Destiny 8


Alisha mematung menatap pantulan cermin. Ucapan Mahendra saat di bandara tadi kembali terngiang. Pria yang diam-diam ia kagumi itu ternyata selama ini hanya menganggapnya sebagai rekan kerja.

Ada nyeri menusuk batinnya meski Alisha tahu hal ini bisa saja terjadi sebab Mahendra sama sekali tidak pernah mengatakan apa pun soal kedekatan mereka.

Potongan kebersamaan dia dan Hendra menari di kepala membuat Alisha semakin luka. Ia sadar mengagumi pria seperti Mahendra berarti harus siap untuk menelan kecewa. Tanpa permisi bulir bening jatuh menetes.

Sulit baginya memahami sikap pria itu. Jika Hendra menganggap teman mengapa dia merasa begitu diistimewakan dibandingkan dengan karyawan yang lain? Perlahan pertanyaan mencul di benaknya.

Ketukan pintu membuat Alisha segera mengusap pipi yang basah oleh air mata.

"Iya, Bu?" Ia bergegas bangkit membuka pintu.

"Kamu kenapa? Ibu perhatikan,sejak datang menjemput orang tua bosmu kemarin ... kamu mengurung diri di kamar, ada apa, Alisha?"

Ibu menatap intens pada putri keduanya yang tengah menunduk. Dengan ujung jemari, ia mengangkat dagu Alisha.

"Kamu menangis?"

"Nggak, Bu. Cuma emang tadi sempat kelilipan aja," jawabnya beralasan.

Naluri Ibu tak pernah bisa dibohongi, ia tahu putrinya sedang bersedih meski tak terucap.

"Ibu boleh masuk?"

Alisha mengangguk sedikit meminggirkan tubuhnya memberi jalan untuk sang ibu. Perempuan paruh baya itu duduk di tepi ranjang. Setelah menutup pintu, Alisha mengayun langkah mendekat.

"Kamu yakin baik-baik saja?"

"Baik, Bu. Alisha baik-baik aja kok."

Bu Rini mengangguk seraya mengusap bahu putrinya. Meski Alisha berkelit, ia tahu putrinya menyimpan rahasia.

"Baiklah, Ibu tidak memaksamu untuk bercerita. Nanti jam sembilan Surya dan papanya akan datang. Ibu sudah meminta Mbak Allea untuk ke sini. Kamu bisa bantu Ibu mempersiapkan hidangan untuk mereka di dapur?"

Alisha mengangguk.

"Tentu saja bisa, Bu. Ayo!"

***

Alleae mengunci pintu bersiap mengantar putrinya ke sekolah. Ia sudah berpesan pada kedu karyawannya untuk menjemput gadis kecilnya saat pulang sekolah nanti, karena ia harus menemui Surya. Entah, ia merasa hidupnya kini tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti titah kedua orang tuanya.

Meski bosan dengan acara pertemuan yang dirancang ayah dan ibunya, tak urung ia harus bahkan wajib hadir demi membahagiakan mereka.

"Pagi, Alena!"

"Om Hendra!" pekik Alena menyambut pria berkemeja putih itu.

Allea tertegun menatap pria bertubuh jangkung itu sudah ada di tengah-tengah mereka sepagi ini. Mata Hendra mencoba mencuri pandang ke Allea. Perempuan itu terlihat cantik dengan baju terusan berwarna ungu muda dengan potongan kerah menyerupai huruf V membuat Allea memesona.

"Halo Allea."

"Halo."

"Maaf, penampilan kamu tidak seperti hendak mengantar Alena? Ada acara penting?" Hendra mendekat dengan mata terus menatapnya.

Tak ingin berlama-lama ditatap oleh pria di depannya, Allea meminta putrinya untuk memanggil Lusi.

"Maafkan kami. Karyawanku telah membuat jas milikmu rusak," terangnya saat melihat Lusi membawa pakaian yang telah dia rusakkan.

"Maafkan saya, Pak Hendra. Ini murni kesalahan saya," tutur perempuan bertubuh mungil itu seraya menunduk.

Allea menunjukkan koyak yang ada di jas milik Hendra, lalu kembali meminta maaf.

"Kami akan mengganti rugi atas kesalahan ini," tuturnya tegas.

Hendra tersenyum lebar kemudian mengangguk. Allea menitahkan Lusi untuk kembali bekerja.

"Jadi apa ganti ruginya?" tanya Hendra.

"Sesuai yang tertera, kami akan mengganti seharga kerugian yang sudah kami lakukan."

"Kalau aku mau minta ganti lainnya, bisa?"

"Apa itu? Asal kami bisa melakukannya kami akan lakukan!" tegas Allea.

Hendra tak melepas pandangannya dari wajah perempuan itu. Dirinya bahkan tak peduli meski Allea kerap kali mengacuhkannya.

"Aku minta hatimu saja!" bisiknya lembut dengan tatapan hangat.

Mendengar itu Allea sedikit membuat jarak kemudian tersenyum.

"Kamu suka gombal ya," tuturnya.

"Aku serius, Lea!"

"Simpan gombalan itu. Aku nggak suka!"

Allea melangkah meninggalkan Hendra.

"Allea tunggu!"

"Sudah siang, Alena harus ke sekolah!"

"Aku antar!"

"Nggak perlu! Aku bisa antar sendiri," tolaknya membuka pintu mobil.

"Mama, ban mobilnya kempes!" Alena menunjuk ban belakang mobilnya.

Hendra tersenyum lebar dengan menaikkan alisnya ia mengajak Alena naik ke mobil putih miliknya.

"Mama, Alena naik mobil Om Hendra ya!" Gadis kecil itu gak menunggu jawaban dari mamanya. Ia bergegas masuk setelah pintu mobil dibukakan oleh Hendra.

"Kamu mau ikut antar atau ...."

Allea memejamkan mata kemudian mengayun langkah menuju mobil pria itu. Merasa menang, Hendra tertawa kecil.

"Bukan kamu 'kan yang bikin banku kempes?" tanya Allea saat mereka sudah di mobil.

Hendra terkekeh geli kemudian menggeleng.

"Kenapa mikir gitu sih? Ya nggak lah! Itu artinya semesta memang mendukung kita pagi ini. Aku berharap sepanjang hari kita bisa begini," balasnya santai.

Mobil meluncur pelan menuju sekolah Alena. Di perjalanan bocah kecil itu tak henti bercerita tentang teman-teman sekolahnya, termasuk Karina yang mengatakan senangnya memiliki seorang papa.

"Alena pingin punya papa?" tanya Hendra melirik perempuan cantik di sebelahnya.

"Iya, Om!"

"Kalau Om jadi papa Alena gimana? Mau?"

Dengan wajah berseri-seri gadis kecil itu mengangguk.

"Mau Om! Alena mau. Emangnya Om mau jadi papa Alena?"

"Tanya ke Mama coba."

Alena menatap mamanya yang membeku layaknya patung mendengar ucapan kedua orang di sebelahnya.

"Mama? Bolehkan Om Hendra jadi papa Alena?"

Allea membalas tatapan Hendra kesal kemudian menatap putrinya.

"Sebentar lagi sampai, Alena. Ayo dipakai tasnya!"

Mobil berhenti tepat di depan sekolah, gadis kecil itu berpamitan kemudian menyalami kedua orang dewasa yang berbeda pikiran itu.

"Alena nanti dijemput Mbak Lusi ya. Mama mau ke rumah Eyang, kemungkinan selepas Zuhur, Mama baru pulang."

Alena mengangguk paham seraya berkata, "Oke, Mama!"

"Tunggu, kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke rumah Ibu. Kenapa?"

"Biar Alena aku yang jemput! Gimana, Alena? Mau Om jemput?"

Seperti bisa ditebak, Alena mengangguk antusias.

"Tapi ...."

"Itu nggak merepotkanku sama sekali!" potong Hendra seolah tahu ucapan apa yang akan keluar dari bibir Allea.

Perempuan itu menatap Hendra bermaksud protes, tapi telunjuk pria itu bergerak memberi isyarat agar ia tak meneruskan ucapannya.

"Anggap ini kompensasi dari jas yang rusak!" jelasnya. "Oke, Alena! Sampai ketemu nanti ya."

Alena melonjak gembira kemudian melambaikan tangan mengiringi mobil putih yang membawa mamanya itu berlalu.

"Sekarang kamu mau ke mana?" tanya Hendra saat mobil menjauh dari sekolah.

"Turunin aku di halte depan!"

"Kamu bilang mau ke rumah ibumu, 'kan?"

Allea menarik napas dalam-dalam kemudian menatap pria yang tengah mengemudi.

"Hendra, aku serius. Turunkan aku di halte depan!"

Pria itu tersenyum kemudian menepikan mobil lalu mematikan mesinnya.

"Apa kamu selalu jutek begini?" Kali ini ia menggeser posisi duduk sedikit menyamping agar dapat melihat perempuan itu lebih leluasa.

Allea membuang pandangan ke luar jendela.

"Aku turun di sini aja kalau gitu!" Perempuan itu meraih tas tangan kemudian mencoba membuka pintu.

"Allea tunggu!" Tangan kokoh pria itu menahan lengannya sehingga Allea memalingkan wajahnya menghadap ke samping sehingga wajah keduanya tidak berjarak.

Kedua insan itu saling bertukar pandang menyelami hati masing-masing. Tangan Hendra yang tadinya memegang kuat lengan Allea perlahan mengendur membuat Allea tersadar.

"Aku harus pergi!"

"Aku antar!"

"Hendra aku ...."

"Jangan menolak! Aku mohon!"

Perempuan itu hanya bisa menghela napas dalam-dalam kemudian merapikan rambutnya. Sementara Hendra tersenyum tipis kembali menyalakan mobil.

"Beri tahu aku arah menuju rumahmu!"

***

Ehem ... Hendra yaa, mulai nekad 😆🙈

Kuy arisan di mari, kita ngobrol asyik 🤩😍






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top