6. Sinnerman
Embusan napasku melayang di udara. Tak terlihat, tetapi aku bisa merasakannya. Mobil ini dipenuhi oleh hawa panas beserta keringat yang menjalar keluar dari dalam tubuhku. Memang, sengaja kumatikan mesin mobil dan tak kunyalakan pengatur suhu. Meskipun kuturunkan jendela, tetapi tidak sepenuhnya udara dari luar dapat menembus masuk ke dalam teritori ini. Aku tidak membukanya secara menyeluruh, hanya sebagian kecil agar aku tak kehabisan oksigen di dalam mobil.
Memang, sedikit aneh, padahal hari sudah malam. Namun, keringatku terus bercucuran.
Rencana kami akan dilaksanakan dalam waktu yang tak begitu lama. Informan Alex memberitahu lokasi perampokan selanjutnya tanpa keterangan waktu yang jelas, membuatku dan Alex terpaksa menunggu lama, menguji keberuntungan kami di malam hari. Sedangkan Wijaya sengaja memosisikan diri untuk duduk pada bangku di depan minimarket, berpura-pura sedang menikmati kopi hangat yang sengaja disediakan oleh minimarket sambil mengotak-atik ponselnya.
Beberapa minggu setelah rencana kami buat, pada akhirnya kami akan mengeksekusinya.
Kakiku sudah baikan, aku mulai bisa berlari meskipun tak kulakukan secara intens—mencegah hal yang buruk terjadi. Selain itu, sebagai bentuk keyakinanku untuk melaksanakan rencana ini, aku mulai berolahraga, mencoba meyakinkan mereka bahwa aku memiliki kemampuan fisik yang tidak dapat dianggap remeh, termasuk dalam melakukan tindak kejahatan. Aku harus mempersiapkannya.
Semilir angin meniup daun-daun di pepohonan, membuat suasana gelap terasa semakin menjadi-jadi. Sebuah minimarket dua puluh empat jam berada di hadapan kami. Cahaya putih berkilauan pada atap minimarket, menandakan bahwa tempat itu memang sedang buka. Pintu kaca memperlihatkan dua orang pegawai kasir yang sedang menata sekumpulan bungkus rokok yang dipajang sedemikian rupa sehingga terlihat apik dan menarik.
Biarpun sebenarnya kami dapat memarkirkan mobil lebih jauh, tetapi kami tak ingin mengambil resiko itu. Jarak antara mobilku dan minimarket mungkin sekitar enam atau tujuh besar rumah yang berada terletak di sisi jalan. Sengaja kuparkirkan mobil di depan rumah seorang warga, mencoba berkamuflase sehingga jika seandainya pun para perampok itu merasakan sesuatu yang janggal mengenai keadaan yang ada saat ini, aku harap mereka tak mencapai konklusi bahwa kami sedang menunggu mereka.
Rencana yang kami buat cukup sederhana. Wijaya berperan sebagai eksekutor sedangkan aku dan Alex sebagai support seandainya terjadi hal yang tidak kami inginkan. Begitu mereka muncul, Wijaya hanya perlu menarik diri, menjauh dari target tetapi tidak begitu jauh. Menunggu mereka semua beraksi, dan sebelum detik keenam puluh, Wijaya hanya perlu melumpuhkan beberapa di antara mereka, membuat serangan kejutan dan kuharap itu dapat membuat mereka panik. Malam yang gelap tentu menjadi nilai tambah bagi Wijaya, karena mereka tidak dapat melihatnya dengan jelas, sedangkan dengan penerangan yang ada di minimarket itu, aku yakin Wijaya dapat mengunci targetnya dengan sempurna.
Seandainya terdapat kesalahan, maka aku dan Alex hanya perlu keluar dan membantu Wijaya, bersiaga untuk menembak seandainya memang diperlukan.
"Ini pertama kalinya informan kami mengetahui lokasi perampokan mereka selanjutnya," beritahu Alex padaku di sela-sela kebosanan kami. Ia mendongak, melihat ke atas, tetapi entah memperhatikan objek apa karena kurasa tak ada benda yang dapat diidentifikasi olehnya selain penghalang sinar matahari yang tak digunakan. "Biasanya kami kesulitan untuk mengetahui lokasi perampokan mereka selanjutnya."
"Sebuah keberuntungan, mungkin?"
"Sangat beruntung," timpalnya. Dan aku harap keberuntungan ini tak berakhir sampai di sini saja. Setidaknya, aku tetap membutuhkan hal itu seandainya ikut tergabung ke dalam kawanan perampok yang menjadi incaranku sekarang ini.
"Kau tidak khawatir dengan rekan kerjamu itu?" Alex memicingkan kedua matanya, memfokuskan retina matanya untuk melihat segala gerak-gerik Wijaya. Tubuh Wijaya terlihat seperti semut kecil yang menempel pada jendela, kecil dan hampir tak terlihat. Namun, kurasa ia hanya memainkan ponselnya, keluar dan masuk menu utama. "Maksudku, dia sendirian di sana, akan menghadapi lima orang perampok bersenjata. Aku tahu serangan kejutan seperti yang kau canangkan cukup baik untuk membuat para perampok itu kocar-kacir, tetapi tetap saja. Aku tidak ingin dia ditembak dan dijadikan manusia guling—babi guling versi kanibal." Alex mengeluarkan selera humor rendahannya, sungguh. Bahkan, nada bicaranya saja tak mendukungku untuk tertawa sedikitpun.
"Dia tahu apa yang sedang dilakukannya," balasku. "Aku tak pernah mendapatinya melakukan kejar-kejaran antara detektif dan pembunuh atau melakukan baku tembak di medan perang. Tetapi aku yakin dia tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi genting. Dia bisa berpikir cepat."
"Kau sendiri pernah melakukan aksi heroik yang tolol?"
"Dua atau tiga kali. Empat jika luka tembak di kakiku ini termasuk dalam salah satu daftar aksi heroik." Untuk sesaat kembali kucoba untuk melihat luka pada betis kananku yang tak dapat kulakukan karena terhalang oleh komponen-komponen mobil, Dashboard luas dan gelap cukup membuat mataku gelagapan untuk mencarinya. "Percaya atau tidak, dulu aku benar-benar tempramen."
Aku ingat beberapa kali pernah baku hantam dengan rekan kerjaku dulu—Yudha—yang sekarang telah menjadi atasanku hanya untuk memutuskan suatu kasus, pembunuhan atau bunuh diri. Saat itu, aku dan Yudha—yang sekarang telah menjadi Komisaris—mengunjungi sebuah apartemen tempat di mana korban ditemukan tenggelam di sebuah bathub kecil dengan keran air yang masih menyala. Ruangan terkunci. Korban ditemukan telanjang oleh temannya yang berencana bermain bersamanya—kegiatan anak kuliah di masa senggang.
Aku berpikir bahwa anak itu adalah korban pembunuhan karena tak dapat menentukan motif yang tepat sehingga anak itu memilih untuk bunuh diri. Maksudku, kenapa ada seorang anak yang hendak berkumpul bersama teman-temannya, kemudian memutuskan untuk bunuh diri? Sedangkan Komisaris Yudha menganggap itu adalah bunuh diri. Tentu bukan tanpa alasan, dia melihat lingkungan yang ada. Tertutup dan tak ada orang yang keluar. Dari kamera CCTV pun, kami tak menemukan ada seseorang yang keluar masuk pintu apartemen walaupun aku menduga kamera itu tetap dapat dimanipulasi.
Kenyataannya? Sungguh tolol. Penyelesaian kami berdua tak ada yang tepat. Jantung anak itu lemah, berhenti tepat ketika ia akan berendam dan naasnya ia tercebur ke dalam bathtub berisi air hangat. Kepalanya terperosok masuk ke dalam sedangkan bagian bawah tubuhnya terlihat seperti berlutut, membuat siapapun menduga bahwa kepala anak itu sengaja dipaksakan untuk menyelam ke dalam air. Tololnya, aku dan Yudha berkelahi untuk masing-masing hal yang tidak tepat.
Ketika aku bekerja bersamanya dulu pun, beberapa kali pernah kukejar tersangka pembunuhan. Ketika ia tak dapat berkutik, aku dan Yudha berlari setengah mati, mencoba menarik kerah baju tersangka yang pada akhirnya menuju atap gedung dan memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus tinggal di balik jeruji besi. Tentu, hal itu membuat reputasiku buruk. Aku mendapatkan suspen serta penahanan kenaikan pangkat karena kinerjaku yang buruk. Pada saat itu, aku benar-benar merasa tolol dengan tak berpikir lebih jauh mengenai keadaan tersangka. Dia hanya lelaki biasa, melakukan satu kesalahan karena pikirannya menjadi gelap dan melakukan pembunuhan, tetapi aku terlalu memaksanya untuk menyerahkan diri sehingga ia memilih jalan yang lain.
Mulai saat itu, aku selalu mencoba bersikap tenang, walaupun acap kali aku kelepasan untuk menyelidiki satu kasus lebih jauh hingga kakiku ditembak oleh orang asing. Kurasa insting seseorang tak dapat dihilangkan semudah itu. Namun, kurasa keadaanku sekarang jauh lebih baik.
"Ketika kerabat-kerabatku tahu bahwa aku bekerja di bagian perampokan, mereka selalu berpikir bahwa aku adalah jenis orang yang menggerebek tempat para perampok, menembakkan senjata api ke kaki tersangka untuk membuatnya lumpuh atau hal-hal semacam itu." Alex mendengus pelan. "Orang tuaku pun berpikir seperti itu. Mereka tak pernah menyangka bahwa aku adalah orang yang bekerja di atas kertas, menganalisis kejadian untuk perampokan."
"Mereka memang tidak tahu, kau tak dapat menyalahkannya."
"Bagaimana denganmu?"
"Apanya?"
"Keluargamu, teman-temanmu, ketika mereka tahu bahwa kau bekerja menangani kasus tidak seperti di game-game yang banyak beredar. Tidak seperti Sherlock Holmes. Mereka pasti kecewa, kan?" Alex tertawa kecil, seolah-olah ia sudah tahu jawabannya.
"Orang tuaku sudah meninggal dan aku anak tunggal."
Tawanya berhenti secara tiba-tba. "Oh, maaf." Alex segera menggaruk kepalanya, menyibakkan rambut hitam dan membuat beberapa helai rambut jatuh menimpa pundaknya. "Aku tidak bermaksud menyinggung ke sana."
"Kau tidak tahu," kataku. "Aku tak menyalahkanmu. Selain itu, jika teman-temanku mengadakan reuni sekolah, mungkin aku adalah orang yang paling terakhir untuk diingat. Mungkin pula lebih dari itu, mereka tak menyadari bahwa aku tak hadir."
"Kau tidak benar-benar serius, kan?"
Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku super serius. Namun, tampaknya tatapan tajamku sudah cukup menjelaskan semuanya. Alex menenggak ludahnya sehingga kerongkongannya berbunyi.
"Aku pikir orang yang tempramen akan sangat diingat oleh teman-teman sekolahnya."
"Aku orang yang keras kepala," beritahuku. "Tetapi ketika aku sekolah dulu, aku lebih memilih untuk diam daripada dimusuhi oleh seluruh teman sekelas. Mungkin ketika aku bekerja, aku tak dapat memilih untuk diam karena aku merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kasus yang kutangani berjalan dengan baik. Aku sering memaksakan pemikiranku pada rekan-rekan kerjaku."
Alex mendengarkan dengan seksama. Ia memalingkan wajahnya, tetapi aku masih fokus untuk mengawasi Wijaya dan kasir-kasir toko yang berada di dalam, memastikan jika seandainya perampok itu telah datang.
"Wijaya tahu benar akan hal itu," lanjutku.
Alex mengetukkan jari telunjuk dan jari tengah kanannya ke atas dashboard, seolah-olah ingin meledakkan airbag yang ada di dalamnya. "Oh, jadi karena itu Wijaya bilang dia tak bisa menghentikanmu ketika kau membicarakan rencana ini?"
Aku tertawa kecil, terdengar menyepelekan dengan napas yang menderu-deru. "Mungkin."
Entah sudah berapa jam aku dan Alex mengobrol, membicarakan berbagai topik tak penting yang tak ada hubungannya dengan rencana kami sekarang ini, seolah-olah berusaha untuk menghilangkan hawa gerah yang membuat keringat kami bercucuran. Oh, ya ampun, malam yang sangat aneh. Di sisi lain, aku sedikit merasa kasihan pada Wijaya karena ia berada di seberang sana. Aku tahu, pukul sebelas malam, sendirian dan hanya ditemani segelas kopi bukanlah pengalaman yang begitu menyenangkan untuk orang semacam Wijaya. Walaupun ia terlihat mengotak-atik ponselnya, aku sedikit ragu bahwa ia sedang berkomunikasi dengan seseorang. Hari ini adalah minggu kerja, dan kurasa kebanyakan orang telah tidur.
Di samping itu, aku menguap beberapa kali. Rasa kantuk mulai menjalar pada tubuhku. Bahkan, aku sengaja menyiapkan permen karet untuk berjaga-jaga seandainya aku tertidur secara tak sengaja. Setidaknya, ada kegiatan yang dapat kulakukan seandainya itu terjadi.
Alex pun sama, bedanya dia meminta permen karet dariku.
Kemudian, beberapa jam lagi telah berlalu. Hari telah berganti, empat puluh menit telah berjalan untuk hari yang baru, tetapi kami tak mendapatkan appaun. Wijaya mulai gelisah. Sang kasir beberapa kali mendekati Wijaya, tetapi aku tak tahu percakapan apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat gestur di antara mereka, bagaimana Wijaya memberikan lengannya, membuat telapak tangannya terangkat dengan kelima jari yang dibukakan. Gestur untuk mengatakan 'tidak', membuatku menduga bahwa sang kasir bertanya mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh Wijaya dan ia berkata bahwa tidak ada masalah.
Aku dan Alex pun semakin gelisah. Bajuku sudah basah kuyup, tetapi tekadku untuk tak menyalakan pengatur suhu tetap kuteguhkan. Aku tak ingin mereka mendengar suara pengatur suhu yang menyala pada mobil yang terparkir.
Beberapa jam berlalu kembali. Tanpa sadar, kedua mataku tertutup untuk sekian detik, beberapa kali. Microsleeping, sehingga aku mulai mengunyah permen karetku. Lalu, seolah menjadi bayanganku, Alex melakukan hal yang sama.
Semakin lama, harapanku semakin pupus. Fajar mulai menyingsing, jalanan berubah warna menjadi coklat keemasan akibat sinar matahari yang mulai menerpa permukaan kota Bandung. Bahkan, para pekerja minimarket itu telah berganti shift. Dua orang pria yang sebelumnya kuperhatikan membersihkan minimarket dengan seragam biru mereka pada akhirnya pergi, digantikan oleh seorang lelaki bertubuh gempal dengan otot lengan yang keras serta wanita pendek dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dengan seragam yang sama.
Jantungku semakin berdegup kencang. Kedua tangan kurekatkan dan kusimpan tepat di depan mulutku. Aku menimbang-nimbang apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Namun, semakin lama aku berpikir, kusadari bahwa hari sudah semakin pagi. Aku melewatkan malam tanpa tidur.
Kedua mataku kukerjapkan beberapa kali.
"Alamatnya benar, kan?" Kupastikan bahwa tak ada kesalahan dari kami. Alex mengangguk, dan artinya alamat yang diberikan oleh informan itu tidaklah salah. Namun, tak ada kejadian apapun, bahkan hingga ayam telah berkokok.
Para perampok itu tidak datang.
Aku menghela napas. Kubuat panggilan melalui ponsel untuk menghubungi Wijaya. Untungnya, baterainya masih ada biarpun menurut pengakuan Wijaya sudah berada dalam kondisi lemah. Ketika aku memintanya untuk kembali, ia mengangguk setuju sambil bergumam dalam keadaan mengantuk. Suaranya serak, hampir seperti panggilan yang dilakukan dalam keadaan sinyal jelek. Kemudian, segera setelahnya, ia beranjak dari kursi dan segera merekatkan resleting jaketnya, membuat bagian tubuh atasnya semakin tertutup.
Sekali lagi, aku benar-benar berharap bahwa perampok itu datang. Aku berharap bahwa saat ini aku tengah tertidur dan waktu pada dunia nyata belum menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, tidak seperti itu. Aku tengah tersadar saat ini, aku tidak tidur. Aku mencubit pipi dan dapat kurasakan sakit yang membuatku yakin bahwa aku tidak sedang tertidur.
Aku dan Alex saling beradu pandang, menyadari bahwa pekerjaan yang kita lakukan saat ini tidak membuahkan hasil.
Para perampok itu tidak datang.
Kenapa? Atau mungkin lebih tepatnya, bagaimana mungkin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top