23. Silent City

Sekarang, di balik bayang-bayang malam, kecepatan mobilku menukik tajam hingga dua kali lipat dari biasanya. Kendaraan lain tak banyak berlalu lalang, membuatku secara leluasa dapat menginjak pedal gas tanpa perlu takut mengalami kecelakaan. Di saat yang bersamaan, lelaki bertopi itu tampak lebih gila. Jika aku mampu melajukan kecepatan mobilku hingga 60 kilometer perjam, maka lelaki bertopi itu berjalan dua kali lipat lebih cepat—walaupun mungkin juga kurang. Aku telah kehilangan jejaknya, tetapi tujuan kami tetap sama—rumahku.

Seluruh kejadian ini menunjukan bahwa perang yang tengah terjadi ternyata tidak semudah itu, bukan dua sisi yang berlainan, berusaha bertahan dari serangan-serangan lawan. Kini, aku berperang melawan orang-orangku sendiri—musuh dalam selimut.

Aku sering mendengar permasalahan yang sama, tetapi tentu bukan dalam bentuk nyata, melainkan dalam dunia fiktif. Film-film abad 20, novel yang hampir tak pernah kuselesaikan untuk dibaca, beberapa artikel bodong yang memperlihatkan kebobrokan sistem sehingga orang-orang dengan mudahnya berkhianat tak pernah lepas dari pemikiranku. Sekarang, tidak hanya pemikiranku, semuanya terjadi secara nyata—bahkan hingga memakan korban.

Ketika lingkungan sekitar yang sudah akrab dengan netraku muncul, dapat kulihat mobil yang dikendarai lelaki bertopi itu—mobil Guntur—terparkir dengan cara yang menyebalkan. Badan mobil tampak miring dan seolah-olah sengaja dilakukannya untuk menghalangi jalan. Lampu mobil yang tidak dimatikan menghiasi jalanan gelap dan berusaha mengundang ribuan ngengat untuk menyerangnya. Bagi siapapun yang melihatnya—orang-orang yang tak tahu akar permasalahan mengapa si lelaki bertopi itu sengaja memarkirkan mobilnya seperti itu—tentu akan kesal, bahkan mungkin dapat bertindak lebih jauh: menggoreskan coretan piloks dan memberikan kata-kata yang tak menyenangkan. Namun, tentu tidak dengan diriku. Bahkan, sebaliknya, aku benar-benar merasa dia peduli biarpun aku tak ingin menggantungkan nyawa Loka pada lelaki asing yang bahkan tak kuketahui statusnya saat ini—kawanku atau musuhku.

Kemudian, sejauh mata memandang, aku tak melihat lelaki bertopi itu sama sekali.

Tindakan yang kulakukan lebih mulus dan terurus. Aku tetap mematikan mesin, membuat lampu mobil padam dan menyebabkan malam kembali menjadi gulita. Lalu, walaupun aku keluar dengan terburu-buru, remot kunci mobilku masih sempat kutekan, membuat tanda suara berbunyi satu kali, menandakan mobil telah terkunci sempurna. Namun, mungkin perbedaan yang terjadi itu hanyalah akibat dari kepemilikan. Sebelumnya, aku mengendarai mobilku sendiri, membuatku merasa harus memperlakukannya sebaik mungkin. Sedangkan lelaki itu, toh dia mengendarai mobil orang lain. Mobil itu dicuri pun tak menjadi masalah, kan?

Demi apapun, jantungku berdegup kencang, terlebih ketika kulihat pintu depan rumahku terbuka dengan lebar. Biarpun mataku melotot, tetapi kekacauan dalam pikiranku membuatnya terlihat seperti lorong dalam tak berujung. Gelap dan tak patut untuk dimasuki. Padahal, aku yakin sebelumnya lampu depan telah kunyalakan.

Aku terlambat datang beberapa menit dari si lelaki bertopi itu, beragam kejadian pastilah mungkin terjadi. Aku tak dapat menggambarkan betapa rumitnya cabang-cabang skenario yang muncul dari dalam otakku. Namun, satu hal yang pasti: lelaki bertopi itu ada di sini dan seharusnya dia memegang janjinya. Jika tidak, maka aku benar-benar tak akan menahan diri lagi, membiarkannya berkeliaran dan membahayakan nyawa banyak orang.

Aku masuk ke dalam rumahku sendiri, tetapi benar-benar kurasakan aura yang berbeda. Ini bukanlah rumahku yang nyaman, membuatku merasa aman dari segala bahaya, bukan pula tempat peristirahatan yang selalu kudambakan. Hari ini, aku merasakan sesuatu yang lain—tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku benar-benar gugup, panik dan bergumam tak keruan. Keringat dingin membanjiri pelipisku dengan gertakan gigi akibat satu-satunya kata yang ingin kuteriakkan—Loka. Tetapi, aku tak ingin sebodoh itu dengan menarik perhatian siapapun yang tengah berada di dalam rumahku—selain Loka, tentunya. Padahal, aku sendiri tak tahu apakah ancaman yang diberikan Guntur itu hanya sebuah gertakan atau bukan.

Akhirnya, aku tak meneriakkan sepatah katapun juga. Kini, yang dapat kudengar hanyalah deru napasku yang berat, lebih berat daripada setelah aku berolahraga—yang jarang kulakukan. Kemudian, kusisir sekeliling, pemandangan yang sebenarnya biasa kudapatkan—setiap hari.

Semua tampak normal, tak ada bekas pengrusakan. Bahkan, tampaknya semua tak berubah semenjak aku meninggalkan rumah ini—meninggalkan Loka sendirian.

Jadi, apakah hal ini pertanda baik atau pertanda buruk?

Aku tak dapat memutuskan, aku memilih untuk bersafari lebih jauh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi atau tidak pernah terjadi. Namun, begitu langkah kedua kutapakkan pada keramik yang bahkan dinginnya tak dapat kurasakan karena aku masih memakai sepatu, lelaki bertopi itu keluar dari kamar Loka, membuatku sedikit kecewa karena bukannya anak lelakiku yang keluar dari tempat itu.

Lelaki bertopi itu keluar sendirian, tanpa membawa siapapun. Dengan gesturnya, dia menunjukkan bahwa ia tak dapat menemukan Loka: kedua tangannya mengadah, kedua alisnya diangkat tinggi-tinggi, dadanya membusung. Kemudian, tanpa sadar aku menggeram, mengepalkan lenganku, pikiranku semakin kusut dan pandanganku semakin gelap.

Apakah Guntur tidak main-main?

===

Pangkuan kakiku tak membuat keadaan menjadi lebih baik. Kedua siku yang kusimpan pada kedua pahaku berulang kali meleset akibat padanan yang tidak tepat dan membuatnya selip. Akhirnya, aku memperbaiki posisi, menyimpan kedua lenganku pada masing-masing sisi, kemudian mengangkat sebelah kakiku dan menyimpannya tepat di atas kakiku yang lain, membuat diri terlihat seperti seorang penguasa yang menyebalkan.

Pada sisi yang lain, si lelaki bertopi tengah menyesap secangkir teh yang memang sengaja kubuatkan untuknya. Perawakannya yang tegap dengan gestur bak seorang ahli militer membuatnya terlihat patut disegani. Selain itu, wajahnya lebih santai daripada diriku. Aku sendiri tak yakin apakah hal itu diakibatkan oleh relevansi antara dirinya dengan Loka yang tak begitu dekat—tidak seperti diriku—atau memang dia dapat menguasai keadaannya dengan sangat baik. Namun, setelah beberapa kali melakukan kontak dengannya—walaupun tak kuinginkan—pilihan kedua lebih tepat untuk dijatuhkan pada dirinya.

Di samping itu, Loka sedang duduk termenung bersama dengan temannya, memandangi kami berdua yang tak berkelahi dan malah berubah menjadi seperti teman dekat. Ia menatapku tak percaya, hal yang sama pun ia lakukan demikian pada si lelaki bertopi. Ia meratapi raut wajah kami, mencari-cari kesalahan yang sedang terjadi seolah-olah ia menginginkan kami untuk berkelahi. Namun, tidak untuk saat ini.

Pada saat yang bersamaan, aku merasa lega sekaligus kesal. Lega karena ternyata tak ada kejadian apapun yang tak kuinginkan menimpa Loka, juga kesal karena Loka yang muncul secara tiba-tiba di hadapanku sebelumnya sempat membuatku kebingungan, membuatku menduga bahwa sebelumnya ia diculik, diikat, disiksa, bahkan mungkin lebih buruk lagi—perlakuan yang sama seperti yang Guntur lakukan padaku, dilakukan pada Loka.

Loka kembali tanpa luka sedikitpun, memanggilku dari jarak yang cukup jauh ketika aku kebingungan mencarinya—masih di dalam rumah—membuatku segera berbalik karena aku kenal betul dengan suaranya. Aku tahu, semuanya terdengar tolol, seolah-olah seluruhnya terdengar seperti sebuah keberuntungan, tetapi kejadiannya tidak seperti itu.

Loka kabur setelah beberapa ketukan terdengar dari balik pintu—tentu setelah aku pergi. Menurut pengakuannya, ketukan itu tak dikenalinya. Bukan aku, salah satu tetangga, maupun sanak saudara dari keluarga ibunya. Sungguh, bagaimanapun aku benar-benar bangga akan kepekaan Loka. Maksudku, bahkan dia bisa menganalisis hanya dari suara yang didengarnya.

Kemudian, segera setelahnya, bukannya membukakan pintu, Loka malah berdiam diri di dalam kamarnya, sedikit ketakutan karena ia pikir si lelaki bertopi itu akan muncul dan tak akan main-main untuk kedua kalinya. Ia tak dapat menghubungi siapapun karena ponselnya tengah kubawa, membuat Loka secara terpaksa harus bertindak dalam situasi genting yang bahkan tak ia ketahui tingkat bahayanya seperti apa. Namun, segera setelah ia tak mendengar suara ketukan lagi, secara perlahan Loka membuka tirai jendela, mengintip keadaan di luar dari dalam rumah—tak ada siapa-siapa.

Lalu, dia pergi dan berpura-pura untuk belajar bersama tetangganya—padahal mereka berbeda sekolah.

Tak hanya itu. Ketika Loka kembali, ia tak sendiri. Temannya—Pandu—mengekor di belakang sambil membawa buku tulis dengan pulpen yang diselipkan di antara kertas-kertas. Aku tak tahu bagaimana Loka bisa berpura-pura akan belajar bersama di rumah Pandu, dan kembali ke sini dengan membawa anak itu—berkacamata dengan kaos coklat bertuliskan Life is Strange. Yang pasti, keterkejutan Loka ketika melihatku juga membuatnya terkejut.

Tambahan, mimik Loka ketika melihat lelaki bertopi itu sungguh tiada duanya. Rasa terkejut dan bahagia begitu tampak pada wajahnya, tetapi di saat yang bersamaan dia mencoba menyembunyikan hal itu karena Pandu berada tepat di belakangnya—padahal aku tahu dia sudah menduga bahwa aku telah pulang, tentu karena mobilku yang terparkir di luar pekarangan rumah. Kemudian, ia berubah menjadi ketakutan ketika melihat lelaki bertopi itu berada di lantai atas, memandangi kami berdua dengan tatapan datarnya—bertiga dengan Pandu. Aku yakin benar jika Loka ingin mengusirnya, tapi merasa tak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Dan di saat yang bersamaan, aku sendiri melakukan hal yang sama.

Aku berbisik begitu mendekatinya.

"Tenang," kataku. Kemudian dengan celana berlumpur, kualihkan pandangan pada Pandu, tersenyum, kemudian melanjutkan, "Mau belajar bareng, kan?"

Pandu yang tak mengetahui apa-apa hanya cengengesan, kemudian membalas pertanyaanku. "Iya Pak."

Tawa kecil muncul dari mulutnya. Sungguh kepolosan yang kubutuhkan untuk menghilangkan seluruh rasa beban yang mengalir melintasi pemikiranku.

Akhirnya, lelaki bertopi itu turun, seolah-olah memberikan rambu untuk Loka bahwa ia tak mengklaim kamarnya, mempersilakan anak itu untuk menggunakan kamarnya seperti biasa. Namun, bukan berarti Loka menanggapinya dengan baik. Loka mengernyitkan dahi, menatap tak percaya. Bahkan, Loka melempar pandangannya padaku, memastikan bahwa keberadaan lelaki itu di sini bukanlah main-main. Kemudian, sekali lagi aku memberitahunya untuk tak mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan.

Lelaki bertopi itu hampir saja pergi sampai aku mencegahnya, menarik bahu lebarnya dan mengajaknya untuk menunggu Loka untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang terpaksa ia kerjakan untuk menghilangkan rasa takut—tentu bersama Pandu.

"Aku ingin meluruskan sesuatu antara kau dan aku. Selain itu aku ingin Loka mendengarnya."

Entah apa yang ada di pikirannya. Namun, jelas bahwa lelaki bertopi itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan jawaban. Sesungguhnya, aku tidak begitu berharap bahwa ia akan menerimanya. Maksudku, dia orang gila yang idealis, bertindak sesukanya dan bahkan kurasa ia tak akan terlalu peduli dengan apa yang kuinginkan. Namun, sebaliknya.

"Di mana kau menyimpan laporan itu? Kau tidak membawanya, kan?"

Sungguh, pertanyaan yang begitu mendadak. Aku tak pernah berpikir ia akan menanyakannya lagi. Kukira, dengan menunjukan bahwa aku mengikuti keinginannya, menenggelamkan ketiga mayat itu, semuanya akan selesai.

Sekarang aku tidak dapat berkilah lagi.

"Aku menyimpannya di kantorku. Akan kuberikan padamu jika kau menerima permintaanku."

Sekali lagi, lelaki bertopi itu berdiam diri. Bahkan, cukup bagiku untuk menutup mata sepersekian detik, mengistirahatkannya dari hari-hari yang melelahkan.

Lelaki bertopi itu mengetukkan jemarinya pada masing-masing paha. Kami beradu pandang bagaikan dua ekor kucing yang tengah mempersiapkan performa terbaik untuk menjaga wilayah. Kemudian, lelaki itu mengangguk.

"Oke," katanya, "Aku akan mengunci mobilnya dulu, aku akan menunggu anakmu ... Loka, kan?"

"Iya, Loka."

"Hingga Loka selesai."

Sebenarnya, lelaki bertopi itu bisa saja berbohong, kembali pada mobil curian—ya, curian secara tak langsung, sih—kemudian menginjak pedal gas dan melaju pergi, mempermainkan omongannya dan membuatku jengkel. Tapi, sekali lagi lelaki bertopi itu memegang janjinya. Ia kembali biarpun aku tak mengantarnya hingga ke halaman depan. Dengan kunci yang diputar-putarnya, ia kembali sambil bersiul, seolah-olah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Gila, batinku. Dengan celana kotor dan rasa sakit yang masih menyusup di antara tulang-tulangku, aku bahkan tak akan pernah bisa berpikir hingga memain-mainkan kunci mobil. Berpura-pura dalam keadaan baik ketika berbicara pada Loka saja sudah membutuhkan banyak usaha bagiku, apalagi mengondisikan diri dan menganggap semua kejadian mengerikan tak pernah terjadi.

Dia manusia, ya?

Pikiranku kusut. Sungguh, demi apapun, aku tak pernah memikirkan watak seseorang secara mendalam seperti ini. Ya, mungkin pernah, tetapi tak pernah serumit ini. Jadi, aku membuat teh manis dan menuangkannya ke dalam empat cangkir kecil. Dua cangkir yang kusimpan di atas meja ruangan tengah, sedangkan dua lainnya sengaja kuantarkan ke kamar Loka, membuatku tak sengaja memperhatikan mereka tengah mengerjakan soal-soal fisika yang bahkan tak pernah kuingat lagi.

Aku berganti pakaian, membuatku seperti benda daur ulang yang mendapatkan sentuhan estetis dan membuatku menjadi barang yang lebih mahal. Sejujurnya, aku ingin mandi, tetapi aku sendiri tak ingin meninggalkan lelaki bertopi itu duduk sendirian terlalu lama. Bukan karena aku peduli, tetapi karena aku masih tak dapat percaya padanya. Atau ... brengsek, aku merasa berada di batas kebimbangan.

Ah, ya, karena sedikitnya komunikasi yang kulakukan dengan Loka—tentu, Loka kan kaget setengah mati ketika bertemu dengan lelaki itu—rencana yang kubuat tak berjalan dengan lancar. Rupanya sebelumnya Loka berpura-pura akan belajar bersama di rumah Pandu—dua rumah di samping kanan rumahku. Namun, karena tingkat kesulitan yang di luar batas manusia—tentu menurut Loka—akhirnya Loka memilih untuk pulang—selain itu ia merasa sudah sedikit lebih aman dibanding suara ketukan asing ketika aku pergi. Namun, dengan dalih aku tak ada di rumah, Loka mengajak Pandu untuk menginap di rumahku, dan jadilah sekarang ini kami berempat berada di ruangan yang sama. Dua penghuni rumah, satu tamu undangan dan satu tamu tak diundang.

Rencanaku membuka forum terbatas pada tiga orang—aku, lelaki bertopi itu dan Loka—tak dapat dilakukan, membuatku memutar otak untuk mencari kegiatan lainnya, setidaknya tidak membuat seluruh pertemuan yang dilakukan secara mendadak ini menjadi canggung, dan tentu saja pilihanku jatuh pada boardgame.

Aku mengambil satu buah permainan itu, jenis kooperatif dengan maksud mendekatkan aku, Loka dan lelaki bertopi itu—yang padahal aku sendiri belum bisa menaruh seluruh kepercayaan padanya. Tentu secara tak langsung membuat Pandu ikut terlibat. Segera setelah Loka dan Pandu merasa cukup untuk belajar, aku mengajak mereka untuk bermain.

Memangnya siapa yang tak suka bermain?

Lelaki bertopi itu hampir menolaknya, menganggap ajakanku hanyalah omong kosong. Namun, tamu yang tak sengaja datang ke dalam forum mendadak ini—Pandu—ternyata lebih komunikatif dari yang kukira. Atau mungkin karena ia tak memiliki latar belakang apapun—utamanya yang mengerikan—yang melibatkan dirinya dengan lelaki bertopi itu? Mungkin, kan?

Namun, ada satu masa di mana membuatku cukup terkejut.

Aku, Loka dan Pandu tentu sudah saling mengenal. Kami berada di lingkungan tetangga yang sama—sangat dekat. Dan sekali lagi, lewat kepolosannya, Pandu bertanya,

"Nama om siapa?"

Bahkan, aku sendiri tak pernah terpikirkan untuk menanyakan hal yang sama. Seluruh skenario buruk langsung melintasi benakku. Aku pikir lelaki bertopi itu akan berkilah, mulai dari tak memberitahukan namanya hingga memberikan nama palsu.

Aku tidak tahu lelaki bertopi itu berbohong atau tidak. Namun, dengan seluruh kejadian yang ada, bagaimana mungkin aku dapat menyimpulkan jika lelaki bertopi itu berbohong? Dia selalu menepati janjinya, baik maupun buruk. Dia tak pernah bermain-main akan pernyataan maupun pertanyaan.

Kemudian, lelaki itu hanya menjawab, "Luthfi."

Di antara semua orang, kurasa hanya diriku yang tak percaya akan jawabannya.

Apakah dia sengaja mengatakannya hanya untuk bercanda dan mempermainkanku? Atau ... tidak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top