Part 3
Bel pulang telah berdering, namun Watson belum beranjak dari kursinya. Dia menopang dagu, memainkan kalung ID milik Angra menggunakan tangan kiri. Menghela napas.
Kalau sudah begini ceritanya, mau tak mau dia harus pergi ke West Virginia. Jaraknya cukup jauh, tapi Angra meninggalkan kreditnya untuk ongkos perjalanan Watson. Entahlah, berapa limit dalam kartu itu. Dengan kartu ini, setidaknya perjalanan ke sana takkan menguras kantongnya sendiri.
Sebenarnya enak juga jadi Watson. Sudah diberi suapan yang menggiurkan, dihadiahi kartu kredit pula. Dan dia hanya perlu menjaga bawahan Angra beberapa minggu.
"Baiklah, ayo kita lakukan ini."
Watson menyandang tasnya, keluar dari kelas. Dia tidak tahu apakah tugas ini akan jadi bencana atau petualangan, yang jelas sebagai seorang fans sejati Sherlock, dia takkan mengabaikan kesempatan ke London.
Sebelum berangkat, dia singgah sebentar ke Klub Detektif. Sudah jadi kebiasaan Watson melapor ke teman-temannya dulu supaya mereka tidak khawatir atau lebih tepatnya tidak mengamuk karena kehilangan jejaknya.
Ketika Watson membuka pintu, suasana riuh menyambutnya. Di sudut, Aiden duduk sambil menjerit semangat pada ponselnya. Gadis itu tengah menonton acara survival show yang populer di Korea. Matanya tak lepas dari layar, teriakan kecil terus keluar dari mulutnya setiap kali sang idola muncul.
Di sisi lain, Hellen dan Jeremy duduk berdampingan, dikelilingi tumpukan berkas yang berserakan. Mereka tampak serius, memilah permohonan kasus murid-murid yang meminta tolong mencari sesuatu.
Klub ini selalu ricuh dengan caranya sendiri.
Tersenyum tengil, Watson melangkah ke arah Aiden sambil bersedekap. Dia berhenti di sampingnya yang masih terpaku pada layar ponsel. "Oh, jadi seleramu pria yang joget-joget tak jelas sambil memamerkan lekuk tubuhnya? Ckckck, sulit kupercaya."
Aiden manyun, setengah kesal dan setengah senang. Kesal karena hobinya diledek dan senang Watson yang biasanya apatis, tiba-tiba sedang ada mood menjahilinya.
"Ayolah, Dan, kau takkan mengerti letak serunya. Ini jauh lebih mendebarkan daripada memecahkan kasus. Coba lihat deh, ini biasku. Han Maehwa yang tampan~!"
"Maehwa dari bunga maehwa?"
Gadis itu menyodorkan ponselnya ke wajah Watson, memperlihatkan wajah idolanya. Seorang pria dengan tinggi 165-an, berambut putih salju dan berkulit putih susu, serta mata merah cemerlang yang menggoda.
"Julukannya Wintermoon. Aku menyukainya sejak episode satu," kata Aiden bangga dengan mata berbinar. "Dia sangat lucu! Aku rutin membelikannya clover buat dukungan. Oh iya, aku berencana mau ke Korea untuk menonton finalnya. Apa kau mau... ikut..."
Kalimat Aiden terpotong-potong saat menyadari tatapan Watson berubah tajam. Aduh, sifat kulkas empat pintunya aktif lagi. Khas cowok itu tatkala merasa muak.
"Aku lebih suka bertemu mayat daripada datang ke acara idol," ucapnya dingin, tidak tertarik dengan dunia artis penuh drama.
Aiden menggerutu dalam hati, mematikan ponsel dan menyembunyikannya ke saku rok. Padahal dia tidak pernah meledek Watson yang cinta mati pada Sherlock. Untung saja dia penyabar, kalau tidak, Aiden sudah memepetnya ke dinding dan menciuminya.
Watson mengibaskan tangan, gerakan yang menandakan dia tidak mau memperpanjang obrolan soal peridolan. Cowok itu meraih jaketnya yang tergantung di sandaran kursi.
"Aku harus pergi ke suatu tempat."
Jeremy spontan menoleh. "Lho, kau mau pergi? Kita kan mau mencari buku kas milik kakak kelas yang hilang siang ini."
Watson ringan mengangkat bahu. "Aku yakin kalian bisa mengurusnya sendiri," katanya datar sambil mengintip ke luar jendela, memperhatikan langit yang gelap. Suhu juga rendah. Sepertinya akan turun salju.
Perhatiannya beralih ke sebuah payung yang tersandar di dinding dekat pintu berwarna biru terang. "Ini punya siapa?" tanyanya.
Aiden refleks mengangkat tangan. Dia baru membelinya minggu lalu, sengaja memilih biru karena mirip dengan mata Watson. Sekilas, Aiden mengharapkan reaksi semacam senyuman atau ucapan terima kasih.
"Aku pinjam dulu, ya."
Dan dia melengos pergi begitu saja. Hellen dan Jeremy menghela napas panjang. Sesuai dugaan, modus seperti itu memang terlalu sulit untuk ditangkap oleh Watson.
*
Setelah berjam-jam dalam perjalanan kereta yang membosankan, berkelok-kelok di antara pegunungan dan hutan lebat, Watson akhirnya tiba di West Virginia. Perkiraannya akurat. Salju turun setibanya di sana. Kepul uap membumbung kala dia bernapas.
Dengan langkah mantap, Watson berjalan menuju taksi yang menunggu di luar Stasiun charleston. Tujuan utamanya: Blue Ridge Police State, tempat junior Angra bertugas Taksi itu bergerak mulus ke jalan raya, meninggalkan keramaian stasiun.
"Baru pulang sekolah, Nak?" tanya si sopir.
Inilah yang Watson benci dari sekolahnya. Desain seragam merah marun kotak-kotak yang mencolok membuat orang langsung tahu dirinya adalah seorang siswa. Tahu begitu mending tadi Watson ganti pakaian.
Watson tersenyum simpul. "Ah, iya."
"Mau ngapain pergi ke kantor polisi, hm?"
Watson berusaha tersenyum ramah, memilih diam. Dia tidak mau terjebak dalam obrolan yang tak diinginkan. Syukurlah si sopir peka dan tidak bertanya lagi, fokus menyetir.
Setelah beberapa menit melewati jalan sempit dan sepi, taksi akhirnya berhenti di depan sebuah gedung berwarna merah muda. Papan nama yang terpasang sudah memudar dan tulisan Blue Ridge sulit dibaca.
"Yang benar saja. Kantor polisi pink?"
Gedung kecil itu terlihat jauh dari kesan kekuatan atau otoritas gahar yang biasanya melekat pada sebuah kantor polisi. Malah mirip TK daripada instansi penegak hukum.
Terserahlah. Mungkin sedang tren. Watson tetap memasuki gerbang. Saat hendak memasuki lobi, dua polisi keluar dengan langkah terburu-buru nyaris menabraknya. Watson kenal wajah polisi-polisi itu. Erick dan Pierre, mereka adalah bawahan Angra.
"Ayo cepat! Kita tidak boleh telat ke tkp! Di mana Jonas? Sedang apa anak itu?!"
"Sepertinya dia lagi berak."
Seseorang menepuk pelan bahu Watson yang menyimak obrolan mereka membuatnya sedikit terlonjak. Watson menoleh dan mendapati Megan—juga salah satu junior Angra—berdiri dengan ekspresi lembut.
"Ada yang bisa kakak bantu, Dek?"
"Ah, itu..." Watson tergagap, berusaha menyusun kata-kata. Tapi dia bingung harus bagaimana menjelaskannya. Tidak mungkin dia langsung bilang dia dikirim oleh Angra.
"Kalau kau ingin melaporkan sesuatu, silakan temui petugas di dalam. Kami harus pergi."
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Megan bergabung dengan Erick dan Pierre yang sudah setengah jalan menuju mobil patroli, meninggalkan Watson dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.
Baru juga datang, sudah terjadi sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top