21. Imprinting
Kurasakan dunia yang melambung-lambung dalam kegelapan. Hentakan-hentakan kuat dapat kurasakan, mengalir melalui tubuhku. Kemudian, semua seolah berhenti. Tubuhku kini terasa melayang dengan kedua tangan yang terikat, menjatuhkan seluruh kesadaranku pada raga yang tak dapat bergerak ketika kusadari bahwa air sungai mengalir di sampingku—melewati beningnya jendela mobil ini di tengah kegelapan.
Aku bangun, sedikit tersentak ketika kurasakan sebuah tamparan mendarat pada pipiku. Kesadaranku yang sebelumnya tidaklah cukup untuk membuka kedua kelopak mata, kini secara tiba-tiba mereka terbuka. Sekali lagi, seseorang menamparku dengan keras—membangunkanku.
"Dia sudah bangun."
Aku mendengar lontaran kalimat itu, tetapi aku tak yakin siapa yang mengatakannya. Bayang-bayang wajahku masih terasa samar, telingaku belum bekerja cukup baik untuk menerima pesan, membuat seluruh suara terdengar mendengung, apalagi di balik gemericik air yang tak berhenti. Kemudian, pintu mobil terbuka dan tubuhku terhuyung, hampir terjatuh ke atas tanah seandainya uluran tangan yang diberikan oleh seseorang yang lain—Fandi, Bagas atau Guntur, mungkin—tak diberikan. Namun, bukan bertindak sebagai penyelamatku, selanjutnya orang itu malah menarikku secara kasar, mencengkram kerah bajuku bagaikan benda usang yang telah tak terpakai. Aku tercekik dan terpaksa melangkahkan kakiku sesuai dengan arahan yang diberikan—daripada mati.
Kini, kesadaranku telah pulih seratus persen. Dunia masih gelap, bintang-bintang tak menyinari tetapi bulan yang menggantung menunjukkan hal itu. Tarikan kuat sebelumnya kini menyuruhku untuk berlutut, membuat kain celanaku kotor. Di saat yang bersamaan, dapat kulihat lelaki bertopi ... maksudku tak bertopi yang masih tak bertopi itu melakukan hal yang sama. Bagas menekan bahunya, membuatnya berlutut dan menghadap ke arahku, membelakangi air sungai yang tengah mengalir.
Sekarang, aku tahu Fandi melakukan ini padaku. Namun, dia menambahkan pukulan keras pada tengkukku, membuatku terjatuh. Kepalaku terjerembap, hampir masuk ke dalam tanah yang pahit. Lebih buruk lagi, karena kebiasaan orang untuk membuang sampah sembarangan, dapat kurasakan plastik bekas memenuhi mulutku yang tak siap akan serangan itu. Secara spontan, aku meludah, kemudian terbatuk sambil merasakan sakit pada hidungku. Berita baiknya, kesadaranku semakin pulih, lebih bagus dari sebelumnya.
Kerah bajuku kembali ditarik, membuat tubuhku terjengkang walaupun masih dapat kutangani. Fandi tak memberikan kesempatan bagiku untuk melawan. Kemudian, di saat yang bersamaan, Guntur berjalan mengelilingi kami bagaikan seorang senior tolol yang ingin menghajar juniornya habis-habisan dalam masa orientas brengsek yang tak diperlukan tanpa persetujuan guru. Maksudku, jika masa orientasi dipenuhi kekerasan, dengan nama orientasi itu, bukankah artinya dengan kata lain mereka mengenalkan bahwa sekolah penuh dengan kekerasan?
Kini, sebagai tambahan yang lain, kurasakan kedua lenganku yang terikat. Cabble tie membuat kedua lenganku kesemutan, apalagi dengan ikatannya yang terlalu kencang. Ketika aku mulai meringis akibat rasa perih gesekan di antara cabble tie dan kedua lenganku, secara mendadak Fandi membekap mulutku, membuat suaraku teredam hingga aku tak mengatakan apapun lagi.
Di seberang sana, si lelaki itu tampak lebih tenang. Aku yakin dia mendapatkan perlakuan yang sama—Kedua tangan terikat dan tidak diperkenankan untuk berbicara—tetapi ia mengendalikan dirinya dengan baik. Ia hanya menatap mereka bertiga—Fandi, Bagas dan Guntur—secara bergantian. Tatapannya yang tak terelakkan itu tak pernah lepas dari kesan burung elang.
"Roy." Sekali lagi, aku mendengar seseorang berbicara. Dengan kesadaranku yang seutuhnya beres, aku yakin benar jika Guntur yang mengucapkannya, tetapi hal itu tetap tak menguak kebenaran akan siapa sang pelontar kalimat sebelumnya—aku tak peduli.
"Kau tahu orang-orang selalu menghormatimu. Kau yang paling senior di divisi kita, dan tentu aku tak akan melupakan hal itu. Tapi ini di luar dunia pekerjaan—pekerjaan yang sebenarnya. Kau membuatku bimbang untuk menangkapmu. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku tak pernah menyangka akan membawamu ke tempat seperti ini, apalagi dalam keadaan yang kacau."
Aku tak menanggapinya walaupun sejujurnya batinku telah berkomat-kamit, melontarkan sejuta kata yang tak dapat kulepaskan, melewati bendungan mulut yang terkatup rapat.
"Jangan terlalu menanggapi kelakuanku secara serius. Ini bukan diriku seperti biasanya, tetapi aku tidak memiliki pilihan, Roy," katanya. "Aku akan tetap menghormatimu sebagai seniorku, tetapi keadaan sekarang tidaklah seperti itu."
Napasku memberat. Tubuhku menggigil akibat terpaan angin yang dingin. Tulang-tulangku terasa membeku.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku pada akhirnya. Aku tak dapat membendungnya lagi.
"Aku ingin kita bekerja sama."
"Kita sudah bekerja sama selama ini."
"Di luar konteks pekerjaan kita sebenarnya, Roy."
Kujilat kedua bibirku sedangkan Fandi kembali menekan bahuku, menanggapi nada bicaraku yang semakin meninggi, menyuruhku untuk menurunkannya.
"Ketika kau mendatangi tempat Alex, sejujurnya aku terkejut. Aku tak menyangka kau akan datang dan dengan mudah memberitahu semua orang bahwa kasus itu adalah kasus pembunuhan, bukan bunuh diri."
"Semua orang bisa berpikir seperti itu."
"Tidak jika hanya aku yang menanganinya." Guntur mengangkat kedua bahu sambil mengadahkan kedua lengannya. Ia menggerakan kumis tipisnya seperti sebuah fingerboard yang tidak dijalankan dengan baik.
Dari kalimatnya, jelas dia membantu kasus itu untuk terlihat seperti bunuh diri. Pertemuanku dengannya ternyata dipenuhi dengan kebohongan. Dia bukan tak merasa bahwa Alex bunuh diri, dia tahu jika kasus itu merupakan kasus pembunuhan. Dia berpura-pura terkejut, dia berpura-pura membuat teorinya sendiri dan mencoba mengikat keberadaannya denganku. Dia tahu semua itu dan dia tak akan mengambil resiko agar aku curiga padanya. Dia di sana bukan karena kebetulan.
"Kau bukan ahli seorang ahli, bahkan kau tidak bisa membuat kasus itu terlihat seperti bunuh diri." Aku tahu akan keadaanku, aku tahu Guntur ingin terlihat berkuasa, tetapi bukan berarti aku tak dapat melawannya. Aku mencoba mencari celah, setidaknya melalui kalimat. Apakah dia akan merasa tersinggung? Jika ya, apa aku bisa membuatnya lengah?
Tetapi tidak semudah itu. Emosi Guntur sama datarnya dengan Wijaya—dia mengendalikannya dengan baik.
"Ya, dan aku yakin kau pun tak dapat merencanakan kasus yang sempurna kurang dari sepuluh jam akibat kecerobohan."
"Kecerobohan?"
"Tembakan itu tak sengaja dilakukan ketika Alex melawan. Andai saja dia tak melawan."
Sekarang aku mengerti apa yang terjadi pada Alex. Sama seperti diriku sebelumnya. Aku terlalu percaya pada seseorang hingga tak sadar bahwa orang yang kupercayai itu ternyata adalah orang yang seharusnya tak boleh kupercaya. Inikah yang dinamakan musuh dalam selimut?
"Jadi, orang itu—" aku menatap tajam lelaki itu yang masih belum menghentikan edaran pandangannya terhadap Fandi—yang sedang menekan bahuku, Bagas—yang sedang menekan bahunya, dan Guntur—yang sedari tadi bolak-balik di depanku, menghalangi pandanganku terhadap lelaki itu. "Kalian tidak bekerja padanya?"
Kemudian, Guntur melemparkan tatapannya, melihat lelaki itu tanpa membelakangiku seraya berkata, "Tidak, tentu saja tidak. Bahkan aku baru mengetahui ada orang sepertinya ketika kau menceritakan orang itu."
"Kau akan mengajaknya bekerja sama juga?"
"Tergantung. Roy, apa kau mau mengajaknya untuk bekerja sama? Dari ceritamu, orang ini tampaknya memiliki keterampilan yang bagus."
Guntur mengucapkannya seolah-olah hidup lelaki itu ada di tanganku, membuatku harus memutuskan seluruhnya secara cepat. Mengambil kesempatan agar dia ikut menerima tawaran Guntur atau membiarkannya mati. Dengan seluruh sejarah perjalanan hidupku yang tak terikat baik dengannya, tentu sewajarnya aku lebih memilih membiarkannya mati. Namun, seperti yang selalu kutekankan—aku tidak seperti itu. Seluruh keinginanku membunuh manusia sebatas angan-anganku, dalam pikiranku. Aku pernah berada dalam ambang batas kematian, ketika ayah tiriku melemparkan tubuhku, aku tak dapat menjadi orang yang sama—itu selalu kutekankan.
Namun, aku lebih memilih untuk melontarkan pertanyaan lain.
"Kenapa aku harus bekerja sama denganmu?"
Kini, Guntur tidak menjawab dengan segera. Alih-alih membantu meringankan rasa penasaranku, dia membusungkan dada sambil memangku kedua lengannya. Sebelah kakinya sengaja dimasukan, membuatnya terlihat seperti aksi figur yang lama tak dibersihkan. Kemudian, Bagas mengikuti di belakangnya dengan motif yang berbeda—mungkin dia lelah mempertahankan posisinya.
"Kau yang menebak, Roy."
Aku menimbang-nimbang. Kenapa aku harus menebaknya?
"Karena aku yang terbaik?"
Tentu itu bukanlah pernyataan berbentuk pertanyaan yang pertama terlintas dalam benakku. Aku hanya ingin membuat Guntur kesal karena aku tak mengikuti permainannya. Sekali lagi, si sialan itu tetap tenang. Bukannya menghajar wajahku karena aku tak menanggapi pertanyaannya secara serius, ia malah membalas, "Coba lagi."
"Agar aku bisa menggantikan posisimu dan membuatmu bertekuk lutut dengan tangan yang terikat?"
"Coba sekali lagi."
"Karena kau hanya ingin terlihat keren seperti yang lelaki bertopi itu biasa lakukan tetapi pada akhirnya ia berhasil tertangkap dan kini tak berbuat apa-apa?" Aku mengucapkannya tanpa jeda dengan sekali tarikan napas. "Dan artinya kau bisa berada dalam posisi yang sama, kan? Aku tidak melihat perbedaannya. Dia pembunuh, kau pembunuh. Astaga, apakah semua orang yang aku kenal di dunia ini tak pernah baik?"
"Karena kau meninggalkan anakmu sendirian di rumah."
Aku tersentak, mataku melotot. Baiklah, sekarang seluruh perbuatan ini tidaklah lucu.
"Apa yang kau lakukan padanya?"
"Hanya mengirim seseorang. Tenang, masih aman, kok. Anakmu itu pasti berpikir jika orang itu adalah polisi—memang benar. Aku belum menyuruhnya melakukan apapun."
Aku menggeram. Dadaku bergejolak. Kuulangi pertanyaanku, membuatku tampak tak menyimak perkataan sebelumnya.
"Apa yang kau lakukan padanya?"
Kemudian, sekali lagi Guntur mencoba menjawab sampai kuinterupsi dengan tambahan yang lain.
Aku menukas, sekencang yang aku bisa akibat tertahan oleh tenggorokan yang sakit akibat kekeringan—aku belum minum.
"Kalau terjadi sesuatu padanya, kau akan membayarnya."
"Sudah kukatakan dia—"
"Akan kupotong kepalamu."
"Ro—"
"Akan kumasak."
"K—"
"Kemudian kumakan, Brengsek!"
Aku tak pernah menyangka—sekalipun tidak—bahwa ketika aku hidup aku benar-benar akan mengucapkannya. Seluruh sumpah serapah gila itu tak pernah terlepas dari otakku, dan kini semuanya keluar seperti semburan air yang melompat ke sana-sini melalui selang air. Ini kali pertama bagiku benar-benar mengucapkan seluruh ancaman bohongku itu.
Jadi, apakah kali ini aku serius?
Kurasakan tendangan keras kembali melanda tengkukku. Dan sekali lagi, kurasakan tanah bercampur plastik pahit menjalar menelusup di antara papila-papila lidahku. Bagian terburuk adalah aku tak dapat meraba luka yang biasanya secara refleks kulakukan. Tendangan Fandi tampaknya ditujukan karena aku terdengar tak ingin bekerja sama—memang benar, sih.
Kini, napasku mulai tertahan. Mulutku terbata-bata ketika hendak menghardik mereka. Fandi menjenggut rambutku, bukan kerah bajuku lagi dan membuatku secara spontan berteriak, melenguh pelan.
Aku tak dapat memercayainya. Orang-orang ini—aparat yang ditugaskan untuk melindungi masyarakat—melakukan semua tindakan keji. Gila. Kenapa? Batinku. Tetapi mulutku terlalu sibuk untuk mendesah pelan akibat kulit kepalaku yang hampir tercabut. Mungkin, beberapa rambutku rontok akibat genggaman kuat Fandi yang tak dapat kutepis.
Aku mendongak, menahan rasa sakit akibat tarikan lengannya. Tetap meringis dengan seluruh rasa kesal yang menyeruak di dalam dadaku. Lidahku terasa terbakar, komat-kamit tak jelas.
Namun, di saat yang bersamaan, perhatianku teralihkan pada pemandangan lain. Guntur ambruk secara tiba-tiba. Aku sempat berikir lelaki itu jatuh tanpa alasan yang jelas hingga kurasakan angin kencang berhembus melewati pelipisku. Bukan, itu bukan angin 'entah dari mana aku tak peduli', melainkan angin yang terjadi secara tak sengaja ketika sebuah benda melesat dengan kencang. Kasus kali ini bukanlah benda, tetapi kaki lelaki itu—lelaki bertopi—yang melintasi tubuhku, tepat mengenai wajah Fandi dan membuatnya terpental jauh.
Kudorong tubuhku, melepaskan diri dari cengkramannya dan menyadari bahwa Bagas pun tak lepas dari korban tendangan atau pukulannya. Mereka bertiga ambruk dalam sekejap. Demi apapun, aku tak dapat memercayainya. Biasanya aku melihat hal yang sama dari layar kaca, dan kini aku melihatnya secara langsung, bagaikan film aksi murahan yang hanya ingin menampilkan adegan pertarungan tak berarti, tak dibalut dengan cerita yang bagus.
Namun, bagaimanapun juga, tindakannya sudah menyelamatkan kami berdua.
Aku terduduk, terengah-engah, menatap sekeliling dan melihat lelaki bertopi—sialan, sampai kapan aku tak berhenti memanggilnya seperti itu?—itu berdiri di antara tumpukan raga tiga lelaki lainnya. Kemudian, ia berkata, "Bantu aku menenggelamkan orang-orang ini."
"Hah?"
"Mereka hendak menenggelamkan kita. Aku melihat seutas tali yang dikeluarkan dari dashboard ketika mereka membangunkanmu. Kita hanya perlu mencari pemberat."
Aku menatapnya tak percaya. Bukan karena keinginannya untuk menenggelamkan orang-orang ini, melainkan pertanyaan lainnya yang lebih penting.
Tangannya pasti diikat oleh mereka bertiga juga, kan? Bagaimana mungkin dia bisa melepaskan diri!?
"Tunggu! Bagaimana kau bisa bebas?"
"Apanya?"
"Mereka mengikat kedua lenganmu, kan!?"
"Ya."
"Lalu, bagaimana kau bisa bebas!?" Kuulangi pertanyaanku itu dengan penekanan yang lebih dalam. Ya, benar, aku tak dapat menghentikan pertanyaanku itu. Bahkan, pertanyaan yang sama menggema di dalam pikiranku, seolah-olah mengikuti seluruh ucapanku satu detik setelahnya.
Lelaki bertopi yang sekarang tak menggunakan topinya itu—ah, akhirnya aku memiliki panggilan yang lebih bagus—melenguh pelan. Kemudian, secara ajaib, ia mengeluarkan benda tipis kecil yang kini sudah ada di genggamannya. Silet, mungkin, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Ia memotong cable tie yang sedari tadi mengganggu peredaran darahku. Aku dapat merasakan kembali hemoglobin-hemoglobin kembali memenuhi seluruh luas jariku yang kuregangkan.
Kemudian, sekali lagi aku bertanya. "Bagaimana caramu mendapatkan benda itu?"
"Bukan urusanmu."
"Tentu saja urusanku."
"Bukan urusanmu dan kau akan membantuku menenggelamkan mereka, oke?"
Baiklah, kurasa pertanyaan mengenai keberadaan 'benda ajaib' itu tak lagi penting. Pertanyaan selanjutnya.
"Kita tidak bisa membunuh mereka."
"Kita akan menenggelamkannya."
"Mereka memiliki keluarga. Kau benar-benar brengsek, bahkan hanya untuk memikirkannya!"
"Mereka tetap mati, Roy!"
Aku tersentak kaget.
"Aku mematahkan leher mereka," lanjutnya, membuatku menatap tak percaya. Sekali lagi kuedarkan pandangan ke sekitar. Mereka masih terkapar, tetapi aku lupa untuk memperhatikan detail yang ada. Perut mereka tak naik turun—sedikitpun. Mereka tak bernapas, atau mungkin terlalu kesulitan untuk bernapas sehingga membuatnya terlihat tak bernapas. Aku tidak tahu kejadian mana yang benar, tetapi tetap saja dua-duanya sama-sama buruk.
"Kita tak harus menenggelamkannya," tukasku.
Namun, secara langsung lelaki itu menjawab, "Lalu, apa yang akan kau katakan? Bilang pada semua orang bahwa tiga polisi menculikmu dan hampir membunuhmu ketika secara tiba-tiba orang yang lewat dan membantumu? Tidak, kan?" Lelaki bertopi itu kini membelakangiku, berjalan menjauh sambil tetap berkata, "Aku akan membunuhmu jika membocorkan hal-hal berkaitan tentang diriku di media massa. Dan jika kau tak membantuku, aku tak akan membantumu menyelamatkan anakmu itu. Kau tahu dia sedang dalam bahaya, kan?"
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Loka. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menyelamatkannya. Namun, di sisi yang sama, menenggelamkan orang-orang itu? Aku tahu, mereka orang-orang brengsek, tetapi ... astaga.
Apa yang harus kulakukan selanjutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top