Chapter 7 : Wawancara Keluarga dan Tamasya ke Ruang Autopsi

Hari sudah menunjukkan pukul setengah dua, dan dua orang yang ada di ruangan Sub Divisi Penyelidikan Kriminal ini sedang menunggu waktu untuk mereka berdua beraksi. Sementara mereka menunggu, Pak Indra sedang asik ngemil sekantung kuaci yang entah dari mana dia dapat, sementara itu Yoshi duduk termenung, entah sedang melamunkan apa, yang semoga saja Yoshi tidak akan kesambet atau apalah.

Keadaan mereka di ruangan itu bisa dibilang cukup tenang, dengan di selingi oleh suara Pak Indra yang membuka kulit kuaci. Dan di saat yang sama, keheningan itu terusik karena kini pintu ruangan mereka terbuka tanpa di ketuk terlebih dahulu. Dengan sebuah suara gedubrak yang nyaring, pintunya berayun dengan cepat dan menampilkan sesosok pria di depannya.

Hal itu membuat Pak Indra tersedak kulit kuaci sehingga beliau langsung terbatuk, dan Yoshi yang langsung tersentak karena suara nyaring dari depan ruangan mereka.

"Halo semuaaaaa …" Ujar sebuah suara riang yang tanpa perasaan bersalah apapun yang datang dari mulut Hendra yang kini ada di depan pintu.

Hendra masih mengenakan seragamnya yang berwarna hijau, dan dia melapisinya dengan sebuah jaket berwarna abu – abu. Dia juga membawa ransel birunya. Dari bawah kakinya juga dapat terlihat sepatunya yang solnya berwarna putih. Guru yang sangat unik, bukan? Dan eksentrik, kalau boleh jujur. Kalau di pikir, guru mana coba yang sambilannya jadi detektif seperti Hendra ini? Sepertinya cuma Hendra deh.

"Hei! Kamu ini kebiasaan ya! Kalau mau masuk, yang sopan sedikit kenapa! Ketuk pintunya dulu kek, ucapkan salam kek, jangan main nyelonong aja kamu!" Semprot Pak Indra, yang sudah selesai dari acara batuk – batuk karena keselek kulit kuaci tadi.

Hendra malah cengengesan karena di tegur Pak Indra, "Ehehe, sori pak … kan saya sudah biasa begitu. Lagian, saya kan bukan maling, jadi nggak papa kan?"

“Tapi kan kebiasaan jelek itu! Dasar ....”

"Halah, palingan dia lupa ngetuk pintu karena dia sudah biasa kalau di sekolah dia datang ke kelas sengaja nggak ketuk pintu biar dia bisa mergokin anak – anak muridnya yang lagi ribut. Makanya, kebawa tuh kebiasaan kesini," Sahut Yoshi.

"Hehehe, nah itu Yoshi tau pak," Ujar Hendra.

"Aku kan juga pernah sekolah, Hen … jadi aku tau gimana rasanya punya guru yang mengejutkan kayak kamu. Dan lagi, bapak tau kan sepelupa apa guru yang satu ini? Mana dia ingat coba kalau dia harus ketuk pintu dulu supaya kita nggak kaget."

"Iya ya, saya kan berurusan sama Hendra Wardana yang manusianya pelupa akut plus hidupnya tidak terlalu memakai aturan. Saya ngerti kok Yo," Sahut Pak Indra.

"Nah, itu bapak tau."

"Sudah deh, kalian nggak akan ada habisnya kalau membahas kebiasaan saya. Jadi gimana, keluarganya Hana, sudah datang kemari atau belum?" Tanya Hendra, lalu mengambil kursi lipat yang ada di dekat meja Pak Indra, dan duduk tepat di hadapan Pak Indra.

"Datang gundulmu! Kamu lihat sendiri kan kalau belum ada siapa – siapa? Jelas saja belum kan? Lagipula, ini kan baru jam setengah dua. Kamu datangnya kecepetan, Ndra. Aku heran, jam tanganmu rusak atau apa sih? Tumbenan kamu datang lebih cepat dari biasanya," Sahut Pak Indra.

Hendra membuat sebuah ekspresi yang terlihat seperti orang bodoh, kemudian dia langsung melirik jam tangannya. Hal itu membuat Yoshi mendaratkan telapak tangan kanannya ke jidat, membuat ekspresi serupa emoji. Kelakuan Hendra ini memang cocok juga kalau di hadiahi sebuah jitakan pakai palu godam, saking ngeselinnya kelakuan dia ini.

"Eh, aku lupa. Kukira janjinya jam satu. Jadi, sehabis jam terakhir saya selesai mengajar, langsung saja saya ke sini. Ehehe, maaf deh," ujar Hendra, sambil menggaruk tengkuknya.

"Pantesan aja nih manusia datengnya cepet, biasanya juga ngaret," Ujar Yoshi.

"Eh iya. Hendra kan hobi ngaret. Kalo dia datang lebih cepat itu patut di curigai," Sahut Pak Indra.

"Hei, hei. Aku kan lupa, jadi jangan salahkan aku. Jangan karena aku sering ngaret aku di cap begitu dong …" ujar Hendra.

"Tapi karena kamu hobi ngaret itulah makanya kami jadi mencapmu begitu."

"Ah, sudahlah. Apa hasil autopsi udah keluar?"

Pak Indra menggeleng, “Belum. Nanti mungkin Pak Dani akan mampir ke sini untuk mengantarkannya, atau bisa juga beliau menyuruh Lukman untuk ke sini.”

Hendra mengangguk, dan mereka terdiam sejenak. Tak lama kemudian, dari pintu ruangan mereka terdengar suara ketukan. Dan setelah pintunya di buka, muncul Pak Dani yang membawa beberapa lembar kertas.

"Halo! Eh, si Hendra sudah ada di sini rupanya? Tumben kamu Ndra," Ujar Pak Dani, sambil melangkah ke dalam ruangan, lalu menjabat tangan Hendra.

"Halo Pak Dan!  Lama enggak ketemu nih~" Sahut Hendra.

"Nah, ini hasil yang kalian minta. Kamu sepertinya memang punya intuisi yang tajam ya? Soalnya, kami memang memeriksa secara keseluruhan bagian tubuh korban itu, dan kami menemukan beberapa hal yang mengejutkan."

"Hal yang seperti apa?"

“Kalian baca saja deh sendiri.”

Mereka bertiga langsung mengambil hasil autopsi yang di berikan Pak Dani. Setelah membacanya dengan seksama, Pak Indra dan Yoshi langsung ternganga, sementara itu Hendra cuma senyum – senyum saja.

"Menarik. Bagian kemaluannya "ditusuk dengan benda tumpul". Lalu ada bekas cambukan di sekujur tubuh, lalu tusukan benda tajam yang runcing. Aku senang karena dugaanku benar," Ujar Hendra, dengan nada suara yang riang.

"Berarti, dugaan tentang adanya tindakan kekerasan secara seksual bisa jadi benar dong?" Tanya Yoshi.

"Kalau dugaan saya sih, dari kebanyakan kasus yang ada, biasanya ada kemungkinan itu. Terutama kalau memang korban masih lajang. Tapi itu masih dugaan, dan itu jadi tugas kalian untuk mencari tau soal itu," Kata Pak Dani.

"Yah, itu boleh diperhitungkan Yo. Kita lihat aja perkembangannya dulu," Sahut Hendra.

“Lalu, soal hilangnya jantung korban, dan bagian perut yang di lubangi ini ... bagaimana ceritanya?” tanya Pak Indra.

“Hah? Jantungnya hilang?” tanya Yoshi dan Hendra secara bersamaan.

Pak Dani mengangguk, kemudian beliau meletakkan kain yang bergambar kapak dan tanduk setan di meja Pak Indra. Sepertinya mereka berhasil mencabut kain itu dengan baik.

“Ya. Jadi, kami melakukan pemeriksaan pada organ dalam korban. Dan, kalian pasti lihat luka lebar yang ada di dada korban itu kan? Nah, setelah kami selidiki, kan di bawahnya bertepatan dengan ruang tempat jantung seharusnya berada. Saat kami periksa, rupanya jantung korban tidak ada di sana. Lalu, soal bagian perut di lubangi … jadi kami kan mengambil kain ini seperti permintaan Pak Indra. Nah, saat di buka, rupanya di bawahnya ada sebuah lubang menganga yang di sumbat dengan kain celana jeans. Saat kami keluarkan kainnya … ya usus korban juga ikut keluar, padahal kami sudah coba mengeluarkannya dengan perlahan. Mungkin karena saluran pencernaannya itu sengaja di potong untuk memberi ruang agar si pembunuh bisa mengeluarkan jantung korban. Kalau dia membuka bagian dada, kan harus berurusan sama tulang rusuk dulu, dan tulang rusuk itu cukup tebal, jadi akan susah untuk mematahkannya. Lebih mudah kalau di tarik lewat bawah,” Ujar Pak Dani.

Yoshi meringis saat mendengarkan cerita dari Pak Dani. Pak Indra tidak bisa mengakatakan apa – apa lagi, sementara itu Hendra malah terlihat bersemangat.

“Semakin seru saja kejadiannya,” komentar Hendra.

“Oke, kami sudah cukup paham keadaannya, Dan. Jadi kamu tidak perlu jelaskan lagi. Aku yakin semua detilnya sudah kamu tuliskan di sini,” Sahut Pak Indra, sambil melirik kertas hasil autopsinya.

"Baguslah kalau kalian paham! Karena menjelaskan ini saja tidak terlalu menyenangkan, apalagi bisa melihatnya secara langsung. Sangat brutal. Nah, kalau begitu, saya pamit dulu ya? Kalian bebas mau main ke ruangan saya kapan saja! Oke, sampai nanti dan semoga sukses dengan penyelidikan kalian!" Ujar Pak Dani, lalu membuka pintu untuk pergi.

"Sampai nanti!" Sahut mereka bertiga.

Pak Dani meninggalkan ruangan mereka, dan kini ketiganya terdiam sejenak sebelum akhirnya berpandangan satu sama lain.

"Kamu sudah makan siang belum, Ndra?" Tanya Pak Indra.

"Sudah kok pak. Jadi, kita bakalan menunggu keluarganya Hana dulu kan?" Sahut Hendra.

"Sudah jelas. Sambil nunggu, kita ngemil dulu saja. Mau?" Tanya Pak Indra, sambil menyodorkan sekantung kuaci yang ada di hadapannya.

"Boleh deh. Kamu juga sini Yo! Daripada kamu bengong gitu!"

"Iya deh," Sahut Yoshi, lalu bergabung dengan mereka.

~~~~~

Setengah jam kemudian, yang mereka tunggu datang. Ada tiga orang yang memasuki ruangan mereka. Ada sepasang pria dan wanita paruh baya, dan seorang pemudi di antaranya. Pak Indra langsung menyimpan kantung kuacinya dan membuang sampahnya di tong sampah yang ada di dekat kaki mejanya saat mereka datang. Hendra juga menyempatkan diri untuk merapikan rambutnya entah untuk alasan apa, sementara itu Yoshi merapikan pakaiannya.

"Apa benar di sini adalah ruangan Pak Indra?" Tanya si pria.

"Ya, dengan saya sendiri di sini. Anda pasti adalah keluarganya Hana Tanudjadja kan? Silahkan masuk," Ujar Pak Indra.

Mereka bertiga masuk, dan duduk di kursi yang ada di hadapan Pak Indra. Sementara itu Hendra sudah bergeser duduknya sehingga berada di sebelah kanan Pak Indra, sambil bersandar pada dinding, sedangkan Yoshi ada di sebelah kiri beliau.

Setelah mereka duduk dengan tenang, di mulailah perkenalan mereka. Sang pria memperkenalkan dirinya sebagai Hilman Tanudjadja dan wanita yang mendampinginya adalah istrinya, Maria Tanudjadja beserta dengan adik kandung Hana, Frida Tanudjadja.

"Jadi, ada apa anda memanggil kami ke sini ya pak?" Tanya Pak Hilman.

"Ini berhubungan dengan anak anda yang hilang, pak," Sahut Pak Indra.

"Oh! Apakah kalian sudah menemukannya?"

"Sayangnya tidak. Tapi kami hanya menemukan sesuatu yang mengejutkan dan kami ingin berbicara dengan kalian untuk memastikannya."

"Apakah penemuan itu merupakan sesuatu yang buruk?"

"Ya, bisa dibilang. Saya harap … kalian siap mendengarkannya."

"Jadi, apa yang kalian temukan?"

"Anda tentu tau tentang kasus kepala manusia yang di temukan di sungai itu kan? Nah, kabar buruknya, kemungkinan kepala itu adalah … milik anak bapak. Anda bisa cek hasil autopsi sementara terhadap kepala itu."

Pak Indra menyodorkan kertas hasil autopsi yang dimilikinya kepada Pak Hilman. Beliau membacanya secara seksama, begitu pula istrinya dan juga anak bungsunya itu. Setelah selesai membaca, istrinya langsung meledak dalam tangis, sementara itu Pak Hilman berusaha untuk terlihat tegar, sambil mengelus pundak istrinya lembut. Sementara itu sang adik hanya bisa terdiam, dengan air matanya yang mengalir di pipinya.

"Jadi, kami di panggil ke sini untuk di mintai keterangan akan apa saja yang terakhir kali kami ketahui dari Hana sebelum dia menghilang dan di temukan dalam keadaan seperti itu?" Tanya Pak Hilman.

"Yah, mungkin kurang lebih seperti itu. Anda bersedia kan? Kalau memang kalian belum siap, kami bisa melakukannya besok, saat kalian sudah lebih tenang," Jawab Pak Indra.

"Tentu saja kami siap, pak. Kami akan membantu sebisa kami untuk mempermudah kalian dalam penyelidikan kasus ini."

"Bagus, kalau begitu bisa kita mulai sekarang wawancaranya?"

"Ya, baiklah. Saya siap."

Pak Indra mengangguk. Hendra dan Yoshi memandang Pak Indra. Sepertinya mereka berdua sepakat untuk menyerahkan urusan ini pada Pak Indra, karena sepertinya beliau memang lebih profesional dibanding mereka berdua. Beliau mengerti atas pandangan keduanya, kemudian menghembuskan napasnya dan siap – siap untuk mengajukan pertanyaannya.

"Oke, saya akan mulai. Jadi, kapan saat terakhir anda melihat anak anda dan bagaimana kronologisnya?"

Pak Hilman langsung menceritakannya sedetil yang beliau bisa. Ceritanya mungkin kurang lebih sama klasiknya seperti cerita orang hilang lainnya. Awalnya, pada hari itu Hana berpamitan dengan kedua orang tuanya karena dia ingin pergi ke tempat kerjanya, yang di mana dia ini bekerja sebagai seorang SPG, dan semenjak hari itu dia tak pernah kembali lagi.

Setelah selesai dengan cerita Pak Hilman, Pak Indra mengalihkan pertanyaannya pada Frida yang sudah mulai tenang dari tangisnya, karena bisa saja dia memberi sedikit informasi tambahan yang berguna. Sepertinya hal itu benar adanya, karena si perempuan ini mengangguk saat Pak Indra meminta keterangannya dan mulai menuturkan kisahnya.

"Seingatku, kak Hana ada janji sama kak Akira di hari yang sama," Ujar Frida.

Hendra yang awalnya mendengarkan wawancara itu tanpa minat langsung saja menegakkan posisi duduknya dan menatap Frida dengan tajam. Sepertinya dia mulai tertarik karena keterangan dari Frida tadi, dan mungkin pernyataan itu membuatnya menemukan sebuah titik terang yang hanya dia yang memahaminya.

"Siapa si Akira itu?" Tanya Hendra.

"Pacar kakakku," Jawab Frida.

Hendra mengangguk, sambil berusaha untuk menyembunyikan seringaiannya, "Sudah berapa lama mereka pacaran?"

"Sudah cukup lama sih, sekitar empat bulan."

"Gimana hubungan mereka? Harmonis nggak?"

"Banget. Di antara semua pacar kakak, kurasa kak Akira yang paling baik buat kakakku. Mereka nyaris nggak pernah berantem, dan kak Hana kayaknya sayang banget sama kak Akira. Begitu pula sebaliknya."

"Apa anda tau tentang Akira, pak?" tanya Hendra, lalu mengalihkan pandangannya pada Pak Hilman.

"Tentu saja. Dia anak baik. Saya sudah pernah menemuinya dan dia adalah anak yang mengesankan. Anda tidak mencurigainya kan?" Jawab Pak Hilman.

"Tidak, saya hanya bertanya saja. Mana mungkin saya mencurigainya kalau dia adalah anak yang baik. Saya cuma bertanya sedikit tentangnya, siapa tau dia juga bisa membantu penyelidikan kasus ini. Iya kan?"

"Ah, anda benar! Pasti dia akan membantu, walau tidak banyak. Saya pernah bertemu dengannya semenjak Hana hilang, dan dia bilang setelah jalan bersama Hana, Akira mengantarkan Hana pulang. Mungkin saja kan dia di culik saat di depan pintu rumah atau dia mengikuti orang misterius yang berhasil menghasutnya?"

"Ya, semua kemungkinan bisa terjadi pak. Lalu, di mana saya bisa menemukan Akira ini? Anda punya nomor ponselnya mungkin?"

"Rumahnya ada di daerah pinggir kota. Saya punya nomor ponselnya, tapi saya nggak bisa menghubunginya akhir – akhir ini, karena katanya dia sedang ke luar kota mengunjungi kakaknya."

"Oh … kapan dia akan pulang?"

"Mungkin dua minggu lagi."

Hendra mengangguk, "Oke, sepertinya itu saja yang ingin aku tanyakan. Kalian mungkin mau nambahin?" tanya Hendra, sambil melirik kedua rekannya.

Yoshi menggeleng, "Eh, enggak deh. Aku nanya kakak aja deh," Sahut Yoshi, sambil balas melirik Hendra.

"Nanya apa Yo?"

"Kakak ada punya kesimpulan kecil sejauh ini?"

"Umm, entahlah? Mungkin aku bisa membuat beberapa kesimpulan setelah aku bertemu Akira."

"Tapi kita baru bisa bertemu dengannya dua minggu lagi kan? Kamu gila apa, nunggu selama itu? Keburu lapukan ini kasus," Sahut Pak Indra.

"Itu enggak sebanding terhadap penantianku saat menangkap keluarga Gloody. Cuma dua minggu kan? Selama itu kan kita bisa mencari keadaan bagian tubuhnya yang lain."

"Oke, ada dugaan motif baru?"

"Nggak. Cuma kemungkinannya sepertinya bisa di persempit menjadi dua. Dendam dan cinta. Atau malah keduanya."

Kali ini Yoshi yang menyahut, "Gimana mungkin coba jadi begitu ceritanya?" tanya Yoshi.

"Ya di mungkin – mungkinkan saja." Jawab Hendra dengan santainya.

Yoshi hanya menghela napasnya. Dia tau kalau Hendra memang senang main rahasia - rahasiaan seperti itu. Hingga tiba – tiba, pintu terbuka tanpa di ketuk, dan dari sana muncul Pak Bambang, yang kelihatannya baru saja berlari sepanjang koridor menuju ke sini, di nilai dari napasnya yang agak terengah.

"Oh? Kalian lagi wawancara toh … eh, ada si Hen juga rupanya!" Ujar Pak Bambang.

"Yo~ halo Pak Bam!" Sapa Hendra.

"Ada urusan apa, Bam?" Tanya Pak Indra.

"Nggak jadi deh. Kalian selesaiin aja urusan kalian dulu, nanti baru saya yang ngomong," Ujar Pak Bambang.

"Kami udah selesai kok. Terima kasih ya Pak Hilman, kami akan segera mengabarkan perkembangannya kepada anda. Termasuk jika kami punya pertanyaan tambahan atau kalau mayatnya sudah lengkap bagian – bagian tubuhnya," Ujar Pak Indra, lalu menyalami Pak Hilman.

Beliau menyambut jabatan tangan Pak Indra, "Eh, iya, baiklah pak. Saya permisi dulu ...." Ujar Pak Hilman. Lalu beliau beserta keluarganya segera undur diri.

"Nah, tadi anda mau ngomong apa, Pak Bam?" Tanya Pak Indra.

"Saat kalian wawancara tadi, ada seorang warga datang. Dia membawa sebuah bungkusan aneh kemari. Dan saat di buka, isinya adalah potongan lengan! Sepertinya itu adalah bagian lain tubuh korban. Sekarang, benda itu ada di ruang autopsi," Ujar Pak Bambang, langsung ke poinnya.

"Wah, beneran tuh Pak Bam? Secepat ini kita bisa menemukan potongan tubuh yang lainnya?" Tanya Hendra.

"Iyalah, ngapain saya bercanda coba?"

"Nah, kalau gitu, ayo kita tamasya sekarang!" seru Hendra, lalu langsung berdiri dari posisi duduknya.

"Hah? Tamasya kemana?" Tanya Yoshi.

"Tamasya ke ruang autopsi!"

~~~~~

Dalam waktu 10 menit, mereka berempat sudah sampai di depan ruang autopsi. Pak Indra langsung mengetuk pintunya pelan dan akhirnya pintu di bukakan oleh Pak Dani.

"Eh! Kalian rupanya! Ayo masuk!" Ujar Pak Dani.

Mereka berempat langsung masuk ke dalamnya. Ruangan autopsi itu sederhana saja sebenarnya, yaitu sebuah ruangan bercat putih dengan banyak kantung mayat yang belum di pindahkan dan meja rendah yang di hiasi dengan tabung – tabung kimia yang berisi berbagai macam sampel yang isinya hanya Tuhan dan penghuni ruangan itu yang tau.

"Wah, saya sudah lumayan lama enggak main kesini nih! Enggak ada yang berubah ya?" Ujar Hendra, sambil mengamati ruangan tersebut.

"Ngapain di ubah coba Ndra?" Sahut Pak Dani.

"Ya, termasuk bapak juga enggak berubah!"

"Dasar kamu Ndra! Kamu juga enggak berubah ya? Kalian ke sini untuk melihat lengan itu kan? Ayo, dia saya letakkan di sini."

Mereka menuju ke sebuah meja rendah. Dan di sana terletak sebuah lengan. Tanpa bagian tangan. Ya, hanya lengannya saja, tanpa telapak tangannya.

"Wah, rupanya lengan dan tangannya di jual terpisah!" Seru Hendra.

"Kamu kira ini mainan apa di jual terpisah?" Tanya Yoshi.

"Iya kan? Aku kan sudah bilang kalau ini adalah "puzzle" bentuk tubuh manusia."

"Ya Tuhan, tubuh manusia masa kamu anggap mainan sih? Kamu ini manusia macam apa sih?"

“Salah kamu ngasih pertanyaan semacam itu ke Hendra. Dia sudah terlalu terbiasa sama hal begini, sampai nggak kelihatan lagi rasa kemanusiaannya,” Sahut Pak Dani.

"Sejauh ini, ada luka atau sesuatu yang menarik di lengan ini?" Tanya Hendra sambil mencueki Yoshi, dan malah memperhatikan sepasang lengan yang ada di hadapannya dengan seksama.

"Emm, ada sih. Bekas cambukan. Cuma itu doang sih. Silahkan kalau kamu beraksi deh. Mau itu tangan kamu lirik 360 derajat juga nggak apa, asal kamu meletakkannya masih dalam keadaan utuh! Ini sarung tangannya," Ujar Pak Dani, lalu menyerahkan sebuah sarung tangan pada Hendra.

"Oke, siap pak!"

Hendra mengenakan sarung tangan yang diberikan oleh Pak Dani, dan langsung saja  dia mengambil salah satu lengannya. Lalu dia melihatnya dengan sedemikian rupa. Di bolak – balik dan di lihatnya dari berbagai sisi. Akhirnya, dia melirik pergelangan lengannya, dan menaruhnya kembali, lalu melakukan hal yang sama terhadap lengan yang satunya lagi.

Sementara itu, empat orang lainnya hanya diam dan memperhatikan Hendra saat memeriksa lengan itu. Mereka juga berusaha mencerna cara pikir Hendra.

"Ya, aku tak menemukan hal baru. Kecuali pergelangan tangannya agak memerah dan sepertinya agak terluka. Mungkin karena bekas ikatan tali pada lengannya. Bukan hal aneh, mengingat kalau sepertinya Hana di tahan oleh si pembunuh," Ujar Hendra.

Pak Dani memperhatikan kembali lengan tadi, “Ah iya, kamu benar juga. Ada memar di pergelangan tangannya,” Ujar Pak Dani.

"Lalu, kita harus ngapain sekarang?" Tanya Yoshi.

"Menunggu, Yo. Kita harus menunggu," sahut Hendra.

"Hah?"

"Ya. Tapi kita takkan menunggu Akira selama dua minggu untuk menangkap pelakunya."

"Kurasa kamu mencurigai manusia bernama Akira itu deh. Aku yakin kalau kamu bisa mengendus kebohongan Akira yang disampaikan pada ayahnya Hana ya?" Ujar Pak Indra.

"Hmm, begitulah. Kalian pasti pernah dengar istilah 'serigala berbulu domba' kan? Jadi, kemungkinan itu bisa saja terjadi."

"Tapi, berapa lama kita harus menunggu?" Tanya Yoshi.

"Mungkin dua hari? Oh ya, Pak Dani dua malam ini ada tugas piket malam enggak?"

"Oh, kebetulan sekali saya kena piket malam dua hari ini," Sahut Pak Dani.

"Bagus, karena bapak mungkin akan di perlukan kalau kami menemukan potongan tubuh lainnya."

"Oke Hen. Jadi, apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu?" Tanya Pak Indra.

"Saya bisa mengamati suatu pola tertentu dari semua kejadian yang ada ini. Dan saya rasa, dalam dua hari ini akan terjadi sesuatu. Bisa jadi bagian tubuh korban akan lengkap. Tapi kalau kita cepat, bisa saja kita menangkap pelakunya tanpa memerlukan kesaksian dari Akira," Jawab Hendra, dengan sebuah seringaian di wajahnya.

Orang - orang yang ada di sekitarnya hanya bisa mengangguk. Sementara itu, Hendra tersenyum yang memberikan tanda tanya di benak rekan - rekannya. Setelahnya, Hendra memandang ke sekeliling ruangan, lalu menatap ke arah Pak Dani.

"Oh ya, ngomong - ngomong, boleh saya teliti sekali lagi bagian tubuh korban? Sekalian saya juga mau lihat gimana keadaan kepalanya. Boleh kan?" Tanya Hendra.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top