Part 1

Orang-orang selalu menyebut Watson genius. Tapi dia terus menampiknya. Kepintarannya adalah hasil dari kebiasaan membaca buku dan menimba ilmu dengan ikut orangtuanya ke mana pun mereka pergi bertugas. Rumah sakit, museum, laboratorium, perpustakaan, dan tempat-tempat lainnya menjadi sarana belajarnya. Bagi Watson belajar itu seru.

Terkadang ada saatnya Watson mendadak menjadi sombong atau pamer kala tebakan atau analisisnya benar. Yah, namanya juga remaja. Labil dan mudah terpengaruh.

Bedanya, Watson bukan remaja yang punya kehidupan sekolah normal. Dia adalah anggota klub detektif SMA Madoka dan sudah seringkali terlibat dalam berbagai jenis kejahatan sampai dia muak dengan dunia kriminal yang memusingkan kepala.

Bukankah itu ironis? Watson membenci dunia detektif karena dia telah gagal melindungi orangtuanya, tapi dia terus merasakan gejolak euforia ketika bertemu mayat.

Seperti sekarang. Bukannya menikmati jam kosong karena guru-guru sedang heboh dengan masalah soal ujian bocor, Watson sedang hadap-hadapan dengan pelaku yang dia curigai sebagai dalang kebocoran itu.

Ah, salah, salah. Ini bukan lagi tahap kecurigaan melainkan tahap penangkapan.

"Mengaku saja. Itu kau, kan?"

"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja. Hanya karena kinerja klubmu diakui kepsek, bukan berarti kau berhak asal menyalahkan orang. Aku akan melaporkan ini ke guru BK supaya menghukummu, Watson Dan!"

Watson menghela napas panjang, mengusap pelipisnya. Siapa yang asal menyalahkan siapa di sini? Apa dia pikir Watson punya hobi menyergap seseorang yang tidak dikenal? Apalagi untuk seukuran adik kelas yang tidak pernah dia temui sebelumnya.

Tidak hanya itu. Watson bukan kakak kelas yang ramah, supel, aktif wara-wiri di gedung anak kelas satu. Lagian apa gunanya keluyuran? Lebih baik di kelas menunggu bel istirahat atau bel pulang bernyanyi.

"Kau tidak punya bukti!" katanya lagi.

Watson melipat tangan ke dada. "Bukti, huh? Tentu saja aku punya. Aku bukan detektif... maksudku, orang yang menggebrak seseorang tanpa alasan jelas. Jangan salah sangka."

Seperti biasa, Watson memiliki ambivalensi tentang perannya. Dia selalu menegaskan dirinya bukan detektif, hanya sebatas fans Sherlock. Menjadikan kalimat itu sebagai slogan hidup. Tapi omongan dan tingkah lakunya tidak sesuai dari yang diucapkan.

"Kami sudah memeriksa catatan transaksi belanja onlinemu,” ucap Watson, membaca selembar kertas yang dia rogoh dari jaket. Cowok itu mengelus dagu seolah terkesan. "Wah, kau benar-benar sultan banget ya. Bahkan Bari sama Aiden kalah tajir. Dari atas sampai bawah, jam tangan, tas, sepatu, semuanya merek ternama sampai-sampai aku pusing menghitung nol di tag price-nya."

"A-aku bahkan tidak punya rekening bank ataupun kredit. Keluargaku miskin. Tidak masuk akal aku bisa berbelanja online. Kau seorang detektif, kan? Kasus phishing sedang merajalela. Boleh jadi aku dijebak."

Pembelaan yang rapuh. Watson menghela napas panjang. "Makanya kubilang, mengaku sajalah. Jangan memperumit masalah. Ini kali pertama kau melakukan kejahatan, kan? Kau meninggalkan terlalu banyak celah."

"A-apa maksudmu celah?"

"Tas yang baru saja kau beli contohnya, merek itu jarang sekali masuk ke toko biasa. Hanya para naratama yang mendapatkan aksesnya. Percaya atau tidak, tas itu keluar dengan stok yang terbatas. Tidak mungkin kau yang miskin mampu membelinya. Oh, aku tidak sedang meremehkanmu. Kau sendiri yang bilang keluargamu tidak mampu."

Ketika pertama kali melakukan kejahatan, untuk seukuran remaja, biasanya tindakan mereka cenderung impulsif. Dalam kasus kekerasan motifnya dipicu balas dendam. Dalam kasus keuangan motifnya bisa berupa kebutuhan atau iri hati dengan perbedaan gaya hidup dan tekanan lingkungan.

Watson langsung menangkap motif orang ini begitu dia menemukan latar belakangnya. Masalah finansial seringkali menjadi titik lemah yang mudah diserang oleh siapa pun. Ledekan, hinaan, sindiran, memicunya untuk membuktikan diri bahwa dia juga bisa hidup sesuai standar mereka. Hasratnya untuk tampil setara, meski dengan cara yang keliru, membuatnya mengambil jalan ini.

"Aku punya alibi!" serunya tidak menyerah. "Apa kau punya bukti membantah itu?"

Watson menggaruk kepala dengan ekspresi geli. "Alibi? Maksudmu cerita soal jackpot di situs judi online itu? Dan teman-temanmu yang iya-iya saja asal bisa ditraktir ikut percaya? Kau tidak bisa menyebut itu alibi. Trik recehan seperti ini terlalu rendah."

"Rendah katamu?! Brengsek, aku punya bukti kemenanganku! Semua teman-temanku melihatku bermain secara langsung dan memperoleh ratusan dolar. Kalau kau tidak percaya, kau bisa wawancarai mereka!"

Watson mengangkat tangan, mencoba menenangkannya yang mulai jengkel. "Ey, ey, jangan emosian dong. Dan jangan juga mengumpati kakak kelas, itu tidak baik. Mari kita selesaikan ini dengan kalem. Tentu saja kami sudah memeriksa alibimu. Situs judi—"

Drrt, drrt, drrt.

Ponsel Watson tiba-tiba bergetar, menyela interogasi. Dia mengerutkan kening, merogoh saku celana. "Bolehkah aku mengangkatnya sebentar?" katanya minta izin.

Orang itu menghela napas, menggerutu. "Ya, ya, selesaikan dengan cepat."

Nama Angra Nosaroc terpampang di layar membuat ekspresi santai Watson berubah dingin, spontan mematikannya. Kembali menatap adkel itu. "Sampai di mana tadi?"

"Kalau tidak salah, sampai proses alibi."

"Ah, benar. Aku dan teman-temanku sudah mencoba bermain di situs judi itu. Kau tahu? Aku sampai memarahi mereka karena malah hanyut dalam kemenangan beruntun. Tapi itulah modusnya. Biarkan pemain terlena oleh beberapa kemenangan hingga mereka percaya dirinya sangat beruntung. Anehnya, ada yang salah dengan situs itu seolah programnya belum selesai secara paripurna."

Pilihan apa pun yang Watson buat, hasilnya selalu menang. Berapa ronde pun Watson bermain, dia tidak pernah kalah. Itu tidak lumrah bagi sebuah perjudian online yang menandakan programnya belum optimal.

Orang ini mengetahui situs judi tersebut masih dalam tahap pengembangan lantas memanfaatkan kecacatan sistemnya untuk mengarang alibi supaya tidak ada yang curiga dari mana sumber uangnya berasal.

Cukup sudah main-mainnya. Watson menatap tajam. "Kau menjual soal ujian, kan? Tentu saja secara selektif dan diam-diam. Aku tidak tahu bagaimana kau menemukannya, mungkin kebetulan dramatis amplop dokumen itu terjatuh di dekatmu atau apalah."

"Tidak! Aku tidak tahu apa pun!"

Ponsel Watson bergetar, mengganggu sekali lagi. Nama yang sama muncul. Dengan gregetan, cowok itu mematikan ponselnya dalam satu gesekan. Tampak dongkol.

"Kau yakin takkan mengangkatnya?"

Watson menghela napas panjang dan merotasikan mata malas. "Hanya salah sambung," katanya cepat. "Kita teralihkan. Pokoknya kau jangan berkelit lagi deh!"

"Tidak! Aku sudah bilang bukan aku pelakunya!" elaknya menyambar tongkat bisbol di rak. "Pergi atau aku akan—"

"Akan apa? Apa kau tidak lihat seberapa letoynya aku, hmm? Jika kau memukulku, itu hanya akan merugikan dirimu sendiri. Pasal 351 KUHP ayat 2: jika penganiayaan yang dilakukan mengakibatkan luka-luka, maka pelaku diancam pidana penjara lima tahun."

Dia tersenyum miring, tidak terintimidasi. "Persetan! Aku masih di bawah umur. Hukum tak bisa menyentuhku!" katanya menerjang maju, tetap nekat menyerang.

Tepat saat itu, seseorang muncul dari balik pintu, menahan ayunan tongkat dengan kuat menggunakan tangan kiri saja. Dia merampas dan membuangnya ke sembarang arah.

"Kau telat," dengus Watson tak senang.

Jeremy menatap Watson kesal. Bukankah dia yang langsung lari menyergap pelaku di gudang peralatan olahraga tanpa menunggu yang lain? Seharusnya Watson berterima kasih tulangnya masih utuh, bukan protes.

Selagi Jeremy tak memperhatikan, adkel itu mengambil kesempatan untuk mendorongnya ke arah Watson dan kabur ke luar. Mereka berdua merosot jatuh ke atas matras.

"Minggir dariku, Bari! Dia lari tuh!"

"Sudahlah, kau tenang saja."

Alasan Jeremy berkata ringan begitu karena ternyata Aiden sudah menunggu di luar. Tanpa basa-basi Aiden meringkus si adkel nakal dengan membantingnya ke lantai. Dia melenguh kesakitan memegangi punggung.

"Dan sudah memperingatimu untuk menyerah baik-baik, kan? Kau tak mendengarkan. Jadi kami terpaksa memakai kekerasan," ucapnya menyeretnya untuk diberikan ke kantor guru. Biarkan guru yang menuntaskan masalah ini.

Jeremy tepuk tangan sambil berjalan keluar dari ruang alat peraga. "Kasus selesai! Wah, kita hanya butuh lima jam mengungkap misteri hilangnya soal ujian! Apa guru-guru kasih kita imbalan ya? Cemilan gratis~"

Watson mengikuti dari belakang. "Kau sudah kaya. Masih saja berharap imbalan?"

"Tentu. Tidak ada yang gratis."

Aiden yang sudah menyelesaikan bagiannya, mendekat untuk memberikan botol air ke Watson yang kehausan lalu menatap Jeremy sebal. "Hei! Kau tidak melakukan apa pun, tapi gayamu setinggi langit. Bisa-bisanya kau membiarkan aku yang menangkapnya."

"Apa salahnya?" Jeremy menyengir. Paling tidak semua anggota klub detektif dapat pembagian. "Omong-omong, di mana Hellen? Dia harus ikut merayakan keberhasilan ini!"

Panjang umur. Suara langkah tergesa-gesa terdengar mendekat ke tempat mereka, kompak menoleh. Hellen muncul dari lorong. "Ada kabar buruk untukmu, Watson!"

Huh? Siapa itu? Watson menyipitkan mata, memperhatikan sosok yang mengekori Hellen. Begitu melihat batang hidungnya, dia mendesah pelan. "Tidak perlu diberitahu, Stern," katanya menegakkan punggung dan mengubah ekspresi menjadi tembok. "Karena kabar buruknya datang mandiri tuh."

Siapa lagi kalau bukan Angra.

Ini menarik sekali. Sulit dipercaya pria itu bela-belain mendatangi sekolah hanya karena Watson menolak panggilannya. Atau dia punya urusan lain? Tapi melihat langkah Angra yang tegap menuju ke arah mereka, sepertinya memang karena penolakan tadi.

"Aku baru tahu polisi senganggur ini."

"Aku juga baru tahu ada anak kecil yang sangat tidak sopan," balasnya tajam.

Tak secukup semenit mereka berhadapan, atmosfer keduanya sudah terasa panas. Menyadari ini mungkin akan berubah jadi perdebatan yang panjang penuh sarkasme, Aiden, Hellen, dan Jeremy memilih mundur dengan gaya berputar yang estetik.

"Aku ingin bicara denganmu. Empat mata."

"Tidak mau. Kurasa kita tidak sedekat itu untuk sekadar mengobrol, Inspektur."

Watson berbalik, hendak kembali ke kelas. Tapi langkahnya terhenti kala Angra menyodorkan kantong yang dia jinjing. "Aku membawa kue red velvet eksklusif dengan topping stroberi. Ini kue favoritmu, kan?"

"Wah, Inspektur, kau kira aku pria murahan yang gampang tergiur dengan makanan?"

Hening sejenak. Hanya terdengar suara langkah kaki siswa lain di kejauhan yang mengisi suasana tegang di antara mereka. Hal itu berlangsung lima menit sebelum...

"Tentu saja...," Tangan Watson terjulur menerimanya. "Saya mau. Mari kita bicara."

Kau memang murahan, Watson.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top