Part 8

Watson bersikeras ingin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Ayselle. Erick dan yang lainnya mau tak mau mesti mengabulkannya. Bagaimanapun juga, anak itu sudah dikukuhkan sebagai kapten sementara tim ini. Mereka tahu betul risiko melanggar perintah Angra.

Setibanya, sembari menunggu Pierre bertanya di mana Ayselle dirawat, Watson memindai sekeliling dengan cermat. Pada pintu putar dan lobi yang ramai, keberadaan kamera CCTV di langit-langit mencuri perhatiannya. Kumpulan kamera itu terpasang di sudut strategis, hingga area dekat lift.

"Sudah kudapatkan. Ayselle berada si bangsal pemulihan nomor 17."

Megan dan Jonas memegangi kedua tangan Watson dari kiri-kanan. "Ayo berangkat!" seru mereka kompak.

Watson mendengus kesal. "Kalian ini bocah atau apa? Kita di rumah sakit, jaga suara kalian!" ucapnya jengah, bergegas melepaskan tangannya dari genggaman mereka. "Dan lagi, jangan perlakukan aku seperti anak kecil."

"Hobimu mencak-mencak? Lagi puber ya?" sindir Erick yang langsung kicep diberi tatapan tajam oleh Watson.

Daripada meladeni mereka, mending Watson membaca informasi tersangka. Namanya Christian Wellere, 41 tahun. Riwayat kriminalnya yaitu melakukan pencurian berkala yang membawanya ke penjara selama tiga tahun. Tidak ada catatan pembunuhan, penculikan, atau kejahatan besar lainnya.

Jadi dia tidak pernah membunuh?

Watson menggelengkan kepala, terus lanjut membaca. Tatapannya tertuju pada kolom konsultasi psikologi. Chris memiliki masalah psikologis. Tertulis di sana, Chris memiliki trauma masa kecil.

Motif di balik kebiasaannya mencuri rupanya sangat pribadi—agar tidak dimarahi oleh ayahnya yang telah meninggal. Dia seorang pecandu judi yang kerap melampiaskan kemarahan akan kekalahannya pada Chris bahkan hingga menodongkan pisau padanya jika Chris tidak mempunyai uang.

Trauma itu meninggalkan jejak yang dalam. Berdasarkan laporan, Chris mengidap aichmophobia. Ketakutan berlebihan terhadap benda tajam.

Watson mengangkat kepala. Pantas saja! Tidak ada pisau atau cutter di dalam tas Chris. Hanya sebuah obeng  dengan ujung datar, palu, dan tang.

Tiga orang suster melintas di samping mereka, tengah berbincang dengan suara setengah berbisik, tapi cukup jelas untuk didengar Watson.

"Lagi-lagi aku kehilangan sebotol midazolam di bangsal 17," keluh salah satu dari mereka. Nadanya terdengar gusar. "Apa aku pelupa atau ada yang mencurinya? Tapi untuk apa?"

"Hayoloh, nanti kena sanksi."

"Hush! Kau harusnya menyemangati temanmu, bukan malah menakuti."

Watson mendengar setiap kata dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Masuk ke lambung lift dengan tenang.

*

"Bagaimana keadaannya, Dok?"

Dokter yang menangani kondisi Ayselle menghela napas panjang. "Sejujurnya, saya juga tidak tahu apa yang terjadi pada pasien. Seharusnya Ayselle sudah sadar sejak kemarin. Kami bahkan melakukan MRI untuk memastikan tidak ada cedera otak akibat benturan. Hasilnya baik-baik saja. Tapi entah kenapa, dia masih belum sadar juga."

Erick dan Pierre saling tatap. Khawatir.

Sementara itu, Watson tampak tidak tertarik dengan pembicaraan mereka. Dia berdiri agak jauh, mendongak mengamati langit-langit ruangan. Berbeda dari yang di luar, di sini sama sekali tidak ada kamera pengawas. Mungkin menghormati privasi pasien.

“Teenager?” panggil Pierre. "Kau dengar apa yang dikatakan dokter?"

“Hmm?” Watson menurunkan pandangannya sejenak, mengedikkan bahu cuek. "Ya, ya, aku dengar. Dia belum sadar," ucapnya ala kadarnya.

Erick berkacak pinggang. "Apa-apaan reaksimu itu? Bukankah kau yang ngotot ingin melihat kondisi Ayselle? Kenapa mendadak tidak peduli? Apa nilai moralmu F-? Kau tidak konsisten!"

"Speaking of that..." Watson menatap dokter yang memeriksa selang infus. "Apa ada kemungkinan gejala DAI?"

Dia refleks menoleh, agak takjub. "DAI? Kenapa kau berpikir demikian?"

"Pada kasus ringan, perubahan pada akson bisa terlalu kecil untuk dideteksi oleh MRI standar. Kadang diperlukan teknik khusus seperti diffusion tensor imaging (DTI) untuk mendeteksi gangguan pada jalur serabut saraf."

Pierre kesusahan mencerna dan menyetop obrolan mereka. "Tunggu, apa yang kalian bicarakan? DAI? Di gigi gusi... apa tadi? Mari bicara pakai bahasa Inggris yang normal, oke?"

Karena Watson enggan menjelaskan, dokter pun mengambil alih.

"DAI, diffuse axonal injury. Salah satu jenis cedera otak traumatis yang terjadi akibat peregangan, robekan, atau kerusakan mikroskopis pada serabut saraf otak (akson). Cedera ini disebabkan oleh kekuatan rotasi atau percepatan yang ekstrem seperti saat kepala terbentur atau dipukul keras."

"Wow, itu terdengar serius."

Watson sekali lagi memandangi Ayselle, tersenyum miring. "Permisi, aku mau pulang dulu. Sudah jam lima sore nih. Besok aku harus sekolah. Aku akan datang pukul 2 siang besok. Bye!"

"Tunggu, tunggu, Capteen!" Megan melirik Erick sebal. "Apa kau tidak bisa bicara lembut? Dia masih anak-anak."

"Kau sedang menyalahkanku? Aku tidak bicara kasar sedikitpun, Megan! Bocah itu yang terlalu baperan!"

Jonas bermonolog. "Panas, panas."

"Apa hanya saya yang menyadari kecerdasan anak itu tidak normal?"

"Dokter, anda tuh nggak diajak tahu."

.

.

Sebenarnya Watson tidak langsung pulang ke rumah. Di taksi tadi, dia mengirim pesan ke Aiden. Untunglah teman-temannya masih di sekolah, sedang membahas kasus baru.

"Dan! Ada kabar buruk!" sambut Aiden begitu Watson datang. "Tunangan guru olahraga kelas tiga menghilang!"

Watson yang ingin menggantungkan jaketnya terhenti demi mendengar itu. "Pak Lucien? Apa yang terjadi?"

"Itulah yang sedang kami bahas." Jeremy yang menjawab dengan intonasi sarkas, mencibir. "Sedangkan kau asyik keluyuran entah ke mana."

"Aku juga dapat kasus di Virginia, oke? Dan itu sangat menarik sampai aku tidak bisa mengabaikannya," jelasnya memberikan sampel darah yang dia ambil tadi ke Hellen. "Tolong periksa DNA darah ini. Begitu aku mengungkap pelakunya, mari fokus ke masalah ini."

"Mana sampel pembandingnya?"

Ah, benar. Tanpa adanya pembanding, Watson takkan tahu itu darah siapa. Dia berpikir sejenak, teringat sesuatu, meraih syalnya di gantungan. Bingo! Setetes darah berjejak di ujung kain.

"Aku memegang tangan tersangka yang terluka memakai syalku. Coba bandingkan dengan itu." Watson menyerahkannya dengan wajah puas. "Btw, berapa lama pengerjaannya?"

"Mungkin 4 hingga 9 jam," jawabnya santai. "Dengan peralatan terbatas di laboratorium, kita hanya bisa memakai PCR dan gel elektroforesis untuk memverifikasi hasilnya. Prosesnya agak lebih lama dari yang biasanya."

Tidak ada pilihan. Sepertinya mereka akan menginap di sekolah hari ini. 

Sambil menunggu Hellen selesai meneliti di laboratorium Kimia, Watson ingin mendengar detail masalah guru olahraga, namun dia mendapati hal aneh di tablet Aiden yang menyala.

"Kau juga suka boyband 5VIBE?"

Aiden menggeleng. "Tidak lah. Aku sabar menunggu Bunga Maehwa-ku debut. Mereka hanya lewat di fyp-ku."

Watson manyun. "Sejak kapan kau jadi kpopers begini? Gara-gara pria bunga aneh itu? Seleramu membingungkan," hardiknya menggulir layar tablet. "Tak ada yang menarik dari seorang idola. Mereka itu hanya manis di luar saja."

"Hei, kau nggak boleh menghardik profesi seseorang. Itu nggak adil lho."

Jeremy tersenyum menggoda. "Dia begitu karena cemburu kau lebih suka pria tampan yang bisa nyanyi."

Watson tertawa datar. "Lucu sekali."

"Kalau itu masalahnya..." Aiden memegang lengan Watson. "Tenang. Kau selalu nomor satu kok bagiku."

Aiden spontan menatap Jeremy yang mengedipkan mata. Dasar! Ternyata dia sengaja menggoda Watson untuk membantu aksi modusnya. Tapi...

"Itu tidak baik, Aiden. Kau seharusnya memprioritaskan orangtuamu, bukan teman." Watson menggeleng.

"T-teman?" ulang Aiden hilang tenaga.

"Ya, kita berteman, kan? Aku senang kau mempedulikanku. Tapi jangan sampai menomorduakan orangtuamu. Kita hanya teman, bukan saudara."

"Sudah cukup! Hentikan, Watson! Kau bisa membunuh hati mungilnya!"

Jeremy menepuk-nepuk bahu Aiden yang galau. Menuturkan kata teman berulang kali seperti robot rusak.

"Ng?" Akhirnya Watson menemukan sesuatu. Dahinya berkerut. "Tunggu, bukankah warna lighstick-nya merah? Kenapa di sini putih cemerlang?"

Aiden menyeka pipi. "Mana kutahu. Dari yang kulihat dari akun official-nya memang putih," ucapnya letoy.

Tunggu. Jadi yang di kamar Ayselle...?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top