File 2.2.1 - Focus on School Festival
Klontang!
Senjata Watson berhasil dilucuti. Grim menodongkan pedang peraknya ke wajah Watson sembari menatap tajam lelaki itu. "Kamu telah kalah, Wahai Ksatria. Hentikan pertarungan nan unfaedah ini."
"Tidak. Aku masih belum selesai." Dipikir Watson takut apa ditodong begitu. Dia masih bisa bertarung menghadapi Grim.
"Jika kamu benar-benar mencintai Tuan Putri, maka kamu harus merelakannya. Buang lah perasaanmu. Cinta tidak harus memiliki." [Grim. Pangeran Philip.]
"Tutup mulutmu. Kamu tidak berhak menyuruhku menyingkirkan perasaanku, Wahai Pangeran yang Ditakdirkan! 'Cinta tidak harus memiliki' katamu? Bullshit!"
[Watson. Ksatria yang jatuh cinta.]
Empat kata itu adalah dialog khas second male yang kalah di pertarungan hati. Meski dia berkata 'tidak apa-apa' dan 'baik-baik saja' pada sang heroine, percayalah dia menangis sendirian.
Watson tidak mau menjadi SM yang payah itu, hanya bisa menangisi takdir. Dia akan memperjuangkan cintanya.
Maka dari itu, dengan semangat cinta, Watson kembali bangkit meski perutnya mengucurkan darah. "Aku... lebih dulu bertemu Putri Aurora. Aku lebih dulu mencintainya. Cintaku padanya lebih besar dibandingkan cintamu. Lalu kamu, seenaknya ingin merebutnya dariku? Kamu pikir aku akan membiarkannya?"
"Berhentilah bertengkar kalian berdua! Waktu kutukan hampir dekat! Kita harus mencegah Putri Aurora menuju jarum pemintal!" [Aiden. Peri Hutan Ajaib.]
Itu benar. Tidak ada waktu untuk hal konyol seperti ini. Dengan tangan yang tidak kokoh, Watson mengambil dan mengangkat pedangnya, menatap datar.
"Aku akan melawan takdir demi Tuan Putri Aurora. Aku tidak peduli dengan ramalan Pangeran Philip yang harus mematahkan kutukan Penyihir Moors."
"Cut!" seru Anjalni memotong sandiwara yang sedang berlangsung, mendesah panjang. "Watson, kenapa kamu selalu salah di bagian itu sih? Kamu harus emosional, membuat ekspresi yang ingin menantang takdir. Bukan datar begitu."
"Maaf, Miss," kata Watson setengah hati. "Saya sudah berusaha semampu saya."
Brengsek. Kenapa bisa jadi seperti ini?
*
Dua hari setelah kasus Raia dinyatakan case closed, Sasinmu pun memutuskan mengundurkan diri dari pemilihan Ketua Konsil. Mereka berdua ingin jadi murid biasa. Tenang, mereka tidak pindah kok.
Raia menunjukkan gambar yang dia potret, namun ternyata gambar itu buram karena tangan Raia gemetar ketika mengambilnya. Wajah pembunuh Ayah Raina tidak nampak jelas.
"Hane, kuserahkan masalah ini padamu." Watson mengopernya ke Dextra. "Ini hanya sepotong kue tart bagimu, kan?"
"T-tapi Kak Watson, ini takkan mudah..."
Sherlock Pemurung itu menepuk bahu Dextra, menatapnya penuh harap. "Aku percaya kalau kamu pasti bisa menguak identitas pembunuh sialan itu. Kamu kan adik kelas andalanku, Chouhane."
Dextra berbinar-binar. "A-aku bisa melakukannya! Serahkan padaku, Kak!"
Gampang banget. Watson menyeringai.
"Tidak berakhlak sekali anda." Michelle yang melihatnya, geleng-geleng kepala. "Memanfaatkan adkel yang polos. Kakak orang jahat yang menyamar jadi baik."
Watson menoleh ke Michelle. "Kenapa kamu kemari, heh? Tidak ada yang mengundangmu." Ceritanya sekarang Detektif Muram itu masih di RS. Elione menyuruhnya menghabiskan infusnya.
"Aku dengar kakak tertembak panah." Michelle menatap lilitan perban di lengannya. "Apa kakak baik-baik saja?"
"Ini tidak membuatku mati. Lebay deh." Tidak Aiden, tidak Jeremy, sekarang ditambah Michelle. Mereka hiperbola, terlalu membesar-besarkan luka itu.
"Apa aku tidak dapat hadiah? Aku juga membantu kakak dalam kasus Raia."
Watson tergelak sarkas, sedikit tidak percaya Michelle gadis perhitungan. Tapi baiklah, hitung-hitung utang budi. Berkat campur tangan Michelle kasus Raia berjalan lancar. "Kamu mau apa?"
Tersenyum tipis, Michelle pun berdiri di depan Watson, mendekatkan kepalanya. "Aku mau dipatpat kayak di film-film."
"Apa? Kamu gila, ya? Like hell i would."
"Kakak mau berutang? Akan kuingat sampai ke liang lahat," cetusnya datar.
Sekali lagi Watson mengalah. Dia tidak mau catatan amal buruknya bertambah. Tangannya terulur ke puncak kepala Michelle, muka merona yang malu-malu. "T-terima kasih atas kerja samamu," Sial! Kok aku canggung begini? batinnya.
Bibir Michelle menyerupai huruf W. "Nah, begitu dong, Kak. Kan aku senang."
"Sudahlah, aku mau pulang." Elusan berubah menjadi jitakan. Dia menoyor kepala Michelle, angkat kaki dari RS.
"Kakak berdosa telah memanfaatkan Dextra!" Michelle melempar batu kerikil.
"Dia sendiri yang mau jadi budakku." Watson menghindarinya dengan estetik, tapi gagal karena kebanyakan gaya. Batu itu mengenai kepalanya. Headshot.
"Oopsie." Michelle meringis pelan.
*
Watson tiba di rumah pukul delapan malam. Dia pulang dalam kondisi kusut, habis bertengkar dengan Michelle.
Pintu terbuka. Ah, benar. Ada Nalan.
"Selamat datang di rumah. Akhirnya kamu pulang juga, Nak Watson... Apa?!" Matanya terbelalak melihat keadaan cowok itu seperti habis wajib militer. "Kamu kenapa?! Lenganmu terluka?!" Dia tanpa izin menyentuh tangan Watson.
Apa-apaan reaksinya? Watson menepis pegangan Nalan, menatap tidak nyaman. "Itu hanya luka kecil. Aku mau mandi."
Tadinya Watson ingin menjadikan Nalan sebagai alatnya, namun nuraninya tidak tega sebab Nalan pandai melakukan semua pekerjaan rumah. Dia juga jago memasak dan mencuci. Jadilah dia maid.
Meski demikian, Watson tidak mau 'berhubungan' lebih dekat dengan Nalan. Firasatnya merasakan pria itu tipe red flag. Luarnya terlihat polos, bodoh, tidak penting, namun auranya misterius.
Watson yakin si Nalan ini ada sesuatu. Mendingan sedia payung sebelum hujan.
-
Tubuh Watson terasa segar sesudah mandi dan keramas. Rasa penatnya menguap saat disiram shower. Cowok itu melompat ke atas kasur, sedikit mengaduh, lupa lengannya lagi terluka.
"Mungkin salah satu penggemar Nesty."
Watson memang bilang begitu, namun itu murni perkiraannya yang abstrak. Boleh jadi separuh salah, bisa separuh benar. Ya sudahlah. Jika pembunuhnya unjuk diri, kan tinggal ditangkap saja.
Kuru~ Kuru~ Kururing~
Berhenti menerawang menatap plafon kamar, Watson menoleh ke ponsel di sebelah kepalanya. Panggilan dari Hellen. Membuang napas pendek, Watson pun mengangkatnya. Langsung bangkit.
[Untuk apa kamu menyuruhku mencari latar belakang Petugas Nalan sih, Wat? Kehidupannya sangat sangat normal.]
Tidak ada yang mencurigakan dari personalia Nalan Hanantara. Dia lulusan Universitas Runmulvu, kampus biasa. Orangtuanya tinggal di Kanada. Punya seorang adik dan... seorang anak?
Apa ini. Dia sudah menikah rupanya.
Humuh, menarik. Watson menukar posisi duduknya supaya nyaman. "Stern, kamu bisa mencari tahu siapa anaknya?"
[Kenapa tidak minta bantuan Dextra?]
"Aku sudah menyuruhnya mengerjakan sesuatu. Ayolah, Stern. Aku penasaran."
Di seberang sana, Hellen diam, fokus menelusuri biodata Nalan lebih dalam. [Nih, sudah kudapatkan. Petugas Nalan mempunyai putra berumur 12 tahun. Puas? Haruskah kucari data istrinya?]
"Tidak usah. Tidak menarik lagi. Dia hanya pria biasa rupanya. Kututup, ya."
Begitu Watson menekan tombol 'akhiri panggilan', Aiden mengspam skype grup. Watson yang kepo memeriksa pesan itu.
Teman-teman! Kelas kita telah terpilih memainkan drama Sleeping Beauty! -A
*
"Ekhem!" Anjalni berdeham membuat Watson tersentak kecil. "Sudah selesai dengan flashback-nya? Kalau sudah, segera kembali ke tempatmu dan kita mulai latihan. Pentas musikal ini akan ditonton oleh Dewan Guru dan Komite Sekolah serta murid-murid sekolah lain. Miss harap kamu bersungguh-sungguh."
Ya kenapa harus aku yang anda pilih? Kan ada banyak murid! ucap Watson dalam hati, tak berani mengatakannya terang-terangan karena akan memicu perang dunia kedua dengan Anjalni.
Lagian, mana ada tokoh ksatria yang jatuh cinta pada Putri Aurora. Watson tidak ingat ada adegan seperti itu di dongeng Sleeping Beauty. Anjalni pasti menambahkan idenya ke naskah drama.
"Miss, ayo kita bicara empat mata."
"Hoo?" Demi melihat denting keseriusan di mata Watson, Anjalni tersenyum miring, mengangguk. Mereka pun keluar.
Sherlock Pemurung itu membungkuk.
"Maaf jika sikap saya lancang selama ini pada anda, Miss Adine. Saya akui attitude saya anjlok karena bertindak kurang ajar terhadap anda. Saya minta maaf sebesar-besarnya. Oleh karena itu, berhentilah mendendam pada saya."
"Huh? Apa yang kamu bicarakan? Saya tidak pernah dendam padamu. Kamu memang tak ada akhlak, namun setelah kupantau, kamu anak yang baik-baik."
Dia sampai bela-belain mengawasi klub detektif. Niat amat. Watson membatin.
"Kamu terlalu banyak membolos pada tahun kemarin, juga tahun kamu pindah ke Madoka. Mau jadi apa kamu, heh?"
"Jaksa," jawab Watson menurut.
"Nah, itu kamu punya impian. Waktumu tinggal setahun di sini, Watson. Jangan mengisinya dengan detektifan melulu. Ada waktunya kamu harus berhenti sejenak dari hobi yang menyenangkan."
Anjalni tersenyum, mengusap-usap kepala Watson. "Kamu pasti bisa jadi jaksa yang baik di masa depan."
Watson bersungut-sungut. "Baiklah..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top