File 2.1.15 - Start to Move

"Apa?! Sasinmu menghilang?"

"Benar! Aku menemaninya ke gudang untuk memeriksa jumlah alat olahraga. Karena satu jam sudah berlalu dan dia tidak kunjung keluar dari gudang, aku pun masuk ke dalam dan Hasby tidak ada di sana! Ponselnya jatuh di lantai!"

"Bukankah itu artinya Hasby diculik? Jangan-jangan Raia hilang juga diculik oleh penculik yang sama. Astaga!"

Berita lenyapnya Sasinmu dari sekolah menjadi topik hangat di Madoka. Watson baru saja datang dan telinganya sudah disambut ingar-bingar menghilangnya kandidat kuat Ketua Dewan Siswa.

Sherlock Pemurung itu memarkirkan sepedanya dengan santai, menatap sekeliling yang heboh, saling mengoper berita terkini "Dia sudah bergerak, ya? Kalau begitu aku juga harus mulai nih."

Situasi di klub tidak ada bedanya.

Hellen bersedekap. "Kamu sudah sadar Sasinmu juga diincar, kan? Kamu pasti telah memperkirakan penculikan Hasby."

Paling tidak biarkan Watson duduk dulu dong! Dasar. Mereka menatap Watson tidak sabaran, menuntut penjelasan. Alasan mereka kayak cacing kepanasan begitu karena tadi mereka melihat Ibu Sasinmu datang dan mengamuk di ruang kepala sekolah. Suara amukan beliau terdengar di langit-langit lorong kelas.

"Dia baru tiba, Hellen." Erika terkekeh.

"Jika aku tak memprediksikan hal itu, aku tidak akan asal membagi tim kemarin," jawab Watson setengah hati.

"Jadi benar?!" Kekehan Erika menguap.

Watson mengambil air kemasan di meja trembesi. Ini akan jadi merepotkan. Ada dua nyawa, batinnya membuka segel tutup botol, meminumnya dua teguk.

"Bagaimana sekarang, Dan?"

"Perubahan rencana," kata Watson yakin. "Karena ada virus yang tidak diinginkan dalam program kita, mau tak mau kita harus menanggulangi virus ini sebelum makin berdampak dalam database program. Aku tidak ingin ada kesalahan."

Intinya Plan B. Detektif Muram itu suka sekali membuat teman-temannya kebingungan karena memakai kalimat pengibaratan. Lebih bagus to the point.

Dia menjelaskan singkat Plan B-nya.

*

<Studio Phagata, 10.36 AM>

Watson menahan langkah Jeremy yang ingin meradak maju ke Phagata. Sesuai dugaan, garis kuning polisi terbentang di luarnya. Bagaimanapun tempat itu masih lah TKP. Tidak bijak main masuk saja tanpa izin. Apalagi mereka remaja.

"Apalagi yang kamu tunggu, Watson?"

"Arah jam delapan dan tiga."

Mengernyit, Jeremy pun menolehkan kepala ke arah-arah yang disebutkan Watson, mendelik mendapatkan dua kamera cctv menyorot studio. Begitu rupanya! Watson memperhitungkan risiko jika mereka menampakkan wajah.

"Kita lewat pintu belakang." Watson malas harus berurusan dengan Angra, bertengkar karena masalah sepele.

Mereka berdua pun mengganti rute, bergerak hati-hati agar tidak terekam mencurigakan oleh cctv. Aduh, harusnya mereka ganti baju tadi. Celana merah marun kotak-kotak. Iya. Motif pasaran yang norak itu adalah seragam Madoka.

Masalahnya, pintu itu terkunci.

"Hehehe, aku tahu suatu saat ini akan terjadi lagi." Dengan nada doraem0n, Jeremy mengeluarkan linggis. "Maka dari itu aku sudah menyiapkan sesuatu!"

"Hooo." Watson tepuk tangan.

Tapi, lima menit kemudian, si doraremy tak bisa-bisa membuka pintu tersebut. Dia bahkan mengangkat tangan, menolak pertolongan dari Watson, bilang masih mampu. Bilang ini cuman sepotong kue.

Tangan Watson terulur ke gerendel, memutarnya. Klek! Pintu pun terbuka.

Mereka berdua saling tatap.

"A-ah..." Jeremy menurunkan tangannya yang memegang linggis, memasang raut wajah polos sedunia. "P-pintunya tidak terkunci rupanya. Haha... B-benar juga. Studio ini kan bangunan terbengkalai."

"Kamu ini membuatku malu saja."

Ehe. Watson tahu pintunya tak terkunci karena Michelle pasti lewat jalan belakang waktu dia suruh memantau TKP. Michelle lah yang membukanya.

*

"Waspada, Jeremy. Siapa tahu pelaku memasang jebakan di sekitar kita. Aku tahu pelaku tahu kita menyusulnya. Dia pasti bersembunyi di suatu tempat."

Entah Watson sengaja mengeraskan volume suaranya atau karena suaranya melantun di udara, yang jelas interior studio itu tampak menyeramkan. Gelap. Belum lagi debu dan sarang laba-laba.

"Hohoho, kamu tidak memanggilku 'Bari'! Kamu pasti Watson palsu." Sebelum Jeremy menarik lengan Detektif Muram itu, dia lebih dulu menepuk tangannya.

"Tanganmu kotor memegang linggis tadi dan kamu ingin menyentuh seragamku yang putih? Heh, kamu pikir mudah membersihkannya?" omelnya dongkol.

"Habisnya kamu tidak panggil—"

"SESUKAKU MEMANGGIL KAMU BARI ATAU JEREMY! APA KAMU TIDAK TAHU DEFINISI KEREFLEKSAN?" Pecah sudah emosi tuh anak satu. Bagus sih Jeremy belajar dari pengalaman ditipu Mupsi (menyamar jadi Watson), tapi bisa tidak, jangan menjadikannya patokan hidup?

Jeremy menutup mulut. Sok kaget. "Apa suaramu baik-baik saja? Tidak hilang—"

Kleps! Kaki Jeremy menginjak sesuatu.

Sebuah panah keluar entah dari mana. Watson segera mendorong Jeremy. Tak! Panah itu menancap ke lengan kirinya.

"WATSON! Kamu baik-baik saja?!"

Prok, prok, prok.

Belum selesai dengan rasa sakit yang mulai terasa, Watson dan Jeremy mendengar tepuk tangan sarkas dari depan. Seperti yang Watson perkirakan, pelaku mengetahui kedatangan mereka.

"Panah, huh? Caramu kuno sekali."

"Hebat, Kak Watson. Rela memberikan tubuh agar temanmu tidak terluka. Membuatku terharu dan jijik sekaligus."

Jeremy berbinar-binar syok. "Tidak mungkin. Kenapa kamu di sini, Rainaly?!"

"Bukankah itu sudah jelas, Jer? Kenapa kamu masih bertanya lagi." Watson menatap Raina datar, tak peduli peluh keringat mengalir. "Dia lah pelakunya."

"Lalu apa tujuannya minta tolong ke klub detektif kalau dia dalangnya?!"

"Aku akan menjelaskannya nanti..."

Pokoknya tak boleh. Watson tidak boleh mencabut panahnya. Ingatlah, apa pun jenis benda tajam yang menusuk bagian tubuh, jangan sembarangan dicabut. Berpotensi darah melimpah laksana air terjun. Dia harus menahan sakitnya.

Jeremy mengepalkan tangan. "Di mana kamu menyekap Hasby, hah?! Katakan!"

"Hmm, di mana ya? Aku tidak tahu."

"Jangan biarkan dirimu diprovokasi ...," ringis Watson melihat Jeremy ingin menghadiahkan pukulan ke gadis itu.

"Aduh! Tolong diam, Watson. Fokus sama lenganmu dulu. Hellen dan Dextra juga. Kenapa sih mereka tidak menjawab dari tadi?" Jeremy menanggalkan earphones yang Watson bagikan di klub tadi. "Kita harus menelepon 119. Ke mana mereka?"

"Mau aku bantu jawab?" seru Raina.

Dia menyalakan saklar lampu. Watson dan Jeremy menoleh, membelalakkan mata. Dua unit aquarium diletakkan di arah jam sebelas. Masalah mendesaknya adalah, Hellen dan Dextra terkunci di dalamnya! Sementara di box satunya, terkurunglah Raia dan Sasinmu.

"Naif sekali. Kamu pikir aku tidak tahu kamu mengubah rencanamu? Kak Aiden dan Kak Erika kamu suruh membidikku di gedung sebelah, kan? Syukurlah yang kena panah itu kamu, Kak Watson Dan."

"Kamu cerdik juga..." geram Watson.

Raina menyeringai, menekan remote control. Furnitur pancuran di dalam aquarium diaktifkan. Air menyemprot keluar, mulai mengisi aquarium. Deras.

"DASAR BRENGSEK! HELLEN!"

"Jangan sembarangan bergerak, Bari. Kita tidak tahu di mana saja titik dia meletakkan jebakan." Watson berkata dengan ngos-ngosan. "Tenanglah..."

Jeremy menggeram. "Sialan!"

"Sebenarnya..." Sasinmu berbinar sedih. "Kenapa kamu melakukan ini pada kami?"

"Mengapa aku melakukan ini semua?" Raina menatap Sasinmu marah. "KAMU LUPA AYAHKU DIBUNUH?! Kamu pasti merasa lega berkat amnesia sialan itu. Karenanya kamu tidak ingat apa-apa. Penyakit itu melindungi mentalmu."

"Aku tak mengerti apa maksudmu, Raina! Raia, sebenarnya ada apa ini? Tolong beritahu apa yang telah aku lupakan."

"Kamu adalah saksi..." cetus Watson.

"Kamu dan Raia adalah saksi yang tidak sengaja melihat pembunuhan ayahnya."






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top