Part 11
"Excuse me? What did you just say?"
"Im talking about the truth. Isn’t it obvious?"
Semua orang di bangsal 17 terdiam demi mendengar perkataan Watson. Menilai dari gelagatnya yang super serius, cowok itu jelas tidak main-main dengan tuduhan barusan. Ayselle membunuh Lucy? Itu lebih memusingkan daripada mencari bukti fisik Chris lah pelakunya. Tidak mungkin adik korban yang sedang terbaring tak sadarkan diri membunuh saudaranya.
Escal pertama yang memecah ketegangan, terkekeh geli. "Apakah ini semacam lelucon remaja terkini? Jika kau sedang mencoba melawak, kusarankan pergi ke acara stand-up comedy karena aku bukan orang yang tepat mendengar candaanmu, Anak Muda."
"Oh yeah? Apakah aku terlihat bermain-main?"
"Tunggu-tunggu." Erick memotong ketegangan. "Untuk apa dia membunuh kakaknya sendiri?"
Watson pun diam sejenak. Dia menggaruk kepala, bingung harus mulai menjelaskan dari mana. Diliriknya jam tangan. Sudah pukul tujuh sepuluh pagi lewat sepuluh menit. Sebentar lagi para perawat akan berkeliling di koridor serta dokter yang menangani Ayselle juga akan datang memeriksa keadaannya. Ruangan ini tidak akan tetap sepi lebih lama lagi.
"Baiklah," kata Watson mengangguk mantap. "Dia memiliki motif untuk melakukannya. Bisa dibilang terhasut emosi dan berimbas pada pembunuhan."
Mereka saling tatap, menyimak saksama.
"Seperti yang kita ketahui, Ayselle adalah seorang kpopers garis keras. Idolanya mengadakan konser di entahlah, aku tidak ingat di mana. Yang jelas dia sangat ingin menonton konser itu dan membutuhkan tiket masuk. Tiket konser terlebih untuk boyband populer tentunya tidak murah harganya. Sangat mahal, dapat membiayai hidup selama tiga bulan.
"Ayselle meminta uang kepada Lucy untuk membeli tiket tersebut. Tapi Lucy menolak. Aku tidak tahu pasti alasannya, tapi masuk akal jika dia menolaknya karena uangnya lebih diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya tinggal berdua, kan? Tidak ada orang tua. Tidak ada yang membantu."
"Dan itu alasannya membunuh Lucy? Karena sebuah tiket konser? Motifnya sangat sepele."
Megan menyikut lengan Pierre, menyuruhnya diam. Watson masih belum menyelesaikan deduksinya. Pierre balik menyikutnya, melotot. Sakit tahu!
Watson memasukkan tangan ke saku jaket. "Memang terdengar konyol dan lemah, tapi itulah pemicunya. Mereka terlibat perdebatan yang membuat Ayselle sakit hati. Kemarahannya memuncak. Dalam momen impulsif, dia memukul kepala Lucy. Saat dia melihat kakaknya bersimbah darah dan sekarat, bukannya memanggil ambulans, Ayselle memilih pilihan terburuk yang terlintas di benaknya—menghabisi Lucy. Dia panik memikirkan apa yang akan menimpa dirinya jika kakaknya masih hidup dan melaporkannya.
"Dan di situlah Chris datang. Ketika Ayselle sedang menyiapkan skenario bahwa Lucy mengalami kecelakaan kecil yaitu terpeleset lantai licin atau apalah hingga tewas tertancap pisau, dia memergoki Chris mencoba menerobos rumahnya. Itu adalah kesempatan mengarang alibi sempurna. Ayselle memanfaatkan situasi untuk membuat-buat Chris merampok dan membunuh Lucy. Dan agar terlihat lebih meyakinkan, Ayselle membenturkan kepalanya sendiri demi menunjukkan bahwa dia juga menjadi korban dalam serangan perampokan. Aku mengakui kenekatannya yang totalitas untuk menutupi jejak."
Hening beberapa saat. Mencerna analisis Watson.
Erick mengerutkan kening. "Kamu serius, Teen? Siapa yang waras membenturkan kepala ke kaca?"
"Seseorang yang sedang terdesak sering bertindak di luar nalar, itu bisa saja terjadi. Contohnya dua anak kecil mencuri permen di sebuah toko lalu ketahuan oleh empunya. Dengan panik, mereka akan saling menyalahkan atau membuat alasan tak masuk akal."
Ayselle tidak benar-benar yakin dengan rencananya sejak awal. Dia ragu-ragu. Itu terlihat dari kaca yang Watson selidiki tempo lalu. Retakan kecil di permukaannya nyaris tidak menjalar, menunjukkan betapa lemahnya tekanan atau hantaman pertama sebelum dihancurkan oleh Chris. Watson masih ingat saat dia menyentuh kaca itu dengan hati-hati, memeriksa pola retakannya. Ketidakseimbangan tekanan menjadi petunjuk bahwa Ayselle menahan diri—mungkin karena rasa sakit atau ketakutan.
Escal menggeleng pelan. "Oke, anggap saja itu sungguhan. Apa kau punya bukti untuk mendukung deduksimu? Jangan lupa, tidak ada sidik jari Ayselle dalam pisau yang ditemukan di TKP. Dia bersih."
Watson menatap jam tangan. "Well, aku yakin para polisi jauh lebih tahu alasannya daripadaku."
Mereka saling tatap sekali lagi. "Mungkinkah?!"
"Benar sekali. Itu karena program AFIS. Ayselle masih di bawah umur. 15 tahun, kan? Setahun di bawahku. Sidik jarinya belum ada dalam database polisi. Jadi meskipun dia menyentuh pisau itu, kemungkinan besar jejaknya tidak bisa diverifikasi."
[Note. AFIS (Automated Fingerprint Identification System) yaitu sistem identifikasi sidik jari otomatis yang menggunakan teknologi pencitraan digital untuk memperoleh, menyimpan, dan menganalisis data sidik jari. Biasanya digunakan untuk identifikasi kriminal.]
Megan mendesah. "Itu tidak terpikirkan olehku."
"Jangan khawatir, Petugas Megan. Aku awalnya juga bingung kok. Terkadang saat kita berusaha terlalu keras mengingat sesuatu, pikiran kita malah buntu. Tapi begitu kita melupakannya, jawaban itu muncul begitu saja. Biarkan pikiranmu mengalir seperti air sungai dan ikuti arusnya. Jangan melawannya."
"Maksudmu kami harus berenang mode katak di sungai dan mengikuti arus kencang?" cetus Jonas.
Watson melirik sengit. Jonas langsung mingkem.
"Hanya itu saja belum cukup menahan Ayselle. Apa kau tidak punya bukti konkret yang meyakinkan? Terlebih lagi, jika Ayselle memang membenturkan kepalanya untuk menghindari investigasi polisi, kenapa sampai sekarang dia masih belum siuman?"
"Pierre di luar dugaan, tapi dia benar. Apa yang membuatmu percaya dia lah pelakunya?"
Tersinggung, Pierre menatap Escal jengkel. "Maksud antum apa? Ngajak berantem? Aku juga bisa serius."
"Senjata pembunuhan pertama. Temukan itu dan periksa sidik jarinya. Jika pencariannya masih unidentified, maka sudah jelas cewek ini pelakunya." Watson menunjuk Ayselle yang masih terbaring.
Escal merenungkan pernyataan Watson. Dia tahu hasil forensik mengatakan bahwa Lucy mengalami fraktur pada tengkoraknya. Dia juga menduga ada dua buah senjata pembunuhan selain pisau. Tapi dia dan rekan-rekannya telah menggeledah TKP dan tidak menemukan benda apa pun yang mencolok.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang, Detektif Escal, karena awalnya aku juga bingung memikirkan apa yang digunakan Ayselle untuk memukul kepala Lucy hingga temanku menekan tombol di otakku."
"Dan apakah itu?"
"Jawabannya lightstick. Warna asli tongkat itu aslinya adalah putih, tapi milik Ayselle berwarna merah. Dia pasti tidak sempat membersihkannya dan meletakkan itu di kamar. Toh, lagipula takkan ada yang peduli karena itu hanya barang milik kpopers."
Escal mengernyit. "Apa? Lightstick?"
Watson untuk kesekian kalinya menatap jam tangan. "I don't have time to explain. Mengenai pertanyaan Detektif Pierre barusan tentang kenapa dia masih belum bangun... Apa kalian ingat obrolan suster yang berpapasan dengan kita saat pertama kali ke sini?"
Mereka berempat menggeleng. Mereka terlalu sibuk dengan Chris, tidak memperhatikan sekitar. Lagian siapa pula yang tertarik mendengar gosip orang lain sedangkan di piringnya sudah ada masalah.
"Duh, mereka membicarakan soal midazolam yang hilang di kamar 17. Kamar Ayselle. Kalian pikir itu bisa menghilang begitu saja? Cewek inilah yang mencurinya. Coba perhatikan, tidak ada cctv di sini untuk menjaga privasi pasien sedangkan di luar cctv ada di mana-mana. Ayselle memanfaatkan itu untuk membius dirinya sendiri sampai kasusnya selesai."
"Kenapa kau terus melihat jam tanganmu?"
Pertanyaan Erick bertabrakan dengan Escal yang juga bertanya. "Kau ingin bilang dia berpura-pura belum siuman demi menghindari polisi?"
"Yah, karena aku akan pingsan sebentar lagi, jadi aku terburu-buru." Watson mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Kantong plastik dengan struck belanja menandakan sebelum datang ke rumah sakit, anak itu mampir sebentar ke swayalan terdekat.
Pierre mengernyit. "Kenapa kau membeli minyak goreng dan kenapa isinya sudah tandas setengah? Dan apa maksudmu kau akan pingsan?"
Terlalu banyak pertanyaan membuat kepala Watson jadi sakit. Kalau bukan rasa kantuk yang mulai menyerang, dia pasti sudah berteriak dan mencaci maki mereka. Narkolepsi sialan, takkan Watson biarkan penyakit itu mengalahkannya.
"Tunggu! I-itu benda apa?!" jerit Megan jijik. Tak terkecuali lainnya. Langsung menghindar.
Watson tanpa ragu melempar mainan kecoak itu ke wajah Ayselle. Merasakan benda kenyal menjijikkan, gadis yang terbaring diam selama berhari-hari itu spontan membuka mata. Dengan ekspresi penuh kengerian, dia berteriak histeris sambil mencoba melepaskan benda lengket tersebut dari pipinya. Kecoak adalah musuh terbesar umat manusia.
"Sudah bangun, Putri Tidur?"
Ayselle berhenti terengah-engah, menyadari bahwa itu hanya mainan dan terpancing oleh Watson yang menyeringai penuh kemenangan. Tanpa basa-basi, dia menyibak selimut dan melemparnya ke arah Watson. Dalam sekejap, dia melompat dari ranjang dan berlari ke arah pintu. Berusaha kabur.
"Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!"
Ruangan itu berubah kacau. Mereka saling berebut mengejar Ayselle, sementara Watson menguap. Dia sudah mengantuk, malah ditambah selimut hangat di hari yang dingin. Jelas dia terbuai ingin tidur.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar inap, Ayselle tergelincir dan jatuh terjerembab. Lantai keramik di sepanjang lorong kamarnya sudah ditumpahi minyak. Itulah yang Watson siram tadi. Dia sudah menebak Ayselle tidak akan tinggal diam dan menyiapkan antisipasi untuk mencegah pelariannya. Alasan Watson menatap jam tangan bukan karena narkolepsi, tapi berjaga-jaga kapan para suster datang. Dia tidak mau malah mencelakai orang lain.
"DASAR COWOK BRENGSEK!"
"Terima kasih kembali, Nona Penjahat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top