5. Eternal Havoc II
Ruangan ini terasa hampa. Keheningan menyeruak dari balik-balik dinding. Alex dan Wijaya terkejut—tentu. Mereka melihatku seperti melihat hantu gila yang baru saja menampakkan dirinya untuk pertama kali. Lidah Alex menjulur lebih panjang dibanding biasanya—respon spontannya.
"Kau bercanda?" adalah pertanyaan pertama yang langsung terlontar dari mulut Alex. Namun, aku meyakinkan pilihanku. Tidak, tentu saja. Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, menajamkan tatapan mataku dan segera mengerutkan kedua alisku, memberikan pertanyaan balik padanya.
"Tidak. Memangnya kenapa?"
"Belum pernah ada yang mencoba masuk ke dalam sindikat itu."
"Kalau begitu biarkan aku menjadi yang pertama."
Alex menderu. Tidak keras, namun suasana hening dalam ruangan ini membuatnya terdengar begitu jelas. Jika Indonesia memiliki musim dingin, mungkin aku sudah melihat kepulan asap putih mengepul keluar dari balik mulutnya.
Alex tak kalah dariku, memberikan tatapan herannya, tetapi dalam konteks yang berbeda. Jika aku mengisyaratkan bahwa rencana itu adalah rencana yang terbaik, Alex menggambarkan sebaliknya. Mungkin ia sudah menganggapku tak waras dan merasa perlu mengantarkanku ke rumah sakit jiwa. Namun, alih-alih berdiri dan menarik tanganku untuk keluar dari kantor ini, ia lebih memilih untuk menarik tubuhnya, mencoba bersandar lebih rileks pada bangku putarnya yang lebih nyaman dari tempat dudukku ini.
"Tahu bagaimana cara mereka merekrut anggota baru saja sudah merupakan keuntungan. Aku tak ingin mengambil resiko hubungan kami dengan orang-orang itu terputus."
"Hubungan?"
"Salah satu di antara kami menjadi informan." Alex menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Berhasil menjadi mata-mata dan menjadi bagian dari rekrutmen anggota. Aku tak ingin mengabaikan hal itu. Perlu waktu yang lama untuk kami—dia—agar bisa melakukannya. Jika ia ketahuan mengirim polisi ke dalamnya, sudah dipastikan ia akan dicurigai dan kau tahu artinya, kan?"
Aku mangut-mangut, setengah malas dengan alisku yang masih belum diposisikan sebagaimana mestinya.
"Apakah mereka termasuk ke dalam organisasi yang terstruktur?" tanyaku sembari sedikit mendongakan kepala. Setelahnya, kujilat kedua bibirku, memastikan keduanya tak kering dan membuat kulit-kulit yang melapisinya pecah.
"Mungkin." Alex mengangkat kedua bahunya. "Kami ingin mencari tahu."
"Berapa lama? Satu tahun lagi untuk satu kemajuan?" Kuberikan nada tinggiku, membuat matanya terpicing dan benar-benar tak menyangka akan pertanyaanku. Di samping itu, Wijaya hanya memperhatikan obrolan dua arah kami. Aku yakin, ia ingin mengatakan sesuatu. Mulutnya komat-kamit, tetapi kedua bibirnya terkunci rapat akibat melihat obrolan antara dua orang laki-laki yang lebih tua dari dirinya. Tentu, Wijaya memang terlalu sopan, bahkan untuk menginterupsi pembicaraan kami meskipun dalam kepalanya telah timbul jutaan pertanyaan dan siap meledakkan kepalanya.
Aku tak tahu apakah Alex merasa tersinggung atau berusaha untuk mengucapkan terima kasih padaku. Ia tak dapat menyangkal pertanyaanku. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku sendiri tak yakin segila apa sekelompok, sindikat, organisasi, atau apalah itu. Namun, jika aku melihat peluang, probabilitas bahwa kami—atau mungkin aku—dapat berkecimpung dan menelusup lebih dalam pada kelompok itu, mengapa tidak?
Akhirnya, Wijaya mengaitkan kesepuluh jarinya, membuat gerakan khusus yang hanya dilakukan oleh dirinya saat ini, seperti hendak berdoa. Namun, segera setelah yakin bahwa di antara kami—aku dan Alex—tak akan ada lagi yang berbicara, Wijaya seolah meyakinkan dirinya untuk memberikan seluruh pendapatnya dalam waktu yang singkat.
"Pak—" Wijaya menolehkan wajahnya padaku, membuatku pun melakukan hal yang sama padanya, membuat kami saling menatap secara empat mata, "Saya rasa Anda menanggapi kasus ini terlalu personal."
Kuangkat sebelah alisku.
"Personal bagaimana?"
Wijaya menunjuk betis kananku, lantas membuatku secara refleks untuk melihat ke arahnya. Biarpun tertutup oleh celana berwarna cokelat gelap ini, aku tahu yang Wijaya maksudkan adalah apa yang berada di baliknya—luka di kakiku.
"Mungkin," balasku segera setelah mengetahui apa yang Wijaya maksudkan. "Tapi jika memang hal itu bisa membantunya kenapa tidak?"
Namun, Wijaya kembali melontarkan argumennya, tak kalah dariku. "Selain itu mereka sudah tahu jika Anda polisi kan, Pak? Saya rasa—"
"Oleh sebab itu aku yakin," tukasku, memotong pembicaraan Wijaya dan membuatnya sedikit tersentak. Walaupun aku mengucapkannya sesantai mungkin, berusaha merendahkan nada suaraku, tetapi tampaknya Wijaya tetap kaget. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya, mungkin memang aku yang terlalu menanggapinya secara personal, berusaha mencari tahu identitas si penembak kakiku itu dan ingin segera meringkusnya. Namun, bukan berarti pernyataanku sebelumnya salah. Jika aku bisa menelusup ke dalam kelompok itu, bukan tidak mungkin divisi perampokan bisa mendapatkan informasi lebih dari yang kudapatkan.
Jadi, kurasa tak ada pilihan yang salah.
Kuketukkan kedua kakiku, membuat kebisingan antara sol sepatu dengan lantai keramik keras yang khas. Selain itu, tampaknya Alex semakin tak tahan untuk merokok. Tangannya berkali-kali merogoh kantung celana di mana ia menyimpan sebungkus rokok yang sebelumnya ditawarkan padaku dan Wijaya. Namun, berkali-kali juga tangan itu berakhir dalam keadaan kosong, tak mengambil apa-apa.
Sejujurnya, aku menunggu di antara mereka untuk kembali bertanya padaku, bagaimana aku dapat yakin. Namun, semuanya terlalu terpaku untuk mendengarkan penjelasanku selanjutnya, sehingga secara terpaksa aku memberikannya tanpa diminta.
"Orang yang menembak kakiku itu menyelipkan tiga kertas pada saku seragam Pak Goto."
"Kita belum tahu siapa yang menulisnya." Alex menyela sambil berusaha meyakinkan pilihanku sekali lagi. Namun, hatiku tetap tak terpengaruh.
"Asumsikan penulisnya adalah si pembunuh."
Aku memulainya. Oh, sialan, kembali pada sebuah asumsi. Gila, kenapa aku tak dapat lepas dari investigasi semacam ini? Aku tahu, telah berkali-kali kukatakan pada diriku untuk tak membangun seluruh kronologi kejadian berdasarkan asumsi. Cari bukti valid, bangun ulang kejadiannya, tidak seperti ini. Namun, sialannya, aku tak memiliki alternatif lain untuk menyangkal balasan Alex, dan aku mengerti akan hal itu.
Namun, bukankah selama ini pun mereka hanya mengasumsikan bahwa coretan kertas itu dibuat oleh Pak Goto?
"Si pembunuh, dengan ciri-ciri yang sama yang menembak kakiku, mengetahui namaku," lanjutku. "Dia memiliki banyak kesempatan untuk membunuhku. Maksudku, aku tinggal sendirian. Loka sekolah, istriku sudah meninggal dan aku tak memiliki sanak saudara dekat yang berada di dekatku selama 24 jam. Orang itu memiliki pistol, lengkap dengan peredam. Dia bisa masuk ke dalam rumahku, menyelinap, membunuhku secara diam-diam. Namun, dia malah meninggalkan kertas itu."
Wijaya memalingkan wajahnya. Aku yakin dia sudah tahu ke mana pembicaraan ini akan kubawa. Namun, Alex yang belum pernah tergabung ke dalam divisi pembunuhan tampak antusias mendengarkan dongengku.
"Dia tak membunuhku. Alih-alih, dia malah membunuh Pak Goto. Aku tidak tahu apa alasannya." Aku menghela napas sesaat setelah kukeluarkan sejumlah paragraf yang menguras napasku. "Kurasa ia memanggilku."
Alex menyilangkan kedua tangannya tepat di depan dadanya. "Untuk apa?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana jika itu caranya untuk menemukanmu? Bagaimana jika sebenarnya dia hanya memancingmu untuk keluar dan akan membunuhmu segera setelahnya? Mungkin ia tidak begitu pintar untuk mencari tahu alamat rumahmu."
"Cukup pintar untuk mengetahui namaku." Sanggahku. "Aku bukan humas. Walaupun mungkin beberapa surat kabar mengutip ucapanku, kurasa tidak dengan fotoku. Selain itu, dia menembakku dalam waktu yang singkat, segera kabur setelahnya, hanya memerlukan waktu kurang dari dua detik baginya untuk menembakku, kemudian berpaling dan segera lari. Aku yakin ia tak menyadari kedatanganku yang tiba-tiba itu. Ia terkejut—pasti, dan jika aku memakai label nama saat itu, aku yakin dia tak sempat membacanya, mungkin saat itu pun dia tak tahu bahwa aku adalah seorang polisi karena segera menembak kakiku. Yang dapat ia andalkan hanyalah penglihatannya terhadap wajahku. Dan itu dilakukannya kurang dari dua detik. Selain itu, media tak memberitakanku, mengenai kasus penembakan yang dilakukannya. Untunglah saat itu kesalahan penyelidikan, melepaskan terdakwa yang bahkan sudah dijatuhi hukuman lebih menarik perhatian media massa daripada memberitakan diriku."
Alex memiringkan wajahnya.
"Intinya," lanjutku. "Dia orang gila yang sebelumnya tak mengetahui siapa diriku, secara tiba-tiba mengenalku. Tak menutup kemungkinan dia mengetahui alamatku. Selain itu—"
"Satu-satunya cara untuk menarik perhatian Pak Roy adalah dengan melakukan satu pembunuhan. Orang yang menembak kaki Pak Roy tahu bahwa Pak Roy tergabung ke dalam divisi pembunuhan," timpal Wijaya secara tiba-tiba, bahkan tanpa aba-aba. "Dan satu-satunya cara untuk memberitahukan informasi mengenai dirinya tanpa membocorkan identitas dirinya adalah dengan melakukan satu perampokan. Bagaimanapun, ia tahu Pak Roy bekerja di bagian pembunuhan dan ia tahu bahwa Anda, Pak—" Alex menjulurkan lengannya, mengadahkan tangannya ke atas dengan maksud menunjuk Alex. "Sedang menyelidiki kelompoknya atau setidaknya semacam itu."
Aku tak menyangkal seluruh selaan Wijaya. Kurang lebih hal yang sama memang akan kuucapkan. Tampaknya, Wijaya telah tak tahan untuk menuangkan seluruh pemikirannya ke dalam teks yang terstruktur, dan pada akhirnya bendungan itu pun bocor, terbelah, membiarkan seluruh aliran pemikiran keluar dari mulutnya.
Aku tersenyum mendengar pemikiran Wijaya sembari memalingkan wajahku padanya. Ia memberikan reaksi yang positif, kembali melemparkan senyum padaku—seperti biasanya. Sedangkan Alex tampak bingung dengan analisis yang kami bangun berdua—masing-masing, sih. Aku tahu, dia tidak bodoh sehingga tak akan mengerti apa yang diucapkan Wijaya, tetapi tampaknya ia masih tak dapat menerima seluruh analisis yang kuberikan serta Wijaya tambahkan.
Pada akhirnya, Alex mendengus, sedikit tertawa sambil memperlihatkan gigi-giginya yang tidak begitu putih, tetapi tersusun rapi. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah terkesima akan analisis yang kami berdua lontarkan.
"Tapi, Pak Roy," Wijaya berkata setelah beberapa detik. "Saya tetap tak setuju dengan rencana Anda untuk masuk ke dalam organisasi itu. Yang dikatakan Pak Alex mungkin ada benarnya juga."
"Begitu pula dengan apa yang kukatakan, kan?" Aku berkilah dengan cepat. "Maksudku, dia punya waktu, kesempatan, tetapi dia malah menyia-nyiakannya dan seolah-olah berusaha menarik perhatianku."
"Bagaimana dengan kondisi Anda, Pak? Anda belum bisa berjalan dengan sempurna."
Benar, walaupun separuhnya tetap salah. Aku terluka, bukan pincang, lagipula tampaknya beberapa hari lagi keadaanku dapat membaik, kan?
"Kita tak memiliki pilihan," ucapku sambil menyilangkan kedua lenganku tepat di depan dadaku, sedangkan Alex melakukan hal yang sebaliknya. Mungkin, ia merasa pegal sehingga harus kembali menaruh kedua lengannya di atas meja. "Ia menulis namaku. Dan kurasa ia berusaha berhubungan denganku sambil tetap menjaga jarak."
"Bagaimana kau tahu?"
Aku menggeleng. "Aku tidak tahu, aku hanya berpikir bahwa hal itu benar."
Kemudian, di sela pembicaraan kami, Wijaya kembali tertawa kecil, membuatku dan Alex memalingkan wajah, melihatnya yang tengah berseri-seri dan berusaha menutupi mulut dengan kedua tangannya.
"Jika Anda merasa hal itu benar, Pak, saya rasa saya tak dapat menyangkalnya," sergahnya secara segera, menghindari keadaan canggung di mana kami memperhatikan dirinya yang tengah berusaha memperbaiki kembali alur pernapasannya. "Anda satu-satunya orang sejauh ini yang saya kenal yang dapat menyelidiki kasus yang telah ditutup." Wijaya berhasil mengatur perutnya yang sedari tadi sesenggukan. Kini, suara tawanya telah teredam. "Tapi, bagaimanapun, saya tetap tak setuju dengan ide Anda, Pak. Saya tak dapat memaksa Anda untuk tak melakukannya, tetapi saya tak dapat mencegahnya."
Alex memandangi kami secara bergantian, terlihat bingung dengan pembicaraan kami, membuat Wijaya melanjutkan perkataannya.
"Setidaknya kali ini jangan sampai tertembak lagi."
Aku mendorong bahunya, agak keras, membuat ia terpental tetapi tak begitu jauh. Badannya masih menetap pada posisi sebelumnya, sedangkan aku hanya bisa menertawakan omongannya.
"Baiklah, aku menyerah." Alex mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia adalah penjahat yang berhasil kami bekuk, menunggu untuk kedua tangannya diborgol dan dijebloskan ke penjara. "Aku tak tahu apa yang ada di pikiran kalian, tetapi terserah kalian. Aku akan mencoba menghubungi orang-orang dan memberitahu bahwa ada satu orang gila dari divisi pembunuhan yang berusaha menyelidiki satu pembunuhan—mungkin—dan malah berniat untuk masuk ke dalam sindikat perampok di mana si pembunuh itu tergabung untuk mengungkapkan motif pembunuhan, identitas si pembunuh, juga—"
"Jangan buat rencana ini menjadi resmi," kataku, pelan.
Aku memotong pembicaraannya yang dilakukan secara panjang lebar sembari memperhatikan sekitar. Kosong, sama seperti sebelumnya, hanya ada tujuh orang dan jarak di antara kami berjauhan. Kurasa mereka tak dapat mendengar omonganku barusan—aku harap.
Kemudian, Alex terlihat bertanya-tanya. Sebelah alisnya dinaikkan, kepalanya dimiringkan dan melihatku bagaikan seonggok daging yang belum juga matang setelah dimasak selama berjam-jam. Kemudian, ia bertanya, "Kenapa?"
Sekali lagi, aku berusaha memastikan sekitar, merendahkan nada bicaraku, lebih rendah dari sebelumnya dan memastikan tak ada siapapun yang dapat mendengarnya.
"Personal," ungkapku singkat, tetapi Alex tampaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut. Mulutnya menganga, menandakan ia belum paham.
"Si pembunuh itu seolah-olah memanggilku secara pribadi. Dia tak melibatkan kelompoknya. Apapun itu, kurasa dia sengaja melakukannya. Jika harapannya tak terwujud, ternyata aku memanfaatkannya untuk meringkusnya, salah-salah mereka malah membunuhku—mungkin kita semua—terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan identitasnya juga identitas bos mereka. Bukankah kau ingin menghentikan para perampok itu?"
Alex mengangguk berat, tampak malas untuk melakukannya, mungkin berharap untuk tidak melakukannya, tetapi ia tak dapat menyangkal argumenku.
"Ya," katanya dengan pelan.
"Aku ingin menangkap orang itu atas tuduhan penyerangan dan pembunuhan, sedangkan kau ingin menangkap yang lainnya atas dasar perampokan. Aku memiliki ide dan hanya aku yang memiliki akses untuk melakukannya. Kita tak dapat melibatkan semua orang terlebih dahulu. Buat ini menjadi rahasia. Begitu aku tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, aku akan memberitahu kalian. Bagaimana?"
Alex berpikir dengan keras. Ia jatuhkan dagu pada kepalan tangannya, menunduk sedikit dan terlihat berpikir. Sedangkan aku hanya melihat Wijaya yang sedari tadi melepaskan obrolan pada kami berdua, seolah-olah berusaha keluar dari pembicaraan ini dan tak ingin terlibat. Namun, aku tahu dia ingin membantuku, hanya saja ia masih tak dapat menerima rencanaku.
Hingga akhirnya, Alex setuju.
"Tapi, tetap harus kuberitahu satu hal padamu," akhirnya Alex melanjutkan pembicaraan. "Kita harus menunggu sampai kakimu membaik, setidaknya sampai bisa berlarti sehingga koneksi kita bisa memasukanmu ke dalam sindikat itu."
"Tentu. Aku tak keberatan. Mungkin satu atau dua minggu lagi aku sudah bisa berperan sebagai seorang manusia, perampok gila yang melakukan seluruh aksinya dalam 60 detik."
===
Satu minggu telah berlalu. Kakiku berangsur membaik. Aku sudah bisa berjalan dengan normal tanpa sedikitpun menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang sekitar dan berusaha menarik celana panjangku, berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku memang pernah terluka.
Kusisir pemandangan sekitar—taman kecil dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Melihat orang-orang berwajah tanpa dosa yang berjalan melaluiku. Betapa beruntungnya hidup mereka, tampak tak memiliki masalah. Ketika seseorang mengalami stereotip yang buruk, berjuang melawan omongan orang-orang di sekitar karena telah terlanjur mengambil jalan yang salah, orang-orang ini masih dapat berjalan dengan bebas, tak mengetahui masalah yang ada.
Seorang lelaki yang berjalan santai di balik jaketnya, seorang wanita yang sengaja membawa anjingnya untuk berjalan-jalan di pagi hari, serta seorang pria bertopi yang tampaknya tengah memperhatikanku—lelaki itu.
Aku beranjak dari tempat dudukku, sesegera mungkin. Mengempaskan tubuhku keluar dari zona nyaman, berlari menuruni anak tangga dan mengambil sisi kanan, berusaha menarik kerah lengan lelaki itu. Namun, sialannya, sesegera mungkin aku berada di sana, lelaki itu telah tiada.
Taman ini memiliki pohon-pohon yang tinggi menjulang. Ia bisa kabur ketika perhatianku teralihkan pada anak tangga, ketika aku tak ingin terjatuh. Namun, bukan berarti orang itu dapat menghilang dengan segera, bukan?
Aku mencari, terus mencari hingga napasku terasa sangat tipis—tercekik. Seluruh penjuru taman ini, aku terus mencarinya, bahkan hingga ke dalam bilik-bilik toilet yang biasanya selalu kuhindari. Tak ada siapapun. Kosong.
Dia menghilang begitu saja, bagaikan angin yang berembus menunjukan jalan. Hilang. Setiap aku berjalan satu langkah di belakangnya, dia selalu melesat meninggalkanku.
Dia mengawasiku—benar. Namun, rencana ini tampaknya akan berjalan dengan mulus. Seperti yang kukatakan, orang itu mencariku secara personal bukan kelompok. Aku tak tahu apa alasannya. Namun, bagaimanapun aku tak dapat lengah.
Aku harap semua akan baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top