File 2.1.7 - Boy With Recurrent Memories
Michelle...! Watson terlalu meremehkannya. Tidak salah lagi, pasti dia yang memberitahu alamat mereka pada Anjalni. Seharusnya tadi sebelum pergi, Watson minta izin sama guru emosian itu, tapi dia malah terbawa ritme.
Sesampainya di kelas, Watson duduk di kursinya, menguap, bersiap-siap ingin tidur...
Watson menolehkan kepala. "Michelle?!"
"Ngantuk, Kak? Kakak bisa tidur setelah memeriksa rekaman ini. Aku merasa ada yang salah dengan si kandidat Hasby Sasinmu."
Sudah kubilang aku bukan kakakmu! Nih cewek halu banget. Dia fanatik padaku kah?
"Apa yang kamu bicarakan, heh?" pergi sana. Aku mengantuk, batinnya mendesis geram.
"Lebih baik kakak periksa saja sendiri."
Baiklah. Watson akan mengesampingkan rasa jengkelnya. Satu, efek ngantuk. Dua, efek penasaran dengan apa yang Michelle dapatkan dari menonton rekaman Sasinmu berkali-kali. Lagi pula tersangka hanya menandatangani surat-surat sekolah. Apa bagusnya fakta itu?
Watson menonton video dengan malas. Tampak Sasinmu berdiri, melangkah ke mesin fotokopi mini di ruang Anggota Konsil. Dia menjiplak selembar kertas, lalu duduk kembali untuk tanda tangan. Lima menit kemudian, Sasinmu mengulangi hal yang sama. Terus begitu.
? Hah? Ngapain anak ini? What the hell—
"Aku sudah bertanya pada Kepala Sekolah Sementara, sebenarnya tidak banyak berkas yang perlu dibereskan Sasinmu. Dia hanya mengulangi tindakan itu sampai tiga hari."
"Kamu ingin bilang dia mengidap Amnesia Retrograde?" Tapi bisa jadi sih kalau yang dikatakan Michelle itu ada benarnya. Dinilai dari gelagatnya, Sasinmu tidak terlihat sedang akting atau bercanda. Pergerakannya natural.
Hmm, sus! Aku harus memastikannya.
Hellen belum masuk kelas. Sepertinya dia menyusul Aiden dan Jeremy ke ruang klub saat mereka berpisah di lorong. Watson melirik jam dinding, pukul setengah sebelas. Masih ada 15 menit lagi bel masuk berbunyi. Yosh.
"Kakak mau ke mana?" tanya Michelle melihat lawan bicaranya mengurungkan niat tidur. Semudah itu Watson menghilangkan kantuk.
"Ke mana hatiku senang."
*****DETECTIVE WATSON SEASON 3*****
Terus terang, selama ini Watson bisa saja mencari personalia seseorang secara pribadi tanpa harus membutuhkan bantuan Hellen. Dia juga punya bakat menjadi informan. Tapi apalah daya, sindrom malas menggerogoti sel tubuhnya. Jadi informan itu merepotkan.
Apa gunanya teman kalau bukan diperbudak... Eh, maksud Watson, bukanlah bekerja sama lebih menyenangkan? Watson bisa membagi tugas di pundaknya ke Aiden, Hellen, Jeremy. Lagian Hellen tak keberatan dibabuin... Bukan! Maksudnya, membantu Watson mencari ini-itu.
Wahai! Kenapa Watson mengocehkan hal tak penting sih? Mendingan langsung masuk ke ruang klub dan segera bilang ke Hellen!
Cowok itu sampai di depan pintu klub yang berpelitur. Tangannya terulur ke kenop pintu.
"Bagaimana, Kak Aiden? Bukankah itu menarik untuk dicoba? Kakak bisa mendaftar jadi pameran Aurora! Ayolah, Kak Aiden! Ayo ikut berpartisipasi ke drama Sleeping Beauty!"
"Aduh, Dex, aku tidak jago berakting."
Ruang klub dipenuhi kicau tawa Aiden dan Dextra. Mereka sibuk membahas pensi yang dispoilerkan oleh Anjalni di mobil tadi. Entah ada Hellen di dalam atau dia sudah keluar, peka memberi space untuk kedua sejoli itu.
Kenapa akhir-akhir ini mereka berdua dekat sekali? Apa mereka berpacaran? Lalu kenapa Watson tidak berani masuk seperti biasanya? Apa dia merasa segan mengganggu mereka? Rentetan pertanyaan mengalir di kepalanya.
Nanti saja deh. Mereka lagi asyik berduaan.
GREP! Baru juga berbalik setengah badan, lengan Watson dipegang. Dia menoleh. Adalah Aiden yang menatapnya bingung. "Lho, kamu mau ke mana, Dan? Tidak masuk ke dalam?"
Just how? How could it be?
Kok Aiden tahu ada orang di balik pintu yang tertutup?! Gadis ini, mungkinkah punya kemampuan mistis? Matanya bisa menembus benda 'gitu. Betapa kocaknya pikiran Watson.
Huh? Kelereng biru langit itu menatap lurus ke arah tangan Aiden yang memegang lengannya. Tanpa sebab pipinya bersemu merah, refleks menepis. "A-aku mau ke perpustakaan! Bye!"
Selain Aiden dan Dextra, belakangan ini Watson memiliki gangguan baru. Penyakit aneh yang seolah-olah tengah meremehkan otaknya. Tiap kali Aiden menyentuhnya, entah apa kausalitasnya, dia menegang kayak patung. Anehnya itu tidak bereaksi pada Hellen atau Jeremy. Apa penyakit ini diskriminasi orang?
"Kenapa kamu tidak coba mendaftar jadi Ketua Dewan Siswa, Raina? Kalaupun kamu tidak terpilih, kan kamu bisa jadi wakil Hasby."
Telinga Watson selalu sensitif untuk beginian.
Terdapat murid kelas dua dan sekretaris Raia alias Rainaly, bercengkrama ria di bangku taman menghabiskan bekal dari rumah. Watson menyembunyikan diri di tonggak lorong (luar) sekolah. Skill pendengaran super diaktifkan.
"Hahaha, pendaftarannya kan telah ditutup. Lagian aku sudah jadi suporternya Raia. Aku tidak mau mengkhianatinya," balasnya kikuk.
"Mengkhianati apanya? Orang dia yang tidak tanggung jawab dengan posisinya. Kalau saja kamu hadir saat pendaftaran, pasti kamu yang terpilih jadi ketua konsil. Hasby dan Raia membuatku jengah, sungguh. Raia tidak niat jadi Ketua Dewan Siswa. Dia hanya mengincar beasiswa ke Jerman. Dasar cewek munafik!"
Rainaly tersenyum simpul, mengusap lengan. "Kalian tahu alasan aku tidak hadir hari itu. Aku harus menghadiri pemakaman ayahku."
"Kamu ngapain di sini, Watson?"
"ASTAGA!" Watson terkesiap jatuh, mengusap dada setelah memastikan sosok di belakangnya orang yang dikenal. "Serius, Shepherd, kamu mengagetkanku. Muncul lah secara normal."
Saho mengulum senyum, membantunya berdiri. "Maaf kalau aku mengejutkanmu. Semua orang pasti kepo melihat posemu kayak mau maling. Apa yang sedang kamu lakukan, hmm?"
"Tidak ada." Jawaban paling terfavorit.
Entahlah apa yang dipikirkan Saho. Dia tanpa izin menepuk-nepuk kepala Watson. "Hati-hati, ya. Jangan sampai terlibat sama bahaya lagi."
Anehnya, Sherlock Tsundere itu malah menotis bawahan Saho yang bukan celana melainkan rok siswi. Mukanya berubah jadi batu. "Kenapa kamu mengenakan rok? Ke mana celanamu?"
"I-itu... Anak-anak di kelasku berulah lagi." Tadi saat pelajaran olahraga berakhir, Saho keduluan oleh teman-temannya, dan tada! Celananya hilang lalu digantikan sebuah rok.
"Aku tahu kamu terlalu cantik buat jadi cowok, Saho, tapi jangan mau dilecehkan seperti ini."
"Aku baik-baik saja kok. Aku sudah terbiasa."
"Aku hanya mau kamu sedikit bersikap jantan, Shepherd. Sudahlah aku mau ke perpustakaan. Tak jadi-jadi dari tadi." Watson berlalu pergi. Dia kesal karena Saho selalu bilang terbiasa tiap dibegitukan. Apa dia tidak sadar gender?
Saho memandangi punggung Watson yang kian menjauh, tersenyum simpul. "Dia tidak suka, ya? Tapi aku harus tetap melakukan hal ini..." Ujung matanya menatap siluet yang memantau komunikasi mereka sejak tadi. "Kembar, huh?"
Baik, mari kita ikuti alur permainanmu, Gadis Palsu. Karena saudara aslinya adalah aku.
*
"Haah!!" Watson menarik napas dalam-dalam. Akhirnya dia mendapatkan ketenangan juga. Memang ya perpustakaan adalah tanah suci, kedap suara dari hingar bingar di lorong kelas. Sherlock Pemurung itu bisa retret di sana.
Tadi saat berpisah dengan Saho, Watson masih menyempatkan diri mampir ke kelas Sasinmu dan Raia untuk meminjam buku absen. Semua (walau jumlah petunjuknya tak seberapa) yang dia perlukan ada di hadapannya. Jadi cowok itu sudah bisa login memasuki Mind Palace.
Seketika Watson tidak lagi berada di pustaka, melainkan di tempat pengadilan nan minim pencahayaan. Ada tiga platform tinggi di situ. Bagian depan, Meja Majelis Hakim. Bagian kiri, Penasihat Hukum. Bagian kanan, posisi Penuntut Umum. Dan Watson berdiri di sentral.
"Jadi, Saksi, petunjuk apa yang kamu dapatkan soal kasus ini?" [Watson 6 tahun, Sang Hakim.]
"Aku menduga kalau Rainaly ada kaitannya dengan permasalahan dingin antara Raia dan Sasinmu." [Watson 17 tahun, Sang Saksi.]
"Tsk. Itu hanya hipotesis kosongmu, kan? Lagi pula kamu tidak mendengar semua isi obrolan mereka karena Saho Shepherd mengganggu. Kamu tidak bisa langsung menuduh Rainaly terlibat." [Watson 14 tahun, Sang Pengacara.]
Watson tersenyum miring, bersedekap. "Tidak juga. Makanya aku meminjam buku daftar kehadiran pada wali kelas mereka. Untunglah beliau memperbolehkanku membawanya."
"Apa ada hal yang menarik di dalamnya?"
Pendaftaran lowongan pengganti jabatan Apol dibuka tanggal 20 februari 2023. Dua hari sebelum itu yakninya 18 februari, Raia dan Sasinmu serentak tidak masuk sekolah. Lalu jika ditambahkan hari dimana Rainaly absen yang mana juga tanggal 20 februari, bukankah itu artinya ada 'sesuatu' yang terjadi di sini?
"Apa kamu bodoh? Ada selisih dua hari antara pemakaman Ayah Rainaly dengan tidak masuknya mereka berdua ke sekolah. Itu pasti hanya anggapanmu yang tidak berdasar. Kamu tidak bisa hanya mengandalkan firasat doang. Mereka bisa ngapain saja mengingat Sasinmu itu murid nakal yang mempengaruhi Raia."
"Kalau aku bodoh, itu berarti kamu juga, Diriku." Watson manyun. Tentu dia tahu kalau ini saja tidak cukup. Seperti kata Si Pengacara, untuk saat ini belum ada validitas informasi.
"Tapi layak untuk diselidiki, kan?" [Watson 9 tahun, Sang Jaksa.] Dia menopang dagu sambil tersenyum miring. "Aku merasakan keanehan samar dari celetukan tentang alasan Raia mendaftar menjadi Ketua Dewan Siswa. Apa tadi katanya? Beasiswa ke Jerman, hee~?"
"Kalian ini terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Bagaimana kalau kita salah langkah? Yang Mulia, informasi ini tak valid."
"Fufufu. Pikiranmu yang terlalu kolot, Diriku. Apa kamu lebih memilih jalan berduri dan melewatkan pijakan yang tiba-tiba muncul secara ajaib? Jangan bersikap menyedihkan."
"Tidak ada salahnya berhati-hati karena siapa tahu, pijakan ajaib itu sebuah jebakan yang sengaja dipasang untuk mengoyahkan fokus."
"Jika fokusmu hancur hanya karena melihat air sedikit beriak-riak dan refleks mengangkat alat pancing, itu berarti kamu seorang pemula yang tidak tahu cara memancing yang benar."
Hei, hei. Muka Watson sudah tidak tertolong lagi. Kenapa mereka berdua jadi perang kata ibarat?! Apa Watson hanya nyamuk di sana?
Sang Hakim memukul Palu Keadilan. "Sudah cukup, jangan bertengkar sesama diri sendiri. Saksi, kita kekurangan data. Aku ingin kamu menindaklanjuti tentang hubungan kedua pihak yang bersangkutan dalam kasus ini. Paham?"
"Serahkan pada saya, Yang Mulia—"
Grak! Terdengar suara pintu pustaka yang terbuka. Watson tersentak, berhenti melamun. Dia keluar dari Istana Pikiran-nya, menoleh. Sosok Aiden tergesa-gesa berlari ke arahnya.
"Lho, Aiden? Ngapain kamu ke sini?"
"Nanti saja kujawab! Dan, aku izin sembunyi di bawahmu!" Belum juga Watson mengiyakan, Aiden sudah melompat menyurukkan badan ke kolong meja. "Bilang aku tidak ada di sini."
"T-t-tunggu, Aiden! Kamu pikir kamu sembunyi di mana?" Dilihat dari sudut pandang Watson... Bayangkan, seorang lawan jenis ngumpet di bawah meja tempat kamu duduk. Astaga! Ini akan mengarah ke adegan yang tidak-tidak. Dan kenapa otak geniusnya mikirin hal mesum!
"Sst! Hanya sebentar kok! Jangan bergerak."
"Mana bisa aku diam kalau begini posisinya!!"
Alasan Aiden bersembunyi seperti itu adalah karena masuknya sosok kedua ke pustaka. Watson berhenti memasang ekspresi tersiksa, menatap ke depan. Kerutan di wajahnya pudar.
"Grim Skyther?" Watson bergumam spontan.
Apa yang dilakukan mantan Aiden di Madoka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top