19. 60 Detik dalam Kematian
Spektrum warna yang ditangkap oleh mataku sebenarnya tidak akan terlihat perbedaannya untuk gelombang yang saling berdekatan. Namun, secara jelas dapat kupastikan bahwa malam ini—setidaknya di ruangan ini—seluruhnya terlihat lebih gelap dari biasanya. Aku tidak pernah tahu apakah cahaya yang tertangkap oleh mataku dipengaruhi oleh suatu perasaan atau tidak. Namun, tanpa perlu berpikiran logis, jawabanku adalah ya—itu benar.
Kuaykunkan sebelah tanganku, bagaikan menepuk lalat dengan satu tangan yang tentu saja tak akan berhasil, menyuruh Loka untuk kembali ke kamarnya dan tak berusaha mencuri dengar percakapan yang kulakukan dengan lelaki bertopi ini. Namun, wajah Loka menunjukan antusias—entah kesal atau ingin balas dendam—yang berbanding terbalik dengan kelakuannya—dia tetap menuruti perintahku.
Jeda bicara sengaja kubuat dalam beberapa detik, memastikan Loka benar-benar telah kembali ke kamarnya agar aku bisa berbicara dengan leluasa. Sebenarnya aku bisa mengambil ruangan yang lain, menutupi diriku dan membuat pengamanan yang dua kali lebih besar untuk memastikan Loka benar-benar tak mendengarkan pembicaraanku, tetapi aku tak ingin mengambil resiko bahwa ternyata dia sudah berada di pintu depan rumahku dan mengambil kesempatan ketika aku lengah.
Sambil berjalan pelan agar langkahku tak terdengar sedikitpun, aku berkata, "Di mana aku harus menemuimu?"
Namun, perhatianku tetap terfokus pada langkah kaki yang rasanya begitu berat. Aku membuka tirai jendela, menampakan pemandangan gelap di luar dengan aspal hitam yang selalu menemani rumahku. Lampu-lampu menghiasi pinggir jalan dengan cahaya yang seadanya. Rumah-rumah lain tampak sepi dan aku tak melihat bayangan aneh yang berusaha mengintip dalam rumahku, apalagi menemukan seseorang tengah berjalan di halaman rumahku.
"Kendarai mobilmu."
"Katakan saja di mana."
"Aku akan memberitahumu ketika kau sudah mulai mengendarai mobilmu."
Kupasang wajah masam. Orang ini benar-benar sialan.
"Kenapa aku harus menuruti perintahmu?"
Namun, bukannya menjelaskan, lelaki itu malah tertawa lepas—setidaknya itu yang dapat kusimpulkan dari balik telepon.
"Aku yang memegang kendali, oke? Turuti saja kalau tidak ingin hal yang aneh terjadi."
Aku menarik napas dalam. Kemudian, baru saja hendak melontarkan satu kalimat, lelaki bertopi ini malah memotong.
"Jangan tutup teleponnya, buat panggilan menjadi loud speaker, jangan berusaha mengontak siapapun. Kau memiliki hal yang kuinginkan dan aku memiliki hal yang kau inginkan."
"Hal yang kuinginkan?"
"Kau benar-benar tolol, ya?" Aku tak dapat melihat wajah lelaki bertopi itu, tapi dari nada bicara yang tak begitu tenang, kurasa ia bersungut marah dan hendak melemparkan kepalan tangannya tepat di wajahku. "Aku pernah bilang jangan pernah menyelidiki kematian Pak Goto. Temanmu itu—Alex—melakukannya, lihat apa yang terjadi, kan?"
"Aku tahu—" Aku hampir mengatakan bahwa dia lah pembunuhnya, atau setidaknya otak dalam kasus ini. Namun, aku belum bisa membuatnya kesal, setidaknya aku harus mengorek sedikit informasi yang bisa kudapatkan sebelum akhirnya ia memutuskan bahwa pembicaraan ini harus diakhiri dan aku tak dapat mengulur waktu untuk tak segera mengambil jaket dan kunci mobil, berkendara entah ke mana.
Jadi, sebagai gantinya, aku berkata, "Berkas itu bisa kau ambil sendiri. Kenapa kau menginginkanku untuk mengambilnya?"
"Kau ingat berkas kasus itu? Korban, apa yang terjadi atau segala hal yang berkaitan dengan kasus?"
"Luthfi, mati akibat overdosis. Sebuah kematian konyol. Aku benar-benar tak mengerti kenapa kau menginginkannya."
"Lihat, kan? Kau mengambil berkas yang tepat padahal aku tak memberitahu secara spesifik berkas yang kuinginkan seperti apa." Sekali lagi, aku dapat melihat wajah lelaki bertopi itu dalam bayanganku. Tersenyum bangga seolah-olah pilihannya adalah pilihan yang terbaik—aku benci itu.
"Kau melakukannya dalam satu kali tebakan, kau pikir aku akan sembarangan menyuruh orang?" Lelaki bertopi itu memberikan jeda. "Walaupun tampaknya kau menghancurkan pemberianku dan memaksaku untuk menghubungimu lewat jalur yang lain."
Ucapannya itu mengingatkanku pada satu hal lain.
"Di mana Wijaya?"
"Entahlah. Kenapa kau ingin tahu?"
Entah otakku yang telah berpikir terlalu keras sehingga performa kinerjanya saat ini sedang menurun, atau memang daya tangkap otakku sedang tak bagus, aku melupakan satu hal penting. Nama Wijaya tertulis dalam panggilan ini dan si lelaki bertopi itulah yang ada di baliknya. Dan dia berkata bahwa dia memiliki hal yang kuinginkan.
Kemungkinan terburuk berkelebat di dalam benakku. Aku telah melihat apa yang dia lakukan pada Loka dan lelaki bertopi itu benar-benar tak main-main mengenai urusan negosiasi. Ketika ia mengambil alih, dia tak akan segan untuk melakukan tindakan apapun.
Brengsek, batinku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kukatakan. Gerakanku kini membeku—sekarang aku yang menjadi patung Socrates walaupun tak menyentuhkan jemariku pada kening yang lebar.
"Bagaimana aku bisa tahu jika ini bukan perangkap yang kaubuat untuk menangkapku? atau sengaja kaulakukan agar bisa kembali menembak anakku?"
"Entahlah. Bagaimana aku bisa tahu kau tak akan mencari cara untuk menangkapku dan tidak membawa berkas itu?"
Ucapannya itu membuatku memikirkan sesuatu. Entah keajaiban apa yang menimpa diriku, kudapatkan sebuah ide secara tiba-tiba—cukup cemerlang, tetapi aku sendiri tak yakin apakah harus kulakukan atau tidak. Ide ini akan melibatkan Loka secara tak langsung. Aku tak mengingkannya, tetapi probabilitas kemenanganku menghadapi lelaki bertopi ini akan menukik tajam—mungkin hampir seratus persen.
Aku menimbang-nimbang. Sampai kapan aku harus menunggu? Lelaki bertopi ini bisa melakukan apapun selama aku berusaha menangkapnya, tetapi cara itu adalah cara teraman yang memberikanku jarak untuk tak melakukan kontak langsung dengannya. Namun, dengan brengseknya, aku baru sadar bahwa Wijaya jatuh pada permasalahan ini karena aku merusak ponselnya.
Di lain pihak, aku tidak tahu apakah Loka sudah siap dengan apa yang harus ia hadapi. Aku tahu dia berusaha tegar, tetapi aku tak dapat mendengar kejujurannya. Anak itu berbohong hanya untuk membuat dirinya nyaman.
Atau aku yang terlalu paranoid?
Apakah benar-benar sudah saatnya bagiku untuk melibatkan Loka dalam urusan brengsek semacam ini? Pengalaman sekali seumur hidupnya yang tentu akan memberikan dampak pada sisi psikologisnya?
Aku tidak tahu. Aku tidak yakin.
Dan di saat pikiran-pikiran itu memenuhi otakku, aku dapat mendengar lelaki bertopi itu berbicara.
"Teleponmu belum kau loud speaker-kan, kan?"
"Aku hanya perlu memastikan bahwa kau tak membuat perangkap untukku." Aku berbohong. Sebenarnya aku hanya berusaha mengulur waktu. Aku berjalan menuju lantai dua secepat mungkin, tapi tak berlari—menghindari hela napasku yang berat terdengar olehnya dan menimbulkan kecurigaan.
Aku pernah memiliki kebiasaan mencatat nomor ponsel di sebuah buku catatan yang kini tak begitu sering kulakukan karena hampir setiap orang lebih memilih menggunakan aplikasi pesan instan atau media sosial untuk berkomunikasi. Dan jika ingatanku tak salah, beberapa rekan kerjaku—utamanya dalam divisi pembunuhan—pun tak luput menjadi korban catatanku.
Aku mengambil buku itu, tepat di laci terbawah. Buku berwarna biru dengan pembatas merah yang sudah usang itu tampak seperti sebuah artefak bagiku. Tak pernah kusangka aku akan menggunakannya lagi. Beberapa lembar kubuka, kutemui nomor Guntur di sana—aku berharap dia belum mengganti nomor ponselnya selama lima tahun belakangan ini. Jika tidak, maka aku tak memiliki pilihan lain selain menghadapi lelaki bertopi itu sendirian.
Kemudian, aku menuju kamar Loka, membuka pintu dan melihatnya dengan memainkan ponsel sambil tidur-tiduran. Dan tepat begitu kubuka pintu, dia melongok ke arahku dengan keseimbangan kedua tangannya yang goyah. Ponselya lepas dan jatuh tepat di atas wajahnya, membuatnya berteriak kecil.
Sewajarnya aku tertawa melihat momen itu, tetapi kutahan untuk saat ini. Demi apapun, menyembunyikan rasa tawa di balik topeng kemuraman amatlah sulit. Aku bukan aktor profesional dan mulutku yang tersenyum ini hampir saja mengeluarkan suara yang tak seharusnya didengar oleh si lelaki bertopi.
Kuberikan isyarat pada Loka agar dia menghubungi nomor yang kuinginkan setelah menyodorkan buku biru itu. Kemudian, Loka beranjak dan duduk pada kasurnya sambil melihat ujung jari telunjukku yang mengarah pada nama Guntur. Lalu, kutarik lenganku yang tak sedang bekerja, mendekatkannya pada telinga sambil mengayun-ayunkannya beberapa kali, membuatnya lebih jelas, dan Loka tampaknya mengerti.
Sambil terus memberikan pertanyaan-pertanyaan tak penting, aku menunggu panggilan itu tersambung—yang kuharap dapat tersambung. Pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan pada lelaki bertopi itu tak pernah terlepas dari kata 'mengapa', 'bagaimana' dan kata-kata dasar lainnya. Tentu kubalut dengan tambahan-tambahan lain agar tampak menarik dan tak menimbulkan kecurigaan untuknya.
Lalu, tepat ketika aku berkata, anggap aku bisa percaya padamu, Loka menyodorkan ponselnya padaku. Angka digital bergerak semakin meninggi, menandakan waktu panggilan. Aku benar-benar bersyukur karena sehari sebelumnya aku memastikan pulsa Loka akan mencukupi seandainya dia akan menghubungiku, terlebih lagi dengan nomor Guntur yang tak berubah. Semua rencana berjalan dengan lancar. Mungkin orang-orang tak akan tahu betapa bahagianya diriku saat ini karena aku tak ingin nada bicaraku berubah meninggi dan membuat lelaki bertopi itu berpikir bahwa aku melakukan hal yang tak diinginkannya—aku memang melakukannya.
Segera kurebut ponsel Loka, kemudian sekali lagi memastikan bahwa Guntur memang mengangkat panggilan itu. Lalu mengubahnya ke dalam mode loud speaker agar dia bisa mendengar percakapan yang kulakukan dengan lelaki bertopi itu. Tak lupa juga untuk me-loud speaker-kan panggilan lelaki bertopi itu sembari berkata, "Ini yang kauinginkan, kan?"
"Ya."
"Tapi sekali lagi kutegaskan, jika kau benar-benar memanggilku hanya agar akhirnya membunuhku, kau adalah orang pertama yang akan kuhantui."
"Kau tidak benar-benar percaya pada hantu atau semacamnya, kan?"
"Untuk saat ini aku ingin memercayainya."
Waktu yang ditampilkan pada ponsel Loka terus berjalan. Namun, aku tak mendengar suara apapun. Aku menduga Guntur telah menyapa Loka sebelumnya, tetapi ketika kubuat mode yang berbeda pada penerima suaranya, aku rasa Guntur tak perlu bertanya-tanya lagi akan siapa sang penelepon yang sebenarnya. Namun, mengingat bahwa mungkin saja dia merasa bahwa panggilan ini adalah panggilan iseng, aku berusaha memberinya sedikit petunjuk.
"Jadi, bisa kau jelaskan mengapa kau selalu menggunakan topi setiap waktu?"
"Apa pentingnya kau menanyakan pertanyaan semacam itu?"
"Anggap saja agar aku memercayaimu."
Aku harap pertanyaanku itu cukup jelas untuk Guntur—jika dia mendengarnya. Sore sebelumnya kami telah membahas lelaki bertopi itu. Bagaimana dia bertindak, muncul secara tiba-tiba dan tak melepas kemungkinan juga untuk menelepon secara tiba-tiba. Namun, biarpun waktu pada ponsel Loka terus berjalan, aku tak dapat mendengar suara apapun dari baliknya. Benar-benar hening, suara napas pun tak dapat kudengarkan. Apakah Guntur benar-benar mengangkat panggilan yang Loka buat ataukah panggilan itu hanya terangkat secara tak sengaja?
Kemudian, masih dengan nada datarnya, lelaki bertopi itu menjawab, "Aku tak menginginkannya. Kelompok perampok ini yang menginginkannya."
"Kenapa?"
"Tentu saja untuk menutupi wajah dari kamera. Kau benar-benar polisi, kan?"
"Aku tak pernah berkutat pada bagian perampokan," kataku. "Lagipula kupikir setiap perampok lebih memilih menggunakan topeng daripada topi. Maksudku, itu lebih menutupi bagian wajah kalian daripada menggunakan topi."
"Itu bukan pilihanku. Itu kesepakatan mereka. Aku hanya mengikuti," Lelaki bertopi itu mengucapkannya dengan nada datar. "Satu-satunya hal yang kusumbangkan pada kelompok itu hanyalah ide untuk melakukan semua aksi dalam enam puluh detik. Kau tahu kami menyebutnya apa?"
Aku tak menjawabnya. Aku ingin mengetahuinya, tetapi tetap tak membiarkannya untuk tahu bahwa aku tetap merasa antusias. Di samping itu, Loka hanya melongo memperhatikanku—mungkin ponselnya. Aku tahu, dengan kehidupannya masa kini, ponsel menjadi barang penting baginya. Biarpun Loka sudah tak terlalu bergantung pada benda kecil ini, tetap saja kehilangan akses benda ini—padahal ada di depannya—merupakan salah satu kekejaman yang luar biasa baginya. Mungkin dalam benaknya aku sudah menjadi seorang Lucifer dengan memberikan siksaan yang tak pernah diduga.
Kemudian, lelaki bertopi itu melanjutkan, "Enam puluh detik dalam kematian."
"Dalam kematian?"
"Aku selalu menganggapnya seperti itu, pada akhirnya mereka pun berpikir demikian. Di saat itu, kami tidak hidup, kami bisa melakukan apapun yang kami mau karena pada dasarnya kami telah mati. Namun, tepat enam puluh detik setelahnya, tergantung pada pilihan kami, apakah kami akan hidup kembali atau tidak. Kau mengerti, kan?"
Aku terhenyak.
"Tertangkap atau tidak. Itu pilihan kami. Kami bisa memilih untuk menyerahkan diri atau tidak. Untuk saat ini kami tak melakukan hal itu."
"Kau mengatakannya seolah-olah kau yang mengatur semuanya dan polisi tak akan pernah bisa menangkapmu."
Lelaki bertopi itu tak mengatakan apa-apa, tapi dia tertawa puas. Air matanya pasti akan keluar ketika melihatku bersungut kesal. Bahkan, di saat yang bersamaan, Loka tampak menggeram. Aku lupa ponselku ini dalam mode loud speaker dan Loka dapat mendengar semuanya. Mengingat akan apa yang terjadi pada Loka, pasti dia merasakan kekesalan yang sama sepertiku.
Buah tak jatuh dari pohonnya. Lelaki bertopi itu pernah menembak kakiku, Loka pun tak luput menjadi korbannya. Kini emosi kami terasa berpadu menjadi satu, menimbulkan kesan dahsyat untuk melakukan balas dendam, telebih dengan kesombongannya. Demi apapun, aku benar-benar tak sabar ingin menghajar wajahnya—menghajar wajahnya di dalam penjara merupakan nilai tambah.
"Jadi, kita hanya akan terus mengobrol?" tanyanya.
"Aku lebih menyukai hal itu."
"Aku lebih menyukai jika kau segera mengendarai mobilmu."
Kembali kutengok ponsel Loka. Panggilan itu belum ditutup. Walaupun sejujurnya aku benar-benar ingin memastikan bahwa Guntur mendengarkan seluruh percakapan kami, tetapi aku tak dapat memastikannya secara jelas tanpa menarik perhatian lelaki bertopi ini. Jadi, aku membawa ponsel Loka dan membuatnya kembali menatapku dengan rasa kesal karena mengambil harta berharganya. Namun, kuberikan isyarat agar dia tak mengikutiku ketika aku mengambil kunci mobil, keluar dari rumah dan menyalakan mesin sambil menyimpan kedua ponsel itu di atas dashboard. Tentu tak lupa kuberikan isyarat pada Loka untuk terus waspada, setidaknya menyuruhnya untuk menghubungi para tetangga jika sesuatu terasa tak beres.
"Jadi—" kataku sambil sedikit menaikan nada yang sedari tadi kubuat sedatar mungkin. Kuteguk ludahku sambil memastikan panggilan menuju ponsel Guntur masih tersambung. Dan ya—masih tersambung.
Kuharap Guntur mendengarkannya karena kurasa lelaki bertopi itu tak akan mengulang kata-katanya. Tempat tujuannya mungkin hanya akan diucapkan sekali saja.
"Ke mana aku harus menemuimu?"
Dan lelaki bertopi itu memberikan sebuah alamat. Ah, tepatnya sebuah tempat. Tempat tergila yang tak pernah kupikirkan.
Aku pikir dia akan menemuiku di sebuah tempat yang jauh dari kantor polisi. Sebaliknya, dia berkata akan menungguku di samping rel kereta yang tak jauh dari kantorku. Memang tempat itu sepi dan gelap. Seingatku tempat itu sangat jarang dilalui orang selain para pekerja kantoran yang sengaja memotong jalan dan membuat estimasi perjalanan menjadi lebih cepat. Namun tempat itu bukan tempat bagi siapa saja.
Keraguan semakin timbul dalam benakku. Apakah aku harus menerima tawarannya? Jika ya, apa yang akan terjadi padaku? Jika tidak, apa yang akan terjadi pada Wijaya? Apakah Guntur mendengarkan seluruh percakapan kami? Jika ya, apakah dia akan memanggil bala bantuan? Jika tidak, apa yang harus kulakukan setelahnya?
Terlalu banyak keraguan. Aku tak dapat berpikir dengan jelas. Namun, aku kembali mengingat ucapannya.
Enam puluh detik pada kematian.
Aku akan berusaha untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diriku selama perjalanan selain menangkap lelaki bertopi itu. Dia pasti akan terkejut ketika aku menggunakan metodenya untuk menangkapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top