10. Dark Necessities II
Lelaki itu keluar seolah menyambutku, menyemburkan seluruh ketakutan yang sebelumnya menghinggapi kepalaku. Kepalaku yang sedari tadi terasa pusing akibat dihajar, seolah-olah tak peduli. Aku melihat Loka ditarik dengan kasar. Mulutnya disumpal oleh kain dan ia berusaha berteriak. Kedua tangannya diikat ke belakang sehingga Loka tak dapat mencakar-cakar lelaki bertopi itu. Lelaki itu mengunci lehernya, tetapi tidak begitu kuat sehingga Loka masih dapat bernapas. Loka meronta-ronta dan aku kebingungan. Sedangkan lelaki itu tetap teguh pada pendiriannya—tanpa ekspresi.
Dalam yang yang cepat, aku yakin berulang kali kuucapkan 'hentikan semua itu' pada si lelaki bertopi. Namun, alih-alih menimbulkan suara, mulutku terasa kaku, sulit digerakkan. Tebuka pun tak mengeluarkan mampu mengeluarkan sepatah kata. Aku melotot dan dia kembali mengacungkan pistol beserta peredam yang menempel pada moncongnya.
"Bagaimana?" katanya, setengah teriak. Yang pasti nada rendahnya sudah tak ada. Jika standar suara lelaki itu sebelumnya berada pada oktaf pertama, maka ia sudah mencapai empat oktaf untuk saat ini, setara dengan tingginya nada bicaraku.
Aku mematung. Aku berteriak dalam hati, menghardiknya beberapa kali dan menyaksikan berbagai kekejaman yang dapat kulakukan padanya di dalam otakku. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.
Aku bingung. Dia mengambil kendali. Apa yang harus kulakukan?
Aku bisa berharap keajaiban datang, seseorang dengan anehnya tiba-tiba muncul dari balik jendela, menerjang lelaki itu dan berhasil menyelamatkan Loka. Itu yang biasanya terjadi dalam sebuah film. Namun, keadaan berbeda. Jika sebuah film mengisahkan perkelahian antara protagonis dan antagonis, maka aku adalah seseorang yang tinggal di samping rumah mereka. Tak ada yang menyorotku, tak ada yang tahu bahwa aku sedang kesulitan dan mereka tidak peduli.
Bulir keringat mulai memenuhi pelipisku, tetapi tak dapat kuseka biarpun keadaannya membuatku tak nyaman. Aku hanya bisa bernapas secara berat.
Si lelaki bertopi itu tampak runyam.
"Aku akan memberimu tiga kesempatan." Pada akhirnya lelaki bertopi itu melanjutkan keadaannya, melihatku yang tak akan bereaksi. "Diam lebih dari sepuluh detik atau mengucapkan hal yang tak ingin kudengar akan melukai anak ini. Pelanggaran ketiga, kau tahu sendiri, kan?"
Sama seperti sebelumnya, aku tak menjawab apapun.
Namun, segera setelah sepuluh detik berlalu, pemandangan yang tak kuinginkan terjadi.
Lelaki itu mendorong Loka dengan kasar, membuatnya tersungkur dan jatuh ke bawah. Aku tak dapat menyaksikannya dengan jelas, tetapi pembatas jalan dengan lubang-lubang tertentu akibat kayu-kayu yang sengaja tak diberdirikan rapat membuatku dapat melihatnya secara samar-samar.
Lelaki itu menembakkan pistolnya, hampir tak bersuara karena peredam yang menempel. Bahkan, teriakan Loka yang tersumpal oleh kain tampaknya lebih keras dari suara pistol itu. Loka menggeram, bagaikan lagu kematian untukku.
Aku tak percaya lelaki itu benar-benar melakukannya.
"Tunggu!" Aku berteriak dengan begitu kencang, hampir memecah masing-masing jendela yang ada di rumahku.
Aku baru sadar, lelaki itu berkata bahwa ia tak ingin mendengar hal yang tak diinginkannya, dan kata tunggu adalah salah satunya. Lelaki itu menembakkan peluru keduanya.
Pikiranku berkelut. Aku ingin mengambil keputusan terbaik, tetapi teriakan Loka melengking di telingaku. Redaman kain tetap tak membuatnya terdengar lebih baik. Aku mendengar Loka menangis dan aku tak tahu ke arah mana lelaki itu menembaknya. Bukan kepala—pasti. Apakah dadanya, perutnya, kakinya, tangannya? Aku tidak tahu. Aku tak dapat memikirkan hal-hal tolol semacam itu. Dia menembaknya, si brengsek itu.
"Aku akan membantumu, Brengsek!"
Aku tak berpikir panjang. Aku benar-benar ketakutan. Jika tembakan itu melukai perutnya, diafragmanya atau organ-organ penting lain di sekitarnya, aku tak ingin mengambil resiko dengan berlama-lama mendengarkan ucapan-ucapan si brengsek itu.
Loka masih meringis. Aku dapat mendengarnya dengan jelas. Aku hampir menangis, sungguh. Bukan karena dia adalah anakku dan ia sedang kesakitan, bukan karena aku tak dapat membalas kelakuan si brengsek itu untuk saat ini. Aku ingin meminta maaf karena sudah menyeretnya ke dalam permasalahan ini.
Napasku menggebu-gebu, setengah terisak. Aku khawatir. Berbeda dengan si brengsek yang bahkan tampaknya tak begitu peduli akan seorang anak yang sedang terkulai lemas, terkula. Sialan.
"Aku tak menyukai panggilan brengsek itu padaku."
Aku segera melotot. Tidak, sialan.
Aku mengambil ancang-ancang untuk berlari. Betisku kembali terasa sakit akibat struktur tulang yang belum sepenuhnya pulih, tetapi aku tak peduli. Kalau aku bisa melompat lebih dari lima meter, maka aku akan benar-benar melompat.
Jika si sialan itu menarik pelatuknya kembali, maka aku bersumpah untuk membunuhnya.
Namun, lelaki bertopi itu pada akhirnya berkata, "Tapi setidaknya kau bilang akan membantuku."
Ia memalingkan wajahnya, melihatku, kemudian kembali ke Loka. Teriakannya sudah menipis, Loka sudah lebih tenang.
"Hanya melesat menggores dagingnya, dia tidak akan mati," beritahunya. Namun, apakah itu benar? Apakah Loka hanya terluka ringan sehingga dia bisa lebih tenang sekarang ini? Bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika dia menembak Loka hingga ia terluka parah, dan Loka tidaklah semakin tenang, tetapi semakin sekarat?
Aku tak dapat melihatnya dengan jelas—sialan.
Aku berusaha menghentikan perbincangan ini dengan cepat.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin kau memberikanku satu arsip kasus enam tahun lalu."
"Hanya itu?"
"Benar."
"Apa yang akan kau lakukan dengan arsip itu?"
Lelaki itu tak menjawabnya.
"Hei!"
Namun, tetap, lelaki itu tak menjawabnya. Alih-alih, ia berjalan menyusuri tangga, kemudian melihat ponselku yang tampaknya terjatuh karena ia menyerangku. Namun, lelaki itu tak peduli. Ia bergerak mendekatiku yang kaku. Kakiku mengunci seluruh gerakanku.
Lelaki itu berdiri, tepat di hadapanku terpaut beberapa meter. Sekali lagi, aku dapat merasakan aura tubuhnya. Si monster brengsek yang sedang menatapku tajam. seperempat bola mata hitamnya mengenai kelopak atas mata.
"Kau ingat pertemuan pertama kita?" tanyanya, segera setelahnya.
Tentu, aku sangat ingat. Selain itu, berbekas pula.
"Ya," balasku. "Kau membunuh seorang lelaki berumur lima puluhan, kemudian kabur karena kedatanganku yang tiba-tiba. Kau tidak—" Aku hampir berkata bahwa ia tak menyadari kehadiranku ketika aku ingat Loka tengah terluka di atas sana. Aku tak ingin membuat konversasi ini menjadi semakin panjang. Jadi, segera kuralat perkataan yang bahkan belum kuucapkan.
"Kau tidak melakukan hal yang baik pada pertemuan pertama kita."
"Dia membunuh anaknya sendiri."
"Kau membunuhnya, tidak ada bedanya."
Lelaki itu tertawa.
"Tentu saja ada," balasnya. "Kau tahu apa yang terjadi pada polisi itu?"
"Pak Goto?"
"Ya."
"Kau membunuhnya. Hanya itu yang aku tahu."
Sekali lagi, lelaki itu tertawa.
"Kau tidak tahu keadaannya. Aku harap semuanya berjalan seperti itu." Kemudian, dalam beberapa detik, ia membuat jeda. "Jangan pernah menyelidiki kematiannya."
"Wejangan dari si pembunuh. Kau pikir aku akan mengikutinya?"
Namun, lelaki itu menghinaku. "Terserah kau saja, kau memang orang brengsek yang tak akan berhenti bekerja saat kau ingin tahu."
"Jadi, kasus apa yang kau inginkan?" Aku kembali pada topik permulaan. Aku hanya menginginkan semua perbincangan ini selesai, sialan.
"14 Februari, enam tahun lalu. Kasus Lima."
"Lima kasus?"
"Lima—nama orang."
Nama macam apa itu?
"Siapkan berkasnya, aku akan menghubungimu ketika aku menginginkannya."
Menghubungiku? Bagaimana caranya?
"Ah, dan kau ingat ketika aku bilang aku tidak akan membunuhmu, bukannya belum?" Lelaki itu memicingkan kedua matanya. "Kurasa aku harus meralatnya. Jika kau tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau tahu apa yang akan terjadi."
Aku diam. Demi apapun, masih banyak pertanyaan yang kubutuhkan jawabannya. Namun, terus kutekankan dalam otakku—aku tak dapat melakukannya. Loka menungguku.
Akhirnya, lelaki itu pergi, meninggalkan kekacauan dalam rumahku. Baru kusadari, tumpahan darahku mengenai beberapa tegel keramik dan membuatnya terlihat menjijikkan. Mungkin terlihat artistik bagi para seniman manapun, tetapi bagiku pemandangan itu terlihat seperti kubangan lumpur yang biasa babi jadikan tempat untuk mandi.
Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari dengan setruman kuat pada kakiku—belum sembuh total. Namun, aku tetap tak peduli. Selesai kususuri anak tangga, dengan segera dapat kulihat Loka yang tengah terkulai lemas. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia masih meringis, tetapi tak berteriak.
Oh, astaga! Dia masih hidup.
Aku menggapai tubuhnya, segera melepaskan sumpalan pada mulutnya dan memeluknya. Aku yakin, jika tangannya tak terikat, ia pun pasti akan melakukan hal yang sama. Aku berusaha membuatnya merasa lebih baik.
Loka tidak menangis, tetapi tangannya bergetar hebat. Ia tak pernah memiliki pengalaman untuk berinteraksi dengan seorang penjahat—utamanya perampok dan pembunuh—secara langsung. Kasar, brengsek dan benar-benar sialan.
Aku bertanya berkali-kali, apakah dia baik-baik saja? Tetapi Loka tak menjawabnya. Ia masih terguncang, tubuhnya bergetar seperti terkena gempa bumi yang berasal dari dirinya.
Aku melihat luka hasil tembakan pria bertopi brengsek itu. Dia mengucapkan yang sesungguhnya. Pelipis Loka tergores. Dagingnya terbuka dan mempertontonkan warna merah akibat darah yang mengalir melaluinya. Aku tidak tahu si brengsek itu pada awalnya berniat membunuh Loka dengan menembak kepalanya atau dia benar-benar tak akan menembak kepala Loka, hanya melukai pelipisnya, seolah-olah ia menunjukan bahwa dirinya memiliki tingkat akurasi yang sangat baik, apalagi pada objek bergerak dalam jarak yang sangat dekat. Itu tidaklah mudah.
Luka kedua berada pada betisnya. Sama seperti pelipis Loka, hanya tergores sedikit, tak benar-benar menembus daging seperti yang pernah lelaki bertopi itu lakukan padaku.
Namun, akibatnya dua buah keramik di rumahku harus diganti. Keramik-keramik itu pecah beserta selongsong peluru yang bergulir di antaranya, sedikit jauh dari retakan keramik akibat pantulan. Namun, aku tak peduli. Selama Loka masih selamat, semuanya baik-baik saja.
Lukanya tidak seserius yang pernah kudapatkan. Peluru tak bersarang pada tubuhnya, tetapi aku tak dapat mengambil resiko untuk tak membawanya ke rumah sakit. Aku tak tahu apakah serpihan-serpihan kecil peluru sempat meledak dan bersembunyi di balik tubuhnya, menyebabkannya luka dalam atau tidak. Aku bukan dokter, aku tidak tahu, jadi dengan segera kutarik tubuh Loka secara perlahan dan berusaha membantunya berjalan.
Tubuhnya masih bergetar hebat.
Aku tahu, luka fisik dapat sembuh dengan cepat, tetapi aku tak tahu apakah kejadian ini akan menyebabkan trauma yang mendalam bagi Loka atau tidak. Ia sudah dewasa, aku tahu. Dia sudah berumur tujuh belas tahun dan seharusnya sudah bisa memiliki pekerjaan secara legal seandainya pun dia keluar dari sekolahnya, tetapi ia tak pernah mengalami hal ini—separah ini.
Aku pernah menemui korban pemerkosaan yang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat antara sebelum dan setelah kejadian. Trauma mendalam mengakibatkannya menjadi seperti itu. Belum lagi kerabat-kerabatnya yang malah menjauhi wanita itu karena menganggapnya sebagai aib. Maksudku, astaga, luka memori bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sepele. Padahal perempuan itu berumur dua puluhan.
Aku mengambil dompet dan ponselku yang berserakan di lantai, sedangkan kunci mobilku masih tertanam dengan rapi pada saku celana. Namun, sebelum aku mengantarnya masuk ke dalam mobil, aku mengambil pisau untuk memutuskan cable zipper yang sedari tadi mengunci lengan Loka dan membebaskannya. Ia telah bisa menggunakan kedua tangannya, tetapi Loka tetap tak memanfaatkan hal itu. Ia duduk, menatapku dengan darah yang masih mengalir membanjiri pelipisnya. Lukanya memang tidak terlalu dalam, tetapi cukup melukainya.
Aku mengambil kotak P3K yang biasa kusimpan pada lemari dapur. Biasanya, kotak itu akan digunakan oleh istriku yang secara tak sengaja melukai beberapa bagian tubuhnya ketika memasak. Jangan salah, dia profesional, hampir tak pernah terluka, tetapi tak ada salahnya untuk berjaga-jaga, kan? Namun, mengisi kotak itu dengan berbagai benda yang dapat meringankan luka menjadi kebiasaanku biarpun tak pernah ada yang memasak lagi—aku dan Loka tak pandai memasak.
Aku mencoba menghentikan pendarahannya, mengambil perban dan segera melilitkannya, melingkari bagian atas kepala Loka, begitu pula dengan bagian kaki. Tidak sangat membantu, tetapi setidaknya sedikit membantu. Kemudian, segera setelahnya, secara segera bercak coklat menodai perban putih yang melilit pada tubuhnya.
Merasa cukup, aku mengisyaratkannya untuk berdiri dan segera mengunjungi rumah sakit untuk pengobatan yang lebih baik—dari ahlinya.
Walaupun aku benar-benar bersyukur karena lelaki itu tak membunuh Loka, tetapi dalam hati aku benar-benar berniat untuk membunuhnya ketika satu kesempatan datang. Aku tak akan menyia-nyiakannya—pasti.
Loka masih sadar, tubuhnya mulai normal dan tak memberikan reaksi tiba-tiba atas kejadian apapun. Dia sudah lebih nyaman ketika duduk di bangku pengemudi dan mengenakan sabuk pengamannya. Ah, bahkan di keadaannya yang seperti itu dia masih ingat untuk mengenakan sabuk pengaman. Aku cukup bangga.
Tujuan utamaku hanya satu—rumah sakit. Hampir tengah malam, dan seharusnya tak memakan waktu lebih dari dua puluh menit untuk mencapai tempat itu. Aku hanya perlu memutar satu kali, kemudian mengikuti jalan raya sebelum akhirnya belok kanan. Borromeus tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Dengan suasana yang ada, seharusnya tak ada kemacetan biarpun mungkin masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lintas memenuhi jalanan. Tapi bukan berarti semuanya akan mengunjungi rumah sakit, kan?
Di saat yang sama, aku tersenyum simpul.
Aku tahu, menggunakan ponsel ketika berkendara bukanlah perbuatan terpuji, bahkan dilarang. Di saat biasa, seharusnya Loka akan menegurku, melemparkan ponselku jika perlu. Namun, keadaannya saat ini membuatnya tak banyak berbicara.
Lelaki itu memang lebih unggul dariku, apalagi secara fisik. Mungkin keterampilannya dalam menggunakan pistol juga lebih hebat dariku. Dia cerdas—pasti. Jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa menemukan tempat tinggalku? Dan satu lagi hal yang kuketahui darinya, dia dapat berkamuflase dengan hebat dan mengambil barang orang tanpa diketahui. Hal itu mengerikan, tentu.
Namun, dia melupakan satu hal. Orang lain pun dapat melakukan hal yang sama.
Kuotak-atik ponselku, menggeserkannya beberapa kali. Segera setelah aku yakin bahwa rencana yang kususun secara mendadak itu berjalan dengan baik, napasku sedikit menggebu-gebu akibat tawaan kecil yang mengalir mengubah bentuk bibirku.
Rencanaku berjalan seperti apa yang kuharapkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top