File 2.2.3 - Sorry, But I Have to Reject it
"Dan, kenapa kamu menolak membantu mereka? Nesty sama Asta distalker seseorang. Ini sebuah kasus baru!"
"Aku bilang aku tak mau ya tak mau. Jangan paksa aku. Untuk kali ini aku takkan mengubah pendirianku. Mereka bisa minta tolong pada orang lain."
Watson pergi begitu saja. Sedikit emosi.
"Dia kesambet apa?" Jeremy berkacak pinggang. Mereka bertiga bingung karena Detektif Muram itu tanpa belas kasihan mengusir Nesty dan Asta, enggan mengambil permohonan kasus keduanya.
Aneh bin ajaib. Padahal tadi Sherlock Pemurung itu terlihat terpikat dengan pesona Nesty (karena tatapan ramah dan wajah gadis itu). Mereka berpikir dia akan menerima kasus Nesty, namun usai Nesty menjelaskan keluhannya, sifat kulkas dua pintu Watson pun berulah.
Ada alasan mengapa Watson membenci kasus penguntit daripada abduction. Itu karena suatu musibah di masa lalu.
"Kakak pernah diculik dulu," celetuk Michelle tahu-tahu nongol di antara Aiden dan Hellen. "Sebelas tahun silam."
"YAK! Kamu mengagetkan kami..." Aiden batal marah, mengerjap. "Dan pernah diculik? Kalau 11 tahun lalu... Itu berarti saat umurnya sekitar 5-6 tahunan?"
"Apa yang terjadi?" Jeremy bertanya.
"Sepulang sekolah, kakak duduk menunggu Papa di taman. Mama sudah menyuruh kakak agar tidak pergi ke mana-mana, namun kakak mengabaikan peringatan itu karena mengikuti seorang gadis yang menjatuhkan mainan tasnya. Setelah itu kakak menghilang selama sepuluh hari."
Aiden, Hellen, dan Jeremy terdiam.
Mereka... tidak tahu tentang itu. Kalau dipikir-pikir sekali lagi, mereka tidak tahu apa-apa tentang Watson. Sherlock Pemurung itu tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya kecuali tentang ASHYA dan teman-teman detektifnya.
"Yang menariknya, si penculik tidak meminta tebusan. Mereka memulangkan kakak di hari kesebelas kakak hilang."
"Apa? Dipulangkan begitu saja?! Tidakkah itu aneh? Mereka menculik Dan, lantas tidak meminta uang. Apa maunya??"
Michelle mengedikkan bahu. "Kakak trauma setelah musibah itu. Dia tidak ingat apa yang telah terjadi padanya."
"Kenapa kamu bisa tahu, heh?" dengus Hellen, memicing curiga. Bagaimanapun keberadaan gadis palsu itu masih harus dicurigai. Watson mengaku anak tunggal. Tidak mungkin mendadak punya kembar.
"Aku kan adiknya," balasnya pendek.
"Heh! Kamu pikir kami percaya kamu betulan saudara Dan? Pasti kamu punya rencana busuk." Belajar dari pengalaman (Gari Gariri), mereka tidak boleh lengah sedikitpun pada karakter baru yang sus.
"Jika Watson diculik, bukankah normalnya dia harusnya membenci kasus penculikan? Kenapa dia justru benci kasus stalker?" Jeremy bertanya lagi. Dia penasaran.
"Atmosfernya berbeda. Diculik, kita tahu kita akan dicelakai. Sementara distalker? Kita tak tahu kapan kita diserang atau apa tujuannya si penguntit. Tidak ada yang mau hidup dalam ketegangan."
Layaknya genre Thriller yang memicu adrenalin karena ber-vibes menegangkan dan Mystery yang diisi dengan tanda tanya, ketidaktahuan, dan rasa curiga.
Meski Watson menolak kasus Nesty dan Asta, sepertinya kasus mereka berdua akan dibahas di buku yang berbeda di suatu hari nanti. Yang jelas bukan di sini. Sekarang klub detektif Madoka lagi disibukkan dengan pentas drama sekolah.
*
Ksatria yang mencintai Aurora pandai bermain pedang. Mau tak mau, Watson terpaksa latihan mengayunkan pedang kayu karena nanti di pentas dia akan bertarung melawan Prince Philip: Grim.
Watson tak henti-hentinya mengumpat kenapa genggamannya begitu lemah. Mana dia sudah letoy, tak ada stamina. Kapasitas paru-paru nan memprihatinkan. Baru mulai sudah capek. Oh, takdir!
Lima menit kemudian, Watson menyerah. Dia mengeluarkan nebulizer inhalasi, mengatur napasnya yang menderu cepat.
"Persetan dengan pensi," keluhnya. Dia tidak peduli lagi Anjalni akan memarahi dan menceramahinya. Watson berbinar murung. "Kenapa aku sangat payah..."
Detektif Muram itu terkadang sedih dengan tubuhnya yang lemah. Dia tidak mau bergantung pada Jeremy melulu. Di suatu hari, akan tiba momen dimana dia harus bertarung 1V1 dengan penjahat.
Penyelidikan BE tertunda karena Watson koma. Pencarian jejak Castol Meirytn juga belum membuahkan hasil. Ini bukan saatnya bermain-main dengan festival.
Sebenarnya Castol pergi ke mana? Apa benar BE menculiknya? Aku tak percaya.
"Pak Dolok..." Watson berdiri tegak.
Kakek tua yang menjabat sopir keluarga Aiden sejak lama, adalah orang terakhir yang berinteraksi dengan Castol. Saat Castol menghilang, alibi Dolok kurang menyakinkan. Dia hanya lengah sebentar, lalu Castol hilang. Alibi macam apa itu?
Tapi karena waktu itu Watson diributkan dengan Sanoo yang ditangkap BE serta Ibu Notei yang akan melahirkan, dia tidak terlalu menggubris alasan beliau.
Sepertinya ada yang Dolok sembunyikan.
"Wajahmu serius sekali, Nak Watson. Kamu memikirkan apa?" tegur Nalan.
Watson menoleh. "Ah... Festival sekolah," jawabnya bohong. Tsk! Kenapa Nalan pulangnya cepat banget sih. Apa petugas dari Divisi Pengolahan Data tak punya kerjaan yang banyak? Bikin gagal fokus.
Wait. Aha! Watson mendapat ide brilian. Kenapa dia tidak babuin Nalan saja? Daripada dia berleha-leha di rumah tidak ada pekerjaan, sementara Watson menderita oleh pentas drama musikal.
"Anu, Petugas Nalan. Saya mau itu..."
"Hmm??" Nalan menatapnya intens.
"Bisakah anda menolong saya mencari biodata seseorang?" kata Watson pede.
Nalan mengerjap. "T-tidak masalah sih. Tapi, jika kamu sampai minta bantuan saya, apa orang itu berbahaya? Pelaku? Atau tersangka dari kasus barumu?"
"Ini hanya pradugaku saja sebenarnya..." Apa aku terlalu khawatir pada Castol hingga berpikir yang aneh-aneh tentang Pak Dolok? Ada apa denganku, batinnya menggelengkan kepala. "Lupakan saja, Petugas. Aku ingin memastikannya dulu."
Mana mungkin Dolok, kakek tua baik hati kesayangan keluarga Eldwers, tega melakukan hal jahat pada anak kecil. Watson pasti sudah gila berpikir begitu.
"Orang genius pun bisa khilaf." Watson tanpa sadar mengucapkan isi hatinya.
Nalan tersenyum. "Dugaan itu muncul karena perasaanmu terasa ganjil, kan?"
Watson melirik Nalan lewat ujung mata.
"Yang namanya firasat jelek, tidak pernah meleset, Nak Watson. Dugaan itu tidak sembarangan muncul di benakmu karena instingmu sadar, bahwa ada sesuatu yang berjalan misterius di luar sepengetahuanmu. Bukannya kamu khilaf."
Watson mendengus geli. "Tsk, gaya bicara anda seperti orang tua. Oh, aku lupa. Kan memang sudah punya anak satu."
"Bagaimana kamu tahu? Perasaan, aku tidak pernah menceritakan soal itu."
Mati kutu. Watson seketika menegang di tempat. Arghh!! Terkutuklah wahai mulut! Bagaimana bisa Watson menceloteh tanpa tahu rem?! Si Nalan itu punya magnet aneh di tubuhnya, menyugesti lawan bicaranya untuk ngomong apa adanya.
Kenapa Watson jadi menyalahkan Nalan?
Ehem! Detektif Muram itu sok berdeham, mempertahankan kedataran wajahnya. "Aku kan detektif. Aku bisa mengetahui segalanya asal aku punya niat, ekhem!"
Tidak ada balasan. Duh. Watson menatap Nalan yang menundukkan kepala. Kacau, apa Watson melakukan kesalahan lagi dengan kemampuan detektifnya? Mengusik privasi orang. Ahhh, ini kebiasaan buruk!
"Jadi, bagaimana kabar anak anda? Kenapa Petugas sendirian di Moufrobi?"
"Kurasa baik," jawabnya skeptis.
"Anda meninggalkan anak anda, kan?"
Nalan mematung, refleks mengangkat kepala, menatap Watson sedikit kaget.
"Perubahan sikap sangat mudah ditebak. Melihat Petugas mendadak murung dan suram, tampaknya anda berbuat salah pada anak anda makanya menjawab pertanyaanku dengan nada tidak yakin."
"Saya... harus meninggalkannya untuk melindunginya. Hanya ini pilihan terbaik."
Detektif Muram itu memasukkan tangan ke saku jaket, tidak peduli. "Anda tahu anda sedang mencari-cari alasan saja, kan? Bukankah lebih bagus melindunginya dari dekat daripada harus menjauhinya?"
"Saya yakin anak saya dapat bertahan tanpa orangtuanya." Nalan tersenyum simpul. "Dia anak genius sepertimu."
"Genius hee..." Watson menatap Nalan dingin. "Petugas, umur anda berapa?"
"Eh? Tahun ini 36 tahun—"
"Dan anak anda baru 12 tahun," potong Watson membuat Nalan terdiam. "Entah dia pintar, genius, atau apalah, umurnya masih terlalu muda untuk ditinggalkan."
Watson pun masuk ke dalam rumah. Dia jadi emosional karena kebodohan Nalan. Harusnya Nalan senang, anaknya masih ada. Harusnya dia menyayangi anaknya, bukan justru meninggalkannya sendirian.
Orang dewasa tidak bisa dipercaya.
Di sisi lain, Nalan menatap hampa kepergian Watson, mengepalkan tangan. "Andai semudah itu..." Dia menggigit bibir. Bulir air mata mengalir di pipi.
"Maka aku takkan tersiksa begini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top