14. Light it Up
Mulutku masih penuh dengan sayuran ketika ponselku berdering. Getarannya membuatku terkejut, tapi tak semengejutkan itu hingga membuatku tersungkur. Secepat mungkin, kuseka beberapa bagian mulutku, memastikan tak akan ada air yang tumpah ketika percakapan—yang menampilkan nama Wijaya begitu kulihat layar ponsel—mulai dibuka.
"Pak Roy?" Di seberang sana, Wijaya segera memanggil namaku. Sialannya, makanan yang belum turun ke kerongkongan membatasi cara bicaraku. Mau tidak mau, kupaksa hasil kunyahan itu untuk turun terlebih dahulu.
Wijaya kembali mencaritahu keberadaanku.
"Pak?"
"Maaf," balasku, segera setelah memastikan mulutku bersih dari sisa makanan. "Ada apa?"
"Saya baru mendapatkan panggilan dari tim IT. Mungkin Anda ingin melihatnya juga."
"Kenapa?"
Kini, Wijaya yang menahan kalimatnya. Dari seberang sana, aku tak mendapatkan apapun, tetapi dapat kumaklumi karena aku tahu, bagi beberapa orang, mengemas untaian kalimat sehingga menjadi efektif dan efisien tidaklah mudah. Aku hampir melanjutkan suapanku, tetapi Wijaya sempat memotongnya.
"Secara tidak langsung, kasus ini sebenarnya kasus Anda kan, Pak? Maksud saya, Anda yang mulai menyelidiki, kemudian membukanya, saya rasa Anda tetap harus tahu perkembangan kasus ini secara langsung."
"Di mana kau dan tim IT akan bertemu?"
"Laboratorium digital."
"Aku akan menyusul," jelasku, mengonfirmasi, dan Wijaya menyetujui.
Panggilan ditutup, kembali membuatku menyuapi mulut dengan leluasa. Namun, pikiranku yang kacau masih tak dapat menghalau pemikiran mengenai berita apa yang akan kudapatkan nantinya. Aku percaya pada tim IT, mereka akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin, tetapi aku belum mengetahui kapasitas Yusup. Jika dia bisa, dengan luar biasa, mengelabui orang-orang untuk tak mengetahui kepintarannya, bagaimana mungkin aku yakin jika Yusup tak akan menutupi jejak-jejak digitalnya hingga sulit dilacak? Hampir satu minggu telah dilalui sejak hari terakhir kuminta para tim IT untuk menyelidiki jejak Yusup. Dan dari pengalamanku—setidaknya kasus-kasus yang pernah kuselidiki—satu minggu bukanlah waktu yang cepat.
Suapan terakhir wortel yang bercampur dengan butiran-butiran nasi menjadi penanda akhir dari makan siangku. Kusilangkan masing-masing sendok dan garpu, kemudian membawa piring yang menempa kedua benda itu ke arah penyimpanan piring-piring kotor. Aku yang terbiasa memberikan uang sebagai alat pembayaran makanan sebelum menyantapnya kini berjalan keluar, menuju laboratorium digital seperti yang dikatakan Wijaya sebelumnya.
Ruangan itu, sama seperti laboratorium forensik, berada di bagian bawah tanah gedung khusus laboratorium, hanya saja terletak di bagian timur, berseberangan dengan laboratorium forensik yang biasa kukunjungi. Begitu anak tangga terakhir kupijak, suara-suara tawa langsung menggema. Aku dapat membayangkan mereka—beberapa di antaranya berdiri—sedang menyesap kopi hangat karena suhu ruang bawah tanah yang tidak bersahabat. Apalagi, akhir-akhir ini kota Bandung selalu memiliki suhu di bawah biasanya.
Ketika aku membuka pintu laboratorium, kudapati pemandangan yang mirip seperti apa yang kubayangkan. Tidak sama persis, tetapi cukup sesuai. Mereka terdiri atas tiga orang. Dua orang—satu duduk di depan komputer, yang kurus, dan satunya lagi berdiri bersandar dengan meletakkan sebagian pantatnya di atas meja, yang gemuk—merupakan tim IT. Aku tahu jelas karena ... ya, tentu saja karena aku meminta mereka secara langsung. Sedangkan seorang yang lainnya, jelas itu Wijaya. Namun, mereka terkejut bukan main. Kedua mata mereka terbelalak, hampir melonjak seperti keterkejutanku atas panggilan yang Wijaya buat.
Wijaya, yang seolah bertanggung jawab atas kehadiranku, segera berkata, "Pak?"
Aku tidak menjawab secara langsung. Bahkan, sebaliknya, aku tak menjawab sama sekali, malah menutup pintu dan berjalan mendekati mereka tanpa perasaan bersalah. Maksudku ... bukankah Wijaya yang memanggilku ke sini?
"Cepat sekali Anda datang, Pak."
Kini, kuangkat sebelah alis.
"Memangnya kenapa?"
Dan entah karena sedang tolol atau apa, aku baru sadar bahwa tadi Wijaya meneleponku, yang mengartikan bahwa ia tak tahu jika aku berada di lingkungan kantor. Maksudku, kenapa harus bersusah payah menghubungiku jika ia bisa mengajakku secara langsung? Dan aku tahu jelas, jika Wijaya merasa bisa menemuiku secara langsung, ia akan menemuiku secara langsung. Mungkin dia berpikir aku sedang keluar, membuatnya terkejut karena tak menyangka jika aku akan datang secepat ini.
Untungnya, Wijaya tak memiliki riwayat penyakit jantung. Jika ia mati karena kaget, siapa yang akan kusalahkan? Kantin kantor karena jaraknya begitu dekat dengan laboratorium? Mana mungkin bisa disalahkan, sialan, kantin itu tak akan disebut kantin kantor jika tak terletak di lingkungan kantor.
Aku, yang baru menyadari ketololanku itu, segera menimpali.
"Kalian sudah membicarakan apa yang kalian dapatkan?"
Si kurus menggeleng. "Belum, Pak Komisaris."
"Panggil aku Komisaris dalam acara formal. Aku tidak suka dipanggil seperti itu," balasku, segera membuat si kurus meminta maaf.
"Maaf, Pak Komisaris. Tapi ...."
Aku menyela. "Selama tidak ada orang lain yang kalian pikir akan mengadukan kalian karena memanggilku dengan tidak hormat, silakan saja. Kalau kalian pikir aku hanya ingin menjebak kalian karena ingin menyombongkan pangkatku, seharusnya Wijaya tak akan mau meneleponku lagi."
Wijaya tertawa, kemudian ikut menimpali, "Saya bisa mengonfirmasinya."
Dua orang itu, si kurus dan si gendut, menatapi satu sama lain. Tak begitu lama, kemudian mereka setuju akan keinginanku.
"Kami menunggu kedatangan Anda sebelum mulai mendiskusikan hasil temuan kami." Si gendut berbicara, menarik tubuhnya agar tak kembali bersandar. Tentu, di sela-sela langkahnya, ia menarik celana, kembali merapikan posisi pakaian agar rapi dan nyaman dipakai.
"Atas pemintaan saya, Pak Roy." Wijaya mengacungkan lengannya, kemudian menurunkannya setelah aku mengangguk dua kali.
Aku bertanya. "Lalu?"
"Kami tak menemukan apa-apa pada surel yang Anda berikan. Isinya seperti orang biasa kebanyakan. Registrasi media sosial, spam, tugas sekolah, tak ada yang menarik."
"Apa ada di antara akun media sosialnya yang aktif? Aku pernah mencarinya, tapi tak pernah kutemukan."
"Akunnya dihapus. Kami yakin."
"Oleh Yusup sendiri atau ...."
Atau siapa? Pilihannya antara Yusup atau orang lain, tapi siapa orang—setidaknya di dalam daftar nama yang ada di otakku—yang mau repot-repot menghapus akun Yusup? Kenapa harus dilakukan? Aku hampir bilang PK, tapi kembali kuproses pemilihan orang yang tepat. Lagipula, apa urusannya orang-orang PK dengan akun Yusup?
Namun, pemikiran berlebihanku itu dijawab dengan sederhana.
"Kami tidak tahu." Si gendut melanjutkan, membuatku menghela napas. Namun, Wijaya yang melihatku kecewa seolah berusaha menghiburku.
"Tapi mereka menemukan akun lain yang diduga milik Yusup," katanya. Tak ayal, kutajamkan kedua alisku, menukik hingga tengkuk hidung. Mataku dalam mode elang.
"Akun lain?"
Kini, si kurus yang berbicara.
"Alamat salah satu surel yang dikirimkan Yusup berbeda dari yang lain. Tepatnya negara lain. Kami menyelidikinya, dan mendapatkan nama surel lain dari alamat yang sama. Kami rasa Yusup lupa mematikan pengaturannya ketika mengirim tugas sekolah."
"Lalu ... apa bagian menarik dari surel itu?"
Si kurus memutar kursinya, meraih tetikus yang sedari tadi menganggur, membuat layar komputer canggih, jelas lebih canggih dari komputer yang ada di dalam kantorku, memperlihatkan pesan-pesan yang masuk, maupun keluar dari surel itu. Aktivitas terakhirnya sekitar sembilan atau sepuluh tahun lalu. Namun, aku tetap kebingungan. Bagian menarik mana yang dimaksud?
Si kurus, yang puas melihat reaksiku, memperlihatkan isi surel terakhir. Ia memencetnya, menampilkan surat orang lain yang—mungkin—ditujukan pada Yusup. Isinya tak lebih dari sekadar mengajaknya berjalan-jalan dan berjanji akan memberikan pengalaman menarik.
Namun, aku menimbang-nimbang.
"Kalian yakin itu ditujukan untuk Yusup? Kurasa di tanggal diterimanya surat itu, dia masih sekolah. Dia menghilang tujuh tahun lalu, kan?"
"Kalau arti dari bejalan-jalan dan memberikan pengalaman menarik itu dilakukan di dunia nyata. Ya, itu aneh. Lain ceritanya jika berjalan-jalan yang dimaksud itu di dunia maya. Di tanggal yang sama, semua akun dunia maya Yusup menghilang."
Aku menegguk ludah. Mereka lebih ahli untuk urusan ini, aku tak dapat menyangkal terkaan mereka. Lagipula, masuk akal juga, kan?
"Kami harus memeriksa perangkat-perangkat yang Yusup gunakan. Kami tak mendapatkan jejak apapun lagi dari alamat itu."
"Pak Jajang dan istrinya bilang jika Yusup selalu di rumah, belajar setelah pulang sekolah. Saya rasa dia menggunakan salah satu perangkat yang ada di rumahnya, Pak. Mungkin komputer" Wijaya angkat bicara, ia menjadi penarik perhatian. Kami bertiga—aku, si kurus, dan si gendut—menatap Wijaya secara saksama.
"Kecuali Yusup bisa pergi tanpa ketahuan, tentu saja," lanjutnya.
Wijaya tidak salah. Jika memang benar apa yang dikatakan orang tua Yusup, maka sebagian besar hidup anak itu berada di rumah, dan sebagian besar lainnya di sekolah. Artinya, anak itu hanya bisa menggunakan ponsel yang ... sekitar tujuh tahun lalu masih belum secanggih sekarang. Setidaknya, pada masa itu, orang-orang masih lebih memilih komputer daripada ponsel, apalagi untuk urusan-urusan berat. Walaupun tak menutup kemungkinan bahwa Yusup menggunakan ponsel—yang entah dimilikinya atau tidak saat itu—tetapi memang akan lebih masuk akal jika Yusup menggunakan komputer untuk aktivitasnya di dunia maya.
"Saya akan pergi ke rumah Yusup dan meminta izin orang tua mereka untuk memeriksa komputernya. Ya, jika ada dan masih ada."
Wijaya mulai bergerak, hampir meninggalkan kami bertiga, berdiri mematung di dalam laboratorium dan melihat kepergiannya sebelum kutarik salah satu lengan Wijaya. Lelaki itu berpaling, dan aku berkata, "Aku akan membantumu."
"Tidak usah pun tidak apa-apa, Pak. Saya akan berusaha hingga Pak Jajang mengizinkannya."
"Sejujurnya, bukan itu yang kutakutkan," balasku, segera. "Ada beberapa dari pengalamanku yang belum pernah kaualami. Jika hipotesismu benar, bahwa Pak Jajang merupakan anggota PK. Apa yang akan kaukatakan padanya seandainya situasi mendesak muncul? Kau akan bilang 'Anak Anda hilang karena kesalahan Anda, Pak jajang' dengan nada suara rendahmu seperti biasanya? Kau harus tahu bahwa aku—mungkin—terlibat cukup dalam dengan mereka. Aku tidak dapat menerka mereka, hal-hal mengejutkan sialan apa yang akan mereka lakukan, dan kurasa kau, Wijaya, belum mampu menghadapi situasi itu seorang diri."
Wijaya mengerjapkan kedua matanya.
"Tidak apa-apa, Pak."
"Kau tidak melihat perubahan brengsek Januar dari orang yang sangat dekat dan bersahabat dengan kita berubah menjadi monster. Kau tidak akan tidak apa-apa."
"Saya akan baik-baik saja, Pak. Lagipula apa yang akan Pak Jajang lakukan? Saya rasa dia tak akan langsung menggorok leher saya ketika saya memintanya."
"Aku tak akan mengunjungi istri Januar terus-terusan karena merasa bersalah telah mempertemukannya dengan Januar. Jadi, ya, kau tidak tahu apa yang akan orang-orang PK lakukan. Mereka bisa jadi gila secara tiba-tiba."
Wijaya diam.
"Lagipula, kau sendiri yang pernah bilang, kan? Aku dan kau adalah yang terbaik."
Sejujurnya, kalimat itu terasa menjijikkan di lidahku. Aku tidak tahu kenapa, perasaan, pikiran, alasan apa yang membuatku secara spontan mengucapkannya. Rasanya, ingin kutarik lidahku, menggesekannya ke kerah baju berulang kali hingga bersih. Namun, tentu saja tak kulakukan. Wijaya, yang tampaknya berpikiran sama, tertawa kecil, terkesan merasa jijik karena ucapanku itu.
Dan dari sisi sana, pertanyaan "Hah?" terlontar begitu saja. Aku berbalik, mendapati si kurus dan si gendut yang tengah membeku, memperhatikan kami dengan kebingungan. Mereka menahan tawa, aku yakin benar, apalagi setelah beberapa detik kemudian mereka membuat suara tawa tertahan, menyemburkan ludah-ludah keluar dari mulut melalui sela-sela gigi.
Kuangkat kedua lenganku.
"Sudah kukatakan aku tak suka bersikap formal." Aku membela diri. Namun, malah membuat tawa kedua anggota tim IT itu meledak. Dan sialannya, tampaknya mukaku akan berwarna merah ketika Wijaya menemani tertawaan mereka berdua.
Aku hampir pergi ketika kaki kiriku hampir keluar dari ruangan, melewati pintu yang kubuka sambil menahan malu.
"Hei, itu yang Wijaya ucapkan padaku, oke? Aku hanya mengulanginya."
Sekarang, aku benar-benar pergi. Namun, kurasa aku tak akan langsung pergi ke rumah Yusup karena aku ingin menanggalkan kejadian itu di dalam ruanganku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top