Part 12
Watson baru saja terbangun, mendapati dirinya berada di ruangan yang amat dia kenali—Klub Detektif. Sinar matahari menerobos melalui celah tirai. Dia menyibak selimut, melangkah menuju jendela untuk melihat hari yang ternyata sudah pagi. Langit hari ini cerah. Salju bertumpuk di jalan. Panas matahari tidak cukup kuat mencairkannya.
Astaga, berapa lama dia tertidur? Narkolepsi sialan itu benar-benar tidak ada kendornya.
Hellen masuk ke dalam klub, bersitatap dengan Watson yang menguap, masih mengumpulkan sisa kesadaran. "Kau sudah bangun rupanya," ucapnya menyibak gorden semua jendela. "Baguslah. Segera telepon pamanmu sana. Dia menyepam kami semalaman karena kau tidak izin menginap."
"Paman? Oh, tidak..." Dia buru-buru merogoh saku, mencari ponsel yang malah mati total. "Shit! Kenapa kau tidak membantu menchargernya sih, Stern? Jam bermainku bisa dipotong olehnya!" umpatnya bergegas mencari kabel pengecas.
"Sobat, kau lah yang tidak minta izin. Kami cukup kebingungan saat para polisi itu mengantarmu."
Gerakan Watson terhenti sejenak. "Polisi?"
Sepertinya Watson tahu apa yang terjadi. Dia genius, tidak butuh waktu lama mencerna situasi. Watson pingsan (atau tertidur istilahnya) di kamar Ayselle. Para junior Angra mengantarnya ke sekolah karena tidak tahu alamat rumahnya.
Itu pilihan bijak. Jika mereka nekat membawanya ke rumah dalam keadaan begitu, pasti ada dua skenario buruk yang menanti: mereka akan mati dirujak hidup-hidup oleh Beaufort tanpa sempat meluruskan kesalahpahaman dan Watson akan diceramahi habis-habisan oleh tantenya tentang betapa pentingnya meminta izin pada sang wali.
"So? Care to explain?"
Watson mengernyit. Tangannya terulur mengambil cangkir teh di meja. "About what?"
Sebelum cangkir itu menyentuh bibirnya, Aiden lebih dulu muncul dari samping, menepuk lengannya sambil mendesis. "Dasar jorok! Pergi ke kamar mandi dulu sana. Basuh mukamu yang udah kayak gulungan kaus kaki itu. Kau ini kebiasaan."
Watson hendak membantah, tapi tidak jadi. Aiden ada benarnya meski caranya menegur terlalu berlebihan. Cowok itu meletakkan cangkir ke meja, keluar dari klub dengan wajah bersungut-sungut.
Selama di lorong, Watson menggerutu dalam hati. Apa Aiden tidak bisa menegur lebih sopan atau lebih lembut? Bagaimana kalau tehnya tumpah dan malah mengenai wajahnya? Kulitnya bisa terbakar.
Di tengah keluh kesahnya, Watson tiba-tiba mendengar suara aneh. Suara klik lampu, berulang kali. Dia berhenti melangkah dan menoleh ke ruang klub kerajinan yang terletak di ujung kelokan menuju lantai dua. Lampu di sana berkedip-kedip.
Kenapa sih di sana? Rasa ingin tahunya terangsang. Watson maju sedikit, mendengarkan saksama. Suara klik itu tidak hanya sekali, tetapi berulang, disertai cahaya yang mati-menyala dengan ritme tidak teratur seperti di film horor kelas B.
Insting detektifnya mulai beraksi. Mungkin saja ada sesuatu yang perlu diselidiki. Dia melupakan niat untuk mencuci muka sejenak dan mendekat ke klub kerajinan, mengintip dari jendela. Lampu masih berkedip-kedip dan Watson membeku ketika matanya menangkap sesuatu di dalam ruangan.
Di dekat lemari, bayangan samar tampak bergerak. Dia memicingkan mata, memfokuskan pandangan. Apa itu? Orang? Hewan? Atau hanya bayangan yang dimainkan oleh lampu yang terus berkedip?
Tapi sebelum Watson sempat mengamati lebih jauh, sebuah tepukan mendarat di bahunya.
“Sup, Bro! Lagi ngapain?”
“ARGH!” Watson hampir melompat dari posisinya. Dengan refleks, tangannya terangkat nyaris menampar sosok itu sebelum dia sadar siapa yang berdiri di sana. Watson melotot. "Jesus, Bari! Kau hampir membuatku mati berdiri, tahu?"
Jeremy nyengir, mengedikkan bahu. "Lagian kau sih, ngapain coba ngintip-ngintip kayak maling. Memangnya ada apaan di dalam? Mukamu horor."
"Ya, itu tadi..." Watson kembali menatap ke depan.
Kosong. Sosok bungkuk barusan sudah tidak ada. Padahal Watson yakin sekali ada sesuatu di sana, tepat di dekat lemari penyimpanan. Tapi sekarang tidak ada apa-apa selain perabotan berdebu dan cahaya lampu yang mulai berkedip-kedip wajar.
"Kenapa sih?" tanya Jeremy tak sabaran.
"Nggak ada. Mungkin aku salah lihat."
***
Pukul delapan pagi. Matahari semakin meninggi. Bunga salju di pepohonan mencair dan menetes mengenai kuduk Pierre karena dia yang paling dekat dengan gerbang. Dia berngidik, mendongak kesal sambil mengusap lehernya yang basah.
Liburan sekolah akan segera dimulai. Sudah banyak yang memulai liburan musim dinginnya. Tapi masih banyak juga murid-murid yang berdatangan ke sekolah, terutama yang mengikuti ekstrakurikuler. Terutama mereka yang ingin nilai tambahan.
Entah sudah berapa kali Erick, Pierre, Megan, dan Jonas menjadi tontonan siswa-siswi yang lalu lalang pagi itu. Keempatnya berdiri dekat gerbang sekolah—berusaha tampak kasual, tapi gagal total. Posisi mereka jelas mengundang perhatian.
Murid-murid yang datang berbisik-bisik, sesekali melirik ke arah empat orang dewasa itu dengan dahi berkerut. Beberapa bahkan berhenti sejenak, sekadar memastikan apakah mereka bukan penguntit atau orang gila yang tengah berteduh.
Erick yang jengah dengan tatapan-tatapan itu, bergegas menyelipkan tangan ke jaket dan menarik keluar kartu polisinya. "Kami polisi, bukan stalker ya manis. Silakan lanjutkan harimu."
Pierre mendengus kecil. "Kalau kita terus di sini, orang bakal berpikir kita lagi syuting film."
Megan melirik jam tangannya, lalu menghela napas panjang. "Mau bagaimana lagi? Teenager masih belum keluar. Kita harus menunggu."
"Apa susahnya sih kita masuk saja? Kalau ada guru yang nanya, bilang aja kita lagi bertugas."
"Kesan terakhir kita sangat buruk. Kau pikir Teenager sudi mendengarkan hasil persidangan Ayselle? Yang ada anak itu bakal mengumpati kita."
Erick menatap Pierre jengkel. "Bukankah kau yang sering meraguinya? Bertanya dan menceletuk dengan intonasi suara menyebalkan."
"Eh, hei, kau sendiri pun sama. Sering menghardik dan marah-marah padanya. Kasar."
Megan menepuk dahi. Misi mereka adalah bertemu Watson dan membicarakan sisa kasus Addison bersaudara. Kenapa Erick dan Pierre malah berdebat siapa yang paling buruk sikapnya? Padahal mereka kompak tidak percaya saat Watson mengenalkan diri sebagai kapten pengganti tim mereka.
"Bisakah kalian diam, senior? Nanti kita semakin dilihat oleh orang-orang! Kita bisa diusir!"
"Diam, Megan. Kau juga sama. Kau memborgolnya."
"Tunggu, kenapa kalian membawa-bawaku?"
Jonas mengangkat tangan. "Aku sejak awal baik dengan Capteen, jadi posisiku sangat aman."
"Tutup mulutmu!" sergah mereka serempak. "Justru kau yang lebih parah, menarik celananya."
"The hell were you all doing in there?"
Seketika, mereka spontan menoleh. Lihatlah! Orang yang mereka tunggu keluar dari gedung sekolah dari tadi tahu-tahu sudah muncul di belakangnya dengan gaya khasnya: bersedekap sambil bersandar di pintu gerbang. Jas almamaternya dia lepas. Rambutnya kusut, namun wajahnya tampak segar.
Megan langsung berdiri. "Ah, Capteen..." Dia melirik lainnya yang juga buru-buru bangkit. Berdeham kikuk. "Bagaimana kau tahu kami di sini?"
"Sejak anak-anak di sekolahku melapor ada sekelompok orang aneh merumpi di depan sekolah," katanya tersenyum sarkas. "What do you want?"
Megan berdeham sekali lagi. "Ah, itu... kami hanya ingin mengabari bahwa analisismu benar. Forensik juga tidak menemukan sidik jari di batang lightstick dan darah di benda itu adalah darahnya Lucy. Jadi... yang ingin kami sampaikan..."
Megan menyikut lengan Erick, meminta bantuan. Tapi mereka bertiga mendadak jadi patung.
"Simpan ucapan terima kasihmu," sergah Watson menegakkan posisi berdirinya, memasukkan tangan ke saku. "Jika sudah selesai, kalian bisa pergi dari sini. Kalian membuat murid-murid tak nyaman."
"T-tunggu, Capteen!"
Pierre mengepalkan tangan. "Hei, tunggu sebentar, Teenager! Kami masih belum selesai."
Watson menoleh. Menunggu lanjutannya.
"Ekhem! Kami minta... ekhem!... maaf atas sikap serampangan kami tempo lalu. Memperlakukanmu dengan tidak etis. Maklum kau marah. Tapi kau tetaplah kapten sementara kami. Jadi kau jangan sampai telat datang ke kantor. Udah, itu aja."
Watson menatap mereka bergantian. Erick yang tersenyum lebar malah terlihat seperti orang cabul, Jonas yang malu-malu kucing ditatap, Megan yang merapikan anak rambut, dan Pierre yang sibuk pura-pura batuk sampai batuk beneran.
"No, thanks. Aku punya urusan dengan timku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top