10. Bury the Hatchet II

Istri Januar tampak gelisah. Mulutnya komat-kamit, tapi suaranya tertahan di dalam kerongkongan, membuat suara berdeham yang aneh keluar dari mulutnya. Ketika kutajamkan pandanganku, mengangkat sebelah alis, kemudian mengetukkan masing-masing jari di antara kedua tangan, istri Januar segera menarik kepalanya, menghindari ketaknyamanan yang pasti sedang melandanya.

"Saya tidak percaya," komentarnya, tepat setelah rekaman yang kusimpan sedari dulu itu berhenti berputar.

"Saya juga," balasku, berbicara tak kalah cepatnya dengan perempuan itu. "Tetapi Januar sendiri yang bilang."

"Kalian pasti memaksa suami saya untuk berbicara seperti itu, kan?" Perempuan itu melotot. Ternyata, sikap yang sama belum pudar semenjak beberapa waktu lalu, ketika ia menyerangku yang menyerang keluarganya. Namun, aku mengerti tindakannya yang defensif.

"Tentu," tukasku, masih dengan cara berbicara yang sama. "Kami memang memaksa, tetapi memaksanya untuk membicarakan kejadian yang sesungguhnya, tak ada paksaan sama sekali untuk berbohong. Jika tidak, Januar tak akan pernah mengaku."

Perempuan itu menatapku tak percaya.

"Anda bisa mendengar suara saya dan suara Januar di rekaman itu, Bu. Anda bisa menilai sendiri bagaimana Januar dengan bangganya mengatakan bahwa ia membunuh korban, silakan dengarkan sekali lagi jika Anda tak percaya."

Istri Januar melumat kedua bibirnya. Napasnya menderu, tanda pikirannya sedang berseteru. Namun, ia tetap tak menerima tawaranku. Jadi, di dalam ruanganku ini, perempuan itu hanya diam mematung, tak ada komentar tambahan apapun lagi, membuatku melanjutkan pembicaraan untuk menghindari kekosongan.

"Saya hanya ingin meminta sedikit bantuan," Kuhentikan ketukan jari, membuatnya terdiam dan mendingin karena pendingin ruangan yang menyala. "Suami Anda mungkin tak hanya akan dijatuhi hukuman atas dasar pembunuhan, tapi juga penculikan dan pembunuhan untuk kasus yang lain."

Tentu, perempuan itu tetap diam tak berkomentar.

"Hanya saja, kami belum bisa menemui korban dan melacak keberadaannya. Jadi, di sini saya meminta Anda untuk membantu membujuk Januar memberitahu di mana lokasi anak itu berada, sekaligus memberitahu siapa saja orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan itu."

Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kini, matanya yang melotot berubah menjadi sipit, mempertanyakan pernyataanku.

"Kenapa saya harus membantu Anda?" tanyanya.

"Saya akan berusaha meringankan hukuman suami Anda." Tentu, aku tidak benar-benar bermaksud akan melakukan hal itu. Walaupun aku tak ingin berbohong, aku tak memiliki pilihan lain selain memanipulasi keadaan, membuat perempuan itu menuruti keinginanku. Aku bukan malaikat, sialan. Memangnya kaupikir aku bisa melepaskan Januar begitu saja setelah semua tindakannya terungkap? Aku bukan tokoh utama sinetron religi yang bisa menerima semua tindakan brengsek orang-orang di sekitarnya dengan sabar.

Perempuan itu menggeram, matanya menilik ke sana dan ke mari. Kemudian, ia bertanya, "Mengapa Anda mau meringankan hukuman yang akan dijatuhi pada suami saya—jika memang dia bersalah—seandainya saya membantu Anda?"

Sungguh, pemikiran yang kritis. Aku menyukainya, bagaimana perempuan itu tidak dengan mudah percaya akan seluruh omonganku, membuatku harus berpikir ulang dan berusaha meyakinkannya dengan susunan kalimat yang lain. Hanya, saja, sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk memuji pertanyaannya itu.

"Bukti rencana penculikan ... pembunuhan, sebenarnya, itu pasti akan memberatkan Januar, tak mungkin ia hindari. Januar tidak dapat lepas dari tuduhan. Bahkan, mungkin berlapis, salah satunya pembunuhan, dan satunya lagi adalah pembunuhan berencana." Aku menarik napas, sekadar memberi jeda agar tak kekurangan oksigen akibat terlalu banyak bicara. "Jika Januar mau bekerja sama, saya bisa mengusulkan permintaan keringanan. Setidaknya, dia membantu mengungkapkan kebenaran kasus yang telah terjadi tempo waktu."

Istri Januar tak langsung menjawab. Gerakannya kembali membeku, tetapi kini disertai wajah kebingungan. Sebenarnya, aku yakin jika memberitahu perempuan ini—yang entah sedang memikirkan apa—bahwa korban dari kelakuan keji Januar adalah anakku, kesempatan untuknya membantuku akan terbuka lebih lebar. Namun, aku tetap ingin bertindak profesional, sekaligus mengasah kemampuanku berkomunikasi, menghasut, menjerumuskan, meminta seseorang untuk mengikuti perintahku, tentu saja pada seseorang yang tidak memiliki ikatan pekerjaan denganku. Selain itu, kesalahan yang kubuat—melibatkan emosi pribadi dalam melaksanakan tugas—membuatku kini, pada akhirnya, benar-benar mencoba menghindari hal itu.

Coba bayangkan, apa jadinya jika aku benar-benar membunuh Januar? Bisa-bisa aku yang berada di dalam sel penjara sekarang ini. Selain itu ... sialan, padahal aku bisa bersikap masa bodoh dan meninggalkan Luthfi ketika ia membuang tiga mayat polisi korup ke sungai, berpura-pura tak melihat apapun dan tak peduli dengan kelompok brengsek yang sekarang menghantuiku. Seluruh catatan itu, yang membuatku berhasil memenjarakan banyak anggota kepolisian brengsek tak tahu malu, semuanya berawal dari malam aku membantu Luthfi mengasingkan mayat dan membuat mereka menghilang, pergi dari dasar bumi.

Ketika napasku menderu, bergelut dengan segala pikiran yang malah memberikan kesimpulan bahwa semua hal yang terjadi pada diriku adalah kesalahanku, istri Januar akhirnya menjawab.

"Saya akan mencoba," katanya, dengan suara lirih. Namun, tetap kutanggapi dengan antusias.

"Terima kasih." Aku menarik berkas kasus—salinan lebih tepatnya—yang sebelumnya kusimpan di dalam laci meja, kemudian menyimpannya di atas meja. Tentu, tak kubeberkan seluruh salinan itu padanya, hanya beberapa halaman yang kuanggap perlu perempuan itu ketahui.

"Namanya Yusup, terakhir sebelum menghilang dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas dua belas," jelasku, ketika perempuan itu menarik salinan berkas kasus yang kutawarkan. "Korban menghilang di tanggal yang tertera pada berkas, diduga sekitar pukul dua hingga empat siang."

Istri Januar menilik salinan itu dengan saksama. Bola matanya mengedar ke sana ke mari, memindai seluruh kata yang tertera pada kertas itu. Namun, aku yakin dia masih mendengarkanku.

"Dugaan sebelumnya, korban kabur karena tekanan dari lingkungan. Namun, data yang ada pada komputer suami Anda menunjukkan rencana pembunuhan korban."

"Rencana bagaimana?"

"Saya tak dapat memberitahu detailnya," tukasku. "Intinya seperti itu."

Dalam sekejap, istri Januar melemparkan tatapannya padaku, mengesampikan berita yang ada pada salinan kasus. Kemudian, ia bertanya, "Lalu, apa yang harus saya tanyakan pada suami saya?"

"Anda bisa berimprovisasi, yang penting, Januar memberitahu di mana anak itu berada, siapa saja yang terlibat, kalau bisa nama-namanya. Apa Anda dapat melakukannya?"

Sekali lagi, perempuan itu tak langsung menjawab. Matanya kembali jatuh pada untaian kalimat-kalimat yang tertera pada salinan kasus. Perlu beberapa menit sampai akhirnya perempuan itu setuju, mengiyakan pertanyaanku, kemudian segera berdiri menuju ruang interogasi yang tentu saja akan membuatnya merasa tak nyaman selama beberapa waktu.

===

Januar memasuki ruang interogasi. Wajahnya lesu, rambutnya yang tak dikeramas selama beberapa hari membuatnya berantakan. Baju tahanan sementaranya kusut, membuatnya tampak seperti seorang gelandangan daripada polisi yang terjerat kasus hukum.

Aku berada pada ruangan lain, tepat di samping ruang interogasi, hanya dibatasi sebuah kaca dua arah berukuran besar. Aku bisa melihat gerak-gerik mereka berdua dari sini, bagaimana Januar, dengan entengnya, duduk di hadapan istrinya, menengok perempuan itu tanpa rasa bersalah. Namun, tentu mereka berdua tak dapat melihatku yang sedang berdiri di ruangan ini.

Pengeras suara yang sengaja dihubungkan dengan mikrofon dalam ruang interogasi memberikan decitan kursi yang tak menyenangkan, melengking, seperti siap menyerang gendang telingaku. Ketika Januar menjatuhkan raganya di atas kursi, dia masih tak melepaskan pandangan mengerikan dari istrinya.

Aku gelisah, berkeringat, padahal aku tidak sedang berada di ruang interogasi yang super sumpek itu. Namun, entah mengapa kurasakan hal yang sama seperti biasanya, ketika aku berusaha mencari kebenaran dari tersangka yang ahli berkelit.

"Jan," permpuan itu memulai percakapan, walaupun lebih tepat kusebut sebagai sapaan. Namun, tak kulihat kemesraan mereka sebagai suami istri. Perempuan itu lebih memilih untuk mengepalkan kedua tangannya, kemudian menyimpannya di atas meja, tak ada sentuhan fisik sama sekali untuk Januar.

Kemudian, Januar tersenyum.

"Loh, Ma, sekarang jadi manggil pakai nama? Kenapa?"

Refleks, otakku kembali bergelayut dalam lautan memori. Januar memberikan kesan yang sama. Menantang, brengsek, membuatku ingin kembali menghajar wajahnya.

"Ganira ikut ke sini?" Januar kembali melanjutkan, masih dengan senyumnya yang belum hilang.

"Nggak, Pak."

Aku tak mengerti mengapa perempuan itu mengganti panggilan untuk suaminya. Apa mungkin karena pertanyaan Januar sebelumnya?

"Kamu tinggal dia sendiri di rumah?"

"Ganira dititipin ke Ibu Ratna."

"Kenapa nggak kamu ajak ke sini?"

Istri Januar tak berargumen, malah membuat Januar semakin leluasa untuk berbicara.

"Jangan-jangan kamu percaya kalau Bapak emang tukang ngebunuh, ya?"

Aku masih mendengarkan dengan fokus. Kulipat kedua lenganku, memangku dada, berdiri sendirian sambil menyaksikan bagaimana mereka berkomunikasi.

Januar menarik kursinya, membuat jarak antara tubuh dan tebing meja semakin mengerucut. Kepalanya ia dorongkan, membuat sang istri dapat melihat wajahnya dari jarak yang cukup dekat. Namun, sang istri malah menarik kepalanya, menjauhi raga Januar. Memang, gestur Januar cukup mengerikan, setidaknya itulah kesimpulan yang dapat kutarik, seperti seorang badut yang berusaha menyenangkan anak-anak, sayangnya si anak tak menyukai badut.

Sejenak, aku berpikir semuanya akan berakhir dengan baik-baik saja. Aku pikir Januar akan berusaha meyakinkan istrinya bahwa dia—dengan kebohongannya—tidaklah bersalah. Namun, tebakanku sangat meleset.

Januar menarik kedua bibirnya, membuat terowongan untuk mengeluarkan kalimat—paling brengsek—yang kupikir tak akan pernah keluar dari mulutnya di saat seperti ini, ketika sang istri ada di hadapannya.

"Itu bener, kok, Ma."

Tak ada penyangkalan, tak ada pertahanan diri sama sekali, kalimat yang Januar ucapkan itu keluar dengan lancar, tak ada hambatan, bagaikan kereta api yang keluar dari terowongan.

Istri Januar terkejut, tentu saja. Maksudku, bagaimana mungkin orang yang sangat dekat denganmu, orang yang sangat kau percayai, kau perjuangkan mati-matian dan membelanya, mencoba meyakinkan semua orang bahwa ia tak bersalah, malah terang-terangan mengakui hal itu tanpa adanya beban, keluar begitu saja dengan ringannya? Istri Januar terguncang, itu pasti. Tangannya merinding, aku dapat melihat hal itu. Aku yakin, jantungnya sedang berdegup dengan sangat kencang.

Namun, tidak hanya sampai di sana. Tepat setelahnya, Januar memalingkan wajahnya, menengok tepat ke arahku.

"Dan kau, Roy, seenaknya saja menggunakan istriku. Apa yang kauinginkan dariku?"

Tidak aneh jika Januar tahu bahwa aku sedang mengamatinya. Maksudku, dia juga polisi, kan? Kami berada di bagian yang sama, melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus serupa, dan aku yakin prosedur yang dilakukannya untuk memenjarakan pelaku pembunuhan pun tak jauh berbeda dengan apa yang kulakukan. Dia tahu aku sedang mengawasinya, dan tentu saja tak aneh jika laki-laki itu pada akhirnya menoleh ke ruangan ini, lebih tepatnya ke sebuah kaca, biarpun aku tahu dia tak dapat melihat bayanganku.

Istri Januar segera berlari, keluar dari ruangan, meninggalkan Januar duduk sendirian di dalam ruangan. Aku tak memiliki pilihan lain selain mengikutinya, turut keluar ruangan dan mendapatinya tengah menuju ke arahku.

Perempuan itu ketakutan. Tubuhnya masih gemetar, matanya tak berani menatapku, tetap menunduk dengan gelisah. Kutarik perempuan itu, kembali masuk ke dalam ruangan di mana sebelumnya kuawasi mereka berdua.

Perempuan itu hampir menangis, salah satu kejadian yang hampir tak pernah kupikirkan, mengingat bagaimana dengan kerasnya—biasanya—ia memberontak, mempertahaknkan keidealisannya dan tidak mudah percaya dengan orang lain.

Aku menarik pergelangan tangannya, sengaja kuposisikan perempuan itu agar tak dapat melihat Januar, dari balik kaca, yang tengah duduk sendirian, termenung, tak melakukan apa-apa.

Aku berusaha menenangkannya, menepuk pundaknya beberapa kali ketika ia hampir sesenggukan. Kepalanya mendongak, menatap ke arahku. Air matanya berhasil membendungi bola mata, hanya butuh beberapa detik sebelum akhirnya menetes.

Di sela-sela ketakutannya, perempuan itu bergumam pelan.

"Dia bukan suamiku."

Perempuan itu kembali menundukkan kepalanya, dan aku tak memiliki pilihan lain selain membawanya kembali ke ruanganku, tentu saja setelah perempuan itu merasa lebih baik. Aku tak ingin ia menjadi pusat perhatian, mendapatkan beragam pertanyaan akan apa yang terjadi padanya. Jadi, setelah memastikan bahwa wajahnya terlihat baik-baik saja, tak terlihat ketakutan, kembali kutuntun dia untuk kembali ke ruanganku, mendapati Wijaya tengah duduk di atas kursi yang tersimpan di dalam ruanganku.

Aku terkejut. Wijaya tidak pernah memberitahuku akan datang. Jadi, segera setelah membawa perempuan itu kembali, aku memintanya menunggu beberapa saat sambil mengajak Wijaya keluar ruangan, membicarakan hal-hal yang menurutnya penting untuk dibicarakan. Kami berdiri di depan ruanganku.

"Saya berusaha menghubungi Anda, Pak," akunya, membuatku sadar bahwa ponselku telah mati sejak lama, mungkin satu atau dua jam setelah aku membaca pesan Wijaya yang menyarankan rencana itu, mencoba membujuk istri Januar agar Januar mengungkapkan kejadian yang sebenarnya terjadi Yusup.

"Ponselku mati. Aku menginap di kantor semalam, tidak membawa charger, maaf."

Wijaya melempar pandangannya ke ruanganku yang tengah ditutup. Namun, tanpa perlu menunggu, aku tahu dengan jelas pertanyaan yang akan disampaikannya.

"Tidak berjalan begitu baik. Januar lebih gila dari yang kuduga."

"Oh," Wijaya mengangkat kedua alisnya, bergelayut pada keningnya yang luas. "Saya minta maaf, Pak."

"Bukan salahmu," kataku, "Siapapun tak akan menyangka jika dia akan mengakui perbuatannya, dengan tenang, tepat di depan istrinya yang benar-benar percaya padanya. Perempuan itu pasti terguncang dan tak dapat kita cegah."

Kini, aku benar-benar melihat Januar sebagai psikopat gila yang luar biasa. Manipulatif, brengsek, berhasil membuat banyak orang memercayainya. Bahkan, sialannya, dia sempat berusaha melakukan hal yang sama padaku, berusaha berpura-pura tak tahu menahu ketika kutanyai pembunuhan Loka.

"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?"

Wijaya tersadar, ia menarik ponsel dari saku celananya. Kemudian, memberikan benda itu padaku ketika tampilan layarnya sedang memuat sebuah gambar.

"Anda ingat semalam saya mengatakan akan melihat daftar nilai Yusup, kan, Pak?"

Aku mengangguk.

"Saya rasa Anda harus melihatnya sendiri, ada hal aneh di dalam kumpulan nilai Yusup"

Alisku menukik tajam. Memang ada apa dengan nilai-nilai itu?

Kupindai layar ponsel Wijaya, sebuah foto menampilkan layar komputer yang tengah menyala, terdistorsi akibat kamera ponsel yang tak dapat menangkap sinar radiasi secara sempurna, tetapi tetap dapat terbaca. Ada dua nilai utama, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Semuanya terisi, kecuali bagian ujian akhir semester yang pasti tak sempat Yusup lalui karena para polisi korup itu terlanjur menganggu kehidupan Yusup.

Kucek masing-masing nilai, semuanya buruk, persis seperti apa yang guru walinya katakan. Jujur, awalnya aku tak tertarik, tapi semakin lama kuperhatikan, ternyata persis seperti apa yang dikatakan Wijaya, hal menarik yang aneh muncul dalam nilai Yusup.

Aku kira, ketika guru-guru yang pernah menjadi wali Yusup mengatakan bahwa nilainya selalu jelek, selalu lima puluh, itu hanyalah konotasi yang menunjukkan bahwa nilai Yusup memang selalu buruk. Namun, aku tak pernah menyangkan bahwa apa yang mereka katakan itu—semuanya—ternyata seharusnya kutangkap secara bahasa.

Nilai Yusup, semuanya lima puluh.

Aku dan Wijaya saling beradu pandang.

Bagaimanapun, mendapatkan nilai lima puluh dalam semua mata pelajaran, di setiap tingkat, adalah hal yang mustahil, kecuali kau benar-benar mengetahui jawaban yang benar dan jawaban yang salah dari setiap pertanyaan.

Guru-guru wali Yusup mungkin mengatakan bahwa ia selalu mendapatkan nilai lima puluh bukan berdasarkan seluruh nilai ujian tengah semester atau ujian akhir semesternya, melainkan nilai ulangan, ujian tengah semester, dan ujian akhis semester dari mata pelajaran yang mereka ajar. Jika selama kegiatan belajar mengajar sang wali kelas mengadakan dua kali ulangan harian, maka Yusup mendapatkan empat buah nilai lima puluh, cukup untuk mereka ingat bahwa Yusup selalu mendapatkan nilai lima puluh tanpa mengecek mata pelajaran yang lain, tak sadar bahwa Yusup melakukan hal yang sama terhadap seluruh mata pelajaran.

Hal itu membuat kesimpulan yang lain: Yusup bukan anak biasa dengan nilai yang selalu berada di bawah rata-rata. Sebaliknya, anak itu seorang jenius dan tahu apa yang sedang ia kerjakan.

Aku rasa polisi-polisi korup itu menyadari hal yang sama, walaupun aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan informasi itu.

Aku tak tahu alasan utama mereka, pada awalnya, ingin membunuh Yusup. Namun, kurasa aku tahu kenapa pembunuhan itu tak jadi dilakukan: mereka mendapatkan aset yang berharga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top