Part 2
Pertemuan pertama Watson dan Angra sama sekali bukan kenangan baik. Saling bentak, keras kepala, dan tak mau mengalah karena keduanya sama-sama egois. Menurut Angra, cowok itu hanyalah remaja menyebalkan yang sok sibuk bermain detektif-detektifan, mengganggu pekerjaan polisi. Sedangkan menurut Watson, pria itu hanyalah orang yang suka darah tinggi dan benci anak-anak.
Bukankah itu tidak adil? Sepertinya Angra membolos atau absen saat pelajaran bahasa hingga salah mengartikan definisi anak kecil dengan remaja yang belasan tahun.
Watson sebenarnya malas banget berurusan dengan orang ini, tapi apalah daya. Dia terlanjur menerima sogokan. Kalau bukan mapo tofu, ya kue red velvet. Anak itu sangat menyukai makanan manis dan pedas.
"Jadi, ada gerangan apa kemari? Sampai melarang teman-temanku mendengarkan, kelihatannya itu penting sekali."
Watson pun membuka percakapan sambil menyendok potong kue di piring. Ahh! Enak!!! teriaknya dalam hati dengan ekspresi tetap datar. Enggan terlihat terlalu menikmati, apalagi sampai memberi kesan tantrum.
Angra mengamatinya sejenak, menyeringai. Dia sadar Watson mati-matian menjaga gengsinya di balik ekspresi datar itu. Tapi sudahlah, dia sedang tidak minat menggoda. Tanpa berkata apa-apa, Angra menyodorkan empat lembar kertas dan menyusunnya di atas meja, tepat di depan Watson.
"Mereka adalah anak-anak didikku."
Watson mengintip sekilas, manyun. "Anak didikmu adalah seekor kucing putih lucu?"
Mata Angra terbelalak mendengar itu, spontan menoleh ke arah kertas-kertas yang dia sebar. Sial! Ternyata dia salah kasih. Itu adalah surat adopsi peliharaan, bukan biodata yang seharusnya dia serahkan.
Langsung saja Angra menyambar kertas yang dipegang Watson dan yang ada di meja, mencoba menutupinya dengan gelagat canggung. Tangannya terulur cepat, hampir menjatuhkan cangkir kopi di meja.
Hah? Apa yang terjadi barusan? Angra mengadopsi empat kucing? Saking malasnya, Watson tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi, dia ingin tertawa meledek Angra sekencangnya. Di sisi lain, dia merasa aneh karena situasinya sangat awkward.
Angra menyerahkan biodata yang benar kali ini. Foto-foto wajah terpampang jelas di pojok kiri atas masing-masing halaman. Isinya berupa data personal empat polisi.
Yang pertama seorang kopral bernama Erick Wheels, 28 tahun. Kedua seorang sersan bernama Pierre Pardofelis, 26 tahun. Ketiga opsir wanita bernama Megan Americana, 26 tahun. Lalu terakhir yang paling muda, opsir magang bernama Jonas Li, 24 tahun. Mereka terlihat menawan dengan seragam resmi.
"Ini serius nama marganya Amerika? Keren!" ucap Watson manggut-manggut, menyesap susu hangatnya. "Tapi siapa polisi-polisi ini?"
Angra menyilangkan kaki. "Seperti yang kukatakan, mereka adalah junior-juniorku yang bekerja di kepolisian West Virginia."
West Virginia, salah satu negara AS bagian timur dengan pemandangan menakjubkan. Pegunungan Appalachia, sungai-sungai deras, serta hutan yang tampak tidak berujung. Perbukitan rimbun dan komunitas tertutup membuatnya terasa seperti dunia tersendiri. Meski tingkat kejahatan kekerasan relatif rendah, sempat terjadi kehebohan besar di sana yaitu penyelundupan narkoba.
"Aku ingin kau membina mereka."
Air di mulut Watson muncrat menyembur wajah Angra, diikuti cegukan kecil. Hening beberapa detik. Seharusnya Angra sudah marah sekarang, namun dia hanya menarik napas panjang, mengeluarkan sapu tangan, dan dengan sabar mengelap wajahnya.
"A-apa aku salah dengar barusan?"
"Tidak, aku serius. Aku akan ditugaskan beberapa minggu di Korea. Aku tidak mau meninggalkan mereka di bawah tekanan Komisaris. Aku butuh pengganti. Tapi kau tahu sendiri reputasiku di mabes tidak baik."
Bukankah itu karena kepribadiannya? Watson tidak terkejut Angra tidak memiliki teman di kantor. Pria kasar dan emosian ditambah bermulut silet seperti Angra takkan disukai. Mau sekeras apa pun Watson berpikir, tidak ada nilai positif sedikitpun dari orang itu.
"Bagaimana dengan Petugas Ingil?"
"Dia satu-satunya rekanku. Tentu saja dia akan ikut denganku," jawabnya enteng.
Membimbing junior Angra? Itu bukan tugas mudah. Lagipula... kok bisa-bisanya seorang polisi meminta bantuan dari remaja?! Ini pasti semacam lelucon. Watson hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi wajah serius Angra menghapus keraguan itu.
"Umur anda berapa, Inspektur?"
Angra mengernyit heran. "32. Kenapa?"
"Dan saya 16 tahun. Rentang jarak usia kita sangat jauh. Apakah anda sudah gila minta tolong ke remaja? Tidak masuk akal!"
"Aku benci mengatakan ini, tapi hanya kau yang bisa kuandalkan. Aku benci melakukan ini, tapi kau cerdas. Mungkin bawahanku bisa belajar dari cara pandang yang berbeda." Alisnya bertaut seolah mengakui Watson merupakan pekerjaan terberat sedunia.
"Kalau ogah memujiku, maka jangan dipaksakan. Aku jadi ingin menghajarmu."
Situasi ini benar-benar absurd. Angra menyuruh seorang remaja menggantikan posisinya di kepolisian di saat Watson masih berstatus pelajar. Itu bukan level tanggung jawab yang wajar bagi anak seusianya. Apa Angra benar-benar kehabisan alternatif sampai membuat pilihan yang mainstream?
Selagi Watson mencerna permintaan itu, Angra telah menyerahkan kartu namanya. "Aku sudah memberitahu mereka bahwa mereka akan memiliki kapten pengganti, tapi aku tidak mengungkap nama aslimu. Jadi usahakan jangan pakai nama margamu. Lalu gunakan itu untuk mendapatkan akses ke mana pun jika kalian mendapatkan kasus."
Angra baru saja berbalik seakan urusan ini sudah selesai. Tapi Watson cepat-cepat memanggilnya. "Hei, tunggu! Mau pergi ke mana kau? Jangan seenaknya menyuruhku dan pergi! Pikirmu aku mau melakukannya?"
"Kurasa kau cukup dewasa untuk ini."
"Dewasa?" Watson melotot. "Kau betulan serius menyuruh remaja untuk jadi kapten dadakan? Kau kehilangan akal sehat—"
"Tiket first class untuk pergi ke London selama seminggu. Bagaimana menurutmu? Kau bebas bermain sepuasnya di sana tanpa membayar apa pun. Hanya membawa badan dan pakaian. Pulang-pergi gratis. Oh, kalau kau mau kau bisa mengajak temanmu."
Watson memejamkan mata, berusaha menahan diri dari godaan setan. "K-kau pikir aku akan terbujuk dengan itu?! Lebih baik kau pergi daripada menyogokku! Enyahlah!"
Angra tidak bergerak sedikitpun, seakan sudah menebak reaksi itu. Dengan tenang, dia membuat tawaran yang lebih menggoda yang tidak bisa ditolak seorang Watson.
"Bagaimana kalau kutambahkan tiket premium ke museum 221B Baker Street—"
"Senang berbisnis dengan anda!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top