File : Makhluk Tanah (Case Closed)

Aku tidak bercerita tentang kelompok pemuja Echidna yang ingin membebaskan monster-monster itu pada Ibe. Kurasa knocker satu ini pun tidak mengetahui hal itu, dia hanya tahu bahwa ada kumpulan manusia yang berhubungan baik dengan Ibe dan kaumnya.

"Sobat, jika kau mau mengantar kami dan dapat menemukan petunjuk tentang orangtuaku, aku akan sangat berterimakasih padamu," kataku.

Ibe mengeluarkan beberapa lembar kertas usang yang kosong, mengambil sebotol tinta dan sebuah benda lancip seperti pena yang sepertinya terbuat dari tulang. Aku sedikit heran dengan yang dilakukannya, dan saat Bimo akan bertanya, Ibe menaruh telunjuknya di bibir, memberi tanda untuk diam.

Dia menulis di kertas, 'TETAPLAH BERBICARA!'

Aku heran, bagaimana bisa seorang peri sepertinya bisa menulis dengan huruf-huruf yang digunakan oleh manusia. Lalu aku pun membalasnya, 'ADA APA, SOBAT?'

'TETAPLAH BERBICARA, MEREKA MENGAWASI!' tulis Ibe lagi sambil menampakkan wajah marah, tapi memang seperti itulah wajahnya.

"Terimakasih," jawabku sambil tersenyum padanya dan sambil menulis di kertas untuk membicarakan hal yang 'rahasia' bersamanya. "Kau cukup mengantar kami dan biar kami saja yang akan masuk ke sana."

Kami semua mengobrol dan berbicara seperti biasa di dalam rumah Ibe, termasuk Bimo dan Kinan, dan kami juga melakukan 'obrolan' menggunakan kertas yang disiapkan Ibe.

Dan akhirnya kami tahu, apa yang terjadi di dunia peri ini. Sebelumnya, peri-peri di sini, bersahabat dengan manusia dan yang paling mereka percaya adalah para Ksatria Themeus, yaitu orang-orang yang mengurung Echidna dan menyimpan kuncinya di sini.

Setelah mereka menghilang, muncul seseorang yang mengaku sebagai raja dan berkuasa di sini. Bekerja sama dengan peri-peri 'hitam' yang cenderung memusuhi orang-orang Themeus, pria yang bernama Lagash ini memaksa dan mengancam seluruh peri. Hampir seluruh knockers yang merupakan saudara dan keluarga dari Ibe dipaksa mengikutinya.

Tujuan dari Lagash hampir sama seperti orang-orang Novus –seperti Adam Arnett dan lainnya—yaitu membebaskan apa yang telah dikurung, akan tetapi Lagash berdiri sendiri bahkan cenderung memusuhi mereka. Akhirnya aku tahu ternyata Ibe malah lebih mengetahui dari pada aku sendiri tentang hal itu.

Ibe melakukan hal ini –mengobrol menggunakan kertas—karena dia selalu diawasi, saat ini mereka mungkin tidak bisa melihat ke dalam rumah, namun dinding pun memiliki telinga.

Kinan pun akhirnya mengaku dan bercerita tentang Lagash, tapi dia melakukan itu karena dia memang sebenarnya telah curiga dan khawatir denganku. Daripada membiarkan aku diburu olehnya, lebih baik langsung menghadapinya.

Kami merencanakan apa yang akan kami lakukan, tetap berpura-pura seolah tidak mengetahui apapun dan mengikuti 'skenario' yang telah disusun oleh Lagash bahwa Ibe diperintahkan untuk membawa kami pada Redcap.

Ibe lalu menulis sebuah tulisan yang lumayan panjang dengan huruf-huruf yang tidak bisa kubaca, menggulung kertas tersebut dan menyelipkannya di bawah tempat tidurnya. Dia memberitahuku lewat tulisan bahwa kami tidak sendiri, pesan tadi untuk teman-temannya.

"Lalu kapan kita akan kesana?" tanya Ibe padaku.

"Sekarang juga," jawabku.

"Huh, manusia memang suka tergesa-gesa, ya."

....

Beberapa knockers keluar menghampiri kami dan Ibe dari kegelapan pohon-pohon. Mereka membawa palu tambang dan sebagian ada yang terluka. Ternyata jumlah mereka lumayan banyak, mungkin lebih dari dua puluh.

Kami semua berkumpul menjadi satu kelompok dan berhadapan dengan Lagash yang sepertinya telah pulih. Pria gondrong itu berdiri dan berteriak, lalu dari kegelapan muncul berbondong-bondong goblin dalam jumlah besar, puluhan .... tidak -- ratusan! Makhluk-makhluk kecil itu terus keluar dari kegelapan. Tidak hanya goblin, aku bisa melihat beberapa ekor troll yang besar.

"Rupanya kalian tidak bodoh," kata Lagash dengan wajah tenang dan mengusap darah pada lukanya. "Aku siap main kasar."

"Kau sudah main kasar dari awal, tahu!" teriak Kinanti.

"Sepertinya kita kalah jumlah!" kata Bimo.

"Kau takut, Bimo?" tanyaku.

"Sama sekali tidak."

Bimo mengeluarkan ketapel dan memasang kuda-kuda, wajahnya tidak menunjukkan takut sedikitpun meski musuh begitu banyak. Sedangkan Kinanti, dengan ekspresi wajah tegang, dia menggenggam goloknya dengan erat.

"Tidak seperti Bimo yang sok jago, aku tidak akan bohong jika aku memang sebenarnya takut," kata Kinanti tanpa aku tanya.

Suara raungan dan erangan terdengar dari makhluk-makhluk tanah pengikut Lagash yang siap memburu kami yang kalah jumlah.

Redcap yang terluka parah dan berada di samping Lagash, perlahan-lahan bangkit dengan bertumpu pada tongkatnya yang berbahaya. Aku masih ingat bagaimana dia menggunakannya untuk memotong tubuh goblin tanpa terlihat. Dan tiba-tiba, dengan gerakan yang sangat cepat, makhluk itu melesat ke arah kami dengan menggunakan tongkatnya.

Dor!

Bruk!

Tubuh Redcap yang melompat terjatuh ke tanah setelah suara ledakan pistol. Aku yang menembaknya. Pistol pemberian Albert dari Tuan Rusman ini selalu kubawa sejak awal dan mungkin tidak ada yang mengetahuinya, bahkan pada saat goblin-goblin itu mengikatku dan yang lainnya tadi, benda ini digeletakkan begitu saja di tanah karena mereka tidak tahu.

Semua menampakkan wajah terkejut, bukan hanya Lagash, tapi semuanya, kecuali Bimo sepertinya.

"Luk, kau punya pistol!"

"Ya, Kinan. Jangan berkata keras seperti itu."

Kinanti memukul bahuku, entah apa maksudnya.

Lagash menatapku, seolah baru pertama kali melihat yang namanya pistol. Mungkin senjata ini membuat pria angkuh itu sedikit gentar. Mungkin.

"Hooo, ternyata kau memiliki senjata yang berbahaya, Yodha," kata Lagash. "Aku terlalu meremehkanmu, ternyata kau mempersiapkan segalanya termasuk dengan makhluk cebol berjenggot itu juga."

"Menyerah saja, Lagash. Lepaskan kami dan suruh semua makhluk-makhluk itu pergi," kataku.

"Oolky mungkin ceroboh sehingga membuka celah dan bisa kau serang, tapi tidak denganku," kata Lagash lagi.

Ya, ampun. Ternyata Lagash memang berasal dari jaman entah kapan. Dia kira pistol ini seperti pedang, apa?!

Dor!

"Aaargh!"

Aku menembak kaki Lagash hingga ia jatuh bersimpuh.

"Aku bisa membunuhmu dari jauh, Lagash! Bahkan aku bisa membunuh seluruh pasukanmu itu!"

Semoga saja dia tidak tahu kalau pistol juga punya peluru yang terbatas. Lagash diam sambil menunduk, lalu tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatapku dengan penuh kemarahan.

Ctak!

Sebuah kerikil mendarat di kepalanya, namun tidak terlalu keras, dan aku tahu siapa pelakunya.

Tiba-tiba dua ekor troll yang tubuhnya besar berdiri menutupi Lagash hingga sosoknya tidak terlihat. Lalu goblin-goblin yang sangat banyak itu mulai berlarian ke arah kami.

Aku menembaki troll yang melindungi Lagash, tapi rupanya mereka sangat kuat. Seekor troll roboh setelah lima peluru bersarang di tubuhnya, tapi muncul troll yang lain.

Beberapa goblin telah mencapai kami. Kami semua berhadapan dengan susah payah dengan mereka, bahkan aku merasakan luka sayat di kaki.

"Lari!" teriak Ibe. "Semuanya ikuti aku!"

Kami semua berlari mengikuti Ibe dan dikejar oleh banyak sekali goblin. Berlari berkelok-kelok menghindari pepohonan. Sedangkan di belakang kami, tubuh-tubuh goblin yang kecil dengan mudahnya menghindari itu, dan troll yang badannya besar, berjalan dengan merobohkan pohon-pohon mengejar kami. Sekilas bisa kulihat cahaya-cahaya hijau berhamburan berlari menjauh, para pixie pasti ketakutan dengan kekacauan ini.

Ibe dan knockers lain, meski kecil tapi mereka pelari yang hebat. Aku harus berusaha berlari lebih cepat untuk mengimbangi kecepatan mereka, dan Kinanti, tak kusangka dia seperti atlet marathon olympiade. Aku dan Bimo berlari paling belakang, bukannya kami payah, berlari melalui hutan yang remang-remang bukanlah hal yang mudah. Ingat itu. Belum lagi akar-akar besar yang menyembul dan tak terlihat sangat menyulitkan untuk berlari cepat.

Aku tersandung sesuatu dan jatuh, dan saat itu juga seekor goblin membawa belati melompat ke arah tubuhku. Sepersekian detik lagi, belati goblin itu akan menancap di tubuhku, tapi sebuah tendangan dari seseorang mementalkan tubuh goblin hingga menabrak pohon dengan konyolnya.

Dia –yang menendang goblin tadi—berdiri di depanku dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Remang-remang hanya bisa kulihat siluetnya tapi aku yakin dia adalah seorang pria.

"Ayah?" bisikku.

Saat aku berdiri dan wajah kami berhadapan, bisa kulihat dengan jelas, ternyata dia botak. Ayahku tidak botak tentu saja. Rupanya dia bukan ayahku, bahkan bukan manusia, dia urisk yang sebelumnya bertemu denganku saat aku nyasar. Makhluk penunggu kolam yang memiliki sepasang kaki seperti kambing dan buruk rupa itu telah menolongku. Entah kenapa pikiranku di sini hanya ayahku melulu, sebelumnya saat Bimo menyelamatkanku pun begitu.

"Maaf mengecewakanmu, aku sama sekali bukan ayahmu," katanya. "Kau baik-baik saja?"

"Oh, tentu saja. Terima kasih telah menolongku, kawan" jawabku.

"Namaku Ted. Ayo kita pergi!" kata makhluk itu tanpa menanggapi ucapanku, dan sepertinya aku tidak bertanya siapa namanya.

"Oh, oke, Ted."

Aku dan Ted siUrisk kembali berlari menjauh. Tak kulihat dimana Bimo, mungkin saat aku terjatuh tadi, dia tidak melihat dan meninggalkanku. Beberapa kali, goblin mampu menjangkau kami, tapi Ted dengan mudah menghalaunya. Aku sudah menggunakan banyak peluru, satu untuk Redcap, satu untuk Lagash, dan lima untuk seekor troll. Aku sedikit menyesal dengan yang terakhir, lima terlalu boros hanya untuk membunuh seekor makhluk, kini hanya sebutir peluru yang tersisa, beruntung Ted datang menolongku.

Tak lama, aku sampai di pinggir hutan dan keluar dari sana. Kulihat rombongan Ibe dan Kinanti berkumpul, berdiri di tempat lapang dan melambai padaku, aku dan Ted bergabung dengan mereka.

"Siapa dia?" tanya Kinanti melihat pada Ted dengan wajah terkejut.

"Dia Ted, temanku," jawabku sambil terengah-engah, lambungku sakit karena berlari tadi.

Ted tersenyum dan membungkukkan badan di hadapan Kinanti, sedangkan wanita itu dengan senyum yang dibuat-buat melambai pada Ted.

"Ayo!" teriak Ibe mengajak kami kembali pergi menjauh.

"Tunggu sebentar," kataku. "Bimo belum terlihat."

"Benar juga, dimana si bodoh itu?" kata Kinanti.

Kami belum pergi dari sana, tapi kulihat goblin-goblin keluar dari dalam hutan, berbondong-bondong mereka keluar dari sela-sela pohon seperti kutu yang bermunculan dari beras --aku pernah beberapa kali membersihkan beras sendiri waktu kecil. Semakin lama semakin banyak dan berlari menuju kami.

"Makhluk sialan ini tidak ada lelahnya," kataku.

Baru saja kami akan kembali kabur, tiba-tiba tanah bergetar dan suara raungan keras terdengar dari hutan. Goblin-goblin yang sedang mengejar kami pun berhenti dan semua menoleh ke arah hutan tempat kami keluar tadi. Makhluk-makhluk kecil beterbangan dari hutan seakan menghindari suatu bahaya yang mengerikan.

Tanah terus bergetar diiringi suar gemuruh yang semakin lama semakin terdengar lebih dekat.

Lalu tiba-tiba, muncul sesuatu yang besar dan tinggi, tingginya melebihi pohon dan keluar dari hutan dengan merobohkan pohon-pohon. Sesuatu yang besar itu mempunyai sepasang mata yang menyala biru, tubuhnya berwarna kelabu seperti batu dan berbentuk seperti manusia raksasa. Tangannya menggapai-gapai goblin-goblin di depannya yang kocar-kacir ketakutan, dan goblin yang mampu diraihnya, dilemparkan begitu tinggi dan jauh, dan sebagian goblin harus mati gepeng seperti lalat yang ditepuk dengan tangan raksasa.

"Mungkinkah itu ...." bisik salah satu knockers tidak melanjutkan kata-katanya, lalu beberapa dari mereka mulai ribut berdebat.

Kini aku tahu, 'sesuatu' itu adalah Erlkonig, sang Raja Peri yang kepalanya tadi menjadi pintu gerbang tempat menyimpan segel, dan entah bagaimana sekarang benda itu hidup dan membuka matanya yang sebelumnya terlihat terpejam dan menjadi makhluk raksasa dengan tubuh yang begitu besar dan suaranya menggelegar.

"Wow! Apalagi itu?" seru Kinanti. "Tapi apapun itu, dia sepertinya berada di pihak kita."

"Aku tidak yakin," jawab Ibe. "Dia tidak berada di pihak manapun. Lebih baik kita bergegas."

Aku tidak mendengar sebagian isi percakapan dari mereka karena terlalu kagum dengan apa yang sedang kulihat. Aku tersadar saat Kinanti menarik lenganku untuk kembali berlari. Aku pun ikut berlari menjauh dari sana meski mataku masih melihat ke arah makhluk raksasa yang sedang mengamuk itu, benar-benar mengagumkan!

"Bimo! Dimana dia?" seruku pada yang lain. "Kita harus mencarinya dulu."

Aku pun berhenti berlari. Aku tidak akan meninggalkan Bimo. Melihatku berhenti, yang lain pun ikut berhenti.

"Dasar, merepotkan saja," kata Ibe.

Aku menatap ke arah hutan dan mengingat-ingat. Aku tak melihatnya begitu aku terjatuh, lalu dia entah menghilang kemana.

"Kalian semua, pergilah dulu! Biar aku pergi mencari Bimo," kataku.

"Aku akan menemanimu," kata Ibe. "Kau tidak tahu di mana yang kita tuju, hanya aku dan knockers yang lain saja."

Aku mengangguk pada Ibe, lalu dia memerintahkan teman-temannya untuk menuju jalan keluar bersama Kinanti terlebih dahulu. Aku memperingatkan Kinanti untuk berhati-hati dan menjaga segel bersamanya sebelum akhirnya mereka pergi, dan menyuruh Ted untuk melindungi Kinanti, meski Kinanti malah terlihat ketakutan karena melihat Ted.

Aku dan Ibe kembali menuju hutan. Kali ini malah lebih sulit dari pada keluar dari sana tadi, karena di depan hutan yang sebagian besar pohon-pohonnya telah roboh itu, kini dihadang oleh batu hidup yang berukuran raksasa yang sedang mengamuk. Aku dan Ibe harus berlari dan melompat menghindari serangan Erlkonig. Telat sedikit saja, kami bisa gepeng dan menjadi dendeng untuk makan malam peri, tapi peri tidak memakan manusia, untunglah. 

Goblin-goblin yang tadi menyerangku, kini tidak lagi memperdulikanku, bahkan saat aku melewati mereka. Sebagian dari mereka kabur, mati, dan yang  mempunyai keberanian, berusaha menyerang Erlkonig dengan menaiki tubuhnya dan menusuk-nusuk dengan senjata mereka meski itu sia-sia, berani tapi bodoh.

Kami kembali memasuki hutan setelah melompati seekor mayat troll yang kepalanya hancur. Aku mencoba mengingat jalan yang kami lewati tadi saat keluar, tapi keadaan hutan telah berubah porak poranda.

"BIMO!!!" aku berteriak kencang memanggil Bimo.

"Ya?"

Sialan! Aku berteriak sangat kencang, malah orangnya tiba-tiba muncul mengagetkanku dari balik pohon yang roboh dan dekat sekali denganku.

"Dari mana saja kau?" tanya Ibe.

Kulihat Bimo memegangi lengannya dan sepertinya berdarah, dan yang kulihat hanya nyengir kuda. Sebuah luka sayat terlihat hingga merobek bajunya.

Lalu tiba-tiba datang Lagash dengan pedang di tangannya. Berjalan dengan kaki diseret, dia mendatangi kami. Kepala terlihat berdarah, mengalir dari kening ke wajahnya yang lusuh. Dia menatap tajam ke arah kami dengan kebencian tanpa menghilangkan senyum sinisnya.

"Kau akan mati kali ini, Lagash," kataku sambil mengacungkan pistolku dengan peluru terakhir di dalamnya.

Tak kusangka, bukannya melawan, Lagash menjatuhkan pedangnya dan mengangkat tangannya. Tanpa rasa takut, dia tersenyum dan tertawa pelan.

"Pranayodha memang hebat, tidak hanya kau, ayahmu juga. Hehehe," kata pria itu. "Dia memiliki teman-teman yang hebat, dan kau juga."

"Aku tahu jika aku dan ayahku memiliki teman yang hebat, tidak seperti kau yang sendirian," kataku masih mengancamnya dengan pistol.

Lagash mengusap rambut panjangnya dan menghela napas, "memangnya kau tahu apa tentang ayahmu? Kau harus banyak bertanya padaku, kau mencarinya bukan?"

"Kau kira dengan berkata begitu, aku tidak jadi membunuhmu?"

"Ayahmu tidak akan senang jika aku mati, Yodha. Kami sama-sama menghancurkan Novus," kata Lagash lagi.

"Berhenti bicara tentang ayahku seolah kau mengetahuinya,"

"Aku memang ...."

DOR!

Entah apa yang aku pikirkan hingga mampu membunuh manusia yang sudah tidak berdaya. Peluru menembus dada Lagash hingga ia jatuh bersimpuh di depanku.

"Aku akan mencarinya sendiri. Aku tidak percaya sama sekali omong kosongmu, orang yang pandai berpura-pura,"

Mata Lagash menatapku, lalu beralih ke Bimo. Berdiri di atas lututnya, dia masih tertawa sesak dengan mulut yang mengeluarkan darah.

"Kau lah yang mengacaukan dunia peri disini," kata Lagash, entah ditujukan padaku atau Bimo, lalu dia mati jatuh terjerembab ke tanah.

"Ayo, pergi!"

Seperti sebelumnya, jalan untuk kesana pun dihalangi oleh Erlkonig yang besar dan sedang mengamuk. Benar-benar melelahkan.

Tiba-tiba tanah terlihat gelap untuk sesaat. Lalu terjadi lagi, seolah bulan di atas sana berkedip. 

Ternyata itu adalah bayangan seekor makhluk yang sangat besar yang terbang melintasi langit hingga menutupi bulan biru. Apa itu naga? Tapi siluetnya tidak terlihat seperti naga karena sayapnya berbeda. Griffin? Tidak ada griffin sebesar itu. Tapi apapun itu, makhluk raksasa itu menyerang Erlkonig hingga makhluk batu itu roboh dan sinar matanya hilang. 

Setelah Erlkonig roboh dan tak bergerak, makhluk yang terbang tinggi hingga hanya terlihat siluetnya saja itu, terbang menjauh. Suara kepakan sayapnya sangat keras, dan sepertinya dia bertubuh mirip manusia raksasa dengan cakar burung.

Tak beberapa lama kami sampai ke tempat dimana kami bisa menuju dunia manusia. Di sana, Kinanti dan yang lainnya menanti kami. Sebuah tempat tersembunyi seperti tempat di mana kami tiba di dunia peri ini. Sebuah bukit yang ditumbuhi pohon besar kelabu di atasnya, dengan lorong yang mulutnya ditutupi sebagian akar-akar besar pohon itu, lorong yang menuju dunia manusia.

"Sobat, kau yakin tidak akan ikut denganku?" kataku pada Ibe.

"Dunia manusia itu menyebalkan, tidak ada gwonne hangat di sana," jawab Ibe.

"Banyak ulat di dunia manusia untuk membuat minuman kesukaanmu itu," kata Bimo. "Tapi ulat untuk makanan burung. Kau mau? Hahaha."

"Hei, kau, orang bodoh. Jika aku berkunjung ke dunia manusia, akan kusiram wajahmu itu dengan sepanci gwonne yang baru matang!" kata Ibe marah-marah.

"Oh, aku menantikan itu," kata Bimo. "Datanglah kapan saja."

Mereka berdua lalu bersalaman dan kulihat kedua tersenyum, wajah Ibe berubah ramah.

Aku mengucapkan salam perpisahan pada Ted dan knockers lainnya, dan meninggalkan dunia peri. Sebelumnya, Ibe berkata bahwa pintu satu ini jarang digunakan. Tapi aku yakin, itu tetap menuju duniaku.

Aku meninggalkan dunia peri dengan segala kemisteriusannya, rahasia yang ada di sana. Meski begitu, masih banyak pikiran yang mengganjal tentu saja. Bertemu dengan Lagash, membuka rahasia baru tentang 'perburuan' Echidna dan keturunannya. Dan kata-kata Lagash yang sepertinya mengetahui benar tentang ayahku, membuatku berpikir, apakah keputusanku untuk menghabisinya adalah keputusan yang benar, bukankah harusnya dia bisa menjadi kunci untuk mencari ayahku? Tapi ketidak jujurannya membuatku sama sekali tidak mempercayainya. Aku bahkan belum seluruhnya menguak dari mana ia berasal.

Ada satu hal lagi, saat aku menemukan Bimo, tak lama berselang Lagash muncul, dan keadaan mereka sangat payah, apakah Bimo bertarung dengan Lagash? Kurasa iya. Tapi bagaimana Bimo bisa melawannya, sedangkan Lagash kukira cukup hebat dalam berkelahi meski terluka. Aku mengetahui semuanya tentang Bimo, atau mungkin belum, kadang dalam pikiranku ada sesuatu pertanyaan yang tidak sanggup untuk kutanyakan padanya. Entahlah, yang penting Bimo dan kami semua selamat. Lebih penting lagi, aku mendapatkan segel itu dan menguak misteri makhluk tanah yang tersembunyi.

File makhluk tanah ditutup.

....

Orang-orang berlalu-lalang di jalanan dari tanah. Seorang wanita muda menggunakan kemben dari kain batik, tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku saat kami berpapasan. Rambutnya disanggul, berkulit kuning langsat, dan berwajah manis tanpa riasan, dia berjalan sambil membawa sebuah bakul nasi berisi sayuran. Lalu seorang bapak-bapak bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dililit kain jarik, menyapa kami dengan ramah sambil memikul sebuah pikulan yang berisi singkong.

Kami berada di sebuah desa di kaki gunung. Kukira, kami akan muncul tidak jauh dari rumah gunung di mana kami masuk ke dunia peri, tapi sepertinya ini cukup jauh. Dan anehnya, seluruhnya yang ada di sini tampak kuno, seperti berada pada jaman kerajaan jawa jaman dahulu. Rumah-rumah kayu, jalanan dari tanah, dan pakaian tradisional yang sederhana.

"Kau ingat kata-kata Lagash yang mengatakan bahwa waktu di dunia peri berbeda dengan dunia manusia?" kata Bimo.

"Ya, aku ingat," jawabku.

"Apa mungkin kita terdampar ke masa lalu?" kata Bimo lagi.

"Seharusnya ke masa depan, kan?" sahut Kinanti. "Waktu di sana lebih lambat, jadi harusnya ke masa depan, tapi seberapa jauh, aku tak tahu."

"Ya, benar kata Kinan," kataku.

"Lalu kenapa kita melihat hal yang kuno seperti ini?" tanya Bimo

Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku sibuk mengawasi sekeliling dan mencari jalan untuk pulang. Kudengar Bimo dan Kinanti mengobrol beradu argumen di belakangku.

"Permisi, Pak," sapaku pada seorang pria bertubuh besar yang berdiri di balik meja kayu penuh dengan sayuran, sepertinya dia seorang pedagang. "Ini desa mana, ya?"

"Oh, saudara mau kemana?" pria itu tidak menjawab, malah balik bertanya, tapi wajahnya sangat ramah.

"Saya akan menuju ke desa Wening, Pak," jawabku.

"Anda tinggal berjalan lurus saja mengikuti jalan ini," kata pria itu menunjukkan jalan menggunakan ibu jarinya.

"Terima kasih," kataku dan memberi salam padanya.

Kami berjalan menyusuri jalanan yang sepertinya sebuah pasar, karena di kiri dan kanan jalan, terdapat pedagang-pedagang sayuran, seluruhnya sayuran hijau yang segar. Dan anehnya, orang-orang yang datang membeli tidak memberi si pedagang uang, mereka hanya menyapa dan mengobrol dan mengambil sayuran. Enak sekali, sebuah pasar gratis? Tapi ada beberapa yang melakukan barter dengan menukar sayuran dengan kain atau singkong dan jagung.

Lama kami berjalan, sepertinya jalan ini tidak berujung, hingga kami merasa lelah. Tiba-tiba, dari belakang seseorang memanggil.

"Mas!"

Ternyata itu adalah pria yang tadi, pedagang sayur yang kami tanyai. Dia menghampiri kami dengan setegah berlari dan sambil tersenyum.

"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," kata pria itu, wajahnya berbinar-binar seperti melihat artis yang ingin sekali ditemui.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Saya lupa bilang, saat kalian keluar dari sini, lebih jangan perhatikan apapun, pandanglah ke bawah saja!" katanya.

Aku heran dengan yang dikatakannya, bahkan Bimo dan Kinanti saling bertanya padahal mereka sama-sama tidak tahu jawabannya.

"Kenapa harus seperti itu?" tanyaku.

"Pokoknya saya mohon turuti saja. Dan ini, ada sesuatu untuk anda, bukalah jika sudah tiba di rumah. Selamat jalan," kata pria itu tersenyum lalu berlari menjauh.

Kami bertiga saling berpandangan dan mengangkat bahu bersama-sama. Aku melihat pemberian pria tadi, sebuah kantong kain berwarna hijau tua yang diikat rapat dengan sesuatu yang cukup berat di dalamnya, aku lalu mengantonginya.

"Bagaimana?" tanya Kinanti.

"Turuti saja," jawab aku dan Bimo bersamaan.

"Kalian sama konyolnya,"

Aku menuruti yang dikatakan oleh pria tadi, berjalan tanpa memperdulikan sekitar, menutupi mataku seperti teropong dan hanya memperhatikan langkah saja. Aku merasa konyol seperti memakai kacamata kuda. Semakin lama, jalan yang kami lewati mulai di tumbuhi rumput, hingga akhirnya kami berjalan di atas rumput sama sekali. Suara keramaian pasar pun lenyap.

"Hei, apa sudah boleh kita mendongakkan kepala?" kata Bimo di belakangku. "Sudah pegal, nih."

Aku menurunkan tangan dan melihat sekitar, kini kami berada di padang rumput di kaki gunung. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan keberadaan desa tadi.

"Wah, sepertinya kita habis melewati desa hantu," kata Bimo.

"Ngomong yang benar!" kata Kinanti memukul lengan Bimo.

"Hahaha. Kau takut hantu rupanya," seru Bimo.

"Kalau aku takut, aku tidak mengajak kalian ke gunung!" kata Kinanti.

"Bimo betul, kau takut hantu, Kinan," kataku.

Kini giliranku kena pukul oleh wanita muda yang mengerikan itu.

....

Kami tiba di rumah kakekku, dan ternyata Nick yang marah-marah sudah ada di sana. Awalnya aku merasa aneh karena sehari sebelumnya, dia menghubungiku dan berada di Cina, tapi rupanya benar kata Lagash, kami sudah hampir tiga bulan tidak pulang, padahal kami hanya sehari di dunia peri. 

Paman Surya dan Bibi May hampir saja lapor ke polisi, untung sebelumnya mereka dihubungi oleh Nick yang sudah curiga saat aku memberitahunya tentang adanya makhluk tanah sebelum aku berangkat. Untung Paman Surya tidak mengamuk padaku, tapi kata Nick, dia sudah jadi tumbal dengan mendengarkan omelan marah-marah pamanku.

Aku bercerita pada Nick tentang semua yang ku alami, dan wajah Nick begitu semangat. Dia menyuruhku untuk bersiap-siap, bukan untuk ke Cina, tapi ke Tibet, Himalaya.

....

Akhirnya, menyan yang bertumpuk-tumpuk pun telah dibakar dengan sukses selama beberapa bulan ini.

Ngoahaha!

Terimakasih kepada semua reader yang sabar dan tidak sabar untuk menunggu ane yang update seenak udel ini.

Semoga cerita ini semakin absurd, semakin anu, dan semakin itu.

Kita tunggu saja sekuel dari Detektif Mitologi ini -entah berapa lama lagi. Ngoahaha.

Oh, ya. Yang ingin belajar menulis juga bisa mampir ke web ane  www.authorretjeh.xyz

Well, mari kita pesta menyan sepuasnya! 

...

Aku membuka kantong pemberian pria yang berasal dari desa misterius itu, yang akhirnya aku tahu bahwa itu adalah Desa Nglimuni, desa yang tidak terlihat. Aku membuka tali yang mengingkat kantong, lalu menuangkan isinya ke telapak tangan. Sebuah benda yang terbuat dari perak, seperti milikku sebelumnya, namun kali ini berbentuk persegi enam dengan ukiran naga di dalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top