Ganira masih mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Berulang kali aku mengetuk pintunya, berulang kali juga keheningan kudapatkan. Aku memanggil-manggil namanya, tapi anak itu tak pernah menyahut. Hari telah malam, istri Januar masih terisak, anak itu tak mau keluar, dan aku berada di dalam kebimbangan dalam memutuskan tetap tinggal atau pergi saja karena toh seharusnya anak itu tidak menjadi beban pikiranku. Namun, semakin larut, pilihan antara dua keputusan itu tak kunjung datang. Aku duduk di sofa, termenung, sekaligus sebagai bentuk istirahat karena telah memanggil Ganira berkali-kali hingga tak dapat kuhitung lagi dengan jari.

Anak itu akan keluar, hanya masalah waktu sampai anak itu merasa lapar, ingin mandi, maupun merasa tak nyaman dan harus berinteraksi dengan manusia lain sebagai makhluk sosial. Namun, aku tak memiliki waktu sebanyak itu, yang membuatku terpaksa bersabar menunggu Ganira keluar dari kamar. Rumahku sekarang pasti sudah menjadi incaran pencuri karena lampu luar yang belum kunyalakan.

Istri Januar masih termangu, tak melakukan apapun. Matanya terjun melihat keramik putih yang disusun rapi, berfungsi sebagai lantai, tetapi pikirannya jelas melayang ke mana-mana. Sesenggukan akibat tangisnya telah mereda, tetapi jelas pikirannya masih membuat beban yang sama besar. Aku sendiri tak dapat melakukan apapun. Jadi, aku meminta izin pada perempuan itu untuk ke dapur, membuat kopi yang aku harap dapat menenangkan pikiranku, sekaligus membuatku berjaga untuk membantu memutuskan pilihan yang bagiku bagai buah simalakama. Cangkir kecil, dua sendok kopi tanpa gula, bercampur menjadi satu dengan air panas. Adukanku membuat kegaduhan di malam yang sepi karena sendok yang terus beradu dengan mulut gelas. Selain itu, aku tak menyangkal jika pikiranku pun sedang meracau ke mana-mana.

Apakah aku harus mencoba menarik Ganira keluar sekali lagi?

Kini, kondisi dengan dua pilihan beda yang lain bersemayam pada otakku. Ketika aku mencuci sendok yang kugunakan sebagai pengaduk kopi, aku menimbang-nimbang segala konsekuensi yang mungkin terjadi—meminta atau tidak meminta Ganira untuk keluar. Namun, berbeda dengan kondisi sebelumnya, pilihanku kali ini lebih mudah untuk kuputuskan. Tak ada konsekuensi berarti seandainya aku meminta Ganira untuk keluar selain ... ya, Ganira tidak mau keluar. Jadi, aku tidak segera menyesap kopi yang baru saja kubuat, melainkan kembali menuju lantai atas, menampakkan diri di depan pintu yang tak kunjung terbuka.

Pikiranku melejit kembali. Jika sebelumnya aku terlalu sibuk berpikir untuk bersikap seandainya Ganira tak ingin keluar, sekarang aku mulai berpikir, bagaimana jika seandainya Ganira memutuskan untuk menyudahi persembunyiannya? Skenario itu tak pernah terlintas di dalam otakku. Apakah aku harus memarahinya? Bagaimana jika kulakukan itu dan Ganira malah kembali bersembunyi di dalam kamarnya? Apakah aku harus menunggu berjam-jam lagi untuknya keluar?

Akhirnya, cabang-cabang kemungkinan malah mendera dalam pikiranku, membuat jaringan yang semrawut dan terpaksa kuhiraukan dengan mengetuk pintu kamar Ganira.

"Ganira, kamu mau laper nggak? Mau makan apa? Nanti om yang beliin."

Terdengar bodoh, bahkan untukku. Bujukan seperti itu biasanya berlaku untuk seorang ibu yang berusaha meredakan rasa marah maupun takut anaknya. Namun, aku hanyalah orang asing yang sedikit dikenal oleh Ganira, tak lebih, dan seharusnya bujukan itu tak mempan.

Namun, aku mendengar suara kunci yang berputar, dan seketika pintu terbuka perlahan. Aku terkejut bukan main karena Ganira pada akhirnya mau keluar, dan sekarang aku terkejut kembali karena skenario seandainya Ganira benar-benar keluar belum kususun secara rapi.

Pintu tak terbuka seluruhnya, Ganira hanya mengintipku dari baliknya. Tangan kanannya masih memegang kenop pintu, sebelahnya lagi tengah memegangi perut. Dengan jelas, dapat kudengar suara keroncongan dari balik bajunya. Aku berpura-pura tertawa, berusaha meyakinkan anak itu bahwa aku bukanlah seorang monster pemakan segala.

Aku mendorong pintu perlahan dan Ganira tak menghindar. Namun, begitu ia dengar derap langkah menuju lantai atas, Ganira hampir kembali menutup pintu seandainya tak kucegah hal itu terjadi. Aku menahan dengan sebelah tanganku, sedangkan kepalaku mengubah navigasinya, mendapati Istri Januar yang entah gembira, kagum, marah, atau lainnya, melihat Ganira akhirnya membukakan pintu.

Ganira lari, kembali memasuki gua yang menurutnya nyaman, mungkin juga membuatnya merasa aman. Namun, kini ia tak dapat kembali menutup pintu rapat-rapat.

Aku mulai menduga jika Ganira hanya ketakutan memikirkan reaksi ibunya. Jadi, aku berkata "Biar saya yang menangani" pada perempuan yang masih mengatur napasnya karena berlari itu, kemudian masuk ke dalam kamar Ganira, menutup pintunya, tetapi tidak menguncinya. Anak itu berbaring ke arah samping, wajahnya menatap pintu kamar, yang otomatis juga melihatku berdiri di depannya. Kedua lengannya menutup telinga, dan itulah pertama kali kulihat Ganira benar-benar ketakutan.

Aku duduk di atas kasur, mengangkat salah satu lengan anak itu yang tak disanggahnya.

"Mama kamu nggak akan masuk, kok. Tenang aja," kataku. Dan sekarang, Ganira membuka sebelah telinga yang lainnya sendiri tanpa bantuanku.

"Kamu mau makan, kan?"

Anak itu mengangguk.

"Makan apa?"

Anak itu diam, tak mengucapkan apa-apa.

"Nasi atau roti?"

Tak ada jawaban lagi.

"Jangan mie instan, kamu kan belum makan dari siang."

Masih belum ada jawaban.

"Kamu mau om minta mama ku buatin makanan?"

Akhirnya, Ganira mengangguk, dan aku merasa sedikit lega.

Aku tak mengambil banyak tindakan. Aku segera berdiri, membuka pintu, kemudian menyembulkan kepalaku dari dalam, mendapati Istri Januar tengah berusaha menguping pembicaraan antara aku dan Ganira, yang tentu saja kubilang bahwa tindakan seperti itu tak sebaiknya dilakukan, setidaknya untuk saat ini.

Aku menyampaikan keinginan Ganira, sekaligus memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Istri Januar tak bereaksi, sehingga aku rangkum seluruh ucapanku sebelumnya, mengungkapkan kesimpulan atas celotehan-celotehanku dan memastikan agar perempuan itu mengerti. Akhirnya, Istri Januar setuju untuk tak menguping dan membiarkan masalah Ganira untukk diambil alih olehku, sedangkan perempuan itu akan sibuk memasak, yang kuterka hanya akan membuat masakan-masakan dari bahan setengah matang karena Ganira bisa mati kelaparan lebih dulu seandainya ia membuat masakan rumahan.

Pintu kembali kututup, dan masih dapat kulihat Ganira yang duduk tak bergerak, menatapku penuh harap. Aku berjalan santai, tersenyum sedikit sekadar untuk memperbaiki suasana seraya berkata, "Mama kamu lagi masakin kamu sesuatu. Jadi, sekarang ngobrol dulu sama om, oke?"

Ganira kembali pada kebiasaannya. Diam.

Kembali kududuki tempat yang sebelumnya menyanggaku.

"Kamu takut mama kamu marah?"

Ganira mengangguk.

"Kenapa?"

Aku dapat melihat jika rasa takut anak itu kembali mencuat. Kedua rahangnya bergerak ragu, bola matanya naik turun seolah-olah mencari susunan teks tak kasat mata yang terpampang di hadapannya. Atau mungkin karena anak itu tak tahu bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya?

"Soalnya om bilang kalau Ganira ...." Kalimatnya terputus, tetapi bukan karena interupsi dari luar, melainkan anak itu memang ingin menghentikannya yang jelas karena suatu sebab.

Sengaja kutahan lontaran kalimatku, berjaga-jaga seandainya masih ada kata yang hendak ia keluarkan. Namun, beberapa detik berlalu, Ganira urung. Kalimatnya benar-benar terhenti, yang jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin melanjutkannya.

"Kamu tahu kelakuan kamu tadi siang itu nggak baik, kan?"

Ganira mengangguk lagi.

"Terus, kenapa tetep kamu lakuin?"

Aku tak tahu setan apa yang tengah merasukiku. Aku tak pernah berbakat untuk mengobrol dengan anak kecil. Biasanya, jika bukan aku yang menghindar, anak-anak itu lari ketakutan lebih dulu karena melihat perawakanku. Namun, Ganira berbeda dari anak-anak seumurannya. Pikirannya lebih dewasa, biarpun rasa takut khas anak kecil di dirinya masih ada. Setidaknya, dia tidak seperti anak-anak seumurannya yang mudah menangis ketakutan, mengadu dan mencari perlindungan di balik orang tuanya, atau sekadar melemparkan ancaman-ancaman kecil sekadar untuk membuat dirinya terlihat berani. Jadi, anak ini memang cukup ... berbeda. Aku rasa hal itu juga lah yang membuatku bisa berkomunikasi baik dengannya.

Selain itu, pertanyaanku yang sedikit membebankan kesalahan pada dirinya, biasanya ditolak mentah-mentah, apalagi oleh anak kecil yang selalu merasa benar. Tapi, Ganira jelas tahu, dan sekarang ia sedang mencari jawaban akan motivasinya melakukan kesalahan itu—yang disengaja.

"Papa juga pernah kayak gitu."

Aku seharusnya terkejut, tetapi mengingat Januar yang brengsek, aku tidak terlalu kaget. Jadi, aku lebih memilih membiarkan Ganira melanjutkan ceritanya.

"Kayak gitu gimana?"

"Waktu itu ada kucing masuk ke rumah, papa cekik sampai mati gara-gara berisik."

Aku menghela napas. Sesungguhnya, batinku sedang berteriak. Namun, kuberikan ekspresi terbaikku, berpura-pura bodoh, kemudian membuat anak itu merasa baik-baik saja.

"Mama kamu nggak lihat? Kenapa nggak dicegah?"

"Mama lagi tidur. Waktu itu lagi malem."

"Kalau gitu, kamu lagi ngapain sama papa kamu sampai ngeliat yang begituan?"

"Nonton televisi."

"Nonton televisi tapi pintunya dibuka?"

"Papa bilang mau ada tamu, jadi sekalian dibuka. Biar dingin, katanya."

"Kamu lihat tamunya?"

Ganira kembali menggelengkan kepala. "Ganira langsung tidur habis kejadian 'itu'"

Aku mengelus kepalanya, mengisak rambut dan membuatnya sedikit berantakan. Namun, rambutnya yang lurus selau berhasil kembali ke posisi semula.

Ganira melanjutkan, "Om, Ganira takut ketemu mama."

Anak itu mendongakkan kepalanya, membuat kami bertemu empat mata. Matanya yang jernih benar-benar tak menutupi perasaannya. Gerakan-gerakan kecil pada retina membuatnya terlihat hampir mengeluarkan air mata. Sekali lagi, kusibakkan rambut-rambutnya yang halus.

"Nanti om minta mama kamu biar nggak marah. Tapi, sekarang kamu harus keluar kamar. Gimana?"

Setidaknya, perlu beberapa detik hingga Ganira menyetujui keinginanku. Namun, dia terus berada di belakangku, ketakutan, apalagi ketika aku membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar. Lorong kecil yang terasa sedikit redup kini terasa sedikit gaduh akibat bunyi masakan yang tak dapat kukenali aromanya. Ketika aku berjalan menyusuri tangga, berulang kali kuputar badan hanya untuk memastikan bahwa Ganira tidak kembali ke kamarnya.

Anak itu memegang susuran tangga, berjalan dengan hati-hati tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Pandangannya fokus pada langkah kaki, berusaha untuk tidak terjatuh. Ketika kami berdua sampai di lantai bawah, aku memintanya untuk menunggu di ruangan depan, membiarkan dia melakukan aktivitas dengan bebas, selama tidak kembali ke kamar maupun pergi dari rumah. Sedangkan aku, dengan kedua tangan yang kuselipkan ke dalam saku, segera mendekati dapur dan mendapati nasi goreng tengah diaduk di dalam katel besar.

Sebuah telur dadar telah tersaji di atas meja. Namun, dari ketebalannya aku yakin jika telur dadar itu dibuat dari beberapa butir telur, mungkin tiga atau empat. Kini, aku dapat merasakan aroma kecap yang terbakar—penciumanku memang amat buruk.

Aku mendekati istri Januar, tetapi tidak menepuk bahunya—tabu bagiku. Aku hanya mengagetkannya dengan obrolan ringan.

"Ada yang bisa aku bantu?"

"Saya lupa membawa piring untuk nasi, kalau Anda tidak keberatan, Pak."

Perhatianku masih terpusat pada nasi yang dimasaknya. Terlalu banyak jika hanya untuk disuguhkan pada anak kecil. Rasa penasaranku timbul.

"Ganira makan sebanyak ini?"

Istri Januar sadar akan pertanyaanku, ia melemparkan pandangannya ke arahku untuk beberapa detik, sebelum kembali mengatur gerakan matanya dengan lengan yang naik ke atas dan ke bawah.

"Oh, ini untuk Anda juga, Pak."

"Untukku?"

"Saya lupa saya belum menyuguhi apapun pada Anda sampai saat ini."

Aku lupa bahwa aku belum makan, mungkin dari pagi, tapi rasa lapar hari ini belum menyerangku. Mungkin karena aku terlalu memikirkan Ganira?

Selain itu, aku dapat memakluminya. Mungkin, terdengar sangat tidak sopan bagi siapapun untuk tak menjamu tamu, baik dengan makanan maupun minuman. Namun, memasak semalam ini untuk tamu saja sudah seharusnya aku apresiasi, sebab perempuan ini sedang dalam kondisi emosi yang tak stabil. Jadi, kenapa aku harus mempersulit dirinya dengan protes karena tak mendapat makanan? Lagipula, seharusnya aku tidak di sini, kan?

Aku mengambil piring setelah kutanyai di mana bisa kudapatkan benda itu. Namun, tanganku memaksa untuk mengambil tiga buah keramik lingkaran itu walaupun istri Januar bilang dia sedang tak nafsu makan—padahal aku juga tahu dia belum makan dari siang, hanya karena memikirkan Ganira.

Aku memaksa, dan perempuan itu menyerah. Porsi makanan dibagi menjadi tiga bagian, dan aku memilih untuk mendapatkan piring dengan jumlah porsi paling sedikit, padahal perempuan itu bilang jika porsi yang diambil seharusnya untuk Ganira. Aku berkilah dan memberitahu bahwa seharusnya Ganira lah yang mendapatkan porsi paling besar, karena dia pasti kelaparan, sedangkan aku masih bisa menahan nafsu makan. Sehingga, perempuan itu kembali menyerah.

Kami bertiga makan bersama, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Makan bersama kami hanya ditemani dengan obrolan-obrolan kecil. Rasa canggung antara Ganira dan ibunya terpaksa membuatku harus mencairkan suasana, sekadar membuat lelucon tolol yang tak layak disebut lelucon, maupun mencari tahu keseharian Ganira. Selain itu, aku sedikit membicarakan diriku, bagaimana pekerjaanku, dan menceritakan berbagai pengalaman yang bagiku menarik untuk diceritakan, termasuk menceritakan Wijaya. Seharusnya, Ganira sudah tahu sebagian besar cerita itu, karena kurasa Januar memiliki pengalaman yang sama, bahkan lebih banyak dengan asumsi dia menceritakan kehidupannya sebagai anggota PK. Namun, tampaknya cerita dari orang yang berbeda berhasil membuat anak itu termangu, serius mendengar lontaran-lontaran kalimat yang keluar dari mulutku. Sedangkan istri Januar, dia tak keberatan jika aku menjadi pengisi acara utama, karena tampaknya dia masih canggung untuk berbicara dengan Ganira.

Ketika makanan kami telah habis, aku meminta Ganira mencucikan piring sebagai bentuk bantuan pada ibunya, yang akhirnya berterima kasih. Anak itu pergi tidur setelahnya, dan aku pamit untuk pulang dengan waktu yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Aku membuka pintu, ditemani oleh istri Januar yang berada di belakangku. Langkahku terhenti, berbalik, aku memberikan titah. "Aku rasa Ganira hanya perlu ditemani. Pengaruh Januar pada dirinya terlalu besar. Aku rasa Januar pernah melakukan banyak hal yang tak seharusnya Ganira lihat, dan Ganira menirunya, tentu di luar pengawasan Anda, Bu Yulda."

Untuk pertama kalinya aku memanggil nama perempuan itu. Lidahku masih terasa kelut, tetapi aku berusaha untuk tak memikirkannya.

"Terima kasih, Pak Roy. Dan ...." Istri Januar memotong kalimatnya. Pandangannya dilempar beberapa kali. Keraguan mencuat dari dalam dirinya, tetapi aku sendiri tidak tahu apa itu.

Aku melayangkan pandangan keheranan, membuat perempuan itu melanjutkan.

"Saya sudah memikirkan semuanya, sepertinya saya akan pindah dari sini."

Aku tersenyum simpul, kemudian mengangguk. Angin panas berhembus menghantam tubuhku.

"Jika kau berpikir itu adalah tidakan terbaik, silakan saja."

"Apa saya boleh meminta nomor Anda?" Perempuan itu tiba-tiba berceloteh tanpa aba-aba.

Nomorku? Aku tidak ingat pernah memberikannya atau belum. Namun, jika memang belum, lalu untuk apa?

"Untuk apa, Bu?"

Sekali lagi, perempuan itu terlihat ragu. Dia pasti tengah mengumpulkan banyak kekuatan agar dapat mengungkapkan pikirannya. Aku harus bersabar sebelum akhirnya dia menjawab.

"Untuk Ganira. Saya takut ada hal aneh tak terduga lainnya yang tak dapat saya tanggulangi. Saya harap saya bisa meminta bantuan dari Anda, Pak. Saya tak tahu bagaimana menceritakan kejadian tadi siang pada orang lain, dan saya tak ingin orang lain mendengar cerita itu. Jadi, saya merasa saya hanya bisa meminta bantuan pada Anda, pak."

"Aku ingat ketika pertama kali Anda menyerang saya."

Aku tertawa kecil. Ya ampun, waktu cepat berjalan, ya?

Wajah perempuan itu berubah menjadi merah padam. Ia menunduk, tetapi aku tak ingin menyiksanya terlalu lama.

Akhirnya, aku memberikannya sebelum akhirnya benar-benar pergi, kembali mengendarai mobilku untuk kembali ke kota Bandung yang dingin.

Aku tak tahan lagi dengan keringat yang membanjiri tubuhku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top