Chapter 3 : Baku Tembak Di Basement
Suara tembakan yang terdengar dari kejuahan itu membuat semua orang langsung bersiaga. Karena mereka jelas tau, kalau ada suara tembakan, itu bukanlah hal yang bagus. Masing – masingnya langsung bergegas untuk mengambil senjata yang mereka punya, yaitu berupa revolver kaliber 22 dengan isi 7 peluru.
“Siapa itu!” teriak Pak Bam, sambil menoleh ke kanan kirinya dan mengokang senjata sehingga dia akan siap untuk menembak siapapun yang mendekat ke arahnya.
“Yang pasti, dia manusia, Pak!” sahut Pak Hendri sambil setengah bercanda. Dia memang kebetulan ada di sampingnya dan agak kesal karena mendengar teriakan Pak Bam tadi.
“Iya, saya tau! Sejak kapan coba hantu bisa pegang senjata?! Tapi, segeralah muncul kesini kau! Jangan main sembunyi-sembunyian! Kalo berani, sini hadapi kami muka sama muka!”
“Sabar masbro! Duh, ini orang kenapa ya jadi ngedumel kayak emak – emak gagal dapet diskonan?” tanya Pak Said. Sepertinya mereka bertiga memang punya kebiasaan untuk bercanda di saat – saat yang tak tepat.
Yoshi mengamati kelakuan tiga orang itu, dan sejujurnya dia hampir saja tertawa. Kalau saja kondisinya bukan keadaan yang serius, mungkin dia akan langsung menjatuhkan dirinya ke lantai karena tak kuasa menahan tertawa lalu terpingkal – pingkal dengan selera humor mereka yang tidak pada tempatnya. Tapi dia tau kalau ini adalah keadaan yang serius, jadi dia tidak berselera untuk tertawa saat ini.
Hingga akhirnya ekor mata Yoshi menangkap satu kilatan yang seketika membuatnya melonjak kaget dan berseru lantang.
DOR, DOR, DOR!
“Awas!!!” teriak Yoshi.
Ternyata, dengan kecepatan yang tidak terduga, ada tiga buah peluru yang melaju ke arah mereka. Untungnya, ketiga peluru itu berhasil dihindari. Setelahnya, tiba – tiba muncul seorang pria muda yang membawa sebuah senapa. M 16, pikir Yoshi. Dan penampilan pemuda yang ada di depannya sesuai dengan kesaksian yang sudah mereka dengar, yaitu dia memakai masker dan kacamata hitam, serta pakaian yang serba hitam. Tanpa basa – basi, dia langsung menembakkan senjatanya ke arah polisi-polisi yang tengah bernasib sial itu. Lagi, tepatnya.
“Oh tidaaak...” bisik Yoshi.
Langsung saja, baku tembak yang tak terhindarkan terjadi. Peluru – peluru mereka berdesingan heboh seperti petasan saat Lebaran atau tahun baru yang biasanya dengan heboh menghiasi langit kota. Tapi, alih – alih menghiasi pemandangan basement tersebut, yang ada tembakan mereka malah menghancurkan kaca-kaca dan bodi – bodi mobil yang tak bersalah yang dengan “kebetulan” parkir di dekat area baku tembak itu.
Karena sejak awal mereka diundang untuk melakukan perang pelor, dengan senang hati para polisi itu meladeninya. Mereka mulai menembakkan isi senjata mereka ke arah si penyerang. Tapi karena mereka tidak bisa menyerang dan bertahan dari serangan peluru dengan cara yang bersamaan, jadi bisa dipastikan kalau akurasi mereka tidaklah begitu bagus. Tapi mereka bisa melukai si penyerang. Sepertinya.
Yang penting bagi mereka saat ini adalah untuk bisa bertahan dan menunggu lawan kehabisan peluru, karena mereka pastinya tidak membawa banyak cadangan peluru. Hipotesis yang ada di dalam kepala beberapa petugas ini, yang kebetulan masih sempat berpikir, si penembak ini punya alasan tertentu sehingga dia bisa ada di sini. Pasti ada sesuatunya. Jadi, mereka sebaik mungkin berusaha untuk menghindar dari hujan peluru yang menerjang mereka. Terutama dengan senjata milik penyerang yang cukup mematikan, maka agak susah untuk mendeteksi kemanakah tembakan tersebut mengarah, terutama di tengah kekacauan seperti itu.
“Ugh!!!” seru Pak Bambang, dan dia langsung memegangi pinggulnya.
Sepertinya, beliau terkena tembakan di pinggul kanannya. Dan siapapun pasti tau, kalau terkena peluru bukanlah hal yang menyenangkan. Menyakitkan, malah.
Sebenarnya kalau dilihat – lihat, seharusnya pihak kepolisian – lah yang menang. Tidak lain dan tidak bukan karena jumlah mereka lebih banyak. Tapi, secara keahlian, si penyerang misterius itu yang menang. Dia punya akurasi yang bisa dibilang sekelas pro sehingga Pak Bambang, Pak Said, dan Pak Hendri jatuh tersukur karena menghindari tembakan – tembakan menerjang ke arah mereka tanpa ampun. Belum lagi perbedaan senjata yang mereka miliki, jelas beda jauh.
Tetapi pertarungan ini sepertinya tidak akan berlangsung dalam waktu lama. Para petugas suda mulai kepayahan untuk menghindari tembakan pelaku yang membabi buta, tapi akurasinya cukup bagus sambil terus berusaha untuk melukai si penembak misterius. Tiga orang sudah tersungkur, dan tinggal tersisa beberapa orang yang berkat kemurahan hati dari Tuhan masih berdiri tegap menghadapi si penembak itu. Tapi sialnya mereka kehabisan peluru. Sesuai yang sudah dituturkan tadi, jumlah persediaan peluru mereka sangat terbatas.
“Sepertinya kalian sudah kehabisan peluru. Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan saja nanti. Aku tidak suka menghadapi musuh yang tidak seimbang.” ujar si penembak misterius.
Lawannya berdiri di sana dengan wajah bingung. Ini pastinya adalah hal yang aneh, karena dia tidak mungkin tanpa alasan ada di sana. Bisa jadi dia malah sudah menunggu mereka. Tapi kenapa dia kini malah mengakhiri semuanya begitu saja?
“Tapi ... kenapa kamu tiba – tiba mau menghentikan semua ini? Ada apa?” tanya Yoshi.
“Aku sudah bilang kalau aku ingin lawan yang sepadan. Aku tidak ingin memiliki lawan yang hanya bertangan kosong sedangkan aku bersenjata.” Sahutnya.
Diapun bergegas untuk pergi dari sana sebelum ada siapapun yang lari dan menerjangnya. Tapi, sebuah seruan membuatnya berbalik lagi.
“Hei, tunggu! Sebenarnya kau itu siapa hah!” teriak Pak Bambang. Heran, sekarat begitu masih bisa juga ya dia teriak?
“Aku bukan siapa – siapa. Aku hanyalah seseorang yang menuntut pembalasan dari masa lalu. Kalian pasti tau siapa aku.” jawabnya.
Dengan segera, dia pergi tanpa peduli semua orang yang masih kebingungan terhadap apa yang dia katakan tadi.
Setelah dia melangkah pergi, semua orang yang tadi baru saja beradu tembak dengannya itu hanya bisa terdiam mematung di sana. Mereka heran akan apa yang baru saja terjadi pada mereka, dan sedikit banyak mereka tidak percaya akan apa yang terjadi tadi.
“Uh, aku jadi penasaran akan identitasnya. Kira – kira siapa dia ya? Tapi … entah kenapa saat melihatnya tadi, kurasa aku jadi ingat sesuatu. Tapi aku tidak tau apa itu.” ujar Yoshi, sembari menyimpan revolvernya.
“Nah, saya juga, Yo” sahut Pak Indra.
“Hei, penasaran sih boleh, tapi tolongin kita dulu dong! Saya gak kuat nih ... uhuk, uhuk! Bisa – bisa saya mati disini nih!” ujar Pak Said, memotong pembicaraan mereka berdua.
Semua orang yang masih berdiri di sana langsung menoleh ke arah tiga orang yang terkapar di tanah itu. mereka nyaris saja lupa kalau disana masih ada tiga orang yang membutuhkan pertolongan segera.
Saat melihatnya, entah kenapa Yoshi tak bisa menahan tawanya, dan Pak Indra juga tersenyum kecut saat melihat mereka.
“Yah, malah ketawa! Tolongin kenapa! Jahat ya kalian jadi orang!” sahut Pak Bam.
“Iya, saya setuju! Lakukanlah sesuatu! Panggilin ambulans kek, atau apalah!” tambah Pak Hendri.
“Oh iya, saya hampir lupa...” sahut Pak Indra, sambil pasang ekspresi pura – pura bodoh.
“Temen sekarat kok dilupain sih pak?” tanya Pak Bam.
“Ya maaf, saya kan lupa! Kejadian ini terlalu membingungkan sampai saya lupa sama kondisi kalian. Sebentar ya, saya telpon ambulans dulu. Itu pasti luka yang sangat menyakitkan, karena saya tau persis gimana rasanya ditembak.” sahut Pak Indra, lalu mengambil ponselnya.
“Bagus deh kalo bapak tau kayak gimana rasanya. Kalo enggak, mungkin habis ini bapak yang bakalan saya tembak.” Sahut Pak Said.
“Eh, jangan! Ya udah, sabar dulu! Sebentar lagi pertolongan bakalan datang kok!”
Yoshi sedikit terkekeh, lalu dia ikut menimpali, “Hei, ditembak jelas aja sakit pak! Saya aja ngeri ngebayanginnya. Nggak ada kan, ditembak yang rasanya gak sakit?” celetuk Yoshi.
“Ada kok Yo. Ditembak sama cewe...” sahut Pak Hendri iseng.
“Itu kan beda pasal pak! Kalian ini kok ada – ada aja! Pas lagi keadaan gawat begini kok masih sempat aja ngelawak?”
“Udah, udah! Kalian ini pas sekarat gitu sempet – sempetnya aja bikin stand up comedy! Udah deh, diem! Bala bantuan sebentar lagi datang!” ujar Pak Indra, setelah itu beliau menutup sambungan di ponselnya.
~~~~~
Mereka semua kembali ke kantor setelahnya, dan kini Yoshi hanya berdua dengan Pak Indra di mobil yang mereka tumpangi. Mereka membisu selama perjalanan. Pak Indra mengerti kalau hal ini agak mengejutkan bagi Yoshi, terutama karena ini masih hari pertama bagi Yoshi. Jadi dia hanya membiarkan anak itu terdiam dan menyelami isi pikirannya sendiri.
“Baru hari pertama, tapi udah seberat ini. Gimana ya nanti hari demi hari yang akan saya lalui di divisi ini?” ujar Yoshi.
“Kenapa Yo? Kamu takut? Kamu kepengen menyerah dan putar balik untuk pergi ke divisi lain?”
“Bukannya begitu. Tapi ini semacam karma buatku.”
“Karma apa?”
“Seseorang pernah melarangku untuk masuk ke divisi ini. Dia bilang kalau akan ada banyak hal mengejutkan yang terjadi nantinya. Tepatnya sih, hal buruk. Tapi saya nggak percaya sama dia, dan ngeyel masuk ke sini. Disinilah saya sekarang. Seharusnya, saya percaya sama dia. Karena dia tau banyak tentang apa yang orang lain tidak tau dari kota ini. Tapi, sepertinya aku terlalu keras kepala ya?” sahut Yoshi, lalu terkekeh.
“Lalu kenapa? Kamu takut? Kamu menyesal?”
Yoshi menggeleng. “Bisa dibilang saya nggak menyesal sama sekali. Pertama, karena saya memang menyukai bekerja di bawah resiko seperti ini, dan yang kedua … saya ingin membuktikan apakah benar kalau pilihanku ini bisa membawa ke jalan yang aku mau. Cuma agak kaget aja, di hari pertama sudah bisa seperti ini ceritanya."
Mereka akhirnya kembali terdiam, dan melalui perjalanan mereka dalam hening di tengah keramaian lalu lintas dan kebisingan kota yang bergerak bersama mereka.
Tapi kebisuan mereka tidak berlangsung lama, hingga akhirnya Yoshi kembali memecah keheningan saat mereka sudah sampai di ruangan mereka.
"Pak, jujur loh, saya penasaran sama masalah yang disajikan di depan kita ini.” ujar Yoshi.
“Siapa bilang kamu aja? Saya juga, tau!” sahut Pak Indra.
“Kemungkinan dari kasus ini adalah dendam kan? Dia tadi bilang menuntut pembalasan dendam dari masa lalu, iya kan?”
“Yah, bisa jadi. Cuma itu kemungkinan terkuatnya."
“Lalu, aksi di mall dan juga di basement tadi? Kan aneh, masa ada dua kejadian yang sama di satu tempat? Bukannya itu janggal ya? Apa dia memang sengaja menunggu kita di situ?”
“Ya, memang. Saya akui itu memang hal yang aneh. Mungkin saja itu cuma untuk aksi pembukanya. Siapa tau akan ada ‘puncak’ dari kasus ini?”
“Berarti ada kemungkinan korban lain jatuh dong!”
“Jelas.”
“Tapi itu kan pertanda buruk! Kita nggak boleh membiarkan orang tak berdosa lainnya jatuh lagi! Korban yang dia lukai semalam sudah cukup banyak!”
“Saya juga tidak rela kalau sampai ada korban lainnya jatuh, Yo.”
“Terus, kita harus ngapain pak?”
“Bersabar dan menunggu.”
"Menunggu apa? Untuk apa? Kita kan tidak bisa membiarkan perkara ini dididamkan begitu saja!”
“Saya tau, dan saya akui kamu benar. Tapi, kita perlu menunggu kali ini. Menunggu misteri ini sampai jadi sedikit lebih terang dulu. Nah, setelahnya, baru kita bisa bergerak dan menentukan tindakan selanjutnya!”
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top