Part 4

1430 Fox Hollow Drive.

Watson turun dari taksi untuk kedua kalinya. Dia mengikuti mobil yang dinaiki Erick, Pierre, Megan dan Jonas lalu sampai di tkp. Dia memperhatikan gerak-gerik mereka dari jarak aman. Hujan salju tidak turun sederas tadi, jadi dia tidak perlu mengembangkan payung.

Watson merapatkan syal di leher sebelum matanya beralih ke rumah di hadapannya. Kerumunan telah terbentuk di depan rumah itu, sementara lampu-lampu darurat merah dan biru dari mobil polisi serta ambulans berpendar samar, memberikan cahaya pada garis polisi kuning yang membentang di sekeliling properti. Warga setempat berdiri di luar pagar, memandang penasaran. Beberapa mengangkat ponsel untuk merekam kejadian.

Baru saja Watson mendekat, kerumunan itu tiba-tiba tersibak. Seorang pria mencengkram lengan seorang konstabel, menodongkan pecahan kaca berbentuk segitiga ke lehernya. Sorot mata pria itu tidak fokus dan desperasi.

"Minggir! Beri aku jalan!" teriaknya.

"T-Tuan, anda tidak bisa melakukan ini," kata Megan berusaha tenang. Kedua tangannya terangkat sebagai tanda tidak berniat buruk.

"Lepaskan dia dan kita bicara baik-baik. Oke?" tambah Erick. Dia sedikit memajukan langkah, menatap pria itu hati-hati, berusaha untuk tidak memperburuk keadaan.

Watson berdiri diam di belakang kerumunan, tubuhnya tegak, matanya mengamati dengan penuh perhatian. Dia tidak terburu-buru untuk bertindak. Ada banyak informasi yang bisa didapat hanya dengan mengamati.

"Cepat minggir, atau dia mati!" Pria itu semakin menekankan kacanya ke leher polisi tersebut. Setetes darah mengalir membuat semua orang menahan napas. Pucat pasi.

"Ayolah, Tuan. Lepaskan dia. Nanti saya traktir ayam goreng," bujuk Jonas, mencoba melonggarkan ketegangan dengan cara yang agak tidak biasa. Tersenyum canggung.

"Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan ramah tamah?" Erick kehabisan kesabaran. Dari tadi dia tidak menemukan celah untuk maju tanpa membuat keadaan jadi genting.

Pria itu tertawa sinis, nada suaranya bercampur amarah dan kepahitan. "Bicara baik-baik? Aku sudah bilang bukan aku pelakunya! Saat aku sampai di sana, wanita itu sudah bersimbah darah! Tapi kalian tetap menuduhku dan ingin menangkapku!"

Kemudian menatap Jonas. "Aku mau seember."

"Akan saya pesan sekarang kalau anda mau melepaskan sandera. Mau ya? Seember ayam khusus bagian paha dan kola."

Pierre yang berdiri tak jauh dari Erick, berkacak pinggang sambil menatap pria itu sebal. "Wahai! Kami tidak menuduhmu, kami hanya ingin meminta alibimu. Kenapa kau malah mengamuk kalau memang tak bersalah? Ayo ngaku. Kau yang melakukannya, kan?!"

Aish! Pierre, si bodoh itu! Komentarnya hanya akan memperkeruh keadaan. Erick meludah ke arah sepatu Pierre yang refleks menghindar. "Kau apa-apaan sih?! Mending diam deh."

"Soalnya dia bikin aku gregetan."

Pria itu mendengus, manik matanya bergerak mencari jalan keluar. Tapi dengan petugas kepolisian yang mengelilinginya dan warga yang berkerumun, pilihannya terbatas.

Watson mengangguk, selesai menilai situasi.

Begitu rupanya. Pria ini adalah tersangka utama dari penemuan mayat, namun ngotot bilang bukan dia pelakunya. Meski begitu para polisi tetap membutuhkan alibi resmi untuk memperjelas kasus ini. Dia menolak kooperatif hingga berakhir dengan penyanderaan.

Watson menatap tas yang tergeletak di kaki Erick, tampaknya milik tersangka. Dari isinya yang mengintip, Watson menemukan beberapa alat mencurigakan seperti tang, obeng, palu, senter, dan sebuah peta yang penuh coretan.

Diliriknya rumah tkp. Salah satu petak jendela ada yang pecah dengan sisa-sisa kaca yang berserakan di ambang. Saat Watson kembali menatap si pria yang menyandera polisi, dia melihat pecahan kaca segitiga di tangan pria itu. Bentuk dan ukurannya cocok dengan serpihan jendela yang rusak. Hm, mungkinkah...

Belum selesai Watson memonten bagian luar tkp, pria itu semakin agresif. Teriakannya semakin mengancam. Dia menghela napas, melepaskan syal. Mungkin sudah waktunya dia bertindak atau seseorang akan terluka.

"Aku bilang minggir! Biarkan aku lewat!"

Watson bergabung ke dalam kekacauan itu dengan langkah ringan, berjalan normal seperti pergi ke sekolah di pagi hari. "Kenapa adegan klasik ini tidak hanya terjadi di film, tapi juga di dunia nyata?" celetuknya sembari membalut telapak tangan menggunakan syal.

Beberapa petugas yang menenangkan warga, melirik Watson dengan bingung dan panik. "Astaga! Apa yang anak itu lakukan?! Apa dia sudah gila?" bisik mereka, terkejut melihat seorang remaja nekat melangkah maju.

Megan mengerjap. "Lho, dia kan anak yang tadi? Ya ampun! Mundur dari sana! Pria itu berbahaya!" serunya mencoba menarik tangan Watson, tapi sudah terlambat. Si penyandera lebih dulu menyadari kedatangan Watson.

"Apa maumu, bocah? Menggantikan polisi ini?" kekehnya menodongkan pecahan kaca tajam.

Watson mengernyit mendapati lengan pria itu mengucurkan darah, entah sejak kapan dia terluka. Tapi si pria tidak membiarkannya melihat lebih lama, mendekatkan todongan.

"Aduh, itu berbahaya. Tolong berhati-hatilah dengan benda tajam," ucapnya mengambil pecahan kaca itu menggunakan tangan yang terbungkus kain syal dalam sekali sambaran. Dia membuangnya ke tong sampah terdekat.

Semua orang melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Pria yang mengancam sama kagetnya, terbelalak bingung. Apa-apaan remaja itu?! Tidak ada jejak ketakutan sama sekali di wajah Watson. Antara terlalu berani, gila, atau keduanya.

Erick berhenti melongo karena mengecap salju yang dingin. "Sedang apa kalian, bweh? Cepat ringkus dia!" teriaknya memerintahkan para petugas menangkap si pria yang linglung kehilangan senjata sambil meludah-ludah.

"Baik, Pak! Bweh! Bweh!"

"Jangan meniruku! Aku menjilat salju!"

Watson membiarkan polisi melanjutkan pekerjaannya, kembali memasang syal itu ke lehernya seakan tidak ada yang terjadi.

Pierre mendekatinya. "Hei, Nak, siapa kau?"

Watson mengeluarkan kartu identitas Angra dari sakunya dan menunjukkannya dengan datar. "Aku kapten pengganti kalian. Aku diutus Inspektur Angra. Salam kenal."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top