3. Cloud Connected

Bau apek akibat air-air yang memenuhi dinding gang berlumut segera menusuk hidungku. Selokan kecil yang kering terlihat di sepanjang gang, melintang di samping kiri dan kanan jalan. Gang ini sangat kecil, mungkin hanya muat untuk disusupi sebuah sepeda motor. Jika dua sepeda motor saling berpapasan, aku yakin salah satunya terpaksa mengalah, menghentikan lajunya dan segera menepikan kendaraannya. Kemudian, harus menerima dengan lapang dada seandainya ada beberapa bagian di antara kendaraan mereka yang saling bergesekan. Dengan itu, jangan ditanya lagi bagi orang-orang yang memiliki mobil. Tentu, tak akan masuk, mereka lebih memilih untuk memarkirkannya di sisi jalan raya daripada harus melebarkan gang ini.

Jemariku menyusupi celah-celah tembok yang tidak dibangun dengan cukup baik. Rapuh, beberapa semen bahkan sudah terkoyak, seolah-olah mereka tidak peduli dengan pondasi bangunan yang ada. Sedangkan Wijaya berjalan dengan cepat, meninggalkanku di belakang hanya untuk mencapai tempat kejadian perkara lebih dulu daripada aku.

Begitu sampai, dapat segera kulihat jejak coklat akibat darah yang telah mengering. Walaupun tenggang waktu telah berjalan sekitar seminggu, jejak darah itu masih dapat kuperhatikan dengan jelas. Aku yakin, genangan darah—ketika belum mengering—itu akan menusuk hidung orang-orang yang lewat. Aku dapat membayangkannya, bagaimana orang-orang ketakutan sekaligus tertarik untuk mengobservasi jejak darah yang sekarang telah berganti warna. Orang-orang pasti membersihkannya, termasuk beberapa anggota kepolisian, tetapi mereka tak memiliki pilihan lain selain menunggu darah yang telah menyatu dengan aspal untuk menghilang dengan sendirinya.

Jejak itu tak berbentuk geometris, tetapi beberapa bagian lebih besar daripada bagiannya yang lain, membuatku berasumsi bahwa Pak Goto tertelungkup sambil memegangi perutnya. Kemudian, jalanan yang agak miring ini mengalirkan darah kentalnya. Tidak begitu cepat, tetapi aku yakin benar. Lalu, beberapa bagian darah yang mengalir melekat pada tubuh Pak Goto. Mungkin tangannya. Semakin jejak itu mengarah padaku, semakin kecil pula lebar yang dibuatnya.

Pak Goto ditusuk di perutnya. Artinya, dia dihadang oleh seseorang. Dalam benakku, melintang sepintas imajinasi liar yang membuat mataku seolah memvisualkan apa yang tengah terjadi kala itu. Seorang pria gembul dengan pria lainnya yang berpapasan. Ketika Pak Goto hendak berjalan melintasinya, mengambil langkah lain agar tak bertabrakan, lelaki itu malah menyerangnya. Namun, satu pertanyaan terlintas dalam benakku.

Kenapa orang itu rumit-rumit memaksakan kertas yang dituliskannya—jika memang ia yang menuliskannya—untuk disisipkan ke dalam saku Pak Goto? Dari gambaran yang dapat kujelaskan secara realistis, seharusnya Pak Goto rubuh dengan kepala yang menghadap aspal. Artinya, saku bajunya akan tertutupi oleh tubuhnya dan juga aspal. Wajahnya pasti mendarat di aspal.

"Bagaimana korban ditemukan?" Aku segera bertanya pada Wijaya ketika kami memandangi jejak darah yang telah mengering itu.

Wijaya mengusap keningnya. Tidak terlalu panas, tetapi mungkin ia hanya merasa kurang nyaman.

"Saksi menemukan mayat korban yang sudah tak bernyawa."

"Maksudku, posisinya." Aku mengatakannya sambil memperhatikan jejak itu, sedangkan Wijaya malah menatapku penuh heran.

"Terbujur di atas aspal."

"Menghadap ke atas atau ke bawah?"

"Setahu saya ke bawah, Pak," balasnya lagi.

Kurasa analisisku tak salah. Namun, aku tak dapat menyalahkan Wijaya yang berasumsi bahwa kertas itu memang disisipkan oleh sang pelaku. Selama aku belum tahu siapa yang menulisnya, aku belum dapat menyalahkan siapapun. Jadi, sebagai gantinya, aku ingin meyakinkan Wijaya terlebih dahulu.

"Kau yakin kertas itu disisipkan oleh si pelaku?" tanyaku, menaikan sedikit nada suara dan menyebabkan pita suaraku tercekik. Memang, kemacetan yang terjadi di jalan raya membuat bising. Beberapa orang membunyikan klaksonnya.

"Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya menebak," adunya. "Saya tak memiliki bukti jika si pelaku menyisipkan kertas itu, tetapi mereka pun tak memberikan alasan yang kuat jika tulisan itu memang dibuat oleh Pak Goto."

Menganalisis berdasarkan kemungkinan yang masih ambigu. Langkah yang bagus.

Sejujurnya, aku hendak berjongkok, memperhatikan goresan-goresan coklat yang menyatu itu lebih dekat, tetapi kakiku tak dapat berkompromi. Bahkan, masih untung aku dapat datang ke tempat ini. Aku mencoba beberapa kali untuk menurunkan tinggi badanku, membungkuk, tetapi memang belum saatnya. Tidak terlalu sakit, tetapi masih dapat kurasakan tekanan yang luar biasa pada kakiku. Aku tak ingin membiarkannya terluka, remuk kembali. Jadi kuurungkan niat itu.

"Jika Pak Goto yang menuliskannya, kira-kira apa yang ingin dia tuliskan?" Sama seperti Wijaya, aku mencoba membuat asumsi yang lain, asumsi yang disanggah oleh Wijaya. Namun, tak ada salahnya, kan? Toh seperti yang ia katakan, mereka tidak memberikan alasan yang kuat mengapa Pak Goto membuat catatan itu dan apa alasannya. Anggap saja aku hanya ingin mencari tahu.

"Atau langsung saja, deh." Akhirnya aku memotong setelah Wijaya memutar bola matanya dua kali tanpa jawaban. "Jika Pak Goto yang menuliskannya, kira-kira hal apa yang dia inginkan dariku?"

Wijaya sempat terpana untuk beberapa saat. Ia memperhatikanku dari kepala hingga kaki, seolah-olah menganggapku orang sakit yang memerlukan perawatan lebih. Namun, kuberikan wajah seriusku sebaik mungkin. Kutekan kedua alisku hingga keningku mengerut. Aku tak tersenyum sama sekali, sedangkan Wijaya kembali memberikan tatapan herannya.

Ia memiringkan kepalanya. "Maksud Anda, Pak?"

Aku menghela napas. Kemudian, kukumpulkan kekuatan untuk mengatakannya.

"Kemarin malam aku berdiskusi dengan Loka. Kurasa kertas itu semacam kode. Kode itu menunjukan namaku."

"Bagaimana mungkin?"

"ASCII," aku menjawab, tetapi berharap Wijaya tak menanyakannya lebih lanjut, seperti tentang apa itu ASCII atau kepanjangannya, sebab aku tak akan bisa menjawabnya. Namun, tentu sebagai seseorang dengan generasi yang berada di bawahku, tampaknya Wijaya lebih mengerti dan ia langsung membulatkan mulutnya, mengeluarkan bunyi o seperti kereta api.

"Ory, sebenarnya, tetapi kurasa itu adalah sebuah anagram karena huruf r yang dienkripsikannya adalah kapital." Sekali lagi, aku menghela napas. "Itu hanya dugaan, tetapi mungkin terlalu kebetulan untuk disebut kebetulan. Aku akan lebih senang jika memang si pelaku yang menyisipkan kertas itu, tetapi tidak jika Pak Goto yang melakukannya."

Wijaya menganggukan kepalanya sebanyak dua kali, tetapi pelan seperti biasanya. Kemudian, ia berjongkok sambil memandangi jejak darah itu.

"Saya mengerti kenapa Anda berpikir Pak Goto yang menuliskannya, Pak," sahutnya. "Pasti karena posisi meninggalnya, kan?"

"Ya. Akan sangat sulit dengan keadaan seperti itu. Makanya aku memastikannya. Namun, seperti yang kau katakan, kita tidak memiliki alasan yang kuat untuk memastikannya, kecuali banyak coretan pensil di atas kertas di rumah Pak Goto." Aku membuat jeda, mengambil napas agar tak mati hanya karena terlalu banyak bicara.

"Kau sudah mengunjungi rumah Pak Goto?"

Wijaya—di sela-sela kesibukannya dalam memandangi jejak darah—menjawab, "Belum, Pak. Tepat ketika saya ingin mengambil kasus ini, mereka menetapkan kasus ini sebagai perampokan."

Aku mengangguk mengerti. Kemudian, Wijaya mengangkat tubuhnya ketika seseorang melintasi kami. Ia menatap kami berdua, tiga jika jejak darah itu kuanggap sebagai makhluk hidup. Kemudian, melintas begitu saja, seolah-olah kami hanya seonggok daging tanpa perasaan.

Dari caranya berjalan, bersikap dan memandangi jejak itu, kurasa aku mengerti mengapa tempat ini menjadi sepi. Orang-orang di tempat ini tak begitu suka bersosialisasi. Hanya dugaanku, tetapi mungkin saja. Selain itu, mungkin juga karena kasus perampokan disertai pembunuhan yang baru terjadi sekitar seminggu lalu di tempat tinggal mereka.

Kemudian, dari arah sebaliknya, sesosok lelaki tegap berseragam terlihat mendekati kami. Mungkin lebih tinggi dariku sekitar lima sentimeter, membuatnya terlihat lebih seperti monster daripada manusia. Bahkan, beberapa orang saja telah menganggap tinggiku terlalu tinggi, apalagi orang itu.

Lelaki itu setengah berlari. Wajahnya tak memiliki aksesoris sepertiku. Tak berjambang dengan rambut sedikit ikal berwarna hitam gelap. Bahunya kokoh, maju mundur akibat lengan yang diayunkannya. Kemudian, segera setelah ia menyadari bahwa aku menyadari kehadirannya, ia melambaikan tangan sambil tetap menggerakan kedua kakinya.

Wijaya memberitahu, dia berasal dari bagian perampokan. Namanya Alexander, padahal tak tampak darah eropa sama sekali pada wajahnya. Ia adalah ajun Komisaris seperti kami. Wajahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, tetapi kumis dan janggut yang sengaja dicukur turut membantunya untuk terlihat lebih muda.

Begitu sampai, ia tak bernapas dengan menggebu-gebu, tak terlihat lelah sama sekali. Bahkan, sebaliknya, ia segera bertanya pada kami.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan segera. Nada suaranya sangat rendah, seolah-olah aku mendengar ayahku sedang berbicara dengan rokok yang selalu disembunyikannya—tak ingin terlihat olehku.

"Kau Wijaya, kan? Dan ... eh—" Lelaki itu segera memperhatikan seragamku, tepatnya memperhatikan label namaku. "Roy," lanjutnya. Namun, segera setelahnya, ia tersenyum sumringah. "Ah, kau yang pernah menyelidiki kasus pembunuhan manekin itu, ya?"

Aku mengangguk. "Itu sudah sangat lama."

"Aku tahu," balasnya. "Jadi, kenapa kalian ada di sini?"

"Memastikan bahwa kasus ini benar-benar murni perampokan." Aku segera memotong pembicaraan sebelum Wijaya membalasnya.

Secara tiba-tiba, alis Alex melejit. Bahkan, senyum yang sedari tadi dilemparkannya menghilang. Ia menatapku kuat-kuat, memastikan aku tak berlari menghindari pandangannya yang sudah pasti tidak akan kulakukan.

Lalu, sepersekian detik kemudian, ia mengganti arah pandangannya, melihat Wijaya yang seolah enggan terlibat dalam perkelahian.

Beberapa orang kembali melewati kami. Kini, mereka hanya menatap heran ke arah kami bertiga—empat jika jejak darah itu tetap kuhitung sebagai makhluk hidup.

"Kalian tak benar-benar berpikir bahwa kasus ini ditetapkan sebagai kasus perampokan tanpa alasan yang jelas, kan?"

Namun, kubusungkan dadaku.

"Yang kudengar, kasus ini ditetapkan sebagai kasus perampokan hanya karena seseorang dengan tololnya mengambil dompet seorang polisi dan pergi meninggalkan mayatnya begitu saja."

"Bukan, bukan," Alex menyanggah. Ia menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam. "Yang menjadi masalah dalam kejadian ini bukanlah apa yang terjadi, melainkan siapa yang melakukannya."

"Kalian sudah tahu siapa pelakunya?"

"Kami belum mendapatkan identitasnya. Tetapi jelas kami tahu siapa pelakunya," balasnya lagi dengan segera. "Kami mendapatkan saksi, seseorang melihat sang pelaku berlari keluar dari gang ini, membawa mobilnya lalu pergi. Orang itu tak mengingat nomor polisinya, ia hanya bilang bahwa orang itu—mungkin si pelaku—membawa mobil Avanza keluaran tahun 2010-an. Aku kemari ingin meminta penjelasannya lebih rinci. Banyak hal yang perlu kulakukan hingga akhirnya aku dapat menemui saksi."

Lelaki itu menjelaskannya dengan sangat panjang lebar. Untuk orang yang terlihat tua seperti dirinya, sungguh ia adalah orang yang cerewet. Namun, tentu tak dapat kusalahkan sifat seperti itu. Mungkin memang sudah bawaannya. Andai ia menumbuhkan sedikit kumis untuk menghiasi wajahnya, aku yakin ia akan lebih terlihat seperti orang tua pemburu anak-anak yang akan dijualnya dalam sindikat perdagangan manusia daripada seorang polisi.

"Kau yakin motif kali ini benar-benar dilakukannya atas dasar perampokan?" aku memastikannya sekali lagi.

"Dari seluruh perbuatannya. Ya, orang itu adalah seorang perampok. Ditambah dengan diambilnya dompet Pak Goto."

Aku dan Wijaya beradu pandang.

"Kau menghapal seluruh bentuk wajah perampok, ya? Sampai yakin orang yang melakukannya adalah orang yang sama hanya berdasarkan keterangan saksi."

"Hah? Tentu saja tidak." Alex mendengus pelan. "Dia selalu menggunakan pakaian yang sama. Serba hitam, dari baju hingga celananya, bahkan dia selalu menggunakan topi hitam. Rekan-rekannya pun seperti itu."

Mendengar kata topi itu membuatku bergidik. Aku tersentak, mungkin jatuh jika tak kusiapkan keseimbangan dengan sebaik mungkin. Bahkan, dalam beberapa saat, jantungku terasa berdegup kencang.

"Topi?" aku memastikan.

"Ya."

"Apa mereka sering menggunakan pistol?"

"Beberapa kali dalam aksinya. Jadi, ya."

Tenggorokanku seolah tercekat. Napasku terasa berhenti. Dalam bayang-bayang benakku, kembali kudapati seluruh adegan yang mengerikan itu. Bagaimana seorang lelaki dengan topi hitamnya menusukan pisau pada perut korban serta membiarkan istri korban terkulai lemas tak sadarkan diri di sampingnya.

Pria yang selama ini kucari, selama ini kukejar. Lelaki itu telah melukai kakiku, menembakan senjata apinya dan mengarahkannya pada betisku, membuat otot-ototku sobek.

Dalam sekejap, seluruh kejadian itu kembali terlintas dengan cepat.

"Maaf," kataku setelahnya, ketika pandanganku kembali membaik, ketika seluruh reka ulang adegan yang sengaja dibuat oleh otakku menghilang. "Tetapi kurasa kasus ini akan lebih dari sekadar perampokan."

===

Aku menjadi semakin yakin bahwa tulisan itu memang dibuat oleh sang pelaku. Aku sangat yakin ia sengaja menuliskan namaku. Aku harus menarik kembali kata-kataku bahwa aku akan merasa lebih senang jika sang pelaku yang menuliskannya, kenyataannya tidak seperti itu.

Aku tak tahu siapa orang itu, di mana ia tinggal, mengapa ia sampai sengaja mendatangi kota Bandung padahal kasus sebelumnya terjadi di Jakarta, ketika aku berusaha mengungkapkan kenyataan sebuah kasus keji yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Sekarang, orang itu benar-benar mendatangi kota kelahiranku, kota tempatku tinggal.

Sudah pasti dia meletakan kertas itu bukan tanpa alasan. Apakah orang itu ingin bertemu denganku? Apakah orang itu hendak mengancamku? Apa yang bisa dilakukannya?

Orang itu sudah membunuh seorang anggota polisi, seharusnya dia dapat melakukan itu padaku, menunggu momen yang tepat agar aku berjalan keluar rumah, menyekapku, kemudian menghabisi nyawaku. Jadi, apakah dia benar-benar hanya ingin menakut-nakutiku? Tetapi kenapa?

Bahkan, Wijaya memberikan reaksi yang sama mengingat apa yang kukatakan padanya. Kode ASCII itu terlalu kebetulan untuk sebuah kebetulan. Ia sengaja meletakannya dan aku tahu itu.

Aku dan Wijaya memohon pada Alex untuk ikut menyelidiki kasus ini. Tentu, awalnya ia menolak. Kasus ini masih ditetapkan sebagai sebuah kasus perampokan, tetapi pengalamanku mengatakan hal yang lain. Aku yakin benar dia sengaja menghabisi nyawa seseorang, bukan atas dasar perampokan. Namun, dengan pengakuan Alex yang mengatakan bahwa orang itu termasuk ke dalam salah satu anggota perampok, tentu membuka peluang bagiku untuk menyelidiki pria itu lebih jauh.

Aku terpogoh-pogoh, membuat Alex bertanya-tanya apa yang terjadi pada kakiku. Tentu, sebenarnya aku tak ingin menceritakannya, tetapi secara terpaksa aku mengatakannya. Setidaknya, dengan bukti yang kuat ini, aku dapat memaksanya untuk membiarkan aku dan Wijaya ikut menyelidiki kasus yang ada. Jadi, ya, kami berhasil membujuk Alex untuk ikut menyelidikinya.

Namun, hatiku belum terlalu teguh.

Apakah aku siap? Maksudku, orang itu bisa pergi berkelana dengan bebas di luar sana. Aku tak pernah berhasil mendapatkan dirinya, siapapun, tak ada, dan dia kembali dengan membawa pesan yang dapat menyulut kemarahan siapapun.

Dia sengaja melakukannya.

Apa yang diinginkannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top