Part 9

Hujan salju semalam membuat tumpukan di atap dan halaman sekolah, termasuk bingkai jendela Klub Detektif yang ketutupan es. Untungnya udara dingin tidak menjamah ruangan itu karena mesin penghangat. Jam menunjukkan pukul enam.

Aiden yang pertama bangun. Dia beringsut ke sofa tempat Watson tidur. Sedangkan Jeremy ngorok di balik meja. Satu kakinya tersangkut.

Rasa iseng tiba-tiba timbul demi melihat Watson tidur dengan posisi tidak nyaman. Dia mengulurkan tangan untuk memencet hidungnya, terkekeh saat Watson menggeliat tanpa terbangun.

"Apa yang kau lakukan?" celetuk Hellen muncul dari pintu dengan secangkir teh hangat, bersandar santai di bingkainya. "Nggak baik lho mengganggu orang lagi tidur. Ntar dia ngamuk."

"Lihatlah gaya tidurnya. Kalau lehernya nggak diluruskan ke bantal, bisa-bisa dia bangun dengan kram," kata Aiden setengah tertawa.

Yah, paling tidak tidurnya Watson tidak seberisik Jeremy. Sudah mendengkur, posisi kakinya menggantung ke kursi lagi. Sejujurnya Hellen tergoda untuk menyumpal mulut Jeremy dengan sesuatu, tapi niat itu segera diurungkan.

"Bangunkan dia. Hasilnya sudah keluar."

Aiden mengangguk, lalu menggoyangkan lengan Watson dengan pelan. "Hei, Dan, bangun!"

Cara Aiden yang terlalu lembut membuat Hellen mengernyit tak percaya. Dia berkacak pinggang. "Kau niat nggak sih membangunkannya?"

Aiden mengangkat bahu sambil cengengesan.

Hellen merotasikan matanya. Tanpa basa-basi, dia berjalan mendekat ke sofa dan menepuk lengan Watson dengan cukup keras. "BANGUN!"

Cowok itu tersentak, tubuhnya hampir terjatuh dari sofa kalau saja Aiden tidak sigap menahan bahunya. "Hei, pelan-pelan dong!" protes Aiden, mendelik ke Hellen yang balas mengedikkan bahu.

"Apa yang terjadi?" Watson memandang sekeliling bingung, mengusap wajah. Matanya berat.

"Ini yang terjadi," ujar Hellen tegas, memberikan dokumen kepadanya. "Hasil pencocokan sudah keluar. Dan, kedua sampel itu tidak sesuai."

Watson mengerjap beberapa kali, masih linglung. Otaknya lambat menangkap perkataan Hellen. Begitu sadar, dia langsung menyambar dokumen tersebut. "Apa maksudmu tidak sesuai?"

Matanya bergerak cepat membaca data yang tercetak paling bawah. Benar! Darah yang Watson ambil dari pecahan kaca jendela dan darah Chris yang menempel di syalnya memiliki tingkat ketidakcocokan sebesar 99,98%.

Berbagai kemungkinan bermunculan di benaknya. Apakah ini berarti Chris bukan pelakunya? Tapi kalau begitu, darah siapa yang ada di jendela? Tidak mungkin darah itu milik korban mengingat jarak lokasi terjatuhnya Lucy dari jendela cukup jauh untuk menimbulkan kontak langsung.

Ponsel Watson yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar, memecah konsentrasinya. Dia melirik sekilas layar, memperhatikan nomor tak dikenal yang terpampang di sana. Dengan sedikit enggan, dia meraihnya dan menjawab panggilan itu.

“Halo?” Suara Watson terdengar malas.

[Capteen! Syukurlah, kukira aku salah nomor.]

Watson terdiam sejenak. Suara ini... Jonas? Tapi kenapa Jonas tahu nomor pribadinya? Dahinya mengerut curiga, dan dia mengumpat dalam hati. Angra sialan!Jangan-jangan dia lagi-lagi seenak jidat membocorkan data pribadi Watson.

Dia menarik napas dalam, berusaha meredam kekesalan yang merangkak naik ke ubun-ubun. "Ada apa, Detektif Jonas?" tanyanya datar.

Terdengar suara ricuh dari seberang sana. Tampaknya Megan mengambil alih telepon. [Hasil sidik jari di senjata pembunuhan sudah keluar, Capteen! Tidak diketahui itu sidik jari siapa.]

Watson memejamkan mata, menghimpun kesabarannya. Bagus sekali. Pertama, darah di jendela tidak cocok dengan tersangka utama. Sekarang, sidik jari di senjata pembunuhan malah tidak terdaftar di database siapa pun.

Telepon diambil alih lagi oleh Pierre. [Hei, Teen, waktu interogasinya sudah habis. Escal akan memindahkan Chris ke penjara satu jam lagi.]

"Don't even try. Aku berani bertaruh Chris bukan pelakunya. Tahan si Escal brengsek itu dengan segala cara sampai aku datang. Lalu, suka tak suka, paksa dia ke rumah sakit Ayselle." Watson memutus sambungan, mendesah jengkel.

"Wow! Watson mengumpat, teman-teman!" celetuk Jeremy ternyata sudah bangun. Dia tepuk tangan dramatis. "Kalau dia mulai emosian begitu, berarti situasinya darurat ya? Butuh bantuan?"

"Tidak usah. Kalian di sini saja, mencari petunjuk tentang masalah tunangan Pak Lucien. Aku akan menyelesaikan kasus Addison hari ini juga."

"Kau yakin?" sela Hellen ragu. "Bukankah kau hampir tidak punya petunjuk soal pelaku aslinya?"

Watson pun diam, tidak menjawab pertanyaan Hellen. Terus terang, dia memang memiliki dugaan, namun belum pasti untuk diungkapkan. Tanpa banyak bicara, dia berdiri dari sofa, mengambil jaket di sandaran sofa. Ketika mengenakannya, ekor matanya menangkap beberapa lembar kertas berserakan di laci yang tak tertutup rapat.

"Orang-orang ini..." gumamnya, menyipit membaca biodata dua murid yang terpampang di sana.

Aiden yang sedang mencuri sisa teh Hellen, bergegas menoleh. "Ah, itu informasi para pelaku pencurian buku kas kakak kelas. Aku belum sempat merapikannya." Dia berniat mengambil kertas-kertas itu, tapi Watson mengangkat tangan, memberi isyarat untuknya berhenti.

"Motifnya mencuri uang kas apa?"

Hellen mendengus, melipat tangan di dada. “Baru kemarin, kau sudah lupa? Kan sudah kubilang, demi membelikan tiket konser pacarnya. Tiket konser boyband 5VIBE." Dia melirik Aiden sebal, terutama setelah melihat cangkir tehnya sudah kosong dan Aiden menyengir tanpa rasa bersalah.

"Harga tiketnya berapaan?"

"Sekitar 500 dolar mungkin. Pacarnya ngefans berat sama boyband itu. Jadi dia nekat. Makanya si Aiden menelusuri boyband itu. Kenapa sih? Apa hubungannya kasusmu dengan grup kpop?"

"Ah, tidak ada. Hanya saja, sepertinya aku mendapat titik terang terakhir. Aku pergi dulu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top