Destiny 4

Sepanjang Sabtu Alisha sibuk mempersiapkan gaun dan segala yang berhubungan dengan penampilan. Dirinya ingin terlihat sempurna saat menjemput kedua orang tua Mahendra. Sementara seperti biasa, sang kakak selalu menjadi konsultan untuk menunjang penampilannya. Ia sengaja memanggil Allea datang ke rumah orang tua mereka.

"Alisha, kamu tuh pakai apa aja cocok tahu nggak!" Perempuan bertubuh semampai itu tertawa kecil melihat tingkah adiknya yang kebingungan.

Dengan menghela napas, Alisha menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia menatap Allea dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu sudah seringkali mengatakan iri dengan postur tubuh dan kulit Allea.

"Mbak!"

"Iya?"

"Sebenarnya kita ini saudara bukan sih?"

Mendengar ucapan sang adik Allea sontak menoleh dengan mata membulat.

"Kamu bicara apa, Alisha?"

Masih dengan wajah kusut, ia mengungkapkan perasaan iri pada penampilan sang kakak.

"Mbak tinggi semampai, kulit Mbak putih, sementara aku, biasa aja! Tinggi enggak, pendek juga enggak, lalu kulit aku cokelat! Nggak ada yang menarik! Bahkan saat aku mau cari baju aja susah ketemu yang cocok!" keluhnya kesal.

Allea menarik napas dalam-dalam, keluhan serupa selalu diungkapkan berkali- kali, dan berkali-kali pula ia meyakinkan bahwa Alisha tak kalah menarik darinya.

"Lisha! Jangan pernah bicara seperti itu lagi ya? Kita bersaudara, Lisha. Kalau memang berbeda itu wajar. Jangankan kita yang berbeda usia, mereka yang kembar aja beda! Udah deh, seperti yang Mbak bilang tadi, kamu itu cantik, jadi pakai baju apa juga cantik!"

Mendengar penuturan sang kakak, wajah manis Alisha berseri.

"Kalau gitu, aku pakai baju ini aja deh, Mbak!" tuturnya menunjukkan dress berwarna kuning gading sebatas lutut dengan potongan leher sabrina.

"Cakep! Udah sekarang kita makan siang dulu ah! Kakak laper, si Alena juga pasti laper tuh!"

Alisha mengangguk kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan.

"Bu, siap-siap. Anak Ibu bakal diminta seseorang sepertinya," ungkap Allea membuka suara sembari ujung matanya mengarah ke sang adik.

"Apaan sih, Mbak!" sambut Alisha tersipu.

"Bener apa yang dibilang Mbakmu?" tanya Ibunya.

"Nggak, Bu. Besok bos Alisha ngajakin jemput orang tuanya ke bandara. Itu aja kok, Mbak Allea aja yang baper," balasnya menatap Allea dengan wajah malu.

"Mama, ada telepon!" Alena mendekat menyerahkan ponsel pada mamanya.

Melihat nama yang tertera, Allea menolak panggilan itu kemudian menonaktifkan mode data.

"Siapa yang telepon, Mbak?"

"Bukan siapa-siapa."

"Serius?"

Allea mengangkat bahunya kemudian memulai menikmati makan siangnya setelah menyiapkan untuk sang putri.

"Serius!"

Alisha merasa ada yang ditutupi, perempuan yang usianya dua tahun lebih muda dari Allea itu penasaran. Ia tahu itu di luar kebiasaan sang kakak.

"Jangan bilang Mbak ada masalah sama costumer!"

"Nggak ada apa-apa, Alisha. Udah, nggak penting itu. Ayo dimakan!"

"Allea, kemarin Pak Faisal menanyakan kamu." Ibunya berkata menengahi.

Mendengar nama itu, Allea menarik napas dalam-dalam. Pak Faisal adalah kawan lama ayahnya. Pria itu ingin menikahkan putra tunggalnya Surya Kalandra dengan dirinya.

Hal itu sudah lama ia dengar meski Allea tak pernah menanggapi. Karena sejak kejadian penolakan calon yang diajukan sang ayah padanya, praktis dia tak pernah lagi mendengar penuturan serupa.

"Untuk apa Pak Faisal tanya soal Allea, Bu?"

"Beliau masih ingin mendengar jawabanmu soal ...."

"Surya?"

Sang ibu mengangguk.

Allea malas menyendokkan nasi ke mulutnya. Sekian lama sendiri membuat perempuan itu enggan membuka hati. Bagi perempuan cantik itu, perginya sang suami adalah perginya semua rasa cinta yang dimiliki. Tak ada yang bisa menempati ruang hatinya selain sang suami.

"Allea?" panggil ibunya. Perempuan itu masih bergerak hingga Alisha menyentuh bahunya.

"Mbak!"

"Eh, iya, Bu?'

Menyadari putrinya tidak tertarik dengan obrolan itu ia hanya tersenyum tipis.

"Ya sudah, kamu selesaikan makan siang dulu. Nanti kita lanjutkan," tuturnya.

***

Sepanjang perjalanan pulang pikirannya melayang pada penuturan sang ibu. Ibu ya berkata bahwa Surya adalah pria baik yang memiliki masa depan baik pula.

Pria itu pernah menikah, tapi kemudian bercerai karena tidak cocok dengan sang istri. Meski begitu, Allea belum pernah bertemu dengan dengan Surya.

Allea melirik putrinya yang terlelap, sambil terus mengemudi ia menarik napas dalam-dalam. Wajah mendiang suaminya masih begitu lekat dalam memori. Semua perhatian dan kasih sayang pria itu begitu membekas dalam. Seolah ingin mempersiapkan semuanya, Papa Alena itu pergi setelah rumah selesai di renovasi dan mobil telah selesai dilunasi.

"Andai kamu masih ada, Mas ...," gumamnya seraya memperlambat laju mobilnya. Mata perempuan itu menyipit saat melihat mobil sport putih berada tepat di depan rumahnya. Sementara berdiri di samping mobil itu seorang pria bertubuh jangkung berpenampilan casual, seolah menunggu kedatangannya.

"Pak Hendra? Huufh, ada apa lagi dia?" bisiknya kesal. Setelah mematikan mobil ia bergegas turun mendekati pria berhidung mancung itu.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapanya ramah.

Pria beralis tebal itu tersenyum lalu menggeleng.

"Seharusnya aku yang bertanya soal itu, Lea."

"Maksud, Bapak?"

Hendra menarik napas dalam-dalam kembali menarik bibirnya.

"Kenapa kamu tidak menerima panggilan dariku? Apa terjadi sesuatu?" Ia balik bertanya dengan pandangan menyelidik.

Allea menggeleng cepat.

"Maaf, tadi saya ...."

"I'ts okey, asal tidak terjadi apa-apa padamu juga Alena aku lega," potongnya.

Allea tersenyum, mencoba bersikap wajar saat mata tajam milik pria itu tak lepas memindainya.

"Eum, saya mau bawa Alena masuk. Dia tertidur di mobil," tutur Allea mencoba melepaskan kegugupannya.

"Alena tidur?"

"Iya."

"Boleh aku yang angkat dia ke dalam?"

"Boleh, tapi ...."

"Oke, aku nggak masuk. Hanya sampai teras," sela Hendra seolah tahu apa yang dikhawatirkan perempuan itu.

Allea mengangguk kemudian membuka pagar dan melangkah membuka pintu rumah. Ia melihat Hendra tampak penuh kasih sayang membopong putrinya hingga ke teras.

"Dia sangat pulas, sepertinya kecapekan," ujar Hendra setelah Alena berada di gendongan perempuan itu.

"Saya bawa Alena masuk dulu."

Pria itu mengangguk kemudian duduk di teras. Tak lama muncul Allea membawa nampan berisi minuman untuk sang tamu.

"Silakan diminum, Pak. Maaf, hanya air biasa."

"Terima kasih, air biasa akan jadi luar biasa jika kamu yang menghidangkannya," godanya menatap Allea. Perempuan itu hanya menarik bibirnya sekilas kemudian membuang pandangan ke arah lain.

"Aku mengganggumu?"

"Eum, sebenarnya ....

"Memang mengganggu, iya kan?"

"Ada perlu apa Bapak menelepon saya?"

Mahendra meletakkan gelas di meja kemudian menarik napas dalam-dalam. Baru kali ini dia menemukan perempuan yang sangat menjaga jarak. Bahkan ia merasa Allea sama sekali tidak tertarik dengan dirinya.

Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang ia temui. Meski ia tahu, Allea merasa rikuh dengan tatapan matanya, tapi dia juga tahu perempuan itu keberatan dengan perhatiannya.

"Kita berteman, 'kan?"

"Iya, berteman."

"Kalau gitu, boleh dong aku ngajak kalian jalan-jalan malam ini! Besok kan hari libur?"

Mendengar ucapan Hendra sontak Allea menoleh ke arah pria itu.

"Saya nggak bisa, maaf. Lagipula banyak pekerjaan di laundry yang belum selesai," tolaknya halus. Allea benar-benar terkejut dengan ajakan pria itu.

"Sudah kuduga," balasnya.

"Bapak menduga apa?"

"Kamu akan menolak!" jawabnya tersenyum dengan mata tetap menatap Allea meski perempuan itu selalu menghindar.

"Kalau begitu, aku boleh bantu pekerjaanmu?"

"Bapak bantu pekerjaan saya?"

"Iya, kenapa? Kaget?

***

Haloooo .... Kangen ngga siihhh? Aku sih kangen, Wkwkwk

Eh suka gak sih kisah ini? Aku cuma mau kasi saran beli tisu banyak-banyak yaa buat baca cerita ini 🤣

Btw maacih sudah setia ❤️

Sekalian promo ah. KCiK sama Menantu untuk Ibu open PO looh, minat hubungi wa ya di 081349460461

Bye bye





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top