1. The Unforgiven

Ketika jenazah anakku—Loka—diturunkan, aku hampir tak dapat melepaskan diri dari berbagai delusi mengenai kehidupan dalam dunia alternatif lain. Aku berandai-andai, bagaimana Loka hanya mempermainkanku, mengagetkanku dari belakang ketika memanggil-manggil namanya, membuatku melompat tinggi.

Loka menertawaiku, sedangkan aku, dengan jantung yang berdegup kencang, merasa malu karena telah dipermainkan oleh seorang anak yang bahkan umurnya belum genap berusia dua puluh tahun.

Aku marah, meneriakinya, kemudian mengetuk pelan kepalanya dengan sebelah tanganku, memberikan kalimat-kalimat brengsek yang tak disukainya. Mungkin, di dunia alternatif itu, aku benar-benar marah, tetapi hal yang berbeda terjadi di tempat ini. Aku malah menginginkan kejadian seperti itu. Aku akan lebih senang untuk jatuh tersungkur akibat terkejut, mendengar teriakan Loka yang memang sengaja dilakukannya untuk mengagetkanku. Aku benar-benar berharap kejadian itulah yang menimpaku pada malam kemarin, tetapi tentu waktu tak dapat diputar kembali. Jadi, aku hanya merekam ulang kejadian-kejadian yang tak pernah terjadi itu di dalam otakku.

Ketika butiran-butiran pasir kembali menutupi lubang yang telah digali, saat itu pula orang-orang memberikan salam terakhirnya untuk Loka. Kemudian, beberapa di antara mereka pulang, meninggalkan gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga. Aku sendiri memilih untuk tinggal lebih lama, begitu pula dengan beberapa orang yang ikut mengantar Loka ke dalam peristirahatan terakhirnya.

Hampir semua rekan kerjaku datang, Wijaya pun termasuk ke dalamnya. Lilia—istri Wijaya—tak absen untuk menampakkan wajahnya, sekadar untuk menghormatiku. Riska—adik tiri Wijaya—tak dapat hadir karena sedang sekolah.

Selain itu, beberapa teman Loka—masih dengan menggunakan seragamnya—menjadi perwakilan atas utusan sekolah dalam menghormati salah satu kepergian anak didik mereka. Dua orang perempuan dan dua orang laki-laki, tetapi aku tidak kenal betul dengan mereka. Yang jelas, aku pernah melihat si anak laki-laki menjadi teman nongkrong Loka ketika ia masih duduk di kelas sepuluh dan sebelas. Namun, aku tak ambil pusing.

Tetangga-tetanggaku datang melayat. Aku merasa cukup bersyukur karena setidaknya mereka memiliki rasa kepedulian atas kepergian Loka, walaupun tetap harus ditemani dengan desas-desus tak mengenakkan khas omongan-omongan tetangga. Mulai dari sekadar merasa sedih atas kepergian Loka, hingga membuat hipotesis bahwa seorang penjahat keluar dari penjara, kemudian membunuh Loka untuk membalaskan dendamnya padaku.

Sungguh, aku tak mengerti dengan cara berpikir mereka. Tak bisakah mereka mengunci mulutnya untuk sementara? Walaupun harus kuakui, mungkin ada benarnya juga, sih.

Ketika pemakaman sudah semakin sepi, menyisakan aku, Wijaya, dan istrinya, hampir kukeluarkan air mata yang telah kutahan selama ini. Aku tak ingin terlihat cengeng, aku tak dapat membiarkan orang-orang melihatku sebagai orang yang hiperbolik. Jadi, selalu kutegaskan dalam diriku bahwa semua orang pada akhirnya akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintainya, walaupun tentu aku tetap tak dapat menerimanya karena kematian Loka bukanlah kematian yang wajar.

Mengenai profesi yang kujalani, jelas aku pernah melihat berbagai macam orang yang kehilangan anggota keluarganya secara tak wajar, bagaimana mereka menangis, menginginkan keadilan, dan kini aku berada dalam posisi mereka. Namun, jika mereka bisa mengadu kepada kami, meminta kami untuk menyelesaikan kasusnya, kemudian memaksa kami untuk membuat keadilan sesuai dengan keinginan mereka, bagaimana denganku? Apa aku harus mengadu pada diri sendiri? Lalu jika aku ingin orang itu mati, bukankah orang-orang hanya akan melihatku sebagai polisi payah yang bertindak sesuka hati? Aku harus tetap bertindak profesional, berperilaku sesuai prosedur, dan tentu akan sangat menyebalkan. Bagaimana jika si pembunuh hanya dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara? Dia bisa melenggang bebas setelahnya ketika Loka akan tetap terkubur untuk selamanya.

Wijaya menghampiriku, menepuk bahuku dua kali tanpa berbicara apapun. Ia hanya tersenyum kecil, membuatku membalas senyumannya. Dan seperti biasa, tanpa perlu bercakap pun aku tahu jelas bahwa dia mengingatkanku untuk tidak terlalu larut dalam suasana. Aku sendiri tak akan menyangkal keinginannya itu. Mungkin memang seharusnya seperti itu, kan?

Kematian yang menimpa Loka sendiri pada akhirnya dikategorikan ke dalam kasus pembunuhan, bukan bunuh diri. Lehernya yang patah jelas menunjukkan bahwa dia tidak mati tenggelam, kehabisan napas akibat air yang terus menerus masuk ke dalam paru-parunya. Namun, kasus itu tak menjadi penangananku. Seorang rekan kerjaku—AKP Rama—dipilih untuk memimpin pengusutan kasus ini, sesuai dengan keputusan Komisaris Yudha. Ah, ya, biarpun sebenarnya aku telah berada dalam posisi yang sama dengan Komisaris Yudha, aku masih belum terbiasa untuk menganggapnya setara denganku. Padahal, beberapa tahun lalu kami pun pernah bekerja sebagai rekan, tetapi rasanya sudah lama sekali, sehingga sampai saat ini aku masih menganggapnya sebagai atasanku—padahal kami sepantar.

Berbeda dengan suaminya, Lilia melontarkan banyak komentar, mulai dari memberikan simpati dan empatinya hingga pandangan-pandangan positifnya mengenai Loka yang ia dapatkan dari Riska. Lilia menceritakan bagaimana ia terkejut ketika mendengar berita kematian Loka. Tentu, aku berterima kasih akan kepeduliannya itu. Namun, tetap tak kukeluarkan komentar apa-apa. Aku tak ingin salah kata, membuatnya sakit hati karena merasa ucapan-ucapannya tak berharga, juga aku tak ingin membuatku mengingat kematian Loka lebih jauh lagi, bagaimana ketika tubuh pucatnya itu berada di pangkuanku.

Ketika Wijaya pamit untuk kembali ke pekerjaannya, aku beralasan untuk tetap tinggal di tempat ini beberapa lama lagi. Kini semua orang telah benar-benar pergi, menyisakan diriku sendirian, meratapi nisan yang baru ditanamkan. Bunga-bunga yang bermekaran menunjukkan betapa barunya makam ini dibuat di antara ribuan makam lainnya. Namun, bukan hanya itu tujuanku untuk diam sendirian di tempat ini.

Ketika kupastikan semua orang telah pergi, aku bergerak menuju jalan setapak di antara padatnya makam. Sebuah pohon besar di samping makam mewah berpagar menjadi salah satu objek yang menarik di antara tumpukan-tumpukan mayat yang tertimbun di bawah tanah.

Ketika angin berembus pelan, aku dapat melihat seorang lelaki bertopi yang tengah bersandar, melipat kedua tangannya untuk memangku dada. Pakaiannya serba hitam, dan jelas dia menahan diri untuk tak merokok, sekadar menghargai orang-orang yang telah meninggal dunia. Sebelah kakinya dijinjitkan ketika senderan bahunya hampir membuat pagar itu roboh.

Lelaki itu—Luthfi—segera berdiri ketika tahu aku datang menemuinya.

Apakah pertemuan ini merupakan sebuah kebetulan? Tentu saja tidak. Kalau memang kebetulan, kenapa aku harus mengunjungi makam yang tak kukenal, berlawanan arah dengan jalan pulang? Aku dan Luthfi telah bertemu sebelumnya, di malam yang sama ketika berita kematian Loka menyebar luas.

Setelah kutemukan mayat Loka di kamar mandi, menangisi kepergiannya, aku melakukan panggilan pada nomor darurat, menelepon rumah sakit melalui ponsel yang telah kusakukan sebelumnya karena imajinasiku, mengharapkan Loka masih bisa diselamatkan—tindakan yang sangat tolol.

Kala itu, pikiranku benar-benar kacau. Sebenarnya, bisa saja kupangku tubuh anak itu, memasukannya ke dalam mobil dan segera berkendara menuju rumah sakit. Namun, aku benar-benar tak dapat berpikir dengan jernih. Saat itu tak ingin kulepaskan Loka dari jangkauan. Aku tak memiliki pilihan lain selain menunggu bantuan untuk segera datang. Namun, munculnya mobil ambulans dalam perumahan di malam hari malah membuat banyak perhatian tetangga-tetanggaku. Ketika mereka mengangkut mayat Loka, tetangga-tetanggaku telah berkerumun, bertanya-tanya mengenai hal yang sedang terjadi.

Aku tak tahu bagaimana secara tiba-tiba mereka tahu bahwa Loka telah meninggal, padahal aku tak pernah memberitahu mereka selain mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres pada Loka. Kematian Loka hanya kuberitahukan pada Wijaya, selebihnya, seharusnya tak ada seorangpun yang tahu akan kematian Loka. Namun, aku pun tak dapat berbuat apa-apa ketika mereka—tetangga-tetanggaku itu—mengetahui apa yang terjadi.

Mereka semua memberikan reaksi yang sama. Penasaran, takut, tetapi yang paling tak kusukai: beberapa orang merasa gembira karena merasa mendapatkan fenomena langka terjadi di sekitarnya.

Pikiranku yang kusut. Aku memaksa para petugas untuk membawa Loka ke rumah sakit, padahal aku tahu benar dia sudah tak bernyawa. Ketika para petugas itu menolak keinginanku untuk membawa Loka ke rumah sakit, hampir kutampar mereka satu persatu, kemudian melarikan Loka dengan segera, menuju mobil ambulans, membuat para petugas itu tak memiliki pilihan lain selain mengikuti keinginanku. Aku duduk di dalam guncangan-guncangan kecil karena aspal jalanan yang tidak begitu mulus, ditemani seorang petugas yang memang ditugaskan untuk menjaga korban pada bagian belakang mobil.

Tentu, Loka tak mungkin diselamatkan. Ketika aku sampai di rumah sakit pun, betapa bodohnya aku masih berharap Loka hidup.

Ketika para perawat menanyakan bagaimana Loka menjemput ajalnya, aku tak memberikan pernyataan apapun selain pengakuanku yang mendapati Loka telah tewas ketika aku baru pulang bekerja. Walaupun sebenarnya aku memiliki beberapa dugaan terkait sang pembunuh yang mungkin melakukan tindakan kejinya pada Loka, aku tak ingin membagikannya terlebih dahulu dengan mereka. Lagipula pemikiran itu baru muncul ketika kutumpangi mobil ambulans rumah sakit, ketika aku mulai dapat berpikir dengan otak yang dingin.

Bagai angin malam yang tiba-tiba datang, ketika aku berjalan keluar rumah sakit, Luthfi menghubungiku melalui ponsel pemberiannya, memberikan pesan sekilas yang akan hilang dalam beberapa detik.

Temui aku di tempat biasa, katanya.

Mungkin, jika emosiku masih terkuras hebat, sudah kubanting ponsel itu, membiarkannya hancur menabrak tanah dengan kecepatan yang luar biasa, membuat satpam-satpam rumah sakit memasangkan picingan matanya padaku. Demi apapun, aku ingin meludah di wajah Luthfi tanpa perlu bertemu dengannya, tapi hal itu tidak mungkin terjadi.

Ketika mayat Loka dikembalikan ke rumahku, diam-diam Wijaya mengunjungi rumahku karena berita yang kusebutkan sebelumnya. Aku dapat melihat raut cemas dari wajahnya, begitu pula dengan Lilia dan Riska yang ikut dengan Wijaya. Sialannya, jika aku ingin meludah di wajah Luthfi, aku harus pergi menemuinya. Jadi, kutitipkan Loka padanya—Wijaya adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa kupercaya.

Mungkin, seharusnya aku tak berkendara. Injakan pada pedal gas tidak berirama seperti biasanya. Kadang terlalu kuat, tetapi untuk beberapa saat melemah karena kurasakan mobil yang melaju terlalu kencang, membuat kecepatan mobilku berubah tak beraturan, seperti orang yang baru belajar berkendara dan melaju dengan tersendat-sendat.

Ketika aku sampai, Luthfi ada di tempat biasa. Bedanya, dia tak merokok. Namun, aku yang kesal segera membanting pintu, membuat hentakan yang cukup keras hingga menarik perhatian banyak orang. Luthfi yang sadar akan kemarahanku segera bergerak pergi, jelas dia menghindari banyaknya tatapan mata yang mengarah padanya, tetapi hal itu tak dapat dihindarkan lagi.

Aku mencegatnya.

Sumpah, demi apapun, jika izin untuk menggunakan senjata apiku tak dicabut, aku pasti sudah menodongnya, berteriak memanggil namanya dan menahannya.

Luthfi bergerak ke arah yang lebih gelap, di mana pohon rimbun dapat menutupi bayangannya ketika orang-orang mulai tak memedulikan keberadaanku. Aku yang berjalan dengan kencang segera menyambar jaketnya. Menariknya, memutarnya, membuat kerutan yang pasti membuat jaket itu segera kusut.

"Kau yang melakukannya?" Aku tak ambil pusing, segera bertanya tanpa perlu menjelaskan konteks yang tengah kupikirkan.

"Bukan," balasnya dengan sangat tenang, tetapi hal itu malah membuatku semakin liar. Apakah dia tahu apa yang sedang kubicarakan? Jika iya, kenapa dia bisa tahu?

"Kau yang mengambil nyawanya, kan?"

"Bukan." Sekali lagi, ia berbicara. Dan sekali lagi pula, ia tak mengubah nada datarnya. Pelan dan standar seperti biasanya, tak menarik perhatian banyak orang.

"Apa buktinya?"

"Aku tak pernah berbohong. Jika aku akan mengambil nyawa anakmu, aku akan memberitahumu sebelumnya."

Dia tak pernah berbohong. Pernyataan itu seperti kemelut dalam otakku. Benar, aku tak menyangkalnya, kurasa Luthfi tak pernah berbohong. Tapi tak ada alasan untuk tak memulai kali pertama, kan?

"Dari mana kau tahu aku sedang membicarakan anakku?"

"Aku tahu beritanya."

"Dari mana?"

"Itu tidak relevan."

"Karena kau yang melakukannya, kan?" Aku mencoba menyulutnya, membuatnya mengaku secara langsung maupun tak langsung.

Alasan utama kenapa aku menuduh Luthfi yang melakukannya adalah karena pertemuan kami tidak berakhir dengan baik. Di saat yang sama ketika kutemui mayat Loka, aku beradu mulut dengannya. Kuingkari perjanjian yang telah kubuat dengannya, tetapi tentu dengan cerdas—tetap tak mengingkari perjanjian secara langsung. Ketika itu pula Luthfi pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jadi, kenapa aku tak bisa menuduhnya?

"Apa kaupikir Loka akan menyambutku dengan baik jika aku benar-benar pergi ke rumahmu?" Luthfi bertanya, dan membuatku berpikir untuk sejenak.

Ia pernah menembak Loka, membuatnya luka di beberapa bagian dengan sengaja. Walaupun begitu, keadaan cukup membaik. Di saat yang sama, dia pun pernah ingin menyelamatkan Loka, membuat batas abu-abu di antara hitam dan putih. Namun, kejadian traumatis itu akan menjadi lebih logis seandainya ... Loka tetap takut dengan Luthfi.

Biarpun mereka pernah bertemu, tetapi semuanya karena aku yang menengahi. Loka mungkin masih ketakutan. Dan, ya, artinya dia tak akan mau menerima Luthfi sebagai tamu seandainya Luthfi datang berkunjung. Akan lebih logis jika Loka segera menutup dan mengunci pintu begitu tahu Luthfi datang, kecuali tangan Luthfi terlalu cepat sehingga Loka tak dapat melakukannya. Mungkin, kan?

Aku tak ingin menarik kesimpulan terlebih dahulu. Semua kemungkinan memiliki peluang yang sama. Namun, berhentinya diriku untuk membalas ucapannya membuat lelaki itu menimpali, "Kalau kaupikir aku menghabisi nyawa anakmu hanya karena kau yang menghindari perjanjian kita, itu sangat konyol, Roy."

Aku masih diam.

"Aku tak membunuh orang yang bersalah," lelaki itu melanjutkan, menambahkan kerut pada keningku akibat rasa penasaran.

"Tak membunuh orang yang bersalah?"

"Kau ingat pertemuan pertama kita?"

Aku ingat betul, ketika itu dia menembak kakiku—bagaimana mungkin bisa kulupakan? Ketika aku tengah mengejar seorang lelaki yang membunuh anaknya sendiri, Luthfi muncul begitu saja seperti setan yang kerasukan setan lain untuk ... membunuh sang lelaki itu, orang yang telah menghabisi nyawanya sendiri.

Kasus yang lainnya, kematian Pak Goto, seorang polisi dari wilayah yang sama di mana aku bekerja. Tetapi dia adalah seorang polisi korup.

Yang terakhir, Guntur, Fandi, dan Bagas. Mereka bertiga memberikan kesaksian palsu dalam kasus pembunuhan yang menimpa seorang polisi lain, pun mereka bertiga adalah polisi korup.

Aku berpikir, mencoba untuk menyangkal pendapatnya, tetapi aku tak mendapatkan alasan yang tepat. Mereka semua bersalah, itulah jawabannya. Aku ingin bilang bahwa mereka tak sepenuhnya bersalah karena manusia tetaplah manusia, tetapi tak bisa. Sebagai gantinya, geraman aneh muncul dari balik kerongkonganku.

Kulepaskan genggamanku secara perlahan, membuat jaketnya kembali normal.

"Mungkin kau lupa, tapi aku pernah bilang jika aku memiliki prinsipku sendiri," lanjutnya. "Salah satunya adalah itu."

"Kenapa?" tukasku, "Maksudku, apa pedulimu?"

"Di pertemuan pertama kita, mungkin kau ingat apa yang kulakukan pada lelaki itu, si ayah korban."

Tentu aku sangat ingat.

Luthfi melanjutkan, "Aku mengikuti perkembangan kasus. Kukira saat itu kasus benar-benar ditutup ketika kalian memutuskan bahwa pelaku pembunuhan adalah saudara korban. Jadi, sebagai bentuk keadilan, kuberikan eksekusiku sendiri pada si ayah korban. Aku tak pernah menyangka jika seorang polisi brengsek ternyata masih menyelidiki kasus itu dan malah menangkap basah diriku."

Aku tak berkomentar, dan Luthfi masih melanjutkan omongannya.

"Di saat itu aku mulai tertarik denganmu, Roy. Jadi aku berusaha menarik perhatianmu dan kau merespon dengan baik. Jadi aku memintamu untuk mencari berkas kasus Lima saat itu."

"Untuk apa?"

"Tidak ada maksud apa-apa, hanya saja memiliki berkas itu membuatku merasa lebih baik."

Aku menarik napas, suaranya beradu dengan semilir angin yang menyibakkan daun-daun pepohonan.

"Anggap aku percaya. Lalu, apa?" Aku menekannya, tetapi lelaki itu tetap bergeming. Dia tak terlihat ketakutan, kesal, bahkan sekadar tak nyaman.

"Januar yang melakukannya."

Aku terkesiap. Mataku melotot—jelas. Jantungku berdegup dengan kencang seperti genderang perang.

"Tidak mungkin."

Namun, bahkan tanpa perlu memaksaku untuk memercayainya, entah kenapa aku merasa harus memercayainya. Selama ini, dia tak pernah melakukan kesalahan untuk menangkap orang-orang jahat seperti yang diakuinya. Maksudku ... gila, dia tahu bahwa di saat pertemuan pertama kami, si ayah lah yang membunuh anaknya sendiri bukan sudaranya, bahkan sebelum kami sampai pada kesimpulan itu. Tentu jika dia tak berbohong, tapi kenapa dia harus berbohong?

Aku ingin menghalau pemberitahuannya, tetapi tidak bisa. Aku tak memiliki alasan untuk tak memercayainya.

"Aku menghubungimu karena ingin menawarkan sesuatu padamu, Roy," katanya padaku, yang masih tercengang atas pernyataannya.

"Aku bisa menangkap Januar, apa yang terjadi padanya kuserahkan padamu. Tapi aku yakin dia bukan tipe orang yang mudah dibujuk untuk menyerahkan diri atas kejahatannya. Jadi ... kau mengerti, kan?"

"Maksudmu membiarkannya tetap hidup atau mati?"

Luthfi mengangguk, dan kebimbangan kembali muncul dalam benakku.

Balas dendam bukanlah hal yang baik, tetapi begitu pula dengan menghilangkan nyawa seseorang yang tak bersalah. Aku tahu, seharusnya semua penjahat pun diperlakukan dengan sama, melalui prosedur penangkapan dan bukannya dianiaya dengan semena-mena. Jika aku membiarkannya hidup, kasus bisa dilanjutkan hingga akhirnya menuju suatu kesimpulan: Januar yang membunuh anakku. Tetapi, biarpun pilihan itu sebenarnya pilihan paling ideal, aku tetap tak dapat menerimanya karena pilihan itu tak akan mengembalikan Loka. Sebaliknya, jika aku memilih nyawa yang dibayar dengan nyawa, apa bedanya aku dengan dirinya? Januar akan meninggalkan seorang istri dan anak.

Aku memerlukan waktu untuk berpikir, hingga akhirnya, tepat ketika Loka telah dimakamkan, aku telah memutuskan.

Luthfi bertanya padaku setelah menarik tubuhnya dari senderan pagar yang hampir roboh itu.

"Kau sudah memutuskan?" tanyanya. Sontak, aku menjawab.

"Keparat-keparat metropolitan itu akan terus menyerangku jika aku tak melakukan perlawanan."

Satu kebodohan yang kulakukan sebelumnya, aku terlalu takut untuk menyerang. Tentu bukan tanpa alasan.

Jika aku menyerang, Loka bisa berada dalam situasiberbahaya. Bodohnya, aku tak menyadari jika aku tak menyerang, mereka lah yang akan membuat Loka dalam situasi berbahaya. Aku tak bisa mengembalikan waktu, mereka telah melakukannya.

"Aku ingin dia mati," kataku, sejelas-jelasnya.

Jika kau membayangkan Luthfi akan tersenyum, seperti para pembunuh berdarah dingin sialan yang tak punya hati dan merasa senang ketika seseorang mengerti jalan pikirannya, maka kau salah. Dia tak memberikan respon lain selain memberikan anggukan dengan wajah datar. Aku tak mengerti apakah itu merupakan bentuk rasa simpatinya atau bukan. Yang pasti, dia segera berjalan melewatiku, melaksanakan rencananya yang entah apa itu.

Namun, aku berusaha mencegahnya.

"Aku akan ikut denganmu," potongku, dan Luthfi menyetujuinya.

Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari Roy si baik yang selalu memperlakukan terduga pembunuhan sebagaimana semestinya. Yang pasti, rasa keinginan untuk membalaskan dendam mencuat lebih luas dibandingkan dengan rasa untuk memaafkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top