Part 7
Watson kembali ke TKP, namun yang ditemuinya bukanlah junior Angra, melainkan anak buah Escal yang sibuk lalu lalang memotret, mencatat, dan bertanya pada penduduk setempat.
Jadi Escal betulan serius mengambil alih kasusnya. Repot juga nih. Apa pun itu, Watson harus bermain cerdas agar bisa masuk ke rumah korban. Tapi bagaimana caranya? Kelompok Escal hampir ada di setiap sudut TKP.
"Hmm?" Matanya tertuju pada salah satu petugas forensik yang berjalan cepat ke toilet umum, menyeringai.
Tiket masuk datang dengan sendirinya.
Meski cerdas, Watson sangat lemah dalam kategori fisik. Jadi tak heran dia selalu membawa aneka ragam jenis suntikan. Pistol bius, dart yang telah diolesi obat tidur, dan sebagainya.
Dengan pakaian forensik yang dia pinjam dari petugas malang, Watson keluar dari toilet dan berangkat ke TKP. Dia menunduk sedikit, memastikan wajahnya tidak terekspos. Rekan Escal terlalu sibuk untuk memperhatikannya.
Di dalam rumah, Watson bergerak cepat tapi tenang. Dia memanfaatkan penyamarannya untuk mengobservasi, mulai mengamati titik yang sudah diberi garis-garis putih di lantai.
Lupakan. Watson tidak tertarik dengan lokasi korban merenggang nyawa. Dia melangkah menuju pintu, mengecek gerendelnya. Benda itu baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda pembobolan.
Satu-satunya yang pecah adalah jendela. Apakah tersangka masuk dari sana? Tapi... bukankah itu terlalu terang-terangan? Memecahkan kaca hanya akan menimbulkan suara bising. Peluang ketahuan seratus persen.
"Huh? Tunggu, apa ini?"
Watson berjongkok di depan jendela. Ada sesuatu di sisa bingkai kaca yang masih terpasang: suatu retakan samar. Retakan itu tidak biasa. Terdapat pola kecil bak garis-garis halus bercabang.
Ini seperti..., pukulan pertama kurang kuat untuk menghancurkan kacanya. Pelaku tampaknya tidak langsung memecahkan jendela. Ada momen keraguan atau itu percobaan awal?
Watson beranjak bangkit, mundur selangkah, mencoba membayangkan adegan tersebut dalam kepalanya. Apakah pelaku mendadak kehilangan keberanian? Atau dia memastikan sesuatu sebelum bertindak lebih jauh?
"Kenapa kau ragu-ragu, Tuan Pelaku..."
Eh, sebentar! Watson mengeluarkan cotton buds, menyapukan ujungnya untuk mengambil sampel darah tipis di antara retakan super halus itu.
"Apa kau menemukan sesuatu?"
Watson berhenti di tengah analisisnya, refleks memutar tubuh ke arah suara berat itu. Di sana, Escal berdiri dengan tangan terlipat, menyambut juniornya yang baru kembali dari tugasnya.
“Kondisi cctv menyorot ke arah lain, Pak. Tidak ada rekaman yang bisa digunakan," lapornya sambil terengah. "Karena sebulan terakhir pencurian sedang marak terjadi di sini, mereka memusatkan cctv ke perumahan elite."
Escal mengelus dagu. "Apa mungkin mereka menyangka rumah ini tidak punya apa-apa karena terlihat kecil?"
"Kalau mereka berpikir demikian, Pusat Keamanan Publik benar-benar keliru! Bahkan di kamar adik korban memiliki barang-barang, album, dan koleksi K-pop lainnya yang harganya jutaan."
Korban memiliki adik?
Tanpa pikir panjang, Watson berhenti menguping percakapan mereka dan bergegas naik ke lantai dua. Tidak sulit menemukan kamarnya karena di daun pintu terpasang papan nama feminim berwarna cokelat bertuliskan Ayselle Room's dalam huruf kursif yang dihiasi bunga kecil di sudutnya.
Kamar itu gelap. Dindingnya penuh dengan poster-poster idola, rak-rak penuh album, dan aneka merchandise yang terorganisir rapi di meja. Ayselle menyukai boyband bernama 5VIBE.
"Wah, dia benar-benar fans fanatik."
Tatapan Watson jatuh pada lightstick di rak tertinggi. Bentuknya menyerupai bintang dengan permukaan berwarna merah. Tertarik, dia memegang benda itu, namun alisnya segera berkerut.
"Ini cukup berat," ocehnya, menatap material benda tersebut. Ukurannya lebih besar dari telapak tangannya. "Apakah terbuat dari akrilik padat?"
Apa pun itu, hal ini bisa jadi petunjuk.
.
.
Beberapa menit kemudian, Watson tiba di kantor polisi Blue Ridge. Tempat para junior Angra bertugas. Dia malas ke sini, tapi tiket gratis menunggunya. Jadilah Watson melangkah masuk.
Tapi anehnya, petugas di lobi terlihat memang menunggunya. Dia berdiri, menghampiri Watson dengan senyum tipis di wajahnya. "Watson Doyle, kan?" katanya melihat celana Watson.
Watson mengerutkan kening, agak terganggu dengan tatapannya. "Iya..." Apa sih? Ke mana matanya melihat?
"Anda sudah ditunggu oleh Kopral Erick bersama yang lainnya. Segera antar anak berseragam sekolah ke ruang taklimat dan mulai berdiskusi."
Ah, jadi karena itu rupanya. Watson menggaruk kepala. Bukan karena apa, dia hanya tidak punya waktu untuk mengganti seragam sekolahnya. Tapi kalau mereka tengah menunggu kedatangannya, itu berarti Angra telah mengonfirmasi jika dia bukan pencuri.
Baguslah. Itu menghemat waktu.
Watson masuk ke ruang yang disebut oleh wanita tadi. Di dalamnya, empat junior Angra yang sedang berbicara, serentak menoleh kepadanya.
"Ah! Kau datang juga!" Jonas langsung menghampiri dengan senyum lebar, tanpa ragu merangkul Watson erat. "Kenapa tidak bilang kau keponakan Kapten Angra?! Kami kan tidak perlu bersikap tidak sopan padamu."
Watson membelalak. "Hah? Siapa yang mengatakan itu?" tanyanya cepat, melepaskan diri dari pelukan Jonas.
Erick menepuk bahu Watson. "Maaf atas tingkah kami kemarin, Capteen. Mari kita lanjutkan penyelidikan kita. Asal kau tahu, kami tidak menyerah."
"Kau barusan memanggilku apa?"
"Masuk akal, kan?" cetus Megan dari kursi belakang sambil menutupi wajah yang gemas pada kebingungan anak itu. "Capteen, kapten remaja. Atau haruskah kami ganti jadi Teenager?"
"Teenager? Itu terdengar keren!"
Watson mau membuka mulut untuk meluruskan kesalahpahaman, tapi Pierre sudah menggiringnya ke kursi bagian depan. "Sudahlah, perkenalan bisa dilanjutkan nanti. Kita mulai rapat saja. Soal penemuan mayat kemarin."
Ingin marah, namun Pierre benar. Mau tak mau Watson memperhatikan layar walau dalam hati masih mengomel. Siapa lagi kalau bukan Angra yang mengatakan omong kosong itu agar tidak repot-repot menjelaskan.
Pierre memimpin rapat tersebut.
"Nama korban Lucy Addison, 28 tahun, seorang penasihat investasi (bankir). Menurut laporan asesmen yang sempat ku-copy sebelum disita, korban meninggal karena pendarahan hebat di kepala dan pinggang. Senjata pembunuhan adalah pisau dapur."
"Senjatanya ada di TKP?"
Megan mengangguk. "Sampai saat ini, belum ada kabar dari tim forensik. Tapi tidak usah khawatir, Capteen. Kami cukup akrab dengan salah satu dokter forensik. Dia pasti akan membagi penelitiannya ke kita. Kalau tidak, dia akan diamuk Kapten Angra. S-seperti kami yang diancam beliau kalau tidak menghormatimu. Huhu, mengerikan!!!"
Mengancam? Tipikal Angra sekali.
Watson membaca dokumen yang diserahkan Jonas, sedikit tidak nyaman melihat tatapan antusias pria itu.
Lucy didiagnosis mengalami fraktur tengkorak linier, yang menandakan bahwa korban tidak langsung tewas saat kepalanya dipukul oleh benda keras. Pelaku tampaknya menyadari hal ini lantas menikam pinggang korban, tepat pada bagian usus, lalu meninggalkan korban yang sekarat.
Tapi kenapa pelaku menaruh pisaunya di TKP alih-alih menyembunyikannya? Apa dia ingin polisi menemukannya?
"Sepertinya Escal benar kali ini," kata Pierre mendesah pelan. "Tersangka yang kita tangkap adalah pelakunya."
Watson menatapnya intens. "Kenapa?"
"Karena dia punya riwayat kejahatan yaitu perampokan. Dan mungkin dia lah yang mencuri kawasan elite di Virginia sebulan terakhir," lanjutnya.
"K-kalau begitu semuanya masuk akal! Lucy dibunuh karena melihatnya menerobos masuk ke rumahnya."
"Tidak," sergah Watson memotong kesimpulan Pierre dan Megan. "Jangan sembarangan menyimpulkan. Berikan aku biodata tersangka dan cari tahu di mana adik korban sekarang."
Mereka diam. Hal ini tentu membuat Watson mengernyit. "Kenapa?"
"Ayselle di rumah sakit karena diserang tersangka. Makanya dugaan kami kuat bahwa dialah yang membunuh Lucy."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top