24. Ending
Menaiki roller coaster pada wahana permainan bukanlah kesukaanku. Ketegangan luar biasa yang pasti akan kudapatkan tidak memberikan sedikitpun rasa kesenangan bagiku. Sebaliknya, perasaan lega setelah memercayakan nyawaku pada penanggung jawab wahana permainan—turun dari roller coaster—adalah bagian yang dapat membuatku senang berjingkrak-jingkrak, berbeda dengan orang kebanyakan—sedih karena permainan yang mereka tunggangi telah berakhir.
Tentu hal itu bukan tanpa sebab. Maksudku, tentu aku akan menikmatinya biarpun tidak seheboh orang-orang kebanyakan, tetapi mengetahui bahwa aku berada dalam titik yang paling aman dalam hidup, itulah tujuan yang kuinginkan dari seluruh wahana permainan yang ada, termasuk roller coaster.
Namun, kini aku tak akan membahas wahana itu, melainkan suatu kebimbangan yang membuatku bingung untuk meletakkan posisi perasaanku. Senang? Sedih? Takut? Aku tidak tahu.
Aku lega karena pada akhirnya lelaki bertopi itu—yang mengaku bernama Luthfi—tidak berusaha membunuhku, bahkan kami terlihat seperti berada dalam aliansi yang sama, tetapi di pihak yang lain, pengakuannya membuatku bimbang.
Aku lega karena pada akhirnya seluruh intimidasi yang diberikan Guntur berakhir, membuatku dapat bertemu dengan Loka dan menganggap seluruh perkataannya itu adalah gertak sambal. Namun, di saat yang bersamaan kudapatkan informasi bahwa tidak hanya Guntur dan dua orang temannya yang terlibat ke dalam sindikat perampokan, bahkan ada lebih banyak—sangat banyak—aparat lainnya yang juga ikut terlibat.
Sekarang apa yang harus kulakukan?
Aku tidak benar-benar yakin bahwa daftar nama yang diberikan Luthfi memuat seluruh nama polisi-polisi kotor yang berada di kantorku. Jika aku melaporkannya pada Komisaris Yudha atau siapapun yang dapat kujadikan andalan untuk menangkap seluruh nama dalam daftar ini, tak ada jaminan untukku jika mereka tidak terlibat. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada nama-nama yang belum tercantumkan, kan? Hal tersebut bisa menjadi bumerang dan kembali menyerangku. Lebih buruk lagi, akan ada kesempatan kedua untuk orang-orang itu melukaiku juga Loka. Aku tak ingin mengambil resiko.
Namun, cepat atau lambat, aku tetap harus membongkarnya.
Luthfi tak ingin terlibat lebih jauh. Seluruh petualangan yang kami lakukan bersama ditutupnya dengan menerima berkas kasus yang sedari dulu telah ia minta. Ekspresi datarnya tak memberikan informasi apa-apa, membuatku berdiri dilanda kebingungan. Apakah hanya kebetulan saja nama lelaki bertopi itu Luthfi? Apakah Luthfi sebenarnya masih hidup dan ternyata selama ini dia memalsukan kematiannya? Tapi bagaimana mungkin?
Namun, semua pertanyaan itu pada akhirnya tak pernah terjawab. Luthfi pergi menghilang seperti biasanya. Namun, untuk kedua kalinya ia memberikan sebuah ponsel padaku beserta sindiran halus karena aku malah merusak ponsel pemberiannya sebelumnya—ya, pada akhirnya ia mengaku yang mengirimkan paket itu ke alamatku. Walaupun sebenarnya aku tak ingin serta merta menerima pemberiannya itu—untuk kedua kalinya—tapi pada akhirnya aku tak dapat menolaknya. Ia hanya berpesan bahwa ia akan menghubungiku lagi jika seandainya jalan yang ditempuhnya memang secara terpaksa beririsan dengan jalanku.
Sumpah, aku tak pernah menyangka jika pada akhirnya aku tak mengeluarkan isi otak Luthfi seperti yang sering kubicarakan pada Wijaya. Bahkan, di akhir pertemuan kami, aku merasa berpisah dengan saudara jauh yang tak pernah kutemui sebelumnya.
Di samping itu, Wijaya mendengarkan ceritaku. Ingatanku mengenai lontaran kalimat Luthfi bahwa Wijaya dapat dipercaya membuat mulutku tak berhenti berbicara, bahkan hanya untuk sekadar minum. Ruangan yang pengap seolah membuatku harus menceritakan seluruhnya dalam satu paragraf panjang, membuat leherku terasa tercekik dan kesulitan bernapas. Kemudian, di saat yang sama Wijaya hanya mengangguk pelan sambil sesekali menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap ceritaku.
Namun, tentu aku tak membeberkan kasus pembunuhan yang Luthfi lakukan. Reaksi apa yang akan diberikan Wijaya seandainya ia mengetahuinya? Terlebih jika ia menebak bahwa aku membantunya—memang benar seperti itu, kan?
Hingga akhirnya, aku meminta pendapat Wijaya mengenai langkah selanjutnya yang harus kulakukan, membuat anak itu terlihat seperti konsultan ahli dalam bidang kriminal dan selalu memberikan masukan jitu untuk para polisi agar tak salah mengambil langkah. Namun, bahkan belum berlangsung lebih dari empat detik, Wijaya berdeham, mengernyitkan dahinya dengan jempol yang ditempelkan pada dagu.
Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi dengan dua kali putaran pada bola matanya, jelas otak Wijaya tidak sedang melakukan pekerjaan mudah.
Aku sendiri sedang menimbang-nimbang.
"Aku bisa saja membeberkan catatan ini, buktinya mungkin bisa menyusul, kita bisa memeriksa rekening mereka. Tapi seperti yang kuceritakan padamu, bisa saja orang di luar daftar ini—luput—menyadarinya dan malah melakukan serangan balik."
Wijaya terlihat setuju dan tak setuju.
"Dari mana Luthfi mendapatkan catatan itu, Pak?" Sekali lagi, Wijaya mengernyitkan dahi. Namun, kini ditambah dengan naiknya alis kanan.
"Aku tidak tahu," jawabku singkat. Namun, memang benar aku tidak tahu, kan?
"Bagaimana mungkin Anda yakin jika Luthfi tak sedang menjebak Anda, Pak?"
Sebenarnya, pertanyaan Wijaya itu tak membuatku kaget—sungguh. Aku telah menduganya, bahkan pertanyaan yang sama pun sempat terpikirkan olehku—tentu untuk kutanya pada diriku sendiri. Namun, jawabannya tak pernah kutemukan. Bagaimana aku bisa yakin dengan apa yang diberikan Luthfi? Aku tidak tahu.
Namun, aku tak menanggapi pertanyaan dari Wijaya. Sebagai gantinya, kurogoh sakuku, mengeluarkan ponsel Wijaya yang Luthfi titipkan padaku, membuat Wijaya terperangah.
"Lutfhi bilang dia mengambil ponsel darimu, kemudian menghubungiku dan terjadilah seluruh kejadian seperti yang kuceritakan padamu sebelumnya."
Bahkan, Wijaya tak segera mengambil ponsel itu. Ia masih terperangah, matanya melotot melihat layar ponsel yang mati dalam genggamanku, hingga akhirnya dia berkata, "Saya kira tertinggal di kantor!"
Namun, merasa tak sempat menanggapi seluruh rasa keterkejutan Wijaya, aku memberitahunya, "Lelaki itu adalah orang yang aneh. Maksudku, benar-benar aneh secara denotasi. Aku tak mengerti dengan perilakunya. Tapi sejauh yang kudapatkan hingga saat ini," aku meneguk ludah sebagai pembatas antara tarikan napasku. "Aku tak memiliki alasan untuk tak memercayainya, pun aku tak memiliki alasan untuk memercayainya. Aku hanya berusaha berpikir bahwa orang yang menjadi lawan pun dapat diandalkan. Juga sebaliknya—orang yang kita kenal malah berusaha membunuh kita."
Sekali lagi, aku membuat jeda, memainkan kedua bola mataku.
"Siapa yang menyangka jika seorang polisi dapat membunuh polisi?"
Wijaya tak merasakan keanehan sedikitpun dalam kalimatku—tentu saja. Mungkin, dalam otakknya kalimatku itu dikaitkan dengan kematian Pak Alex yang melibatkan Fandi dan Bagas. Namun, lebih jauh dari itu, aku mengucapkan kalimat yang sama pada diriku sendiri.
===
Penemuan mayat Guntur, Fandi dan Bagas ternyata lebih cepat dari yang kukira. Hujan yang tak kunjung muncul selama beberapa hari membuat air sungai surut dan penampakan ketiga mayat itu lebih menarik perhatian. Lokasi pembunuhan yang berada di daerah timur menjadikan kasus tersebut di luar tanggung jawabku—daerah utara. Namun, aku tetap mengikuti penyelidikan kasus melalui berita-berita daring maupun cerita dari mulut ke mulut.
Penyelidikan menemui jalan buntu. Tak adanya saksi, penyebab kematian yang cukup biasa—leher yang patah—dengan telanjangnya tubuh mereka membuat tujuan utamaku berjalan dengan lancar. Orang-orang terlalu terpaku untuk memikirkan motif di balik penelanjangan mereka daripada mencari kemungkinan orang-orang yang membenci mereka, hingga pada akhirnya mereka menetapkan satu tersangka.
Pembunuhan yang terjadi pada Pak Goto dan Alex membuat mereka menetapkan seorang laki-laki misterius sebagai tersangka pembunuhan—tentu yang mereka maksud adalah Luthfi. Motif yang tak diketahui seolah-olah menjadi bantalan empuk bagi para penyelidik untuk berkilah dari 'kasus yang tak dapat dipecahkan' ini. Bahkan, mereka berusaha bekerja sama denganku, kembali menelusuri kasus kematian Alex, hingga akhirnya mereka menyimpulkan bahwa lelaki misterius itu—Luthfi—memerintahkan Fandi dan Bagas untuk membunuh Alex, tetapi pada akhirnya Luthfi mengambil nyawa dua polisi itu, serta mengambil nyawa Guntur selaku salah satu penyelidik kasus yang bersangkutan, membuat mereka menyuruhku untuk berhati-hati karena bisa saja aku merupakan target selanjutnya.
Aku hanya tersenyum, memberikan pesan singkat, "Ya, saya akan berhati-hati." Kemudian beranjak dan berusaha melepaskan kasus itu selamanya.
Berita baiknya, kurasa orang-orang pada daftar yang Luthfi berikan padaku pun setuju dengan berita yang beredar. Tak ada ancaman khusus yang mereka berikan padaku lagi. Aku tidak terbebas, tetapi setidaknya aku bisa bernapas lega terlebih dahulu.
Masih banyak misteri yang belum kuungkapkan.
Siapa Luthfi? Apa yang harus kulakukan pada polisi-polisi kotor itu? Bagaimana caraku memilah orang-orang baik yang dapat kupercaya atau tidak?
Satu kata: misteri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top