Chapter 9 : Perburuan Di Malam Hari

Malam harinya, pukul 10.45 PM.

Saat itu mungkin masih agak terlalu cepat untuk bertemu sesuai dengan janji yang dibilang Hendra, tapi lima orang yang dia minta sudah datang. Mereka sudah berkumpul di depan Sekolah San Rio. Dan kini, mereka tengah menunggu Hendra, karena mereka belum kunjung melihat batang hidung dari anak itu. Hal ini jelas membuat kelimanya agak kesal karena kebiasaan buruk Hendra yang satu ini.

"Heh, mana sih manusianya yang punya rencana ini? Masa dia belum dateng sih?" Tanya Pak Hendri.

"Palingan sebentar lagi juga dia datang kok," Ujar Pak Indra, sambil berusaha untuk menenangkan Pak Hendri.

Dan perkataan Pak Indra benar, karena akhirnya Hendra datang lima menit sesudahnya. Dia mengenakan kaus berwarna hitam, celana jeans, jaket hijaunya dan juga sepatu bersol putih. Dia datang dengan motornya, kemudian dia parkir di depan kelima orang itu.

"Halo semuaaaa ..." Sapa Hendra, yang sepertinya selalu ceria tanpa mengenal tempat di mana dia berada.

"Eh, sialan betul ya kamu ini! Kenapa baru datang sekarang sih?" Ujar Pak Said.

"Sori paak ... lagi banyak tugas nih. Dan setidaknya, kan saya lebih cepat sepuluh menit daripada yang saya janjikan. Jadi itu pertanda bagus dong?" sahut Hendra, sambil melirik jam tangan yang ada di lengan kirinya.

"Tugas gundulmu! Dasar jam karet, kamu ini!" Sahut Pak Bambang.

"Eh, saya serius nih pak! Saya ini barusan tadi habis nulisin rapor anak – anak murid saya."

"Sudah, sudah! Yang penting dia datang kan? Jadi kalian tidak perlu pakai ribut lagi," Ujar Pak Indra.

"Setuju ..." ujar Hendra, yang sepertinya senang karena dia dilindungi oleh Pak Indra.

"Sudahlah, kalian berisik. Dan lagipula pak, namanya juga si Hendra. Kalau dia enggak ngaret, perlu dipertanyakan dulu apa ada yang salah sama orang yang satu ini," Celetuk Yoshi.

"Oh iya, benar juga kamu," Ujar Pak Hendri.

"Eh, dasar kamu ini Yo! Bukannya bantuin malah makin menistakan aku aja!" Sahut Hendra.

"Lah? Kan aku benar. Aku yakin alasan itulah yang membuat Pak Indra membelamu. Benar kan Pak In?" Tanya Yoshi.

"Ya, kamu seratus persen akurat malah," Jawab Pak Indra, lalu beliau terkekeh.

"Ah sudahlah, cukup deh membahas soal jam karet. Kalau kalian semua sudah ada di sini, ayo kita masuk ke dalam pagar sekolah saja. Kita harus sembunyi dulu. Setidaknya operasi ini akan dilakukan jam setengah dua belas nanti!" Ujar Hendra.

"Masuk gimana? Bukannya pagar sekolah ini dikunci?" Tanya Pak Bambang.

Bukannya menjawab, Hendra malah merogoh ke saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah kunci. Dia memasukkannya ke lubang kunci yang ada di gembok pagar Sekolah San Rio, dan pagar itu langsung terbuka.

"Tapi nggak ada yang bilang kalau kita nggak bisa masuk ke sini kan? Ayo, sebaiknya sekarang kita segera masuk dalam!" Ujar Hendra, lalu melebarkan pintu pagar tersebut.

Mereka langsung saja masuk ke area Sekolah Sanrio, dan mereka membawa serta kendaraan mereka ke dalam gerbang tersebut. Setelah mereka meletakkan kendaraan, mereka langsung saja duduk di dekat pos satpam, tepatnya di bangku taman yang ada di balik semak yang mengitari area parkir.

"Kamu punya kunci pagar sekolah ini Hen? Keren," Ujar Yoshi.

"Sebenarnya, aku punya kunci semua ruangan di sini. Baik dari gedung TK sampai gedung SMA. Aku juga hapal denah sekolah ini, sebagaimana guru di sini pada umumnya," Sahut Hendra.

"Gimana kamu bisa dapat semua kuncinya? Kamu pinjam dulu kuncinya terus kamu bikin duplikatnya ya?" Tanya Pak Said.

"Enggak kok. Aku di kasih kuncinya sama pak Kasek. Sekolah San Rio ini kan di kenal dengan legendanya, dan juga di sekolah ini seringkali ada beberapa kasus kejahatan, baik yang bisa di nalar atau tidak. Dan karena Pak Kasek tau pekerjaan sampinganku, dan beliau tau bagaimana aku tertarik dengan semua misteri yang ada di sini, makanya beliau memberiku semua kunci – kunci tadi sambil berpesan "Ini pasti berguna. Saya tau kamu pasti akan menggunakannya dengan tujuan yang baik." Begitulah. Dan aku memang perlu kan? Selain itu, terkadang ada anak murid yang suka iseng bilang kalau mereka "terkunci" di dalam kelas sebelum saya masuk ke kelas mereka untuk mengajar. Mereka sebenernya mengunci dari dalam dengan bantuan kawat, dan dengan kunci ini aku bisa masuk. Aku paham kalau mereka kadang iseng atau ingin mencoba menghindar dariku."

"Bagus dong. Sekolah ini kan sering mendapat teror dan juga keisengan para penjahat," Ujar Pak Indra.

"Ya. Terutama karena legendanya yang terkesan mistis itu. Tuh, menara jam itu sebagai simbolnya," Ujar Hendra, sambil menunju menara jam tua yang berada di belakang mereka, tepatnya di area dalam Sekolah Sanrio.

"Walau sebenarnya saya tidak yakin kalau semua legenda itu benar."

Saat Pak Indra menyelesaikan perkataannya, tiba – tiba terdengar bunyi dentangan nyaring sebanyak sebelas kali.

"Sebelas kali. Jam sebelas malam. Tinggal setengah jam lagi," Ujar Hendra, mengartikan dentangan jamnya.

"Jamnya berdentang setengah jam sekali ya?" Tanya Yoshi.

"Ya, begitulah. Dan satu hal lagi, bapak salah kalau bilang legenda itu enggak benar. Legenda itu nyata loh. Beberapa diantaranya jadi kasus internal yang enggak diketahui masyarakat umum. Untungnya, kasus itu bisa ditangani. Dan asal bapak tau, saya pernah terlibat salah satu dari sekian banyak legenda yang ada itu."

"Memangnya kamu punya kekuatan macam itu? Maksudku, indigo atau yang semacamnya?" Tanya Pak Indra.

"Sebetulnya sih enggak. Cuma kadang, “mereka” menampakkan diri untuk menakut – nakuti. Selain itu, di sekolah ini memang ada yang punya keahlian semacam itu. Contohnya, ada beberapa anak yang tergabung dalam sebuah kelompok kecil yang bernama MySan."

"Hah? MySan? Apaan tuh? Kelompok supranatural?" Tanya Yoshi.

"Yap. Kependekan dari Mystical Sanrio, dan anggotanya adalah anak muridku. Mereka adalah empat anak berkemampuan supranatural. Dan mereka tertarik dengan dunia detektif. Mereka minta sedikit bimbingan padaku saat mereka masih bersekolah di sini, dan aku membantunya dengan senang hati. Kemudian mereka menjadi semacam Detektif Supranatural. Walau sekarang mereka sudah lulus dan melanjutkan pendidikan mereka ke bangku kuliah. Tapi kadang mereka masih sering menghubungiku kok."

"Oke, rupanya yang seperti itu betulan ada ya?"

"Memang. Dunia itu aneh, Yo. Tapi itulah yang terjadi di sini. Selain itu, juga ada Duo DamiMa."

"Siapa lagi tuh?" Tanya Pak Indra

"Kayak namanya Damien deh. Bapak ingat? Kasusnya Rima itu loh," Ujar Yoshi.

Hendra terkekeh, "Iya, itu mereka. Kamu pasti ingat kalau Rima dan Damien sekolah di sini, Yo? Mereka berdua itu ya muridku," Tanya Hendra.

“Jadi, mereka adalah muridmu? Pantas saja,” Ujar Pak Indra.

"Begitulah. DamiMa itu singkatan Damien – Rima."

"Pantas saja dia menyinggung soal "guru" saat aku bertemu dengannya. Rupanya yang dia maksud kamu," Ujar Yoshi.

"Begitulah. Kalau kalian dengar ada anak San Rio yang pintar dan cemerlang dalam kasus kejahatan, kalian bisa curigai aku sebagai gurunya. Dan Rima kan memang sejak dulu sudah tertarik pada hal semacam itu. Masa kamu lupa sudah lupa, Yo? Ingat kan, kasusnya David Gloody itu?"

"Iya, aku ingat kok.”

“Rupanya kamu tau banyak juga ya tentang sekolah ini?" ujar Pak Bambang.

"Iyalah. Aku kan jebolan sekolah ini. Dari TK sampe SMA kan aku di sini. Anak klub Sastra lagi. Makanya aku tau banyak. Soalnya, di sini anak Sastra itu memang kebanyakan tau soal semua legenda sekolah. Dan juga, cerita legenda yang pernah terjadi di sekolah ini banyak dituangkan ke dalam cerpen yang mereka buat, dan mereka menuangkannya secara tersirat. Seperti mereka lebih menguak ke sisi korban legenda itu. Terutama di edisi lama majalah The Essence, majalah sastra yang dibikin anak klub Sastra. Pas SMP aku juga pernah mengalami hal seperti gitu dan aku menuangkannya dalam cerpen juga."

"Pantesan ..."

"Dan anak Sastra memang tau lengkap legenda sekolah ini. Yang awam di ketahui soal menara jamnya, lalu juga 4 legenda terbesar sekolah. Anak kelas atas, yang sudah SMP dan SMA sebagian tau soal 13 legenda tenar sekolah sejak zaman dulu. Tapi anak sastra tau 33 legenda sekolah lengkap. Mereka menyebutnya "The Mighty Dark Kingdom". Yah, kira-kira begitulah. Sekolah ini memang rada aneh, tapi itulah yang bikin banyak alumninya kangen sama sekolah ini. Termasuk aku."

"Saat ini kamu masih ada hubungan sama klub Sastra?" Tanya Pak Indra.

"Tiga tahun ini aku jadi pembina klub Sastra. Aku kan tergolong anak yang aktif di klub saat masih sekolah. Dan aku pernah jadi ketua klub pas kelas 2 SMA. Makanya aku dijadikan pembina."

"Padahal kan kamu guru Matematika. Perasaan jauh banget deh bidangnya," Ujar Yoshi.

"Mereka lebih mementingkan masa lalu yang pernah kualami disini. Dan mereka memang memprioritaskan guru yang merupakan alumni Sanrio untuk jadi pembina klub. Kan istilahnya lebih paham sama mekanisme klub lah."

"Alasan yang bisa di terima."

"Hei, kok kalian malam – malam begini ngomongin legenda begituan? Nggak takut kenapa – kenapa ya?" Tanya Pak Said.

"Tenang aja pak. Mereka enggak bakalan gangguin kita. Toh kita enggak bisa liat kan? Dan separuh dari legenda itu sudah dikuak sama MySan dan Duo DamiMa. Makhluk legenda itu cuma berdiam di sini, enggak bakalan ganggu. Percaya deh! Aku aja pernah menginap di sini karena ada kasus ..."

"Oke Hen, kupegang kata – katamu."

"Oke, cukup ngobrolnya, kalian siap menunggu kan? Paling lambat, tengah malam nanti dia akan muncul kok."

"Tentu saja!" Sahut mereka berlima.

~~~~~

Hampir sejam berlalu dalam keheningan. Pak Said sudah menjadikan kedua bahunya sebagai bantal untuk kepala Pak Bambang dan Pak Hendri yang keduanya kini merem – melek matanya. Sementara itu Pak Indra sedikit terganggu dengan nyamuk yang ada di dekatnya, Yoshi menguap lebar tiap lima menit, dan Hendra ... tengah asik dengan ponselnya, tanpa suara apapun, tapi terlihat sangat seru. Sepertinya dia tengah asyik main game.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi dentangan nyaring sebanyak dua belas kali. Hal itu membuat Trio Koplak tersentak, dan kini mereka menggosok mata mereka dan berusaha untuk tetap bangun.

"Jam dua belas malam. Nah, saatnya kita berkonsentrasi," Ujar Hendra, sambil meletakkan ponselnya di saku celana.

"Konsentrasi akan apa?" Tanya Yoshi, yang perkataannya di sela oleh kuapnya.

"Kita harus perhatikan ke arah jalanan. Perhatikan, dan amati. Kita harus menemukan seorang pemuda yang menggunakan jaket hoodie, dan membawa bungkusan yang mencurigakan. Tenang, posisi kita di sini tidak akan ketauan kok, karena kalau dari jalan kita tidak akan terlihat. Semak yang ada di depan sana bisa menutupi kita. Tapi kita tetap bisa melihat dari sini."

"Yah, baiklah."

Setengah jam berlalu. Dan orang yang mereka tunggu datang. Seorang pemuda dengan jaket hoodie dengan sebuah bungkusan aneh lewat di depan Sekolah San Rio, tepat seperti perkataan Hendra.

Kemunculan orang itu langsung membuat Hendra spontan mengguncang tubuh Pak Bambang, Pak Said, dan Pak Hendri, menepuk pundak Pak Indra dan mengacak – acak rambut Yoshi.

"Ayo kita beraksi!" Bisik Hendra.

~~~~~

Mereka berenam melangkah dengan sangat perlahan dan berusaha untuk  mengikuti pemuda itu, yang sepertinya Hendra yakini kalau dia sedang menuju ke ujung komplek perumahan yang bersebelahan dengan aliran cabang sungai yang ada di dekat Sekolah San Rio. Mereka berjalan tanpa suara dan mengendap – endap, sambil sekekali bersembunyi dan juga mengokang senjata mereka masing – masing, dan itu termasuk juga Hendra.

Mereka mengikuti si pemuda, sampai akhirnya Hendra mengenakan tudung jaketnya dan memutuskan untuk memisahkan diri dari kawanannya untuk melewati jalan lain untuk mencegat pelaku dari depan, sementara itu lima orang lainnya masih mengikuti si pemuda tadi, sesuai dengan instruksi dari Hendra.

Kini sampailah mereka di sebuah ujung jalan yang buntu, kemudian dia akan membelok ke sebelah kanan. Dan dari sanalah, Hendra muncul sambil menodongkan senjatanya ke arah si pemuda. Sementara itu yang lain berusaha memperkecil jarak dengan si pemuda dengan cara merapat ke arahnya.

"Menyerahlah kawan, kalian sudah kami kepung," Ujar Hendra nyaring, tapi dengan nada suara yang kalem.

Yang di ancam langsung menoleh ke belakangnya, dan jelas saja dia bisa menemukan bahwa ada lima orang dibelakangnya yang mengepung. Pak Bambang dan Pak Said memisahkan diri, sehingga kini berada di sebelah kiri dan kanan pemuda itu.

"Wah wah, kukira aku hanya bertemu dengan sekawanan polisi biasa, rupanya juga ada si Hoodie Detective di sini," Ujar si pemuda, yang langsung memandang Hendra dengan binar mata yang sangat dingin.

"Pst, Pak Indra, maksudnya “Hoodie Detective” itu apa sih?" Bisik Yoshi.

"Itu julukan Hendra yang di berikan oleh pihak media massa. The Hoodie Detective. Karena dia selalu menghilang setelah kasus, tak pernah mau diwawancara, dan tak pernah diketahui siapa dia," Jawab Pak Indra.

"Rupanya dia terkenal juga."

"Seperti itulah."

"Aku senang bisa melihat wajahmu, detektif. Karena kau memang tidak pernah memperlihatkan siapa dirimu. Sebuah kehormatan untukku," Ujar si pemuda.

Hendra menampakkan sebuah seringaian, "Panggil saja aku Hendra. Dan aku juga senang bisa melihatmu, Akira," Sahut Hendra.

Si pemuda yang di panggil Akira itu agak kaget, tapi akhirnya dia malah tertawa. Jenis tawa yang kedengarannya cukup jahat.

"Rupanya kau sudah tau tentang aku ya? Aku tersanjung, karena seseorang sehebat dirimu bisa tau tentang aku."

"Sesuai dugaanku kok, kalau kamu pelakunya."

"Tak kusangka, di balik jaket hoodie – mu, tersembunyi wajah cerdas nan oriental seperti yang kulihat di depanku kini."

"Aku memang tak suka jadi pusat perhatian. Makanya aku sengaja menutupi identitasku. Langsung saja Akira, akuilah. Kau kan yang membunuh Hana Tanudjadja?"

"Ya, memang aku pelakunya! Lalu kenapa, Hoodie Detective? Kau akan menangkapku, lalu pergi begitu saja, seperti kebiasaanmu?"

Belum sempat Hendra menjawab pertanyaan tadi, Akira langsung mengeluarkan sebuah pedang panjang yang ada sisi kanannya dengan secepat kilat. Dia lalu menyabetkannya ke arah Hendra. Hal tadi tentunya mengejutkan pria yang ada di hadapannya.

Agak susah untuk mejelaskan bagaimana bentuk pedang yang di bawa oleh Akira. Bentuknya panjang dan ujungnya runcing. Seperti pedang anggar, tapi semakin menuju ke pegangannya, semakin tebal bentuknya. Seperti duri raksasa. Saat itulah semua orang yakin kalau benda itu yang digunakan untuk membunuh Hana.

Akira menyabetkan senjatanya, sementara itu Hendra berusaha menghindar. Tapi, senjata Akira berhasil menusuk bahu kiri Hendra, yang membuat Hendra meringis kesakitan dan membuatnya memegangi bahunya yang berlumuran darah.

Dengan cara itu, Akira berhasil mengalihkan perhatian semua orang. Dia langsung melepaskan bungkusan yang dia pegang,lalu berbalik dan mulai berlari. Dia menerjang Yoshi yang menghalau jalannya, sehingga sang polisi muda jatuh tersungkur di tanah, dan dia juga menendang Pak Indra agar menjauh darinya.

"Hei, jangan lari kau!" Teriak Yoshi, lalu dia berdiri dan berusaha untuk berlari sekuat tenaga untuk menyusulnya.

"Oke, Pak Bambang, kalian bawa bungkusan itu, dan susul kami nanti. Hei, Yo! Tunggu aku!" Ujar Hendra, lalu langsung berlari menyusul Yoshi tanpa mempedulikan luka di bahunya.

~~~~~

Yoshi dan Hendra mengejar Akira dengan segenap kekuatan yang mereka punya. Dari arah yang di tuju, Akira sepertinya ingin membawa pengejarnya keluar dari kawasan perumahan.

Sementara itu, Yoshi dan Hendra berusaha agar Akira tidak sampai lepas dari pandangan mereka. Karena kalau dia lepas, mereka belum tentu punya kesempatan kedua untuk mengejarnya. Akira sepertinya akan punya cara yang cukup cerdas untuk melarikan diri dari mereka.

"Kamu gila atau apa sih Ndra? Masa kamu mau mengejarnya dengan luka yang seperti itu sih?" Tanya Yoshi.

"Yo, kukasih tau kamu beberapa hal. Satu, aku memang terkadang terlihat seperti orang gila kalau mengejar pelaku yang kuincar. Dua, aku tidak peduli dengan lukaku. Dan tiga, aku sudah terbiasa melalukan hal gila seperti ini. Kau kira aku melindungimu dan tiga orang anak lainnya di dalam kasusnya David Gloody itu dengan tameng besi apa? Itu pake tubuhku, tau!" Jawab Hendra.

"Oke, terserah kaulah. Tapi sampai kapan kita harus lari?"

"Sampai dia berhenti lari!"

"Tapi kapan dia akan berhenti?!"

"Kalau begitu, kita harus menghentikannya!"

Hendra mengambil pistolnya yang ada di saku celananya, lalu langsung mengokangnya, dan menembaknya ke arah Akira. Tapi tentu saja, tembakannya meleset dan hanya menyerempet bahu Akira.

"Sialan, nggak kena!" Ujar Hendra.

"Bukankah lebih baik jika kita berhenti dulu sejenak lalu menembaknya?" usul Yoshi, yang sepertinya tau kalau apa yang dilakukan Hendra itu akan sia – sia.

"Kamu kira jarak jangkauan revolver itu seberapa jauh hah?!"

"Kita bisa coba untuk mendekat."

"Dan jarak kita sekarang ini paling tidak 7 meter darinya. Sempurna. Kau gila saja! Dan ingat, revolver hanya punya 7 peluru, dan aku sudah menggunakannya satu. Aku masih punya sisa enam. Dan karena kamu belum menembak sama sekali, berarti kamu masih 7 peluru. Kita hanya punya 13 peluru lagi!"

"Oh sial, aku benci angka 13."

"Nah, makanya! Setidaknya kita harus bisa membuatnya kelelahan dan terluka sedikit, sehingga akhirnya dia tidak kuat untuk berlari, sehingga kita bisa menangkapnya."

"Sepertinya kita hanya mengharapkan keberuntungan yang kita punya kali ini. Kuharap kita punya beberapa untuk kesempatan untuk melukainya."

Kali ini Yoshi yang mencoba menembakkan dua pelurunya. Tembakannya tidak bisa dibilang bagus, tapi itu setidaknya sempat menyerempet lengan dan betis kiri Akira.

"Bagus. Kita masih punya 11 peluru ..." ujar Hendra.

Mereka masih berusaha sekuat tenaga untuk mengejar Akira. Entah sudah seberapa jauh mereka berlari, tapi keduanya tidak peduli sama sekali. Mereka terus berlari mengekor buntut Akira.

Sekali lagi, Hendra mencoba menembak. Sayangnya, dari tiga peluru yang dia tembakkan, semuanya tidak bisa mengenai bagian tubuh Akira, karena ketiganya hanya sekedar menggores sedikit lengan kanan, betis kiri, dan pundak kiri Akira.

Lalu giliran Yoshi yang menembak. Dari tiga tembakannya, satu tidak mengenai apapun, dan sisanya menggores betis dan paha kanan Akira.

"Bagus. Kita hanya punya lima peluru lagi," Ujar Yoshi.

"Tuhan, tolong kami. Kami tidak bisa membiarkan si jahanam ini lepas begitu saja dari genggaman kami. Itu nggak akan kelihatan bagus," Sahut Hendra.

"Lalu bagaimana dengan Pak Indra dan yang lainnya?"

"Nanti mereka bisa menyusul kalau mereka mau. Mereka palingan meletakkan kendaraan mereka ke kantor sebentar, mampir ke tempat Pak Dani, dan membawa mobil untuk mengangkut kita nantinya."

“Yah, apapun itu, pokoknya setelah ini selesai aku tidak akan mau berlari lagi, paling tidak selama seminggu.”

"Sudahlah! Aku akan mencoba peruntunganku sekarang!"

Kali ini Hendra menembakkan sisa tiga pelurunya. Dan sayang sekali, pelurunya hanya meyerempet daun telinga, lengan kiri, dan juga paha kiri Akira.

"Ck, sialan! Sedikit lagi padahal aku bisa mengenai kepalanya! Nah, sekarang semuanya tergantung kamu, Yo!" Ujar Hendra.

"Oh tidak ..." Sahut Yoshi dengan nada suara frustasi.

Yoshi agak ragu saat akan menembakkan sisa isi revolvernya ke Akira. Tapi akhirnya dia menguatkan diri untuk menembak. Sekarang, atau tidak sama sekali.

DOR! DOR!

Itu adalah dua peluru terakhir Yoshi, dan si penembak langsung menganga setelah melihat apa yang terjadi. Karena kedua peluru itu berhasil melukai Akira. Peluru – peluru itu menembus kedua betis Akira, dan membuatnya langsung jatuh tersungkur.

Akira jatuh dengan bunyi yang cukup menyakitkan, dan dia mendarat dengan wajah mencapai tanah terlebih dahulu. Yoshi dan Hendra langsung saja mendekati Akira dan akhirnya memegangi Akira agak dia tidak bisa lari lagi.

"Menyerahlah Akira. Cerita ini harus tamat sekarang juga," Ujar Hendra.

"Sepertinya aku tidak punya pilihan lain, ya? Toh aku tidak akan bisa berdiri dan kembali berlari, jadi tindakan paling cerdas yang bisa aku lakukan adalah menyerah," Sahut Akira, di sela napasnya yang terengah.

"Bagus, kita lebih baik menepi dulu."

Hendra menunjuk halaman depan sebuah toko, dan mereka berdua menurut untuk duduk dan istirahat disana sebelum teman – teman mereka datang. Setelah menyeret Akira bersama mereka, Hendra langsung mengambil ponselnya dan menelpon Pak Indra untuk menjemput mereka, sementara dua orang lainnya berusaha untuk mengambil napas.

"Pak Indra, kami mendapatkannya. Kami ada di kawasan pertokoan, tepatnya di sebuah toko ponsel. Cepat jemput kami ke sini," Ujar Hendra di tengah engahan napasnya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top