1. Saudara Jauh
NARASI TONI
Namaku Toni Wijaya Putra Hartono anak kedua dari keluarga Hartono. Aku ini orang biasa. Masih duduk di kelas 2 SMA. Karena aku akan biasa, maka kebiasaanku juga sangatlah biasa. Main basket, main game, malas belajar, nggak suka ama matematika, dan aku lebih memfokuskan diriku untuk menekuni dunia seni. Bicara soal seni, aku paling suka menggambar. Orang bilang gambaranku bagus. Iya, aku ingin bercita-cita jadi seorang komikus. Tapi itu tidaklah mudah. Aku terus terang tergila-gila dengan segala sesuatu yang berbau detektif. Contohnya seperti serial Detektif Conan, Death Note ataupun tentu saja Sherlock Holmes. Aku juga suka membaca buku-buku Agatha Chirstie. Aku punya kakak, namanya Luna Putri Hartono. Panggilannya Kak Luna. Dia sih sudah kuliah jurusan kedokteran dan sudah masuk semester tiga.
Aku ingin bercerita mengenai pengalamanku yang tidak terlupakan. Tentang seseorang yang benar-benar membuatku ingin menuliskan seluruh pengalamanku dengannya. Ini semua berawal dari kedatangannya ke rumah kami. Namanya Arif Nur Hakim, tapi biasa dipanggil Kim. Dia adalah orang yang luar biasa. Aku tak pernah bertemu dengan orang yang sesinting dia. Walaupun begitu pengalaman sinting kami baru saja dimulai.
Hari Sabtu itu adalah hari di mana aku bersemangat seperti biasa ke sekolah. Jangan pernah berharap aku membawa mobil sendiri, sekalipun papa orangnya mampu beli lima mobil lagi karena beliau adalah seorang CEO, bukan berarti aku dibebaskan begitu saja. Tetap saja aku naik angkot atau naik sepeda motor. Satu-satunya sepeda motor pemberian ayahku adalah sepeda motor 4 takt City Sport keluaran terbaru. Bangga dong punya sepeda motor keren. Yo'i siapa sih yang nggak bangga kalau dilihatin cewek-cewek satu sekolah. Hehehe...Apalagi ada salah satu gebetanku yang sudah aku taksir lama sekali dari semenjak aku duduk di kelas satu. Namanya Yunita. Sudahlah jangan tanya kapan aku nembak dia, deketin saja susahnya minta amplop eh, minta ampun.
Kak Luna sudah bersiap ke kampus dengan kemeja putihnya. Biar pun masih mahasiswa emang cocok koq Kak Luna jadi dokter. Dia pakai kacamata minus, rambutnya panjang dan selalu disanggul. Kadang kalau sudah sibuk, ia konde itu rambutnya. Kak Luna ini cakep, tajir, sekalipun naik angkot tak akan mengubah kecantikannya. Satu hal yang kurang, sampai sekarang masih jomlo cing! Aku sering bercandain dia soal ini. Dianya cuek-cuek aja tuh, katanya masih lebih mementingkan kuliah.
"Ton, hari ini kamu pulang jam berapa?" tanya papa.
"Jam tiga pa, soalnya ada ekskul," jawabku.
"Oh, begini. Nanti sore kamu bisa jemput seseorang nggak di stasiun?" tanya papa.
"Stasiun? Jemput siapa?"
"Jemput sepupumu. Namanya Arif Nur Hakim. Biasa dipanggil Kim."
Aku tak pernah tahu punya sepupu bernama Arif Nur Hakim.
"Tentu saja kamu nggak tahu siapa dia. Soalnya papa dan papanya jarang ketemu. Mereka tinggal di luar negeri sih. Tapi dulu waktu kamu kecil pernah ketemu dengan dia. Sebulan yang lalu papa dan mamanya meninggal, maka dari itu dia terpaksa akan tinggal bersama kita."
"Lho, kita emang punya keturunan bule, pa?"
"Bukan. Kedua orang tuanya orang Indonesia. Hanya saja tinggal lama di luar negeri. Mereka berdua ilmuwan nuklir yang bekerja di Jerman."
"Wow, koq aku nggak tahu punya keluarga seorang ilmuwan?"
"Ceritanya panjang."
"Trus, ciri-ciri dia nanti kayak apa pa?"
"Kim itu orangnya tambun. Kalau kamu pergi ke stasiun pasti akan menemukan dia dengan mudah."
"Yaelah pa, orang tambun juga banyak. Gimana bisa tahu?"
Baiklah. Sebenarnya ini kedengarannya agak aneh karena papa mengatakan "aku pasti tahu". Yang benar saja. Sore itu setelah aku selesai ekskul, aku pergi ke stasiun. Dan iya, aku bengong melihat seorang yang tambun, mungkin bobotnya ada 150 kg duduk di ruang tunggu stasiun dan membawa tulisan di lehernya dibaca "KIM". Entah anak ini aneh atau apa aku benar-benar nggak nyangka bakal membonceng orang segedhe ini. Rambutnya yang pendek tampak basah seperti diminyaki. Pipinya yang tembem membuatnya benar-benar menandakan dia pasti jago makan. Dan benar saja, di tangannya ada snack dan dia makan dengan rakusnya.
Aku mencoba menghampirinya. Lalu kusapa, "Kim?"
Anaknya melirik ke arahku, "Toni?"
Yang benar saja kawan. Itu hasil kunyahannya yang ada di mulutnya sebagian muncrat ke bajuku. Aku agak jijik dan berusaha membersihkannya. Tapi Kim dengan cekatan mengambil tissue dan membersihkan bajuku.
"Eh, nggak usah. Nggak perlu!" kataku.
"Nggak apa-apa, ini salahku. Bad habbit," kata Kim masih dengan mulut penuh makanan.
Setelah dirasa olehnya bersih. Ia lalu berdiri tegap. Dia tingginya sama seperti aku. Tapi kalau dilihat badannya perbandingan kami mungkin satu banding tiga. Dia tersenyum ramah. Benar-benar itu matanya hampir saja tertelan oleh pipinya sendiri.
"Kita naik apa?" tanya Kim.
"Eee...naik motor sih, tapi...," aku agak ragu untuk memboncengnya.
"Oh, nggak perlu khawatir. Kalau misalnya sepeda motormu nggak kuat, aku bisa naik taksi, tinggal tunjukin saja rumahmu nanti aku akan mengikutimu pakai taksi," jawab Kim.
"Eh, kuat koq. Kuat!" kataku tanpa memperhitungkan berat badannya.
"Jangan deh, aku pake taksi aja. Berat badanku 170 kg. Berat badanmu kemungkinan 60 sampai 70 kg. Sepeda motor itu rodanya hanya punya kekuatan 40kg. Jadi totalnya adalah 240 dibagi dua sama dengan berarti ada 120kg. Aku takut sepedamu kenapa-napa," kata Kim.
"Beneran koq Kim, nggak masalah," kataku. Aku jadi tidak enak sendiri.
"OK, jangan menyesal lho ya," katanya.
Akhirnya kami pun naik sepeda motor dari stasiun menuju rumah. Jangan pernah bayangkan bagaimana kondisi sepeda motorku. Bannya saja sampai hampir gepeng ketika kedua badan kami naik di atasnya. Shock breaker-nya pun hampir mati. Kalau aku tak pernah merawat motorku mungkin sudah patah itu. Kami berjalan pelan, karena biasanya aku ngebut. Dan akhirnya sampai juga di rumah.
Begitu aku masuk ke halaman rumah, langsung aku disambut oleh mama.
"Halo Kim, apa kabar?" sapa mama.
"Baik Tante," jawab Kim.
Mama lalu mencium pipi Kim. Dan Kim mencium tangan mama.
"Gimana perjalanannya?" tanya mama.
"Cukup melelahkan," jawab Kim.
Sebenarnya yang kelelahan itu aku. Menahan berat badan 170 kg itu tidaklah mudah. Dan semoga Si Putih baik-baik saja. Aku memanggil sepeda motorku dengan nama Si Putih.
"Barang bawaanmu mana Kim?" tanya mama.
"Besok baru datang Tante. Aku sengaja nggak bawa di kereta. Karena banyak banget. Aku titipkan travel agar bisa dibawa semuanya," jawab Kim.
"Oh begitu. Nggak bawa baju ganti?"
"Bawa dong di ransel," kata Kim sambil menunjukkan ransel di punggungnya. Ransel itu saja dengan ukuran tubuhnya lebih besar ukuran tubuhnya.
Baiklah singkat cerita rumah kami kedatangan tamu dan dia akan tinggal bersama kami. Namanya Kim dan dia akan tinggal di kamar tamu. Kami akan sarapan bersama, tinggal bersama bahkan mungkin akan berbagi bersama. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa mempunyai sepupu dengan obesitas akut. Kak Luna pasti bakal terkejut melihatnya.
Aku langsung masuk kamar, lalu mandi. Setelah itu aku habiskan malam itu dengan bermain game di kamarku. Saat itulah pintu kamar diketuk oleh mama.
"Toni!?" panggil mama.
"Iya ma," jawabku.
"Kamu ini gimana sih? Ada sepupu datang koq malah mengurung diri di kamar. Ajak bicara gitu, atau ajak main ke mana kek. Dia kan orang baru di Indonesia. Sejak kecil sudah di Jerman. Ayo gih!" ujar mama.
"Iya, iya," gerutuku.
Aku segera membuka pintu kamarku dan melihat ekspersi wajah mama yang tidak suka. Aku menghela nafas. Aku sudah dapati si obesitas itu duduk di ruang tamu, di atas karpet sambil menonton tv. Yang mengejutkanku adalah ia masih saja makan padahal tadi dari stasiun ia sudah makan. Aku pun duduk di sofa. Melihatku datang dia menawari cemilannya.
"Mau?" tanya Kim.
"Oh, nggak. Trims," kataku.
"Sorry ya, aku selalu terbiasa makan. Soalnya nggak ada yang menarik untuk dipikirkan," kata Kim.
"Maksudmu?"
"Kebiasaan burukku adalah makan kalau aku tak ada sesuatu yang bisa untuk dipikirkan," kata Kim.
"Aku nggak faham."
"Ah, nggak usah dipikirkan. Aku pun tak mau membebani pikiranmu dengan ini. Oh ya, mana Om Hartono?"
"Papa belum pulang jam segini. Biasanya jam delapan," kataku. Aku ingin membuka pembicaraan dengannya. "Oh ya, gimana sih Jerman itu? Aku belum pernah ke sana."
"Biasa saja. Aku sendiri juga jarang keluar," jawab Kim sambil mengunyah makanannya.
"Jarang keluar? Lho, emang kamu nggak sekolah?"
"Tak ada sekolah yang mampu menampungku," ia tersenyum.
Gila. Nggak ada yang mau menampungnya? Emangnya terlalu banyak timbunan lemaknya ya? Apa di Jerman sana melarang anak gendut pergi ke sekolah?
"Bukan, kalau kau pikir karena obesitas ini aku dilarang sekolah maka salah. Aku terlahir dengan IQ 250. Karena itulah tak ada satupun sekolah yang mau menerimaku. Aku sangat jenius. Maaf, aku mungkin terlalu pamer. Kau bisa mengujiku kalau memang ingin."
Aku bengong. Nggak percaya terhadap apa yang dia katakan. Einstein saja IQ-nya 250. Berarti dia sama seperti Einstein dong. Ah, dia pasti bercanda. Aku pun tertawa mendengarkannya. Tapi melihat ia menatapku dengan pandangan serius. Aku pun menghentikan tawaku.
"Kau serius?"
"Serius," jawab Kim.
"Omong kosong. OK, aku mau ngetes kalau begitu," kataku.
"Silakan!" kata Kim.
Aku pun mengambil ponsel di saku celanaku. Lalu aku membuka aplikasi kalkulator. Aku membuat sebuah hitungan 456×271÷3. Aku pun membacanya.
"Empat ratus lima puluh enam dikali dua ratus tujuh puluh satu dibagi tiga berapa?" tanyaku sambil ngikik.
Kim menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terlalu mudah. Yang lebih sulit dong."
"Udah deh hitung saja kalau memang IQ-mu setinggi itu," kataku sambil cengar-cengir. Mana mungkin dia bisa.
"Empat puluh satu ribu seratus sembilan puluh dua," jawab Kim sambil tersenyum.
Aku melihat kalkulator sambil menampakkan ekspresi tak percaya. Bener! 41192! Aku pun mencoba yang lain. Kuketikkan di kalkulator 8799×457×32÷4.
"OK, coba yang ini, delapan ribu dikali empat ratus lima puluh tujuh dikali tiga puluh dua dibagi empat!" kataku.
Kim berpikir sejenak. Lalu dia menjawab, "Coba cocokkan dengan kalkulatormu. Jawabannya adalah tiga puluh dua juta seratus enam puluh sembilan ribu seratus empat puluh empat," kata Kim. Aku pun melihat di kalkulator tertera angka 32169144.
Ekspresiku makin melongo melihatnya. Kim ini benar-benar jenius. Mana mungkin ia bisa seperti itu menjawab soal matematika dengan mudah.
"Aku sudah banyak membaca tentang Indonesia buku-bukunya aku hafal sampai aku kurus menghafalnya," kata Kim. Ia lalu bersandar di sofa.
"Kau kurus?"
"Oh ya, aku belum memberitahukanmu sesuatu. Aku bisa kurus lho. Hanya saja aku perlu berpikir persoalan yang sangat berat. Kalau tidak, maka aku akan makan sampai aku benar-benar capek dan tidur," kata Kim
Ini aneh. Si obesitas ini bilang ia bisa kurus. Aku tak percaya.
"Kau mungkin tak percaya. Baiklah, sekarang berikan aku persoalan yang paling sulit, maka aku akan menunjukkannya kepadamu," kata Kim.
"Baiklah," aku kemudian berpikir. Ah, iya. Dia belum pernah melihat Kak Luna. Aku ingin ia bisa menebak Kak Luna. "Coba, kau tebak. Kak Luna kuliah apa?"
Kim menatap mataku lekat-lekat. "Hmm, pertanyaan yang rumit. Aku sendiri lama tak bertemu dengan Kak Luna."
"Emangnya kita pernah bertemu?"
"Dulu kita pernah bertemu. Waktu masih balita. Mungkin kau tak ingat, tapi aku sangat ingat. Kita pernah bermain bersama dulu waktu masih kecil, lalu aku kemudian pindah ke luar negeri," kata Kim.
Aku tak pernah ingat. Tapi papa tadi bilang kami pernah bertemu. Siapa pula yang masih ingat dengan masa kecil, apalagi masih balita. Kim lalu menyatukan jemarinya. Anjrit, ini dia berlagak seperti posenya Sherlock Holmes. Aku pun ketawa melihatnya. Tapi melihat keseriusannya aku pun hanya sebentar ketawa. Kim melirik ke arahku, lalu dia mengamatiku dari ujung sampai ke bawah. Kemudian dia melirik ke dinding. Di dinding ada foto keluarga kami. Ia mengamati seluruh ruangan bahkan tak ada satupun yang lepas dari penghilatannya. Saat itulah ada yang aneh dengan tubuhnya. Koq badannya tiba-tiba berkeringat ya?
"Kim, kau tak apa-apa?" tanyaku. "Wajahmu pucat banget, keringetan banyak gitu. Udah deh, nggak usah dipikirkan. Ntar kalau kamu kenapa-napa bisa berabe aku dimarahin ama mama."
"Nggak apa-apa, aku akan tunjukkan kepadamu sesuatu," kata Kim. Dan dari tubuhnya mulai keluar seperti uap. Apa ini? Aku bisa melihat tubuh Kim mulai keluar keringat dingin dan dia berasap. What the hell?
Aku pun beranjak dari sofa, mundur menjauhi Kim. Tapi Kim biasa-biasa saja. Ia tetap dengan posenya semula. Aku pun berteriak memanggil mama, "Maa! Maa! Ke sini ma!"
Tak berapa lama kemudian mama pun datang. "Ada apa?"
"Li...lihat deh ma, Kim!" aku menunjuk ke arah Kim yang sekarang sepertinya sedang menguap seperti lokomotif.
Mama tersenyum. "Owalah, kukira ada apa. Mama memang belum cerita ke kamu. Kim ini memang seperti ini."
"Maksud mama?"
"Dia ini punya kemampuan khusus. Kalau dia sedang menghadapi persoalan yang sangat sulit dan berpikir keras, entah kenapa seluruh lemak di badannya tiba-tiba menguap. Dan ia bisa jadi kurus secara tiba-tiba. Maaf mama belum cerita ke kamu," kata mama.
"Hah?" aku terkejut. "Serius ma?"
"Lihat saja ntar!" kata mama. "Emangnya kamu kasih dia persoalan apa?"
"Aku tadi cuma ingin dia menebak Kak Luna kuliah apa," kataku.
Mama tertawa. "Ya sudah. Sepertinya ia sudah tahu jawabannya. Nak Kim, apa jawabannya?"
Ini benar-benar ajaib. Aku melihat tubuh Kim sekarang berbeda dengan semenit yang lalu. Ia "agak" kurus. Tidak segemuk tadi, tidak setambun tadi. Kali ini mungkin perutnya masih buncit, tapi pipinya sudah tidak tembem lagi. Bajunya basah semua seperti baru saja melakukan lari marathon. Dan benar-benar ia sekarang kedodoran.
Kim menghela nafas, "Kukira susah, ternyata mudah. Kak Luna kuliah kedokteran ya?"
Aku menelan ludah melihat peristiwa itu. Ini bukan kejadian biasa. Bagaimana mungkin orang seperti Kim ini ada? Koq bisa? Aku mengucek-ucek mataku. Mama lalu menepuk-nepuk pundakku.
"Kubilang juga apa. Udah ya, mama mau masak makan malam dulu," kata mama. Dengan entengnya beliau pergi meninggalkanku. Sepertinya ia sudah tahu bakal terjadi seperti ini kepada Kim. Ini ya sebab kenapa tidak ada satu pun sekolah mau menerima Kim. Masuk akal, tapi....aku tak bisa menerimanya. Ini benar-benar sinting.
Kim lalu berdiri. Ia mengencangkan ikat pinggangnya. "Duh, basah semua bajuku."
Iya basah, tapi kau ini makhluk apa sebenarnya?
"Duduk deh Ton, aku mau cerita sesuatu," kata Kim.
Aku perlahan-lahan mulai mengambil tempat di sofa. Berdekatan orang sesinting ini rasanya pengalaman yang mendebarkan. Aku tahu begini tadi kusuruh dia nebak sesuatu yang sulit biar sepeda motorku bisa agak sedikit lebih friendly dinaiki olehnya.
"Sejujurnya aku seperti ini itu karena terkena radiasi radio aktif," ujar Kim.
"Hah? Yang bener?" tanyaku.
"Kau tahu sendiri bukan kerjaan papa dan mamaku apa. Benar sekali. Sebagai ilmuwan nuklir. Nah, suatu ketika terjadi kebocoran nuklir di pembangkit listrik tenaga nuklir. Tidak parah sih. Karena langsung bisa ditangani saat itu. Hanya saja papa tidak sengaja membawa sesuatu yang berbahaya ke rumah. Yang mana tidak pernah ia sangka sebelumnya, yaitu limbah nuklir. Limbah itulah yang kemudian mengubahku seperti ini," kata Kim.
"Sebentar, koq bisa?" tanyaku.
"Ceritanya, ketika pulang dari kantor papa lupa bahwa di bajunya ada cairan limbah itu. Saat itu aku yang masih kecil, suka banget memasukkan apapun ke mulutku. Ketika ayah mengetahui bahwa aku memasukkan bajunya ke dalam mulutku langsung saja ia merebutnya dan membuang jauh-jauh bajunya. Tapi sebagian limbah itu tertelan olehku. Inilah yang mengakibatkan aku seperti ini. Aku bermutasi dan punya kelainan seperti ini. Dokter manapun tak bisa menyembuhkanku. Penyakitku langka, tapi berkat inilah aku sama sekali tak pernah kesulitan menghadapi persoalan apapun," ujar Kim.
Aku manggut-manggut. Dari penjelasan Kim inilah aku mengerti asal muasal ia bisa sampai seperti ini. Tapi ini luar biasa. Aku tak pernah bisa menyangka akan mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan ini.
Kim kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kubus rubrik. "Kalau aku nganggur biasanya baca buku, atau main ini."
Kalau biasanya orang nyusun kubus rubrik ini pakai dua tangan. Kim memakai satu tangan dan tanpa melihatnya. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya. Dia sepertinya hafal dengan seluruh letak-letak warna rubrik itu. Aku lagi-lagi hanya terbengong-bengong saja melihatnya. Dan Kim mengeluarkan keringat lagi.
Kim menonton televisi sambil mengutak-atik kubus rubrik dengan satu tangan. Dan memang benar-benar orang ini sinting. Dia pun kurang dari semenit sudah menyelesaikannya. Diserahkan kubus itu kepadaku.
"Acakin lagi deh!" kata Kim.
Aku kemudian mengacak-acak mainan kubus berwarna-warni itu. Kim mengamati televisi. Dia agaknya tertarik dengan acara National Geographic itu. Menceritakan perilaku hewan laut ketika masa kawin. Bagiku sih tak menarik, lebih menarik acara movies. Aku sibuk mengutak-atik rubrik untuk mengacaknya. Setelah itu aku serahkan kepada Kim. Kim menerimanya dan memutar-mutar kubus kecil itu. Lalu dengan tangan kirinya ia lagi-lagi memutar-mutar benda itu.
Ah, gilaaa! Bener-bener gila, bisa juga dia melakukan hal ini. Aku akhirnya percaya anak ini punya IQ di atas rata-rata. Selagi dia memutar-mutar rubrik tubuhnya kembali mengepulkan uap. Dia ini seperti lokomotif atau gimana ya?
Tak berapa lama Kak Luna pulang. Sebenarnya aku masih penasaran. Bagaimana dia bisa mengetahui Kak Luna kuliah di kedokteran.
"Malam semua," seru Kak Luna dari pintu. "Eh, ada tamu. Ini Kim ya?"
"Hai Kak, lama nggak ketemu," kata Kim.
"Ya iyalah, kamu dulu masih imut, lucu sekarang udah amit-amit. Eh, kamu masih ingat ya pertemuan kita dulu?" tanya Kak Luna.
"Ingatlah, kakak waktu itu masih berumur tujuh tahun," kata Kim.
"Kamu agak gemukan ya?" kata Kak Luna. Agak gemukan? Amit-amit kalau dia barusan lihat berat badannya yang abnormal itu. "Baru olahraga ya sampai keringetan gitu?"
Kim meringis. Kak Luna tak mengerti saja kesintingan yang baru saja terjadi. Ia pun berlalu masuk ke kamarnya. Dan memang tak perlu jawaban dari Kim.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top