Part 10

Kesabaran Escal sudah habis.

Sesungguhnya dia tidak tertarik dengan juniornya Angra. Sebaliknya, Escal membenci mereka yang mirip awak sirkus. Di kepolisian, mereka berempat sangat tidak becus dan bobrok! Mereka bertahan sejauh ini hanya karena pengaruh Angra.

Saat mendengar Erick bilang bahwa Chris boleh jadi bukan pelakunya, Escal menduga bahwa mereka mengetahui sesuatu karena Escal juga merasa pria itu tidak membunuh Lucy. Sidik jari yang tidak diketahui... itulah permasalahannya.

Tapi Escal menyesal mengikuti perkataan mereka.

Dari tadi, dia terpaksa duduk di sofa kamar inap Ayselle, menyaksikan Erick dan Pierre yang tanpa malu menjadikan ruangan itu tempat untuk yoga. Jonas lebih-lebih, pura-pura sibuk berolahraga. Pura-pura mempraktikkan gaya slam dunk keren.

"Kalian tahu ini di mana?" kata Escal geram.

"Tentu tahu. Rumah sakit," jawab Pierre santai, menyentuh kedua kakinya bergantian. Dia seperti sedang memimpin kelas aerobik untuk lansia. "Tapi tidak ada salahnya olahraga sedikit, kan?"

"Ya, supaya aliran darah lancar!" timpal Erick.

"Apa kalian tidak punya sopan santun? Beraninya kalian membuat kegaduhan di ruang rawat adik korban." Escal melipat tangan, menatap mereka penuh selidik. "Mengaku sajalah. Kalian berbohong padaku, kan? Nyatanya kalian tidak punya petunjuk apa pun dan hanya menahanku di sini."

Pierre berhenti salto, menatap Escal serius. "Kau harus tahu satu hal, Escal Miller..."

Demi melihat Pierre yang mendadak serius, mau tak mau ikut mendengarkan dengan wajah serius. Tapi dia dikhianati secepat angin berembus.

"Aku sejak tadi kebelet dan hampir ngompol. Aku tidak melakukannya karena aku ditugaskan mengulur waktu. Bagaimana jika kau tidak banyak bicara dan tunggu Teenager datang?"

Mengharapkan keseriusan pada mereka adalah sebuah kesalahan. Escal semakin geram. "Sudah kubilang... siapa Teenager yang kalian sebut dari tadi?! Berhenti mempermainkanku!"

"Hus!" Megan meletakkan jari ke bibir, melirik ranjang. "Jangan teriak kuat-kuat, Senior Escal. Anda bisa mengganggu Ayselle. Jahat deh."

Pria itu hampir saja tertawa tidak percaya. Hei, bukankah mereka yang memaksanya ke rumah sakit dan menunggu orang yang mereka panggil Teenager di kamar tempat Ayselle dirawat? Kenapa malah Escal jadi pihak bersalah di sini?

"Sudah cukup." Escal berdiri, meluruskan jasnya. "Aku tidak punya waktu untuk permainan konyol kalian berempat. Aku akan menutup kasus ini."

Erick langsung menahan langkahnya. "Jangan terburu-buru, temanku. Bagaimana kalau tunggu lima menit lagi sambil bermain catur—"

"Kalau kalian menghalangiku lebih dari ini, aku akan menganggap kalian mengganggu pekerjaan polisi." Escal memotong tajam. "Minggir!"

"Jangan!" Megan menggeleng. Mereka tidak boleh membiarkan Escal pergi sebelum Watson tiba.

Jonas memperhatikan situasi yang mulai genting. Apa pun yang terjadi, laksanakan perintah kapten. Matanya menyipit menyiapkan rencana licik. Jika mereka tidak bisa menghentikan Escal dengan kata-kata, mungkin aksi fisik bisa bekerja.

Dengan langkah cepat tapi diam-diam, Jonas mengejar Escal dari belakang. Ketika jarak tinggal sejengkal, dia melompat rendah, tangannya mencoba mengait pergelangan kaki Escal.

Namun Escal dengan daya refleks mengagumkan, menghindar ke samping. "Apa-apaan kau?"

Sial! Dia berkelit! Karena terlanjur berlari, Jonas tidak bisa berhenti melaju lurus ke depan.

Di saat yang sama, pintu ruangan terbuka, menampilkan Watson yang menepuk tangan. Baru saja selesai membungkuk menyiram sesuatu ke lantai. Dia menoleh, terkejut melihat Jonas yang meluncur seperti rudal gagal arah ke arahnya.

"Oh tidak, Capteen! Menyingkir dari sana!"

Jonas terguling ke depan. Dia bermaksud meraih apa saja demi menghindari Watson. Tapi alih-alih menemukan pegangan aman, tangannya justru mencengkeram dan menarik celana anak itu.

Hening sejenak. Mereka menutup mata.

Jonas memeletkan lidahnya. "Oopsie."

*

Ini situasi yang membingungkan bagi Escal. Dia penasaran siapa yang ditunggu-tunggu mereka, kesannya seperti orang penting. Ternyata hanya seorang anak kecil yang berkaus kaki imut-imut?

"Hei!" cetus Watson mengagetkannya. "Aku tahu maksud tatapanmu. Jika kau sedang memikirkan kenapa ada anak kecil di sini, aku berjanji akan menendang bokongmu. Aku ini 16 tahun, oke? Bukan 6 tahun. Bukan juga orang dewasa yang terjebak di tubuh remaja ceking. Kalian sebaiknya sering-seringlah pakai obat mata."

Escal bersedekap. "Lalu apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda? Menjenguk orangtuamu?"

"Cut the crap, okay?" balasnya berbicara tanpa bahasa sopan sedikitpun. Watson beralih menatap Ayselle yang masih tak sadarkan diri, melirik jam tangan. "Cewek itu belum bangun-bangun juga?"

Megan menggeleng. "Dokter masih mencari tahu apa yang salah dengan tubuhnya."

"Wow, kuat juga dia berakting," imbuhnya tersenyum sinis. "Kekhawatiranmu sia-sia, Opsir Megan. Kau boleh mengabaikannya. Toh, dia takkan mampu pura-pura mati selamanya."

Pernyataan itu tentu menarik perhatian mereka, termasuk Escal. Dia mengerutkan dahi. "Apa maksudmu, Bocah?" tanyanya tajam.

"Capteen! Kau tidak boleh ngomong begitu ke pasien!" celetuk Jonas yang dihukum berdiri di sudut ruangan, jongkok dan mengangkat tangan.

Watson menoleh padanya, ekspresinya langsung berubah gelap. “Shut your fucking mouth, all right? Kau dilarang bicara,” tukasnya tajam.

"Calm down, Teen. Ada apa denganmu?" Pierre ikut bertanya. Kan Watson sendiri yang bilang kemungkinan Ayselle mengidap trauma DAI apalah itu. Terlebih, gaya bicaranya sangat kasar. "Jika kau masih kesal dengan prilaku Jonas tadi, tolong maafkan dia. Anak itu memang ceroboh. Aku suka kok dengan motif boxer yang kau kenakan."

"Any word and i'll melt your brain, asshole."

"Perhatikan bahasamu!" Pierre mulai kesal.

"Or what? You think i'm scared of you?"

Erick menahan tangan Pierre, menggeleng, memberi kode supaya tidak menambah minyak ke api. Watson sedang di atas kekesalannya. Sebagai orang dewasa, meraka harus tabah.

Watson menghela napas, tidak tertarik untuk menjelaskan lebih jauh. "Anyways, kau boleh menangkap Chris dengan tuduhan pembobolan rumah, bukan pembunuhan. Dia itu residivis."

Escal tertawa dengan sarkastik. "Hello? Siapa kau, beraninya mengatur investigasi polisi?"

"Percaya atau tidak, kau salah menuduh Chris. Bukan dia yang membunuh Lucy. Dia hanya seorang pencuri yang membobol TKP di waktu yang tidak tepat. Dia itu korban kambing hitam."

Megan mengelus dagu. "Apa ini ada hubungannya dengan sidik jari yang tidak terdaftar?"

Cowok itu menoleh ke Megan. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke ruangan itu, ekspresinya berubah puas. Dia senang akhirnya ada orang yang cukup cerdas untuk memahami maksudnya tanpa harus diberi penjelasan panjang lebar.

Exactly! Kalau dia betulan membunuh Lucy Addison, seharusnya sidik jarinya tertinggal di tempat kejadian. Di pisau itu. Tapi apa yang kita punya? Tidak ada. Sidik jari yang kosong tidak menentukan Chris pelakunya. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya tidak bersalah. Lagipula senjata pembunuhannya ada dua. Pisau dapur bukan satu-satunya alat yang digunakan pelaku untuk membunuh Lucy. Ada satu lagi."

Erick menepuk tangan. "Ah! Aku ingat kepalanya mengalami fraktur. Apakah dia dipukul dulu? Lalu pelaku baru lah menghabisinya dengan pisau?"

"Ingatanmu bagus, Detektif Erick."

Bangga dipuji, Erick mengusap hidungnya sambil menyikut lengan Pierre yang merengut sebal. Alisnya naik-turun menggoda rekannya. Pierre juga ingin menambahkan sesuatu, tapi dia tidak tahu mesti bilang apa. Dia tidak boleh kalah.

"Lalu siapa..." Escal mendesah panjang. Dia tidak percaya apa yang dikatakan Watson, namun dia juga tidak bisa menyangkal bahwa analisis anak itu relevan. "Siapa yang membunuhnya?"

"Lho? Bukankah itu sudah sangat jelas? Dia berada di kamar ini, dari tadi bersama kalian." Watson berdiri di tepi ranjang Ayselle, tersenyum.

"Bukan begitu, Ayselle Addison?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top