Destiny 34
Pagi-pagi sekali Mahendra sudah memanaskan mobil. Dia terlihat bersemangat mempersiapkan segalanya. Sementara Allea di dapur bersama asisten rumah tangga Mahendra.
"Allea, kamu seharusnya nggak perlu ikut di dapur. Ini masih hari barumu loh!" ujar Bu Nastiti seraya duduk di ruang makan.
"Nggak apa-apa, Ma. Kebetulan Alena minta dibuatkan pisang keju."
Mertua perempuannya itu tersenyum. Dia berpikir bahwa anaknya benar, perempuan yang dinikahi adalah perempuan yang baik dan mandiri. Sangat bertanggung jawab dengan dirinya dan buah hatinya.
Bu Nastiti menghela napas panjang teringat Eyang Dewi. Meski sepuh, tapi hatinya terlalu keras untuk di lunakkan. Seluruh keluarga besarnya paham akan hal itu. Sampai saat ini tidak ada yang berani melanggar.
Pernah suatu ketika cucu perempuan dari kakak perempuan Eyang tidak peduli dengan ucapan perempuan sepuh itu. Hampir sama dengan kasus Mahendra, hingga menyebabkan Eyang murka dan berucap kalimat serapah dan berdampak tidak baik pada pernikahannya.
Pernikahan cucu dari kakak perempuan Eyang itu akhirnya kandas. Hidupnya tidak bahagia, hingga kini. Kejadian itu membuat semua keluarga besar menjadi berpikir berulangkali untuk membantah titah Eyang Dewi.
"Melamun?" Pak Baskara tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Nggak, Pa. Hanya teringat kisah Tita," terangnya seraya menyodorkan secangkir teh madu ke arah suaminya.
Pak Baskara menarik napas dalam-dalam, sebelum menyesap minuman hangat itu.
"Mama paham soal takdir, kan?" tanyanya seraya meletakkan cangkir kembali ke meja.
Bu Nastiti mengangguk.
"Kita hidup ini hanya menjalani takdir yang sudah tertulis. Kita hanya butuh ikhtiar dan berdoa saja, selebihnya ... Tuhan yang punya kuasa."
"Mama hanya was-was, Pa. Mama yakin pilihan anak kita tidak salah, tapi ...."
"Itu artinya Mama belum sepenuhnya pasrah. Kisah Tita bukan karena ucapan Eyang. Ada hal yang membuat Tita dan Ardi berpisah. Coba Mama telisik! Apa selama ini Tita sudah benar-benar menjadi istri yang baik? Konon Ardi merasa tidak nyaman dengan kebiasaan Tita yang selalu keluar malam dan pulang dini hari hanya karena alasan menghadiri pesta teman kerjanya. Apa itu baik?" Pak Baskara menatap istrinya kemudian kembali meraih minuman di depannya. "Dan kejadian itu terus berulang," sambungnya lagi.
Perempuan berbaju putih dengan bunga-bunga kecil itu kembali menarik napas. Bibirnya sedikit tertarik dengan paras terlihat lega. Bagaimana pun sebagai seorang ibu, dia merasa khawatir hal buruk akan terjadi pada putranya.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Mahendra. Pria berhidung mancung itu ikut duduk bergabung di ruang makan.
"Pagi, kamu berangkat kapan?" tanya Pak Baskara.
"Setelah sarapan!" Mahendra menatap istrinya yang tengah menyiapkan makan pagi mereka.
"Berapa lama di sana?
"Satu pekan mungkin."
"Alena ikut?" tanya mamanya. Perempuan paruh baya itu tampak begitu sayang pada Alena.
"Ikut, Ma," jawab Mahendra.
"Kalau dia mau tinggal, mama senang! Nanti mama ajak jalan-jalan dan buatkan banyak kue untuknya!"
Mendengar perkataan mertuanya, Allea tersenyum. Kembali bahagia memenuhi dadanya. Memiliki suami dan mertua yang sangat baik adalah impian perempuan mana pun. Dia merasa beruntung memiliki keduanya.
"Mama boleh tanya ke Alena, Ma. Kalau dia mau tinggal ... nggak apa-apa," ujar Allea menatap Bu Nastiti.
🍁🍁
Entah apa yang dikatakan Bu Nastiti sehingga Alena bersedia tinggal. Hal itu tentu membuat Mahendra bahagia bukan kepalang. Dengan tangan kiri yang terus menggenggam tangan Allea, Mahendra selalu tersenyum sepanjang perjalanan. Sesekali dia ikut bersenandung mengikuti lagu yang terdengar dari tape mobilnya.
Sementara Allea hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Saat mobil melewati sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba muncul ide di kepala Mahendra. Dengan senyum dikulum, dia membelokkan mobil memasuki area parkir.
"Mas mau belanja apa?" tanya Allea dengan kening berkerut.
Bibir Mahendra tertarik lebar seraya menatap hangat istrinya. Dia kemudian mematikan mesin mobil lalu mengajak Allea keluar.
Dengan menggenggam erat tangan Allea, mereka berdua menyusuri lorong pusat perbelanjaan. Alles berulang kali menanyakan apa yang hendak dibeli oleh suaminya. Sebab menurut Mahendra, semua bahan makanan dan keperluan lainnya sudah tersedia di villa.
"Mas? Dari tadi Mas nggak jawab pertanyaanku?"
Langkah Mahendra berhenti tepat di depan pakaian dalam wanita. Tentu saja bukan hanya pakaian dalam, tetapi ada lingerie aneka warna dan mode terpampang di toko itu.
Allea masih bergeming, meski dia tahu apa yang ada di kepala suaminya.
"Kamu yang pilih, atau aku yang pilihkan?" bisiknya tepat di telinga sang istri.
Tak bisa menyembunyikan wajahnya yang merona, ia mencubit kuat lengan sang suami. Dengan tawa kecil, Mahendra meraih bahunya mengajak masuk ke toko itu.
Pelayan menyambut ramah keduanya. Tanpa memperhatikan wajah Allea yang masih malu, Mahendra memilih beberapa lingerie dengan model dan warna beragam.
Setelah dirasa cukup, ia kembali menoleh ke Allea dengan tawa nakal.
"Kamu ada pilihan lain mungkin?"
"Mas Hendra!" bisiknya kembali mencubit sang suami.
Allea merasa malu karena pelayan di situ tak berhenti tersenyum ke arahnya seolah ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini.
"Kalau begitu kita langsung melanjutkan perjalanan," ajak Mahendra seraya kembali menggenggam tangan Allea.
🍁🍁
Arum menyandarkan tubuhnya ke pintu, perempuan berlesung pipi itu terduduk meringkuk memeluk lututnya dengan air mata bercucuran. Kabar dari Eyang Dewi membuat hatinya teriris. Bayangan bersanding bahagia dengan pria yang telah lama dicintai pupus sudah. Semua usaha dan pembuktiannya selama ini tak lagi berguna. Semua angan kini berganti ketakutan ketika membayangkan dirinya akan diperistri pria ringan tangan.
Kemarahan orang tuanya juga membuat Arum semakin terpuruk. Nama baik keluarga pun tercoreng karena penolakan dari Mahendra. Meski Eyang Dewi berada di belakangnya, tetapi sosok Mahendra yang dia inginkan justru tidak peduli dengan semua permohonannya.
Ketukan pintu terdengar, suara ibunya memanggil dan meminta agar dia membuka pintu.
"Arum, Romo ingin bicara."
"Nggak, Bu. Arum nggak mau ketemu Romo!" Arum terisak menjawab.
"Arum, keluarlah, Nak. Ada Eyang Dewi juga di ruang tamu."
Mendengar Eyang Dewi ada di rumahnya, Arum terkejut. Tak menyangka perempuan sepuh itu bertandang ke kediamannya.
"Kami semua sudah mengetahui masalahnya. Ayolah, sekarang kamu keluar. Kita selesaikan masalah ini bersama," tutur ibunya dari luar.
Arum perlahan bangkit dan membuka pintu. Ibunya tersenyum seraya menghapus air mata yang masih mengalir di pipi sang putri.
"Ayo rapikan rambutmu! Kita keluar menemui Eyang."
🍁🍁
Berada di villa berdua, di kelilingi kebun teh dengan suasana sunyi dan udara dingin membuat siapa pun sepakat jika tempat seperti itu adalah destinasi yang rekomended untuk pengantin baru. Pun demikian dengan pasangan Mahendra dan Allea.
Mereka tiba saat gerimis datang sore itu. Senyuman tak pernah lepas dari bibir keduanya. Kebahagiaan membuncah di dada keduanya.
"Mas pasti lapar, aku buatkan makanan ya," ujar Allea saat sang suami baru saja keluar dari kamar mandi.
Mahendra tersenyum kemudian mengangguk.
"Eh tunggu!"
"Ada apa, Mas?" Allea menoleh menghentikan langkahnya.
"Sini!" titahnya.
Terlihat Allea ragu karena saat ini suaminya bertelanjang dada dengan bagian bawah hanya ada handuk yang dililitkan di pinggang. Mengingat malam pengantin mereka yang belum terjadi dan sejumlah ancaman' Mahendra membuat dirinya masih mematung di tempat semula.
"Kenapa masih berdiri di situ?"
"Eum ... mau masak buat ...."
Mahendra menggeleng seraya memberi isyarat dengan jari agar Allea diam.
"Oke, kalau kamu nggak mau dekat, biar aku yang mendekat!"
Dengan cepat dia melangkah mendekat dan meraih lembut lengan Allea sehingga mereka tak berjarak.
Kali ini perlahan Mahendra menyatukan bibirnya ke bibir Allea seraya berbisik, "Aku cuma ingin kamu!"
Tak menolak, Allea memejamkan mata membiarkan jemari sang suami bergerak membuka satu persatu kancing baju dan menyentuh satundari bagian sensitif miliknya.
"Aku rasa ini bisa appetizer yang spesial sebelum ke menu utama." Kembali dia berbisik tanpa melepaskan pagutan bibirnya.
🍁🍁
"Eyang, ada tamu!" seru Alena seraya masuk menuju dapur
Bu Nastiti yang tengah membuat kue bersama asisten rumah tangganya menoleh lalu membungkuk bertanya, "Siapa tamunya, Sayang?"
"Eum ... Tante yang pernah ketemu Alena di Jogja waktu itu, Yang."
Kening perempuan paruh baya itu berkerut.
"Maaf, Bu. Namanya Arumdalu, barusan saya sudah persilakan untuk masuk," terang salah satu dari asistennya.
"Arumdalu? Baik, saya segera temui. Bik Wati, ajak Alena bermain di kamar ya."
"Iya, Ma."
Bu Nastiti melepas celemek kemudian bergegas keluar. Dia melihat Arum telah duduk di sofa seraya menatap foto pernikahan Mahendra dan Allea yang terpanjang di dinding.
"Arum?"
"Mama."
Perempuan berbaju merah marun itu bangkit mengulurkan tangannya.
"Apa kabar? Kamu makin cantik! Silakan duduk!"
Keduanya duduk bersebelahan. Kedatangan tiba-tiba perempuan itu membuat kepala Bu Nastiti dipenuhi berbagai pertanyaan. Terlebih melihat mata Arum berkaca-kaca menahan tangis.
"Katakan apa yang bisa Mama bantu."
Bu Nastiti tahu bagaimana kisah cinta Arum dan putranya. Dia juga paham bagaimana gigihnya Eyang Dewi berharap agar mereka bersatu.
"Ma, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintai Mahendra. Saya nggak bisa melupakan begitu saja."
Tangisnya pecah di ruangan itu. Tak tega melihat kesedihan Arum, Bu Nastiti mengusap bahu perempuan di sampingnya.
"Arum ... Mama paham apa yang kamu rasa, tapi anak ibu telah memilih Allea untuk hidupnya. Kamu harus bisa menerima itu, Nak."
Tangis Arum semakin menjadi. Sambil terisak dia menceritakan semua ketakutannya pada ibu Mahendra.
"Saya takut, Ma. Saya takut jika romo menikahkan saya dengan Beno, putra Pak Kertowidjojo," ungkapnya seraya mengusap air mata.
Terlihat Mbok Diah membawakan minuman dan bolu kukus di piring.
"Arum ... sebaiknya kamu istirahat dulu. Perjalanan jauh pasti membuatmu lelah. Minumlah!"
Setelah mengucapkan terima kasih, Arum meneguk pelan minuman segar di depannya.
"Maafkan saya jika menurut Mama tidak sopan dan mengganggu keluarga ini, Ma."
Bu Nastiti tersenyum.
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, Arum. Kamu pasti bisa. Mama tahu kamu perempuan cerdas dan pasti dengan mudah menyelesaikan permasalahan ini."
Arum terdiam.
"Arum, kamu perempuan cantik dan pintar. Kamu pasti bisa mengajak dialog Beno dan keluarganya. Kamu salah kalau datang ke Mahendra, Nak. Dia sudah menentukan pilihan dan itu bukan main-main. Mama rasa kamu paham soal itu."
Arumdalu tertunduk, wajahnya terlihat kusut dan sangat lelah.
"Ini sudah menjelang malam. Sebaiknya kamu beristirahat malam ini di sini. Bagaimana?" tawarnya
"Apa itu tidak merepotkan Mama?"
Sambil tersenyum ibu Mahendra itu menggeleng.
"Istirahatlah di sini malam ini. Nanti kita bisa bicara lagi sambil makan malam."
🍁🍁
Mahendra tengah menikmati kebahagiaannya bersama sang istri pagi itu. Mereka bahkan belum sarapan meski matahari sudah mulai meninggi. Sebuah panggilan masuk dari mamanya membuat kening Mahendra berkerut. Sejenak dia menatap Allea yang terlelap dan terlihat lelah.
Pelan dia bangkit memakai bokser dan menerima telepon dari sang mama. Lagi-lagi dia mengernyitkan dahi mendengar cerita Bu Nastiti.
"Jadi dia di rumah sekarang?"
"Iya, Nak."
"Ck! Kenapa ibu biarkan dia di sana?" Pria itu mengusap rambutnya.
"Ma, katakan Hendra nggak bisa bantu dia meski harus berpura-pura! Ide gila itu!"
"Mama tahu, tapi dia ingin bertemu denganmu. Dia juga berkata akan menunggumu hingga selesai bulan madu!"
Mahendra mengeratkan rahangnya.
"Ma, jika sampai Hendra pulang dan dia masih ada di sana. Hendra akan usir dia!"
"Sabar, Hendra. Mama yakin, dia akan pergi besok, Mama hanya mengabarkan saja."
"Oke, Ma."
"Eum ... Allea mana?"
"Allea ...."
"Masih tidur? Kelelahan?"
Mahendra tersenyum.
"Ya sudah. Selamat bersenang-senang. Katakan ke istrimu, putrinya sangat pintar!"
Tak lama obrolan selesai. Mahendra meletakkan ponsel di meja kemudian kembali menuju ranjang.
"Sayang ... kamu lelah?" bisiknya seraya mengusap lembut pipi Allea.
Allea membuka matanya malas. Seluruh badannya terasa pegal.
"Mama telepon? Aku dengar tadi Mas memanggil Mama?"
"Hmm ...."
"Alena?"
"Dia baik-baik saja dan mama bilang dia anak pintar!"
Alles menarik napas lega, kemudian menarik selimut yang ditarik turun hingga ke dadanya oleh suaminya.
"Mas jangan nakal!"
"Capek?"
"Hmm ... lapar," sahutnya.
"Oke, kita makan di luar hari ini!"
"Hmm, kalau gitu aku mandi dulu."
"Oke!"
Allea bangkit perlahan dengan tangan berusaha menutupi badannya dengan selimut. Hal itu membuat Mahendra tidak bisa menyembunyikan tawa.
"Kenapa ketawa?" Allea serba salah.
"Ngapain susah susah ditutup sih? Aku udah tahu semuanya kok!"
Wajah Mahendra terlihat gemas, seolah tak ingin membiarkan kesempatan menikmati keindahan sang istri terlewat. Sigap dia menggendong Allea ala bridal style masuk ke kamar mandi.
"Mas Hendra!" pekik Allea terkejut.
"Setidaknya biarkan aku mengisi hal yang positif selama kita di sini," tuturnya seraya membuka pintu kamar mandi.
"Hal positif? Apa?"
"Hal yang menyebabkan kamu positif!" jawab Hendra dengan menaik turunkan alisnya. Sementara Allea hanya bisa mengulum senyum dan kembali membiarkan sang suami kembali meminta apa yang diinginkan.
💜💜
https://play.google.com/store/books/details?id=JtUxEAAAQBAJ
Buat yang belum nemu di gooplay, sila klik linknya di bio aku ya
Dear, Readers tersayang ....
Kisah ini sudah ada ebooknya ya. Untuk cetak aku hanya cetak limited sesuai pesanan. Jadi untuk yang ingin punya novelnya chat ke wa aku di nomor 0821 42608908 ya. Aku tunggu 💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top