Destiny 6
Allea menggeleng.
"Maaf, aku nggak bisa!"
Ada bias kecewa di wajah Hendra mendengar jawaban perempuan itu.
"Kamu sibuk?"
"Aku punya banyak kesibukan, Hendra!" Ia berusaha menghindari tatapan pria itu.
"Besok pagi orang tuaku datang dari Jogja. Aku ingin mengenalkanmu pada mereka," jelasnya masih menatap Allea.
"Aku?"
Hendra mengangguk.
"Kenapa aku?"
"Aku nggak tahu, tapi kamu istimewa!"
Allea menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu aneh, Hendra. Kita baru aja kenal,dari mana kamu tahu aku istimewa? Ngaco!" Allea meraih air mineral di depannya. Perempuan itu merasa Hendra sedang tidak main-main.
"Allea, aku tidak sedang bercanda." Hendra meraih tangan Allea sehingga ia meletakkan kembali air minum itu.
"Hendra dengar, kita baru aja kenal. Lalu kamu mau kenalin aku ke orang tuamu?" tanyanya gusar.
"Memangnya itu salah? Bukannya itu berarti kamu spesial?" kilahnya dengan mata masih membidik ke arah Allea.
Perempuan itu tersenyum tipis. Ia mengarahkan pandangan ke Alena. Bocah kecil itu terlihat mengantuk. Cuaca dingin ditambah perut kenyang membuatnya merebahkan diri di sofa.
"Allea, aku serius."
"Aku nggak bisa, Hendra. Maaf."
"Kenapa?"
Allea menggeleng kemudian berdiri melangkah ke tempat Alena. Bukan ia tak tahu apa maksud pria itu, tapi dia seorang ibu yang harus banyak mempertimbangkan segala apa pun yang hendak diputuskan. Termasuk tentang putrinya.
"Kamu bisa pulang sekarang, Hendra. Sudah malam!" pinta Allea saat pria itu di sampingnya.
"Oke, aku hargai keputusanmu. Maaf kalau aku terkesan memaksa."
"Nggak apa-apa. Terima kasih sudah mau berteman denganku," ucapnya tersenyum.
"Aku boleh ke sini lagi, 'kan?"
Allea mengangguk.
"Selamat malam."
"Malam."
***
Alisha sudah rapi menunggu jemputan, ia sangat manis dengan baju berwarna kuning gading dan sepatu flat berwarna hitam. Berkali-kali ia melirik jam tangan dengan wajah gelisah.
"Memangnya bosmu mau jemput jam berapa?"
"Jam delapan, Bu. Pesawatnya mendarat jam sembilan," jawabnya.
"Mungkin masih dalam perjalanan ke sini, kamu yang sabar." Ibunya kembali masuk ke rumah setelah selesai menyiram tanaman.
Alisha mengangguk. Ia kembali melihat ke petunjuk waktu di ponsel kemudian mencoba menghubungi Hendra. Namun, saat melihat mobil berhenti di depan rumah, ia mengurungkan niatnya. Alisha bangkit berpamitan lalu melangkah mendekat.
"Sudah siap?" tanya Hendra dari balik kemudi. Sejenak perempuan itu terdiam karena melihat ada Bram dan keponakannya di dalam mobil itu.
"Alisha?"
"Oh iya, siap."
"Masuk!" perintahnya memberi isyarat.
Suasana hati Alisha mendadak berubah, ia mengira hanya berdua saja menyambut kedatangan orang tua Mahendra. Namun, nyatanya ada Bram dan keponakannya yang konon ingin melihat pesawat.
"Sori, Alisha. Nunggu lama ya?" Bram yang duduk di kursi belakang membuka suara saat mobil mulai bergerak.
"Nggak juga kok."
"Oh iya, siang nanti aku bisa minta tolong lagi, Alisha?" tanya Hendra.
"Minta tolong apa, Mas?"
Hendra tersenyum, di kepalanya terbayang wajah polos Alena yang bahagia saat melihat kedatangannya semalam.
"Mas?"
"Ah iya, kira-kira kado apa yang bagus buat anak perempuan?"
"Anak perempuan?" selidik Alisha.
"Iya!"
"Usia?"
"Entah, tapi aku rasa lima tahunan gitu!"
Alisha terdiam, tapi bertanya-tanya siapa anak perempuan yang hendak ia beri kado itu.
"Anak perempuan siapa, Mas? Keponakan?"
Hendra tertawa kecil.
"Calon anak dia tuh sepertinya, Alisha!" seloroh Bram terkekeh.
Mendengar Bram mengatakan hal itu, hatinya kembali muram. Ada goresan yang samar, tapi terasa sakit.
"Calon anak?"
"Udah, nggak usah pedulikan dia. Menurut kamu kado apa?"
Sejenak Alisha berpikir, kemudian dia mengusulkan agar Hendra memberikan boneka atau baju untuk anak perempuan yang dimaksud.
"Good, kalau gitu kamu bisa pilihkan nanti, 'kan?"
Alisha mengangguk lesu. Sepanjang jalan pikirannya berkelana. Bahagia yang ia pupuk sejak kemarin perlahan menguap. Ucapan Bram tentang anak perempuan itu sangat mengganggu dirinya.
Meski Alisha tahu bahwa Mahendra belum mengatakan apa pun padanya, tapi ia merasa telah jatuh cinta pada pria itu. Perhatian dan semua kepercayaan yang Hendra beri padanya benar-benar telah mengikat hati perempuan itu.
Jika saat ini ia mendengar hal yang jauh dari harapan, tentu itu sangat menyakitkan.
"Alisha? Kenapa masih di situ? Ayo keluar, kita sudah sampai bandara!" Suara Hendra membuyarkan lamunannya. Sejenak ia menoleh ke luar jendela, kemudian tersenyum kecil lalu membuka pintu mobil.
"Bram mau ke mana?" panggil Alisha saat melihat rekan Hendra itu meninggalkan mereka berdua.
"Kan sudah kubilang tadi, ini anak mau lihat pesawat, sekalian jemput orang tuanya jam sepuluh nanti." Bram melambaikan tangannya disambut Hendra.
"Ayo, kita ke sana!" ajaknya dengan isyarat dagu. Berdua saja dengan Hendra kali ini membuat dirinya canggung, meski itu yang ia inginkan sejak tadi.
Hendra mengajaknya duduk menunggu di cafetaria.
"Kamu mau minum apa?" tawarnya.
"Milk shake sepertinya enak!"
"Oke!"
Hendra melambai ke arah pelayan kemudian memesan minuman untuk mereka. Sejenak keduanya diam. Hendra terlihat tengah menghubungi seseorang sementara untuk membunuh rasa canggung Alisha memainkan gadget. Dari sudut matanya ia menangkap Hendra gelisah karena yang di telepon tidak juga mengangkat.
"Telepon siapa, Mas?"
"Oh, seseorang! Oh iya, Alisha. Jangan lupa ya, selepas kita menjemput orang tuaku, kamu bisa langsung ke mall untuk membelikan sesuatu yang aku minta tadi."
"Aku sendiri?"
"Kamu keberatan?"
Alisha menggeleng.
"Tapi aku nggak tahu selera anak itu, Mas."
"Eum ... atau gini deh, kamu bisa carikan di online shop deh!"
Alisha mulai gusar, ia merasa pria itu memanfaatkannya.
"Kenapa nggak Mas aja yang cari? Kenapa harus aku?"
"Kamu nggak mau nolongin aku?"
"Oke, oke. Aku bisa cari sekarang!"
Alisha menyentuh layar ponselnya mencari toko online yang menyediakan barang yang dimaksud pria itu. Melihat aneka boneka berwarna pink ia teringat Alena keponakannya.
Perempuan itu menatap Hendra yang masih fokus ke gadget. Bibirnya menyungging senyum setelah mendapat barang yang pas untuk anak perempuan yang dimaksud bosnya.
Satu gambar boneka beruang besar berwarna pink ia tunjukkan kepada Hendra.
"Ini aku rasa bagus, Mas! Menurut aku sih!"
"Oke! Pesankan. Kirim ke alamat kantor!"
"Baik!"
Tak lama terdengar pengumuman bahwa pesawat yang ditumpangi orang tua Hendra telah mendarat. Bergegas pria itu bangkit lalu melangkah ke pintu kedatangan diikuti oleh Alisha.
***
Allea mengabaikan dering ponselnya. Ia bersama dua karyawan tengah sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
"Mbak Allea, sejak tadi ponselnya berbunyi loh," ujar Fina.
"Biarin aja, Fin," balasnya acuh.
"Kalau penting gimana, Mbak?"
Menarik napas Allea melangkah ke meja melihat identitas pemanggil. Perempuan itu hanya menarik sudut bibirnya sekilas kemudian mengubah mode silent pada ponselnya.
"Bukan sesuatu yang penting, Fin. Ini lebih penting!"
Ia kembali merapikan beberapa baju milik pelanggan yang sudah siap di masukkan ke dalam mesin cuci.
"Mbak ...."
"Iya, Lusi? Ada apa?"
Ia menatap penuh tanya ke karyawannya yang terlihat ketakutan.
"Ada apa, Lusi?"
Dengan wajah bersalah ia menceritakan telah tidak sengaja merusakkan salah satu jas mahal milik pelanggan mereka.
"Maafkan saya, Mbak Allea. Saya nggak sengaja merobekkan bagian dalam jasnya, saya tidak tahu kalau itu berbahan sutera," paparnya.
"Ssstt ... nggak apa-apa, sisihkan jas itu. Nanti biar saya yang urus!"
"Tapi, Mbak ...."
"Kenapa?"
"Jas itu ...."
"Kenapa lagi dengan jas itu?"
"Jas itu milik Pak Mahendra!"
***
Hello, aku up malam untuk part ini. Happy reading, Temans
Ramaikan dengan komentar ciamik 😍
Kalau ada typo colek yaa 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top