File 2.3.9 - Me? Man Who Killed Your Parents

"Watson...! Woi, Watson! Bangun!"

Kedua bola matanya terasa perih dan berat, namun Watson memaksa untuk duduk, menguap lebar lalu menoleh linglung ke sekitar yang masih sama. Ah, sepertinya dia ketiduran di kelas Dextra.

Aneh. Watson yakin dia ketiduran memakai lengan tangannya sebagai ganti bantal, kok tidak terasa kesemutan ya? Lalu di mana Asha? Yang terakhir Watson ingat sebelum tidur, dia ingin pergi karena tak mau pingsan oleh narkolepsinya di depan Asha.

"Hei, Dan!" Aiden menjentikkan jarinya ke wajah Watson yang kikuk. "Kamu mendengarkan Hellen tidak? Luminol yang kamu pesan sudah selesai. Wah, parah nih. Separuh atmanya belum kekumpul."

Cowok itu mengusap wajah. "Jam berapa sekarang?"

"Jam tiga siang. Festival sekolah dilanjutkan kembali setelah istirahat dua jam," jawab Jeremy.

Hah?! Jadi dia tertidur selama tiga jam lamanya?! Watson menatap mereka sebal. "Kok kalian tidak membangunkanku? Banyak waktu terbuang kan."

"Lho, lho, kok kamu jadi memarahi kami sih? Kami bahkan baru selesai sepuluh menit lalu meracik luminol pesananmu. Kamu tidak ada di TKP. Michelle bilang kamu pergi tanpa bilang-bilang. Kami mencarimu ke sana-sini dan menemukanmu terlelap seperti pangeran tidur di kelas Dextra."

Wajah Watson memerah. "J-jangan sebut aku seperti itu." Dia teringat kenangan masa TK-nya yang memalukan. Waktu itu dia juga ikut pentas drama kecil-kecilan dan Violet menertawakan aktingnya sebagai 'pangeran' yang sangat buruk.

"Unit Kejahatan Kriminal sudah datang dari tadi hendak mengalihkan Miss Anjalni ke kantor polisi. Michelle menahan mereka habis-habisan. Tolong katakan kalau kamu sudah tahu kebenarannya."

Dari angka 100, Watson baru menguraikan 70 persen teka-teki kematian Akinlana. Tapi...! Baiklah. Tidak ada pilihan lain. Jika Angra memberitahu cara untuk membongkar rahasia editan video cctv, Watson rela menjadi budak sementara Angra.

Lagian dia juga tertarik mengapa Istri Akinlana lolos dari dakwaan pembunuhan keponakan Dula.

Watson beranjak bangkit, mendesah. "Aku... sedikit tidak percaya diri. Tapi ayo kita kembali ke TKP. Michelle tidak dapat menahan UKK lebih lama."

Mereka bertiga mengangguk, keluar dari kelas.

Sembari menuju kantor kepsek—semua orang ada di sana—Aiden membuka obrolan dengan topik yang ganjil di telinga Watson. "Ngomong-ngomong, Dan, aku terkejut Miss Asha seperhatian itu padamu."

Watson menatapnya. "Maksudmu?"

"Ah, benar!" Jeremy menepuk tangan. "Aku juga lihat bagaimana beliau sukarela menjadikan tangannya menjadi bantal kepalamu. Mengeluh pun tidak. Kamu merasakan tanganmu kesemutan?"

Watson menggeleng. Untuk seseorang yang tidur selama tiga jam tapi lengannya masih baik-baik saja, menurut Watson itu aneh. Yang lebih aneh mendengar mereka menyebut nama Asha.

"Mungkin Watson mengingatkan Miss Asha pada anaknya? Kata Tante Selise, Miss Asha sudah berpisah dengan anaknya enam tahun..." Hellen beringsut mendekat. "Tante Lise curiga, Miss Asha seorang agen yang menyamar jadi guru private."

"Miss Adine lebih cocok dikatakan demikian."

#

Berbeda dengan Angra Nosaroc ketua Unit Kejahatan Khusus atau Deon Ernest ketua Unit Investigasi Regional, sosok yang menjabat sebagai ketua Divisi Kejahatan Kriminal adalah seorang pria berpostur badan beruang, berwajah liar, rambut pirang yang meranggas, dan super tampan.

Perkenalkan, Jamie Pandora, 27 tahun. Dia termasuk polisi muda berbakat di Kota Moufrobi.

Aiden dan Hellen berbinar-binar. "G-ganteng! Ada ya polisi seganteng itu? Mahakarya sempurna!"

Jeremy cemberut, menyikut pinggang Hellen. Dia hirau, sibuk fangirling bersama Aiden. Mendesah pelan, Jeremy menoleh ke Watson bermaksud meminta bantuan, tapi cowok itu malah fokus pada kehadiran Nalan, melambaikan tangan padanya.

"Petugas Nalan, anda ngapain di sini?"

"Ah! Saya di bawah komando Inspektur Jamie!"

Watson melongok ke kaca jendela yang pecah, menghela napaslega festival masih berlangsung lancar. Syukurlah Jamie datang secara senyap.

Jamie tersenyum riang. "Bisakah anda menyerahkan Nyonya Anjalni ke divisi kami, Senior Angra? Surat penangkapan beliau telah dikeluarkan oleh kejaksaan. Anda tidak bisa menghalangi kami lagi."

Apa ini? Kukira dia dingin kayak Angra, batin Watson, memonten Jamie dari atas sampai bawah. Patut air liur Aiden dan Hellen menetes. Bahkan Michelle yang berdiri di tepi, tertarik memandangi pria itu. Jamie benar-benar punya paras yang hot.

Ujung mata Angra melirik Watson yang langsung mengangguk mantap, tanda setuju dengan syarat yang Angra berikan. Dia menyeringai. "Kurasa kejaksaan harus merevisi surat penangkapannya."

Jamie mengerjap. "Apa maksud anda, Senior?"

Angra menoleh ke Watson. Sherlock Pemurung itu mengangguk, menangkap kode Angra. "Pelakunya bukanlah Miss Anjalni melainkan Miss Dula."

Tentu saja semua orang terkejut. Termasuk Aiden, Hellen, dan Jeremy. Termasuk Saho dan Pak Lucius. Termasuk Anjalni serta Dula sendiri. Kecuali Michelle yang mengangguk-angguk mengerti.

"Tunggu, apa?! Kenapa jadi saya??" teriak Dula. "Bukankah kalian melihat apa yang terjadi? Miss Anjalni yang memegang pisau! Dia menikam Pak Akinlana! Dan kalau kamu lupa, Nak, aku ini saksi."

Nyenyenye. Membacotlah sesuka hatimu, Nenek Tua.

"Lho, Dan, kok jadi Miss Dula sih—Hatchi!" Aiden bersin, mengusap-usap hidungnya. "Kok kambuh lagi sih? Padahal dari tadi sudah berhenti."

"Betul tuh, Wat. Bagi-bagi kek," kata Jeremy.

Hellen mendesis pelan. "Sudah, diamlah dulu. Kita harus menyimaknya. Sejak awal kalian juga tidak berpikir Miss Anjalni adalah pelakunya, kan?"

Aiden dan Jeremy menggeleng. "Iya lah..." Anjalni memang guru keras, namun mereka yakin wanita itu bukan tipe yang bernyali membunuh seseorang.

"Mula-mula anda memukulnya dengan piala akrilik mengakibatkan kepala korban terkena benturan dahsyat. Darah mencoret ke dinding. Anda yang telah merancang siasat pembunuhan pergi dengan anteng ke ruangan Miss Adine karena anda tahu, beliau bermalam di sekolah untuk menyiapkan keperluan terakhir penyelenggaraan festival.

"Di sini, saya tidak tahu apa anda mengajaknya minum atau memasukkan sesuatu ke dalam minuman Miss Adine—mungkin opsi kedua karena tidak mungkin Miss Adine mau minum dengan seseorang berdarah-darah—kemudian menyebabkan beliau menjadi mabuk, tidak sadar. Anda memanfaatkan momen ini untuk mengkambinghitamkan beliau."

Ingil manggut-manggut. "Itu menjawab kenapa suhu tubuh Anjalni 35 derajat. Kukira beliau hipotermia."

"Anda membawa Miss Adine ke kantor kepala sekolah tanpa memikirkan kemungkinan Akinlana masih hidup. Siapa juga yang bisa bertahan hidup setelah kepalanya dipukul keras seperti itu? Tapi buktinya Akinlana tidak mati saat itu. Dia berjalan tertatih keluar bermaksud mencari pertolongan dan disambut dengan kedatangan kalian berdua.

"Anda terkejut dan membatin 'kenapa dia tidak mati padahal sudah mengalami pendarahan hebat'. Itu karena Akinlana menderita Sindrom Analgesia. Dia kehilangan kemampuan untuk merasakan sakit dalam keadaan sadar. Sejenis penyakit CIPA lah.

"Tak habis pikir, anda memposisikan diri anda di belakang Miss Adine yang sedang pengar dan mengendalikan tangan beliau untuk mengayunkan pisau yang sudah anda siapkan. Akinlana yang lemah tidak bisa melakukan banyak perlawanan. Dan terjadilah semua yang ada di rekaman cctv.

"Waktu anda kian menipis. Guru-guru lain dan murid-murid mulai berdatangan ke sekolah. Anda tidak sempat membersihkan TKP karena tidak memperhitungkan Akinlana masih bisa bergerak setelah dipukul. Skema pembunuhan anda hancur.

"Kehabisan pilihan karena selain mengurus TKP, anda juga perlu mengotak-atik kamera cctv. Anda lantas menggunakan seragam yang anda kenakan untuk mengelap darah di lantai lantaran kepepet dan bergegas pergi bersama senjata pembunuhan. Saya ucapkan selamat anda berhasil membuat saya pusing mencari di mana anda menyembunyikannya.

"Kebetulan ada dua adik kelas yang gila dengan konten merekam pergerakan ganjil di stan mapo tofu. Anda mencelupkan piala akrilik transparan itu ke dalam kuah mapo tofu kala mereka tidak memperhatikan kompor, masuk ke semak belukar untuk melaksanakan langkah berikutnya yaitu memecahkan kaca jendela dengan obeng memakai panah yang anda curi di stan Panah Berhadiah untuk mengacaukan alur TKP guna membingungkan para polisi. Termasuk saya. Ide yang brilian."

Watson diam sejenak. Selalu tidak mudah baginya menjelaskan analisis yang sepanjang ekor beruk.

"Terakhir anda berlari sekuat tenaga dan sampai lebih dulu di depan kantor kepsek, berpura-pura menjadi saksi di depan Saho. Bukankah karena itu anda bermandikan keringat dan ngos-ngosan..."

"OMONG KOSONG!" pekik Dula. Wajahnya merah padam. Giginya bergemeretuk geram. "Dari tadi cerita apa yang kamu ocehkan, hah? Apa Anjalni membayarmu untuk melemparkan kesalahannya padaku? Dan kamu bilang dirimu detektif adil?!"

"Saya bukan detektif. Saya hanya fans Hol—"

"Lagian kamera cctv merekam jelas perbuatan Anjalni. Kalian tidak melihat ada aku di rekaman itu, kan?! Apa kalian melupakan fakta itu?!"

Watson dan Angra beradu pandang. "Ah, tentang cctv... Inspektur Deon, maksud saya, Inspektur Angra yang akan menjelaskan tentang itu."

Angra mendengus masam. Watson pasti sengaja typo menyebut namanya. "Ada studi di Korea tentang pencahayaan kamera," katanya, mulai mengaktifkan komputer dan memutar rekaman cctv.

"Untuk merestrukturisasi rekaman yang diambil dalam cahaya redup atau remang-remang, kita harus menghapus warnanya dan menggunakan program DCGAN. Kita pisahkan kadar gambar yang terlihat dan kembalikan warna yang kita hapus tadi. Dengan begitu, kita bisa membedakan benda dan individu bahkan dalam kegelapan sekali pun."

Selesai sudah. Bayangan siluet samar yang dipantulkan oleh kaca dari jam di dinding memperlihatkan sosok Dula di belakang Anjalni.

"Apa itu program DCGAN?" tanya Watson.

"Kepanjangannya Deep Convolutional Generative Adversarial Network. Salah satu arsitektur Deep Learning terdepan dan paling menarik, yang menunjukkan kemampuan luar biasa untuk memahami data dunia nyata. Program ini sering dipakai untuk background game music lho." Ingil yang menjawab.

Mereka ber-oh pelan. Jeremy menoleh ke Watson. "Kamu tidak tahu?" katanya dengan nada meledek.

Watson mendengus masam. Hanya karena dia genius, bukan berarti dia tahu segalanya. Detektif Pemuram itu bukan ensiklopedia berjalan.

"B-buktinya tidak cukup!" seru Dula. Wanita itu belum menyerah rupanya. "Kamu bilang aku tadi membersihkan lantai ruangan dengan pakaianku, kan? Kalian lihat sendiri!" Dula berputar ringan memamerkan seragam kemeja dinasnya yang bersih. "Tak ada satu pun bercak darah di bajuku!"

Angra bersedekap. "Kamu pasti sudah mengganti pakaian. Kejahatanmu akan terungkap begitu kami mendapatkan pakaian yang kamu buang."

"Cari sana!" tantang Dula tidak takut. "Sebaliknya, jika kalian tidak menemukan apa-apa..." Dula menunjuk Watson yang datar-datar saja. "Aku akan menuntutmu! Kamu menuduh saksi tak bersalah."

Watson mengangkat bahu. Tidak mengerti.

Sepuluh menit berlalu, Ingil beserta petugas polisi kembali, segera melapor kepada Angra yang sudah menunggu dari tadi. Ekspresinya kelihatan gusar.

"Tidak ada apa pun di sana, Inspektur. Kami sudah mencari ke toilet juga, ke semua tempat yang mungkin dikunjungi Dula selama penyelidikan. Tidak ada apa-apa seperti baju berdarah di tong sampah. Wanita itu tidak berbohong. Dia jujur."

"Apa? Bagaimana bisa?" Kening Angra berkerut.

"Hah!" Dula menyeringai puas. "Sudah sadar? Aku bukan pelakunya. Sekarang tangkap bocah sok tahu itu! Aku akan melemparmu ke penjara anak!"

Aiden, Hellen, dan Jeremy mulai panik. Begitupun Saho yang diam mendengarkan di pojok ruangan bersama Michelle. Angra menatap Watson yang kalem. Apa benar deduksinya yang panjang lebar itu salah? Watson kan jarang melakukan kesalahan.

"Dan, kok kamu diam saja sih?" Aiden dan Hellen semakin panik karena petugas mulai melangkah mengeluarkan borgol. "Dan! Ngomong sesuatu kek!"

"Sebentar, Aiden. Aku ingin merasakan sensasi diborgol. Selama ini aku selalu menangkap dan melihat penjahat diborgol, tapi belum pernah mencobanya. Sekali saja. Aku mau merasakannya."

Agak lain manusia ini, batin mereka bertiga.

KLEP! Kedua tangan Watson diborgol. Cowok itu berbinar-binar meski mimik mukanya datar. "Ah, jadi begini ya sensasinya? Batangan besi yang dingin menjamah kulitku yang lembut. Luar biasa."

"SUDAHI FANATIK ANEHMU ITU DEH, WATSON! Kamu membuat orang-orang salah paham!" seru Jeremy, tidak bisa menahan malu akan perbuatan temannya. Aiden dan Hellen menutup muka. Saho sih menggelengkan kepala. Tidak mau tahu.

"Puh. Baiklah, baiklah. Anu, Petugas Nalan bisa tolong tutup gordennya?" Watson merogoh saku celana, mengeluarkan cairan luminol yang Hellen berikan di kelas Dextra tadi. Membuka tutupnya.

Pyas! Bukan main, Watson menyiramnya ke Dula.

"HEI!" Hellen bersorak panik. "Apa yang kamu lakukan, Watson? Bagaimana mungkin kamu menyiramnya ke manusia! Itu kan terbuat dari zat kimia! Kamu sungguh ingin masuk penjara?"

Watson mengedikkan bahu. Setahunya luminol tidak berbahaya untuk kulit karena detektif terkadang tak sengaja menyentuh cairannya. Tapi kalau ditelan (diminum), baru lewat orangnya.

Seperkian detik yang menegangkan, tubuh Dula perlahan mengeluarkan cahaya. Watson tersenyum miring. "Petugas Ingil tidak menemukan apa-apa di tong sampah karena anda tidak mengganti pakaian anda melainkan membalikkannya. Untunglah hidung Aiden peka karena anda menyemprotkan parfum secara berlebihan untuk menghilangkan bau anyir."

Lengang sejenak. Dula kehabisan kata-kata.

"Baiklah, aku kalah. Aku yang membunuhnya. Dia pantas mati karena melindungi istrinya yang telah merenggut nyawa keponakanku! Keponakan yang kusayangi seperti putriku sendiri! Si jalang itu!"

Watson mengembuskan napas panjang. "Manusia itu hebat, ya. Mereka langsung tahu 'orang inilah pelakunya!' tanpa berpikir bahwa boleh jadi kebenaran yang asli terkubur. Anda malah main hakim sendiri. Pemikiran yang tidak bijaksana."

Pukul setengah empat sore, kasus pembunuhan Kepala Sekolah Sementara Akinlana Balewa resmi ditutup. Aiden, Hellen, dan Jeremy tepuk tangan.

"Yey! Case closed!" seru mereka kecuali Watson. Dia gengsi ikut tos seperti anak kecil saja.

"Tapi, Nak Watson," gumam Jamie mengelus dagu. Teringat sesuatu. "Kalau pelakunya Miss Dula... Bagaimana dengan Miss Anjalni? Beliau juga memiliki motif membunuh Pak Akinlana, kan?"

Angra dan Ingil menatap Watson. "Benar. Apa kamu juga mengetahui alasan yang sebenarnya?"

"A-ah, itu karena..." Watson menoleh ke Anjalni yang melayangkan tatapan maut. Diam! Tutup mulutmu! Demikian maksud mata elangnya itu.

"I-itu karena Miss Anjalni anggota CIA. Sepertinya beliau tidak sengaja membawa berkas catatan buronan Interpol ke sekolah, terselip mungkin. Akinlana salah paham dan menginterogasi beliau."

#

INI SUNGGUH TIDAK ADIL, HIKS!

Pukul tujuh malam, Aiden dan yang lain memutuskan tinggal di sekolah menikmati konser yang akan dibawa Kapela—iya, anak itu ternyata malah bermain di festival selama ini. Watson lelah, jadi dia pulang ke rumah dengan perasaan jengkel.

Sudah susah payah Watson membantu Anjalni keluar dari peliknya permainan pembunuhan, namun karena Watson mengungkap identitas Anjalni, guru itu dengan sadisnya menghiraukan permintaan Watson untuk mengganti perannya sebagai ksatria.

"Tahu begitu tidak usah kutolongin! Dia kan CIA, atasannya pasti mengeluarkannya dari penjara dengan gampang. Huu! Dasar bodoh kamu, Watson!"

Gerutuan Watson terhenti karena dari arah depan, lampu terang menyorotnya. Watson mengangkat kedua lengan, silau. Apa-apa mobil itu? Kenapa dia menyalakan lampunya dan menyenter Watson?

Ckit! Tap! Tap! Tap!

Dalam sekejap tiga mobil sedan mengelilingi Watson, memblokir jalan. Belasan orang bersetelan jam hitam keluar dari mobil. Firasat Watson mulai tidak enak. Kenapa mereka mengurung langkahnya?

Sial! Watson pun berlari ke gang sempit, namun terlambat. Orang-orang itu menghambat akses keluar. "Siapa kalian, huh?" serunya, sama sekali tidak mengenal kumpulan bodyguard tersebut.

Tangan Watson bergerak mengambil ponsel di sakunya, tapi sekali lagi dia terlambat. Tiga pria tinggi itu menyambar ponselnya, memegang kedua tangan Watson, memaksanya untuk berlutut.

Seseorang dari mobil couple ungu yang parkir di depan, membuka pintu, beranjak keluar. Watson berhenti memberontak, menatap orang itu. Tinggi sekitar 180 senti. Terdapat bekas luka di pipinya. Membawa tongkat sebagai pegangan. Siapa?

"Akhirnya kita bertemu juga, Watson Dan. Aku berkeliling dunia mencarimu, tahu-tahunya kamu menjadi detektif terkenal di kota kecil ini."

"Siapa kamu?" tanya Watson galak.

"Aku?" Dia beralih melepas kacamata hitamnya. Menyeringai. "Pria yang membunuh orangtuamu."

Dan itu adalah hari terakhir Watson terlihat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top