File : Puteri Duyung #13
Tas besar milik Albert rupanya berisi banyak sekali air minum dalam botol, pantas lumayan berat. Aku paham karena air tawar pasti susah didapat di sini.
"Ini, minumlah dulu, Nick." aku mengulurkan botol air mineral padanya.
Nick meminum isinya hingga setengahnya, sepertinya dia kehausan setelah bercerita dengan semangat meski tak ada ekspresi itu terpancar dari wajahnya, bisa dibilang malah, sedikit murung.
"Setelah itu aku beberapa kali kembali ke sana, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun, bahkan wanita tua itu menghilang. Maafkan aku, Junior."
"Bukan salahmu, Nick. Kau sudah berusaha, aku juga paham maksudmu mengatakan padaku mereka telah tiada."
"Kenapa anda tidak lapor polisi setempat saja, Profesor?" ternyata Albert juga memperhatikan cerita Nick.
"Aduh, Kapten. Mana mungkin hal seperti itu diceritakan pada polisi, mereka tidak akan percaya dengan Orthros dan yang lainnya." Bimo menjawab pertanyaan yang bukan ditujukan padanya, dia memang begitu.
"Sudah, tentu saja aku lapor..."
"Hah?" Bimo melongo pada jawaban Nick, sedangkan Albert meliriknya sambil menahan tawa.
"Tapi tentu saja tanpa menceritakan tentang Orthros dan isu ritual aneh itu. Aku hanya bilang temanku mungkin diculik waktu berkunjung kesana, tapi sama saja, mereka tidak dapat apa-apa."
"Nick, kau yakin mereka masih hidup? Lalu bagaimana dengan Profesor Adam itu?"
"Aku yakin, Junior. Sebelum akhirnya membawamu dan hidup di sini, aku pergi lagi ke Wales ke rumah Adam yang ikut hilang waktu itu. Tapi ternyata rumahnya hanya rumah sewaan dan telah ditinggali orang lain. Dan kata pemilik rumah, barang-barang telah dibawa oleh seseorang yang mengaku kerabatnya. Dia tak tahu siapa dan dimana mereka."
"Berarti alasanmu membawaku kesini bukan hanya karena alasan kakekku tapi juga catatan yang pernah kau baca bahwa jawa adalah pusat koloni mereka, bukan begitu?"
"Ya, Junior, sebuah kebetulan, bukan?"
"Berarti mungkin benar seperti kata saya tadi, pasti ada hubungannya dengan Nyi Roro Kidul." Albert sepertinya tidak mau hanya menjadi pendengar pembicaraanku dan Nick.
"Kapten, anda benar-benar penggemar film kolosal." sudah ku duga, Bimo akan menimpali setiap perkataan Albert.
"Tapi, Tuan Bimo. Itu adalah mitos, legenda, pasti berhubungan."
"Hmm..." Bimo menggaruk-garuk dagunya, gaya sok tahunya muncul.
Aku hanya memandangnya sekilas dan menggelengkan kepala.
"Nick, setelah ini, mau kan kau membantuku menemukan Echidna?"
Nick menatapku, tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya, dia pasti sudah menduga apa yang akan aku pikirkan setelah mendengar semuanya.
"Tentu, Junior. Bisa saja kita malah menemukan 'ibu para monster' itu disini." Nick tersenyum.
Nick yang konyol dan suka tertawa sesaat terlihat berbeda. Ya, hanya sesaat, karena kembali lagi dia tertawa saat melihat wajah Bimo dan Albert yang melongo saat Nick bilang Echidna ada disini.
Cahaya senter kepala kami mulai meredup, bahkan punyaku sudah berkedip, keadaan sekitar kami jadi kelihatan lebih gelap. Kami memutuskan untuk kembali berjalan menyusuri lubang yang jalannya kini semakin menanjak.
Dalam pikiranku masih berkecamuk misteri hilangnya orangtuaku dan siapa mereka, orang-orang yang menyembah Echidna dan mempunyai koloni hampir di seluruh penjuru dunia. Apa tujuan dan yang mereka dapat, hingga ratusan atau mungkin bahkan sudah ribuan tahun mengadakan ritual persembahan hingga menjadi budaya.
Suku-suku kuno di beberapa belahan dunia memiliki budaya yang ternyata Echidna ada di belakangnya. Atau mungkin Echidna-lah yang dimanfaatkan suatu kelompok untuk mencapai sesuatu. Ah, akan ku ungkap semua meski membutuhkan waktu yang panjang. Sepertinya obsesiku bukan hanya menguak misteri orangtuaku, tapi rahasia dunia.
"Sepertinya kita hampir sampai di ujung lorong ini." kata Bimo yang berada paling depan.
Aku melihat ke arah depan, agak jauh dari tempat kami, sebuah cahaya remang-remang nampak dari bulatan yang sepertinya bibir dari lorong yang menanjak ini. Bimo cepat-cepat menuju kesana, begitu juga Albert di belakangnya yang sedikit kesulitan karena membawa tas besar.
"Wow!" suara Bimo terdengar lagi setelah dia keluar dari goa sempit yang menurutku lebih cocok dipanggil lorong ini, "kau harus melihat ini, Yod."
Ujung lorong terlihat semakin terang saat aku mendekatinya, lalu angin yang bertiup perlahan menerpa wajahku begitu aku keluar. Aku mendapati diriku berada di bagian samping luar pulau karang dengan tanah yang rata, bahkan disini ditumbuhi beberapa pohon bercabang yang tidak terlalu tinggi, dan sebagian ada yang mati, kering.
Berada di ketinggian kira-kira lima belas meter dari atas laut, seperti balkon pada rumah bertingkat dan aku disuguhi pemandangan matahari yang sudah terbenam separuhnya di depanku. Langit dan laut berwarna sama, jingga keemasan. Aku sedikit lega, melepas senter di kepalaku dan menarik napas dalam-dalam setelah lama berada di kegelapan goa pulau karang ini.
"Kita bermalam dulu disini." perintahku pada yang lain.
"Setuju, ini tempat yang sempurna." Nick menaruh tasnya lalu berjalan mendekati tebing, "asalkan kau tidak punya penyakit tidur sambil berjalan, atau kau akan berakhir disana."
Aku maju untuk menengok ke bawah jurang, batu-batu karang yang lancip berada di bawah kami. Sedangkan di belakang kami, tebing pulau karang menjulang tinggi hingga puncaknya.
"Indah sekaligus mengerikan." Bimo tahu-tahu sudah berada disampingku.
Ternyata di bagian-bagian samping dan tebing-tebing pulau karang ini banyak terdapat tempat seperti ini, bahkan ada yang ditumbuhi banyak pohon.
"Tuan-tuan! Saya menemukan mulut goa sempit lagi disini!" Aku menoleh pada Albert yang menunjuk pada sebuah lubang di belakang pohon.
Aku mendatanginya, lorong yang gelap dan sepertinya menuju suatu tempat. "Kita akan lewat sini besok pagi, sekarang kita bermalam di luar sini dulu."
"Baik, itu ide yang bagus, Tuan." Albert kemudian memunguti ranting-ranting pohon yang berjatuhan karena mati untuk membuat api unggun dan aku membantunya. Tak lama Nick dan Bimo juga mengangkat sebuah batang pohon besar yang tergeletak di tanah dan mereka membawanya ke tengah, berdekatan dengan dinding tebing.
"Kurasa kita harus jauh-jauh dari jurang saat tidur dan merapat ke dinding batu ini." kata Bimo sambil menepuk dinding.
"Kau benar-benar suka tidur berjalan, ya, Bemo." Nick menyeringai sambil mengangkat alisnya, seperti oom-oom genit yang menggoda gadis di bawah umur, mengerikan sekali.
"Siapa bilang."
Langit semakin gelap setelah matahari benar-benar bersembunyi di balik cakrawala, jingga berubah kelabu lalu hitam. Bulan belum muncul, jikapun iya, saat ini sedang bulan separuh. Untung saja tidak ada awan dan tanda-tanda akan hujan, jadi milyaran bintang mulai tampak mengedipkan cahayanya.
Api unggun sudah menyala di depan kami, batang pohon besar tadi aku gunakan sebagai tempat duduk bersama Nick di sebelahku. Albert sudah terbaring di dekat api dengan tas sebagai penyangga kepalanya, sepertinya dia kelelahan.
Bimo berada di sampingnya, duduk bersila sedang menghangatkan sup kalengan yang telah dibuka dan dijepit dengan kayu yang lalu didekatkan ke api.
"Nick, apa kita tidak perlu menutup telinga kita lagi saat ini?"
"Kurasa tidak perlu, Junior. Duyung akan bernyanyi saat melihat manusia, dan kita tak terlihat dari sini."
"Tapi api ini kan bisa jadi petunjuk mereka, Prof." Bimo ikut nimbrung.
"Percayalah, mereka tidak bisa melihatnya dari bawah." Setelah berkata Nick merebahkan badannya, "aku tidur dulu, tubuh tuaku harus lebih banyak istirahat."
"Salah kau sendiri ikut, Nick. Padahal tidak ada yang mengajakmu." Nick hanya tersenyum dan terlelap setelah aku mengatakan itu. Sebenarnya aku sangat bersyukur karena ada dia.
"Yod, kau bilang kau tinggal di Inggris, kenapa Profesor bilang kau ada di Skotlandia?"
"Aku ada di Inggris sampai umur 12 tahun, lalu pindah ke Glasgow hanya sebentar sampai kedua orangtuaku menghilang."
"Oh, begitu. Aku hanya tahu ceritamu sedikit sebelum kau pindah ke jawa." Bimo menyantap sup hangatnya sampai habis kemudian menguap, tak lama dia pun terlelap.
Aku membaringkan tubuhku, menatap bintang-bintang dan terbayang wajah lembut ibuku. Rambutnya yang pirang, matanya yang kelabu, tersenyum manis seolah menginginkan aku menemukannya. Dan wajah tegas ayah, senyumnya seolah mengatakan bahwa dia bangga dengan jalan yang ku pilih.
...
Paginya, aku terbangun karena belalang yang menempel di hidungku. Langit masih sedikit gelap dan matahari belum nampak, tentu saja, karena kemarin matahari terbenam di depanku, jadi harusnya 'dia' terbit di belakangku, di sisi lain pulau yang terhalang tebing ini.
Aku duduk dan mengusap mata karena penglihatanku belum terbiasa. Api sudah mati, hanya meninggalkan abu yang sebagian tertiup angin menempel di bajuku dan sisa-sisa kayu yang ujungnya hitam tidak habis terbakar.
Nick masih pulas tertidur disampingku, begitu juga Bimo. Dan saat ku lihat Albert, aku terkejut, bukan karena dia, tapi sosok yang berdiri di sampingnya.
***
Author lagi frustasi dan emosi berat karena belakangan gara-gara banjir, beredar foto-foto duyung transgender yang lebih mirip alien....
Asyeem! Belum juga dibakarin menyan tapi mereka udah pada muncul.
Mengerikan! Absuurrdd...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top