File 2.1.10 - Not Interesting If Not Like This

Ini situasi paling tak beretika selama Watson hidup, menguping obrolan dua orang yang punya topik berat. Patutnya dia keluar dari toilet, bukan sembunyi. Dengar yang aneh-aneh kan jadinya.

Watson dilema, haruskah dia membantu Saho yang disudutkan sampai diam tak berkutik atau hening di sana hingga persoalan mereka berdua selesai.

"Kuharap narkolepsiku kambuh. Aku tidak perlu mendengar debat mereka," bisiknya, tak enakan pada Saho. Siapa yang tidak merasa terbebani mendengar masalah pribadi orang lain woi.

Permintaan adalah doa. Gumamannya dikabulkan Tuhan. Watson mengucek mata, menguap, lalu mengatupkan tutup kloset dan merebahkan kepalanya. Di sekolah dasar dulu, narkolepsi Watson yang tak terkendali membuat dia tidur sembarangan tempat. Termasuk di WC.

Tidak disangka itu terulang lagi.

"Ingat baik-baik, Shepherd..." Si Cewek Tak Diketahui Namanya itu kembali membuka suara, menyeringai. "Kamu yang membunuhnya, cabul sialan."

Saho menggigit bibir. Menahan emosi.

"Apa kamu pikir kamu bisa lepas dari kami hanya karena kamu masuk ke Madoka? Membosankan sekali pola pikirmu itu. Sama seperti dia. Oh-oh! Apa kamu tahu kalian cocok makanya kamu melecehkannya duluan? Ckckck. Kamu menjijikkan sekali, Shepherd."

"Harus berapa kali kubilang bukan aku yang melakukannya? Ah, benar juga. Untuk apa aku berbicara dengan gadis berotak burung sepertimu. Bahkan aku tidak yakin kamu mempunyai otak."

Keningnya berkedut jengkel. "Kamu masih bisa memprovokasiku? Tunggu saja sampai jasadnya ketemu. Kamu takkan pernah bertemu dengan adikmu lagi karena akan mendekam di penjara."

Dia mendorong Saho, menyenggol bahu cowok itu dengan sengaja, pergi. Misinya ke sana hanya memanas-manasi Saho.

"Aku rasa kamu yang memprovokasiku, Saevanah. Kamu tidak tahu apa-apa tentang diriku. Adik yang kamu sebut... kamu mengetahuinya dari diariku, kan? Tidak tahu malu membaca diari orang."

"Apa sekarang kamu membandingkan nilaimu denganku? Sadar diri. Aku jauh lebih baik dari pria mesum sepertimu."

Gantian Saho yang berdiri di depan Saevanah, mencengkeram tangannya. "Jika aku memang bejat seperti yang kamu katakan, aku bisa melakukan hal sama padamu sekarang juga, Vanah."

"A-apa yang kamu lakukan? Lepaskan tanganku, Byuntae brengsek!"

Saho mengendus-endus tubuh gadis itu, refleks melepaskan pegangannya. "Tsk, ternyata kamu masih mengonsumsinya. Kamu benar-benar diperdaya oleh-"

Plakkk!!!

Bunyi apa itu guys? Yak! Benar! Sebuah tamparan yang cukup keras melayang ke pipi Saho. Salam tempel dari Saevanah yang memandangnya dengan mata enek.

"Kamu akan mendapat bayarannya, Shepherd. Bersenang-senang lah selagi kamu bisa. Setelahnya kamu hanya akan merana merasakan penderitaan."

Saho diam, tidak bersuara lagi. Dia membiarkan Saevanah keluar dari toilet. Diusap-usapnya pipi yang sedikit perih. Tapi, tidak mengapa. Cuman tamparan kecil dari cewek yang diperalat orang.

"Kalau dia masih memakainya, berarti sudah tiga tahun, ya? Padahal dia tahu narkoba tidak baik untuk tubuh."

Akhirnya Saho bergerak ke bilik toilet tempat Watson sembunyi. Seharusnya bilik itu dikunci dari dalam oleh Watson, namun Saho bersama perangkat kecil miliknya dengan mudah membuka pintu bilik. Dia tahu ada Watson di sana.

"Aku merasa nostalgia," gumamnya tersenyum. "Kamu tak pernah berubah."

Line! Line! Katalk!

Saho menatap datar pesan-pesan yang berisi makian dan fotonya yang sudah diedit oleh penghuni grup, berdentingan masuk ke notifikasinya, menyeringai.

"Tidak menarik kalau tidak seperti ini."

-

"Aduh! Si Watson ngapain lama banget di toilet?! Apa dia boker? Tapi katanya cuman mau pipis! Dasar!" umpat Jeremy, menyusul Watson dengan langkah yang dihentakkan. Kesal disuruh-suruh.

Alasan Jeremy misuh-misuh begitu sebab matahari sudah tumbang. Pukul enam petang. Hari semakin gelap dan mereka masih berada di sekolah. Jeremy tidak suka berkeliaran di lorong sepi yang hanya dia seorang berjalan.

Jangan-jangan dia takut hantu.

"Heh! Sembarangan! A-aku mana takut sama yang begituan. Hantu itu tak ada." Jeremy mengoceh sendiri, mengusir keheningan yang terasa menyeramkan.

Tidak perlu takut. Kan sekolah terang oleh lampu. Lagian Jeremy anak jantan. Apa pula yang harus dia takuti, huh.

"A-aku tidak bisa. Besok saja!"

Hm? Jeremy menoleh ke sumber suara. Asalnya dari ruang kreasi Komunitas Fotografi. Siapa barusan yang bicara?

"Tidak ada besok-besok. Kamu selalu menunda. Ketua Konsil harus memiliki foto formal, Hasby. Kamu mau nilaimu dikurangi karena tidak mau sportif?"

"T-tapi aku tidak suka difoto..."

Itu Hasby Sasinmu, klien Klub Detektif Madoka! Sepertinya dia disuruh ambil potret untuk perlengkapan tambahan sebelum jadi Ketua Dewan Siswa—jelas Hasby yang menang karena Raia hilang.

"Tahan rasa tak sukamu. Aku hanya mengambil satu foto. Apa sulitnya itu? Buruan, atur posisimu. Tatap kamera."

Hasby berkeringat dingin. "S-sudah kuduga... Aku tak bisa melakukannya!"

"Tunggu, Sasinmu! Kamu mau ke mana?"

Jeremy langsung melompat ke balik tonggak lorong, mengintip Hasby yang kabur, enggan difoto. Kenapa kira-kira?

Apa pun itu, sepertinya dia dapat clue. Jeremy pun bergegas mencari Watson. Mereka harus segera membuat simpulan tentatif dan pulang sebelum larut.

-

<Kediaman Chouhane>

"Ini takkan terjadi kalau kamu mendengarkan orangtuamu. Apa Papa pernah mengajarimu membangkang?"

Dextra menatap lemas ke ayahnya yang tengah tersenyum padanya. Tidak. Itu bukan senyuman normal, melainkan sebaliknya. Senyum creepy menakutkan. Darah menetes dari ikat pinggang.

"Aku... memilih hidup miskin daripada hidup kaya atas hasil orang lain, Pa..." Anak itu menyelami dunia topologi bukan untuk mencuri pekerjaan orang.

"Masih saja melawan kamu, ya. Apalagi gunamu di sini kalau bukan untuk itu?"

Dextra mengepalkan tangan. "Seseorang kehilangan jabatannya karena aku! Orang itu bisa saja memiliki keluarga yang harus dinafkahi! Aku tidak bisa—"

Plak! Beliau kembali mencambuknya.

"Berani sekali kamu meninggikan suara ke ayahmu, anak sialan!" gerungnya.

Sang Istri alias Ibu Dextra menonton bersama Dersia, adik Dextra, yang sibuk memelototi ponsel. Mereka tidak berniat melerai, bergumam, "Jangan terlalu berisik, Pa. Tetangga bisa mendengar."

"Nattele sialan. Berani-beraninya dia mencuri tempatku?" Dersia berdecak, mencengkeram kuat tepi ponsel. "Aku lebih cantik darinya, dasar media idiot!"

Apa lagi masalahnya kalau bukan posisi 'model muda tersohor' diambil alih oleh Nesty. Mereka beda empat tahun. Meski demikian, Dersia veteran di profesi tersebut karena ibunya seorang artis. Dersia paham seluk beluk dunia hiburan.

"Kenapa, Sayang?" tanya ibunya.

"Ini, Ma, si Nesty. Andai saja kakak bodoh itu mau menggali aib Nesty, takhta nomor satu bisa kuambil lagi." Dersia mendengus sinis, melampiaskan kejengkelannya kepada Dextra.

Sang Ibu menatap datar Dextra yang sudah tergolek di lantai, babak belur. "Kamu tak mau menolong adikmu?"

Dextra enggan menjawab. Mana mau dia meruntuhkan citra seseorang demi adiknya yang terobsesi dengan medsos.

Grep! Beliau tanpa ampun menjambak rambut Dextra, memaksa cowok itu duduk, lantas menyeretnya ke kamar. Dersia cekikikan puas menyaksikannya.

"Ma, Sakit Ma... Maafkan Dextra..."

Setelah mendorong Dextra, beliau pun mengunci pintu kamar. "Kamu akan belajar bagaimana cara mendengarkan perintah orangtua. Jangan harap kamu mendapat makan malam hari ini."

Dan hening. Sang Ibu sudah berlalu.

Dextra mengembuskan napas panjang, menatap komputernya yang menyala. Notif skype grup detektif terdengar berisik. Ternyata Aiden membuat spam. Dia tersenyum kecil. Tidak apa di rumah tidak mendapat ketenangan. Setidaknya masih ada teman-temannya di klub.

Kenapa pulang duluan, Mr.Hack? -Aiden
Kami butuh bantuanmu, Dextra. -Hellen
Jangan malu-malu, Dek Dex. -Jeremy

"Ah, benar. Masalah Raia," monolognya.

-

>New York, Times Square, 19.19 P.M<

[Punya keluhan serius? Pencarian orang hilang? Pembunuhan? Kerja sama? Segera hubungi STAREISHIA! Kini kami memiliki kantor detektif sendiri!]

Aleena memandang malas spanduk STAREISHIA yang memenuhi papan iklan di mana-mana. Aleena tahu, mereka sedang promosi mengingat angka kejahatan di New York lagi tinggi, tapi bisa tidak jangan sampai ke TV juga? Itu jatuhnya ke berlebihan. Bikin kesal.

Gadis itu melompat turun dari tumpukan mayat yang menggunung, mengibas darah di roknya. "Selain itu, mereka lagi-lagi membawa ASHYA. Apa mereka sengaja mencari masalah denganku karena tahu aku ada di New York? Sial."

"Kenapa kamu membunuh semuanya...?Kamu hanya disuruh membunuh bosnya saja," gumam Lupin, berbinar-binar.

Aleena menatap Lupin yang murung, tersenyum pahit. "Apa kamu mulai tak nyaman berpacaran dengan mafia?"

"Aku tidak bilang begitu. Aku hanya—"

"Kamu tidak perlu mengotori tanganmu, Matrix. Urusan mengambil nyawa serahkan padaku. Aku tak mau kamu bergelimang dosa sepertiku," ucap Aleena melewati Lupin yang mematung.

Lupin mengepalkan tangan. Dia tidak bermaksud menyinggung perasaan pacarnya itu. Dia tahu Aleena terpaksa melakukan ini semua demi ayahnya.

"Kenapa kamu diam di sana? Ayo pergi. Sebentar lagi polisi akan datang."

"Aleena... Menurutmu, Mela bagaimana?"

Huh? Aleena berbalik, menatap Lupin bingung. "Tiba-tiba membahas Mela?"

Lupin cengengesan, menunjuk spanduk layar yang menampilkan kata-kata sindiran halus 'Stareishia datang menggantikan Ashya!'. "Jujur saja, aku juga sedikit kesal sama iklan-iklan itu. Kamu cukup dekat dengannya, kan? Tak ada salahnya mengingat masa lalu."

Aleena menghela napas singkat. "Mela. Di mata orang dia gadis yang energik, berpikir positif, tidak pintar juga tidak bodoh alias setengah-setengah, cantik, mudah berbaur. Kepribadian supelnya itu membuatnya disukai satu sekolah."

"Iya, aku tahu." Lupin menerawang.

"Tapi di mataku lain cerita."

Deg! Lupin terkesiap demi merasakan perbedaan aura Aleena. Tekanan ini... bukanlah Aleena kekasihnya, melainkan Aleena Lan, putri mafia yang ditakuti.

"Apa yang membuatmu berpikir kami berdua dekat, Lupin? Apa karena aku sering bersama Mela? Aku diajari ayahku supaya memakai topeng pada orang yang membuatku risih, dan dia salah satunya. Si gadis manipulatif itu."

"Aleena! Jangan bicara jahat begitu. Aku tidak membahas mendiang Mela untuk menjelek-jelekkannya. Kamu—"

"Apa kamu mau tahu satu rahasia?"

Aleena melangkah ke tempat Lupin, lalu berbisik, "Narkolepsi Watson..."

Glek! Lupin menelan ludah. Menunggu.

"... Mela lah yang menyebabkannya."





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top