7. Shadow on the Sun
Kehidupan yang mudah tentu akan membuat manusia menjadi lemah. Ketika seseorang mengajarkan kerabatnya untuk memakan ikan, maka selamanya sang kerabat akan mengalami ketergantungan pada orang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, seandainya orang itu mengajarkan untuk memancing ikan, maka sang kerabat dapat bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan siapapun tahu bahwa memakan ikan yang telah tersedia tentu lebih mudah dilakukan daripada harus memancingnya terlebih dahulu—asumsikan orang itu tidak alergi makanan laut.
Tentu, sebuah tantangan dalam kehidupan amat diperlukan oleh manusia agar ia dapat bertahan hidup di dunia seperti ini. Namun, jika hal itu berkaitan dengan pekerjaan, aku lebih memilih untuk selalu menerimanya dan menghabisinya dengan sukses daripada harus membiarkannya meninju kehidupanku, membuatnya babak berlur. Namun, yang terjadi saat ini adalah kebalikannya.
Berulang kali pikiranku bertanya-tanya, apa yang harus kulakukan? Aku terlalu meremehkan mereka untuk tak menyadari bahwa aku sedang mengawasi mereka, mencari pergerakan mereka selanjutnya untuk menginterupsi seluruh kegiatan yang akan mereka lakukan. Dan kini, ketika mereka membalasnya dengan tidak menampakkan batang hidungnya, aku kebingungan.
Beberapa kali kupastikan agar otakku memberikan kemungkinan yang terbaik, tetapi pernyataan Alex setelahnya membuatku tak dapat berpikir lebih jauh selain mereka menyadari keberadaanku, mungkin juga dengan Wijaya dan Alex.
"Koneksi kita terputus," beritahu Alex. Tentu, maksudnya adalah ia tak dapat menghubungi kembali sang informan dengan cara yang sama. Membuatku berasumsi bahwa orang itu ketahuan. Brengsek, memang. Kebocoran informasi yang kudapatkan tidak sepenuhnya merupakan sebuah keberuntungan. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi pada orang itu? Apakah dia ketahuan atau hanya menjaga jarak untuk sesaat agar tak menimbulkan kecurigaan?
Namun, semakin lama aku memikirkannya, pikiranku semakin kelut. Orang itu tak dapat dihubungi tepat setelah ia memberitahu Alex lokasi perampokan selanjutnya. Siapapun yang menyelidiki kasus itu, tentu tak dapat berpikir jauh, berkutat pada ketahuannya sang informan. Mungkin lebih buruk—mereka membungkamnya. Brengsek. Harusnya ketika Alex mengatakan bahwa mereka membuat strategi yang cerdas, aku mempertimbangkan kemampuan analisis mereka dalam menemukan pengkhianat yang ada di antaranya.
Bertumpu pada meja, siku kiriku menopang beban kepala yang sengaja kutempelkan di antara ruas jariku. Di sisi yang lain, lengan kananku mengetuk meja berkali-kali. Aku tak ingat telah berapa lama melakukannya, mungkin dua puluh atau tiga puluh menit dengan pikiran yang semrawut hingga secara tiba-tiba Wijaya muncul dari balik pintu ruanganku.
Aku yang terlihat seperti pengangguran segera merapikan baju dan menepuk bagian pinggul beberapa kali sambil merapikan bagian baju yang sedikit keluar untuk kembali masuk ke dalam celanaku sambil bertanya padanya.
"Ada informasi lanjutan?"
Namun, Wijaya menggeleng. "Tidak ada, Pak."
Aku menarik napas dalam sambil memejamkan mataku. Sejujurnya, dalam hati aku telah menggerutu, mengucapkan kata brengsek sebanyak empat kali. Tetapi, aku berusaha untuk terlihat tenang dan menjaga emosi.
Sebelumnya Alex memberitahu bahwa para perampok itu hanya akan merekrut anggota baru seandainya satu atau lebih dari mereka tertangkap. Sebisa mungkin, mereka akan membunuh kawanannya sendiri, menutup mulutnya agar tak memberikan informasi apapun. Namun, pekerjaan itu tentu tak dilakukan oleh mereka, melainkan para calon anggota mereka dan seharusnya aku mempertimbangkan itu. Sialan, aku pikir aku bisa memanipulasi dengan mudah kematian para perampok yang kurencanakan untuk ditangkap, semuanya di luar dugaan.
"Pak Alex masih berusaha mencari cara untuk menghubunginya," beritahu Wijaya. "Saya tidak ingin mengatakan ini, Pak, tetapi dengan asumsi terburuk, mungkin hubungan kita benar-benar terputus."
"Dan akulah yang menyebabkan semuanya," timpalku dengan segera sambil menolehkan wajahku pada bagian ruangan yang lain, dinding gelap dingin yang tak diberi hiasan apa-apa.
"Saya rasa tidak seperti itu juga, Pak, mungkin hanya kebetulan."
"Benar. Tetapi bukan berarti tak mungkin karena aku mencanangkan rencana itu, kan?" Akhirnya kukembalikan palingan wajahku pada Wijaya. "Aku tak ingin terdengar seperti orang melankolis yang bodoh dengan menyalahkan diriku sendiri. Tapi, demi apapun—" Aku berusaha mencari kalimat yang tepat. "Aku merasa ikut campur dalam urusan orang lain dan aku mengacaukannya."
Wijaya tak mengatakan apapun. Aku yakin, dalam hatinya dia sangat setuju, hanya saja ia tak ingin membuatku tersinggung dengan mengatakan itu secara gamblang. Sebagai gantinya, lelaki itu malah diam terpaku, berdiri seperti orang-orangan sawah yang hanya bisa digerakan oleh petani untuk mengusir burung pemakan padi.
Lalu, selang beberapa detik, akhirnya Wijaya berkata, "Saya mengerti, Pak." Kemudian, segera setelahnya ia pamit meninggalkan ruangan, kembali membiarkanku berdua bersama pikiranku yang kusut.
Seperti yang kukatakan, aku tak suka terdengar menyalahkan diriku sendiri atas segala kesalahan yang terjadi, membuatku seperti remaja edgy yang mencoba menarik perhatian. Namun, kondisi yang berbeda terjadi saat ini. Jika kesalahan itu hanya melibatkan diriku serta kasus yang kutangani, aku tidak akan terlalu mempermasalahkan hal itu. Sialannya, pekerjaan Alex terganggu olehku. Satu-satunya hal yang dapat kupertimbangkan untuk memperbaikinya adalah kembali menyelidiki para perampok itu, mencari tahu siapa bosnya dan meringkus secara langsung, menyebabkan mereka tak akan melakukan kejahatan yang sama lagi seandainya tak ada pemimpin yang baru. Namun, koneksi yang terputus tentu membuatku sulit untuk menyusup ke dalam kelompok itu.
Aku telah melihat peta, mencari tahu di mana lokasi-lokasi yang pernah menjadi incaran mereka, tetapi aku tetap tak menemukan titik terang. Tak berpola, seolah-olah mereka bekerja berdasarkan urutan nomor yang acak. Aku tak dapat memprediksinya. Beberapa kali mereka melakukan kejahatannya di daerah utara, kemudian secara tiba-tiba mereka melakukannya di daerah selatan. Kemudian terbang ke barat dengan kuantitas yang tak menentu. Cepatnya pergerakan dan sulitnya mengidentifikasi wajah mereka—biarpun ada—membuat kepolisian tak dapat bergerak dengan lincah. Selain itu, umumnya mereka menggunakan sepeda motor yang berbeda-beda. Hasil pencurian—mungkin. Yang artinya mereka pun melakukannya dengan baik karena hingga saat ini kepolisian tak berhasil menangkapnya, berbeda dengan para begal yang melakukan aksinya secara terang-terangan, menangis ketika tahu bahwa kehidupannya akan terancam di dalam penjara.
Bagaimana aku dapat terhubung dengan mereka lagi?
Kutarik lenganku kuat-kuat, meregangkan sendi-sendi yang mengikat bagian lengan dengan tubuhku sambil tetap memikirkannya. Tak ada koneksi lagi. Tentu hal itu sangat buruk. Aku tak dapat menunggu mereka melakukan aksinya dengan berharap pada keberuntungan—hampir tak mungkin. Satu-satunya informasi yang bisa kudapatkan hanyalah pembunuhan yang dialami oleh Pak Goto, tak ada yang lain, atau mungkin aku hanya belum menemukan yang lainnya saja.
Kemudian, aku menimbang-nimbang segala konsekuensi lain yang mungkin akan kuterima. Untuk saat ini, aku lebih memilih untuk menghindari tatap muka Alex daripada harus berpapasan dalam keadaan yang canggung dan suasana yang tidak nyaman. Aku sendiri tak ingin melibatkan Wijaya sebagai seorang rekan kerja karena tentu saja penyelidikan yang akan kulakukan tidaklah resmi. Semua telah memutuskan bahwa kematian Pak Goto didasari atas dasar perampokan, bukan pembunuhan, mereka tak akan mengizinkanku menyelidiki kasus itu dengan membukanya kembali tanpa alasan yang kuat. Selain itu, putusnya kontak informan kami dengan para perampok itu menambah nilai pendukung agar kasus yang terjadi pada Pak Goto dinyatakan sebagai kasus perampokan. Jelas, mereka akan mengasumsikan bahwa Pak Goto pun menyelidiki perampokan itu dengan menggarap beberapa informasi keuangan seperti uang transfer yang mencurigakan atau semacamnya.
Orang-orang, selain aku Wijaya dan Alex—secara tidak langsung Loka—mungkin tak pernah menanggapi tiga kertas yang terselip di saku baju Pak Goto sebagai sesuatu yang aneh. Aku tak tahu bagaimana mereka akan menyimpulkannya, tetapi aku sendiri belum mendengar kabar terbaru mengenai penjelasan yang logis dari mereka, apa arti dari coretan-coretan itu ketika aku sendiri mengasumsikan bahwa tulisan itu merujuk pada namaku.
Pada akhirnya, aku telah memutuskannya. Mungkin, menyelidiki kematian Pak Goto adalah jalan terbaik yang dapat kulakukan. Aku tak memiliki pilihan lain yang lebih baik.
===
Mengambil informasi mengenai aparat kepolisian bukan tersangka kasus pembunuhan masih menjadi hal yang aneh bagiku. Tombol-tombol keyboard sedikit basah karena keringat tanganku seolah menjadi benda sakral dan menyimpan beragam kutukan bagi siapapun yang memiliki dan membacanya. Aku mengambil berkas ini melalui akses jaringan lokal pada gedung kantorku. Basis data menyimpan berbagai dokumen dalam bentuk teks beserta gambar yang bersesuaian. Komputer bututku seolah terpaksa didiamkan sebagaimana adanya untuk mendukung server yang baik, sehingga semua polisi yang bekerja di tempat ini dapat mengaksesnya dengan mudah. Walaupun sebenarnya terdapat penyimpanan dokumen fisik, tetapi penyimpanan data berbasis komputer sudah mulai digunakan di tempat ini. Lebih efisien dan tetap minim penyerangan karena data disimpan secara lokal. Walaupun begitu, tentu diperlukan perangkat pendukung yang tidaklah murah. Menyimpan berkas kasus yang terkumpul selama bertahun-tahun saja memerlukan gudang penyimpanan yang amat luas, artinya spesifikasi komputer yang digunakan pun harus memumpuni dalam penyimpanan data untuk gudang besar yang sama.
Pak Goto pria kelahiran tahun 1985, lima tahun lebih muda dariku. Berasal dari Jawa Tengah, tetapi masuk ke dalam akademi kepolisian di Jawa Barat. Memiliki pangkat Ajun Komisaris Polisi, sama sepertiku. Memiliki seorang istri dan dua orang anak. Alamat rumahnya terletak cukup dekat dari rumahku, memerlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan memperhitungkan kemacetan yang ada. Rekap kinerjanya pun sebenarnya tak begitu menarik perhatian. Kasus-kasus biasa, tidak pernah mendapatkan penghargaan lebih karena menyelidiki kasus sulit maupun mendapatkan penahanan kepangkatan karena melanggar kode etik kepolisian. Jenis orang yang sangat biasa. Aku tidak bermaksud untuk jahat, tetapi tampaknya wajar jika aku tidak ingat dengan dirinya.
Pak Goto sendiri pernah tergabung ke dalam kejahatan lalu lintas selama beberapa tahun. Namun, pada akhirnya dia dipindahkan pada bagian keuangan. Aku tidak tahu alasannya, tetapi kurasa karena lelaki itu tak begitu menyukai pekerjaan yang banyak turun ke jalan—makna secara denotasi. Lebih suka bekerja sendiri dan melakukan penyelidikan atas dasar kecurigaan daripada mengejar tersangka seperti yang banyak terjadi pada bagian lalu lintas. Hal itu tidak tertuliskan, aku hanya menduganya.
Pak Goto adalah salah satu orang dari orang-orang biasa yang ada di mana saja. Tak pernah berhubungan dengan perampokan, membuatku bertanya-tanya untuk apa lelaki itu membunuh Pak Goto? Apakah atas dasar ini juga pada akhirnya orang-orang memutuskan untuk menutup kasus ini sebagai kasus perampokan? Apakah karena memang tak ada motif yang tepat?
Namun, tentu aku mendapatkan satu kesimpulan lain yang tak dipikirkan oleh orang-orang. Si perampok itu membunuh Pak Goto karena ingin menarik perhatianku.
Sekali lagi, kurasakan sesak di dada. Jika memang begitu adanya, rasanya aku benar-benar ingin menginjak kepala lelaki itu hingga pecah.
Tanpa sadar, tanganku terkepal, bersiap untuk memukul. Aku menggeram, napasku menderu. Sialan, gerutuku.
Kututup jendela aplikasi, membuat tulisan-tulisan putih dengan latar hitam menghilang begitu saja dari pandanganku, memberikan tampilan latar pegunungan berwarna hijau mencuat segera setelahnya. Namun, aku tak ingin berlama-lama. Kumatikan komputerku setelah menyalin data dokumen mengenai Pak Goto pada ponselku, membiarkan kabel USB tersambung dan secara ajaib memindahkan data yang ada pada komputer pada ponselku. Layar telah mati, menghitam, merefleksikan bayangan diriku. Kumis yang semakin memanjang dengan potongan janggut yang tak rapi serta jambang yang telah tumbuh menyeruak seperti rumput liar. Rambut pendekku tumbuh seperti akar serabut, hanya saja dengan intensitas yang lebih tinggi. Lurus, tetapi agak keras, membuatnya terlihat tumbuh memanjang ke atas.
Aku tidak begitu sering bercermin dan hal itu cukup membuatku terkejut. Penampilanku berantakan. Kurapikan rambutku, menyisirnya dengan sela-sela jari dan menarik bagian-bagian rambut ke belakang yang percuma saja karena pada akhirnya rambutku kembali pada posisi awalnya.
Pada akhirnya, aku menarik diriku ke atas, mendorong kursi yang sedari tadi kududuki dan segera berjalan keluar ruangan. Di antara lorong yang entah sudah berapa ribu kali kulalui, aku tetap dapat merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang. Aku harus menyelesaikan semuanya sampai beres, memperbaiki semuanya hingga kesalahan ini dapat dimaafkan. Selama itu, aku berjanji tak akan pernah mengontak Alex terlebih dahulu. Aku tak dapat memaafkan diriku sendiri seandainya aku tak memperbaiki kesalahanku. Oh, sialan.
Setengah berlari, kembali kuambil ponselku, merogoh kantong dan beraharap tak adanya lubang pada bagian bawah sehingga secara tak sengaja ponselku bisa terjatuh. Membuka kunci, memeriksa dokumen yang sebelumnya telah kupindahkan. Segera setelahnya, aku berusaha mengingat-ngingat alamat yang tertera pada kertas digital itu, utamanya adalah nomor rumahnya. Menguapkannya berulang-ulang pada mulutku dengan sangat pelan, membuatku terlihat seperti bersiul daripada bergumam. Aku tahu, biarpun dia dibunuh di gang tempat rumahnya berada, aku tak pernah tahu secara pasti nomor rumahnya—tak sempat mengetahuinya.
===
Aku telah sampai. Rumah yang sedikit kecil bagiku tampak di hadapan wajahku. Namun, dengan nuansa abu-abu yang cemerlang, rumah ini memberikan kesan nyaman bagi siapapun yang melewatinya. Halaman depannya tidaklah begitu luas, mungkin hanya memiliki panjang lima meter dan dua meter lainnya yang menjorok ke dalam. Sandal-sandal berserakan di depan rumahnya dengan pintu gerbang kecil setinggi dadaku. Rumah ini tampak ramai. Pintunya tak terbuka, tetapi dari jumlah sendal yang ada di depan, mungkin empat atau lima orang berada di dalam rumah ini.
Aku membuka pagar, kemudian mengetuk pintu tanpa melepas sepatuku dan seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan muncul di hadapanku. Dalam keadaan terbuka, aku tahu bahwa diriku ini—sekarang—sedang menjadi pusat perhatian. Pasang mata tertuju ke arahku, termasuk tiga orang anak kecil berbaju putih yang tengah duduk di lantai, melihatku seolah aku adalah monster asing yang siap menerkam mereka. Namun, mereka tak memberikan reaksi berlebihan. Mereka hanya bengong.
Kurasa, saudara-saudara dari keluarga yang ditinggalkan sedang berkunjung. Walaupun kejadian itu telah lewat dari seminggu, tampaknya mereka tak dapat melupakan sosok lelaki itu begitu saja. Bahkan, sang wanita yang membuka pintu ini pun terlihat bersedih. Matanya sembab dan memerah. Hidungnya sesenggukan biarpun tidak terlalu diperlihatkannya.
Aku memperkenalkan diri, dan perempuan itu menerimaku dengan baik. Mungkin, karena ia menganggap bahwa aku adalah salah satu teman dari Pak Goto. Seragam polisiku yang kusut bergerak seirama dengan ayunan tanganku. Perempuan itu mempersilakanku untuk masuk, tetapi aku tak ingin mengganggu susana yang ada. Aku bukan keluarga mereka dan aku tak ingin mnghancurkan momen yang ada. Tidak sopan jika aku menginterupsi mereka—orang-orang yang sedang bersedih.
Pada akhirnya, perjalananku pun menjadi sia-sia walaupun tidak sepenuhnya. Perempuan itu memberitahu bahwa ia adalah istri dari Pak Goto, sehingga kuputuskan untuk mengunjunginya lagi di malam hari, setidaknya kuharap para tamu itu telah pergi dan aku bisa berbicara dengan perempuan ini secara privasi. Aku tak dapat mengejutkan mereka dengan mengatakan bahwa aku—orang gila yang dengan seenaknya ikut campur dalam kasus ini—merasa bahwa kasus ini melibatkanku, karena ketololanku, karena si pembunuh itu berusaha berkomunikasi denganku dan sekarang aku berusaha untuk menemuinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top