File 2.3.2 - Take Advantage of Crime, Achieve Profits
****HAPPY READING****
"PEMBUNUH! Miss Anjalni membunuh kepala sekolah sementara!" Guru yang ditenangkan Saho tidak bisa menahan gerung marah. Beliau menunjuk-nunjuk Anjalni dengan air mata yang masih merembes. "Saya melihatnya sendiri!"
Kalau Watson tidak salah mengingat, dia guru kimia kelas satu. Namanya Dula Teeren, 31 tahun. Kenapa dia sampai menangis segala? Antara Dula punya suatu hubungan dengan kepala sekolah sementara, terkejut karena melihat mayat untuk pertama kali, atau... syok akan ucapannya: kali pertama menonton seseorang membunuh nyawa seseorang.
Masa sih? Watson menatap malas Anjalni yang gemetar menggelengkan kepala. Meski kepribadiannya kasar dan super displin, Watson tidak yakin Anjalni mampu melakukan pembunuhan.
Guru Olahraga kelas tiga—Lucien Lebrun—segera mengambil tindakan. Dia menyuruh Liora (Seksi Keamanan II jika kalian lupa) menelepon polisi tanpa mengganggu kegiatan festival. Lalu menyuruh Saho mengamankan TKP.
"Jangan sampai insiden tak enak ini terdengar ke luar. Festival harus tetap diselenggarakan hari ini. Guru-guru tak bersangkutan, silakan kembali ke festival dan menjamu tamu. Lalu..." Lucien menatap Watson dan pasukannya yang sudah menunggu briefing. "Sisanya kuserahkan pada kalian, klub detektif."
"Anda bisa mengandalkan kami, Pak!"
"Pembunuh... Dasar pembunuh... Anjalni membunuh kepala sekolah sementara... Saya lihat sendiri... Dia monster..."
Duh, beliau meracau. Watson menghela napas pendek. "Stern, Aiden, antar dulu Miss Dula ke UKS. Dia dalam kondisi syok. Dia tidak boleh berada di sini."
Aiden dan Hellen mengangguk.
Kupikir aku salah lihat. Kenapa Miss Dula berkeringat begitu? batin Watson, menerawang sambil mengetuk dagu. Dia membuka folder ilmu medis di otaknya. Hipertioridisme? Infeksi tiroiditis?
"Miss Anjalni, tolong jangan pergi ke mana-mana. Anda seorang tersangka."
"Pak Lucien, saya bersumpah saya sungguh tak tahu apa yang terjadi. S-saat saya bangun, tahu-tahu Kepala Sekolah Sementara sudah tewas," lirih Anjalni mencoba membela diri. Dia telah membersihkan wajah yang cemong oleh darah menggunakan sapu tangan.
"Di situasi runyam begini, bersumpah atas nama Tuhan pun tak ada gunanya, Miss. Kebenaran yang utama. Dan semua orang di sini melihat anda memegang pisau, melihat anda ada di dalam TKP berlumuran darah. Maaf, Miss Adine, ini di luar kekuasaan saya. Jadi tolong pengertiannya agar festival yang ditunggu-tunggu tidak bermasalah." Lucien berkata sesopan mungkin.
Wanita itu tidak lagi membuka mulut. Cemas? Tentu saja. Tapi daripada merusak festival yang susah payah direncanakan, lebih baik Anjalni diam. Dia percaya bahwa dirinya tak bersalah.
"Kak, coba sini deh. Lihat ini—" Michelle menatap Watson yang menyeringai. Dia bahkan tidak ingin tahu apa yang dipikirkan oleh Sherlock Pemurung itu.
Tunggu, tunggu. Bukankah situasi ini berita bagus untuk Watson? Sepertinya Anjalni berkata jujur bahwa dia tidak membunuh kepala sekolah sementara.
Kalau Watson dapat membuktikan kesaksian Anjalni dan bukan dia pelakunya, wanita itu pasti merasa berutang budi dengannya, kan? Beliau pasti bertekuk lutut pada Watson dan memperbolehkannya tidak ikut pensi!
Hehehe. Memanfaatkan kejahatan untuk meraih keuntungan. Tidak buruk.
"Yosh. Lupakan kasus Rumah Mistis. Aku harus fokus dengan masalah yang ada di depan mataku terlebih dahulu."
"Kamu protagonis atau antagonis sih?"
*
Hmmm, baiklah. Mari kita nilai TKP sebelum polisi datang. Melihat dokumen demi dokumen, buku-buku, piala-piala kaleng berceceran di lantai, dapat dipastikan terjadi perkelahian di sini. Korban sempat melakukan perlawanan.
Watson menatap obeng yang tergeletak di lantai, beralih menatap jendela di ruangan itu. Ujungnya berdarah. Benda itu yang memecahkan kaca jendela, suara yang Watson dengar dari klub.
"Kak, tubuh jasad sudah mendingin."
Aneh. Watson mengelus dagu. Suara pecahan itu kan baru terdengar sekitar 6 menit lalu. Apa artinya Kepala Sekolah Sementara sudah tewas sejak tadi malam atau beberapa jam lalu? Atau bisa jadi pelaku menembakkan obeng itu untuk mengacaukan TKP.
Lagian belum ada kepastian soal senjata pembunuhan mengingat Anjalni memegang pisau yang diduga kuat alat pembunuh kepsek sementara.
Baiklah, ini tidak etis dan mulai terasa tak nyaman jika korban disebut Kepala Sekolah Sementara melulu. Namanya Akinlana Balewa, 30 tahun. Beliau dan Chalawan adalah teman satu kampus...
Watson mengepalkan tangan. Entah kenapa semua hal yang bersangkutan dengan King selalu membuatnya bete.
"Apa menurutmu tidak aneh, Wat?"
Pemilik nama menoleh ke Jeremy yang berdiri di belakang kursi korban, memperhatikan cipratan darah yang mencoret dinding. Dia menunjuk luka sobek di perut korban. "Jika benar Miss Anjalni menikam perut Pak Balewa, kenapa ukuran lukanya kecil? Lalu, kenapa harus memercikkan darahnya ke dinding? Tidakkah ini mengganggumu?"
"Hei, jangan sembarangan menyentuh korban. Sidik jarimu akan tertinggal."
Jeremy menggerutu. "Aku pakai sarung tangan kok! Kamu pikir kita sudah bekerja sama sejak kapan, hah? Tentu level kemampuan detektif-ku naik, fufu."
Masalahnya bukan di otak, tapi di sifat. Merujuk kelakuan Jeremy yang jahil, takutnya terjadi hal tak diinginkan.
Tapi bukan berarti Sherlock Tsundere itu tak memperhatikan kalimat Jeremy. Dia pun jongkok, menatap datar perut korban. Jeremy benar. Tinggi lukanya lima senti. Watson merogoh saku, berdecak. Dia tidak punya benda yang bisa membantu mengecek kedalaman.
"Kamu butuh ini?" Saho mengulurkan alat berbentuk sonde (probe) yang telah dia modifikasi. Merakit adalah hobinya.
"Oh, kebetulan." Watson menerimanya, langsung memeriksa luka pada perut korban, manggut-manggut. "4 senti, yah? Kurasa pisaunya tidak masuk terlalu dalam, tidak mengenai organ."
Saat hendak mengembalikan alat itu, Watson teringat kalau dia sudah bersikap dingin pada Saho tempo lalu. Aduh, Watson meringis. Apa dia minta maaf saja, ya? Kan dia yang salah.
"Berantakan sekali di sini."
Kedatangan polisi menyelamatkan Watson dari suasana awkward. Dia menoleh, mengerjap heran. "Inspektur Yolan? Apa yang anda lakukan di sini?" tanyanya, mengabaikan sosok Angra dengan sengaja. Siapa pula manusia buram itu. Watson tidak mengenalnya.
Yolanda Dresura Nosaroc. Pertama kali beliau muncul ketika klub detektif Madoka menyelesaikan kasus di Desa Stupido. Wanita yang menjabat sebagai jenderal ini harusnya sibuk di kantor, kenapa meluangkan waktu kemari?
"Dari laporan yang kudengar, kami diminta datang sesenyap mungkin karena sedang ada festival di sini. Aku khawatir putraku yang bodoh itu datang membawa sirine," jelas Yolan, tertawa sambil menatap tajam Angra.
Angra mendengus. Ketahuan sudah.
"Terima kasih pengertiannya Inspektur, ah maksudku, Jenderal. Saya sarankan, sering-seringlah menasehati anak anda supaya dia bisa jadi polisi yang baik."
"Terima kasih atas peringatannya."
Si Watson itu...! Apa dia tidak menotis wajah Angra sudah merah padam hendak meledak? Bukannya berhenti, dia malah menjadi-jadi meledek Angra. Sikap tengilnya menyala karena ada Yolanda yang akan melindunginya.
"Kalau begitu saya permisi. Angra, kerjakan tugasmu dengan telaten atau Ibu akan mencoretmu dari kartu KK."
"Dengan senang hati," sahut Angra.
Begitu punggung Yolanda menghilang, Angra menarik kerah seragam Watson. Tanda jengkel memenuhi keningnya. "Apa koma membuat akalmu hilang? Sepertinya kamu mau mati di tanganku."
Watson tersenyum miring. Tidak takut ataupun terintimidasi. "Harusnya itu kalimat saya. Apa selama saya koma, insting polisi anda menjadi tumpul? Bawahan anda sampai minta tolong ke saya untuk membantu kasus anda."
"Aku tidak sudi menerima bantuan—" Angra menatap jahitan di dada (atas bagian kiri) Watson yang mengintip, mengernyit jengkel. Pria itu melepaskan tarikannya. "Aku sudah dewasa. Kenapa aku bertengkar dengan anak-anak? Ingil, segera buat police line."
Watson mengerjap. Kesurupan apa dia?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top