Who Is He?

Ribuan cahaya berwarna-warni, berbagai jenis mesin dengan roda yang mampu menampung beberapa orang di dalamnya. Tempat ini hidup, sangat berbeda dengan distrik kami. Aku bahkan melihat beberapa wanita mengenakan pakaian lebih terbuka dari ini.

Kevin dan Henry beberapa kali bersiul pada wanita-wanita yang lewat. Mereka memang mata keranjang. Ray berusaha mengingatkan tujuan kami menyusup kepada dua orang itu.

"Ayo, kita tidak punya banyak waktu," ucap Andrew tiba-tiba.

Pria itu sudah berjalan lebih dulu meninggalkan kami. Ia seakan sudah tahu tempat yang kami tuju. Ini sedikit mencurigakan. Apakah Andrew sudah pernah menyusup sebelumnya? Oh, aku sekarang berpikir jika pakaian yang kami kenakan itu berasal dari sini karena semua dipersiapkan oleh sang ahli strategi.

Kami memasuki sebuah gedung tinggi bertuliskan perpustakaan pada papan nama. Salah satu tempat yang dikatakan oleh Paman Royce sebagai pusat informasi. Di dalam sana, banyak hal yang bisa kami dapatkan.

"Hei, Andrew," panggilku pelan dan ia menoleh. "Kau sudah pernah menyusup ke tempat ini sebelumnya, kan?" Aku menyipitkan mata curiga, tetapi Andrew hanya tersenyum seraya mengacak rambutku pelan.

"Ayo!" Ia menggandeng tanganku menuju sebuah benda persegi dengan berbagai perangkat di sekeliling. "Ini komputer, benda yang dikatakan oleh Paman Royce."

Andrew menggunakan benda itu dengan mudah, seakan sudah terbiasa. Ini benar-benar semakin mencurigakan. Namun, aku tak ingin menarik kesimpulan yang aneh. Kami masih harus menyelesaikan misi.

"Panggil yang lainnya," pinta Andrew.

Kami memang berpencar dan hanya aku yang ikut dengan pria ini. Lebih tepat karena ia yang menarik tanganku tadi. Sudahlah, lupakan! Aku hanya perlu mengajak yang lain kemari.

Semua sudah berkumpul dan Andrew menunjukkan sesuatu yang tak pernah kami bayangkan. Berbagai gambar dengan macam-macam tulisan seperti yang kami temukan dari batu-batu. Levi pun mengambil bukunya dari tas dan mencocokkan semua tulisan itu.

Pria satu ini tak pernah tertarik dengan hal lain. Levi hanya mencintai seni dari berbagai tulisan yang ia temukan. Pandangannya fokus dan kini sudah mengambil alih tempat Andrew. Ia menuliskan beberapa hal, mungkin sedang menerjemahkan.

Aku menarik Andrew menjauh dari yang lain. Pria satu ini terlalu sulit untuk ditebak. Kami memang sudah lama saling mengenal, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui asal-usulnya. Ditambah dengan kelakuannya seakan sudah begitu mengenal banyak tempat di sini.

"Jelaskan padaku, Andrew!"

"Apa yang ingin kau ketahui?" Andrew membalikkan pertanyaan dengan santainya, seakan tidak merasa ada yang salah. Ya, mungkin memang benar aku terlalu berpikiran negatif, hanya saja ... ini sedikit aneh.

"Semuanya."

Andrew menatapku dalam, kami berada di salah satu sisi tertutup dari perpustakaan ini. Ia tersenyum meremehkan dan menarik pinggangku. Perlakuannya sangat berbeda, aku seperti tak mengenal sosoknya.

"Jangan serakah, Aretha! Kau sudah memiliki segalanya. Bersabarlah menunggu hingga Levi selesai dan kau akan mendapat semua jawaban."

"Apa maksudmu?" Jawaban?

"Jangan terlalu dipikirkan. Ayo kita kembali," ajaknya seraya menggenggam tanganku erat.

Aku mendapat firasat aneh lagi, sama seperti saat mama dibawa pergi oleh orang-orang itu. Ucapan Andrew membuatku hilang fokus. Ada sesuatu yang akan terjadi dan entah mengapa perasaan ini lebih dari rasa takut.

"Kalian dari mana?" tanya Ray yang ternyata menyadari kami menghilang sebentar.

Andrew hanya diam dan kembali memperhatikan Levi yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Ray menatapku penasaran, menuntut jawaban. Entah. Aku tak tahu harus menjawab apa dan hanya menggeleng. Maaf, Ray. Aku tak tahu harus memulai cerita ini bagaimana?

Levi menutup semua gambar yang ada pada layar itu. Ia menatap Andrew lama kemudia tertawa. Bukan tawa bahagia, melainkan lebih seperti putus asa? Aku semakin yakin sekarang. Ada yang tak beres di sini dan semua berhubungan dengan Andrew.

"Ada apa, Levi?" Ray buka suara karena bukannya menjelaskan, pria itu justru menangis.

"Sialan kau, Andrew!" Levi menggeleng seraya menjambak rambutnya-frustasi. "Lebih baik kita pergi sekarang juga." Pria itu memijat kening, aku yakin ini menjadi sebuah beban yang sangat berat.

Aku kembali menatap Andrew menuntut penjelasan, tetapi pria itu masih memasang wajah datarnya. Levi pun seolah tak sabar untuk pergi dari tempat ini. Pada akhirnya kami hanya mengikuti langkah cepat pria itu tanpa petunjuk pasti.

Saat kami sudah setengah jalan, Henry berhenti dan membuat yang lainnya melakukan hal sama. Pria itu menoleh ke belakang seolah mencari seseorang. Ah, benar! Di mana Andrew?

"Jelaskan yang sebenarnya, Levi! Dan di mana Andrew?" Nada bicara Henry bisa sangat mengintimidasi di saat tertentu. Ia tidak menyukai ada rahasia di antara kami karena sejak awal kelompok ini terbentuk semua anggota sudah sepakat. Kami harus terbuka, apa pun yang terjadi.

"Aku akan menjelaskannya, tetapi tidak di sini. Kita harus pergi sebelum terlambat." Ucapan Levi semakin menguatkan firasat burukku. Aku yakin Andrew menutupi rahasia besar, pria itu terlalu misterius sejak kemunculannya pertama kali.

"Kita tidak akan keluar tanpa Andrew." Kevin pun setuju dengan pendapat kembarannya.

"Sial! Sudah kukatakan tempat ini berbahaya."

Di tengah perdebatan alot kami tiba-tiba terdengar sirine dari sebuah gedung tertinggi. Orang-orang mulai lari dan berteriak ketakutan. Levi berdecak kesal seraya mengacak-acak rambutnya. Jelas, pria ini menanggung sebuah rahasia yang tak bisa begitu saja dikatakan.

"Aku memiliki firasat buruk. Lebih baik kita ikuti ucapan Levi." Serra membuka suara dan memberikan pendapatnya.

"Katakan sesuatu, Ray!" ucapku pada ketua kelompok kami karena pria ini hanya diam sejak tadi. Dahinya berkerut, seolah memikirkan sesuatu yang begitu berat. "Ray!"

Sirine itu semakin keras berbunyi dan sepertinya memang sebuah peringatan. Kini jalanan yang tadinya ramai manusia dan banyak kerlap-kerlip lampu jalan sudah berubah. Suasana yang sama seperti di distrik, malam dingin dan mencekam.

"Kita pergi tanpa Andrew!" Ray membuat keputusan dan dengan terpaksa kami menurutinya. Levi sendiri langsung menyetujui dan kembali berjalan menuju gerbang perbatasan.

"Cepatlah!" perintah Levi semakin tak sabar, ia bahkan berulang kali menanyakan kepada kami sudah berapa lama menit yang terbuang?

Apa maksudnya?

"Tidak!" Serra berteriak, mengejutkan kami semua. Ia menggeleng berulang kali dengan air mata mengalir deras.

Aku pun mengikuti arah pandang wanita itu dan ternyata inilah yang menjadi sumber kegelisahan. Keinginan Levi untuk bergegas pergi dari tempat ini. Kenapa? Apa lagi yang mereka inginkan?

Levi menarik Serra dan membawanya berlari lebih kencang. Begitu pula denganku dan yang lain. Kami tidak ingin mati di tempat para pecundang. Gerbang perbatasan sudah terlihat, tetapi napasku mulai memberat. Bisakah istirahat sejenak?

"Ayo, Aretha!" Ray mengulurkan tangannya dan kembali menarikku.

Benar. Kami masih harus berjuang demi menyelamatkan masa depan. Aku menggenggam erat liontin pemberian mama. Ini menjadi kunci dari panggung besar yang akan segera terbuka. Menebar kebahagiaan bagi umat manusia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top